22Pelangi hadir setelah hujan, senyuman hadir setelah tangisan. Betul kata pepatah kebahagiaan kadang hadir setelah kesedihan dan badai nestapa berlalu.Aini, merasakan itu. Setelah episode pernikahannya yang kering dan hampa tanpa cinta bersama Afwan, kini Allah hadirkan pria lembut, penyayang, sopan dan mencintainya dengan cara yang indah.Ibarat oase di tengah Sahara, dokter Fadhil hadir memberinya kesejukan di tengah gersangnya kehidupan.Mata Aini berembun saat menatap sosok kukuh dengan wajah tenang dan sepasang mata teduh yang tidak pernah menatapnya lama. Wajah tampan yang selalu lebih banyak menunduk dan mengucap kata seperlunya. Membuat Aini kadang merasa gugup dan berpikir keras agar suasana terasa lebih cair.Bagaimana mungkin aku yang pemalu harus berhadapan dengan pria yang lebih pemalu. Berbanding terbalik saat merawat Papa yang tampak tenang dan profesional, di luar itu ternyata dokter Fadhil tidak pandai menghadapi wanita.Aini tersenyum lembut mempermainkan jemariny
Aini tersenyum manis tapi dingin."Bagus, Mas. Mulai sekarang ajarkan Mirna untuk menerima kenyataan kalau sebentar lagi dia akan kehilangan kenikmatan yang diambilnya dengan cara mencuri dari milikku.""Aini, Kamu tidak memberiku pilihan yan lain Aini?" tanya Afwan terbata.dan memelas. Tapi Aini hanya tersenyum."Pilihan apa yang kau mau, Mas?""Memaafkanku dan kita bisa rujuk. Aku berjanji menjadi suami yang baik untukmu."Aini terbelalak. Mendadak mual.Hallo. Semudah itukah? Apakah keoonan Mirna menular pada Afwan? Sehingga pria yang selama ini dikenal cerdas itu berubah jadi seperti orang amnesia?"Apa, Mas? Rujuk?"Aini tersenyum kecut."Aku ingin rujuk saja, Aini. Dan kita bisa selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan."Aini mendengus. Berusaha menekan rasa muak yang memenuhi dadanya."Tawaran yang bagus. Sayang aku tidak tertarik, Mas." sindir aini sinis."Semenjak aku tahu kau mendustaiku dan diam-diam menjalin cinta dengan Mirna, aku sudah tertarik dengan apapun tentangmu
Aku mengerjapkan mata ke arah jalanan yang mulai sepi. Rasa penat di tubuh membuatku berkali-kali membetulkan letak duduk di hadapan kemudi.Lampu penerang jalan yang kekuningan menyiram suasana jalan dilewati kulewati yang mulai sepi, membuat kepalaku sedikit berkunang. Kembali menghela nafas mengusir segala rasa letih jiwa dan hati yang kulewati hari ini.Rapat perusahaan yang barusan kulalui dari pagi sampai hampir sore menyisakan tak hanya kisah pilu tapi juga pembelajaran yang sangat banyak.aku tak hanya harus mengganti uang perusahaan yang telah aku ambil selama setahun, tapi juga aku harus merelakan posisi ku yang selama ini ini menjadi nomor satu dan pertama sebagai pimpinan dan pengambil kebijakan di perusahaan itu di serahkan pada orang lain.Dewan komisaris dan pemegang saham memutuskan bahwa posisi Presiden Direktur yang selama ini aku genggam dialihkan terhadap orang lain yang mereka anggap lebih bisa dipercaya dan diandalkan. Dan sialnya orang itu adalah Aini. Ya, A
" Suara siapa?"tanyaku heran melayangkan pandangan dan bersiap berjalan menuju kamar tempat suara batuk berasal."Haduh, Mas. Habisin nasi gorengnya dulu. Paling itu suara satpam komplek yang suka berkeliling." Mirna berusaha merayu dan memegang tanganku.Dengan sedikit grogi dia mengambil air minum yang tidak jauh dari jangkauannya di atas meja makan. "Minum Mas, pasti nasi goreng buatanku pedas. Oh ya, aku tadi kasih cabe yang banyak." Mirna meraih tissu, melap bibirku . Sikapnya aneh dan berlebihan, tubuhnya terus berusaha menampel di tubuhku membuatku susah bergerak."Minggir Mirna, aku mau melihat siapa yang sudah masuk ke dalam kamar kita." Aku berusaha mendorong tubuhnya agar menepi."Ish, Mas...aduh, kenapa kasar begini." Mirna mengaduh, merasakan tubuhnya sedikit tergeser paksa."Itu bukan siapa-siapa, Mas."Aku tidak perduli. Aku bergegas mendatangi kamar utama ku yang terletak dekat dengan ruang tamu dan terhalang ruang keluarga. Mungkin karena senyap jika aku bisa mend
Rasanya seluruh tulangku lolos seketika. Tubuhku lunglai, mendapati fakta Bella yang kusayangi dan kucintai sampai ke relung hati bukan anak biologis ku.Langkahku gontai meninggalkan tempat praktek Farhan. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk dada. Kuratapi nasibku yang salah menitip hati pada sosok perempuan penghianat seperti Mirna.Kutangisi ketololan ini yang telah menukar sebongkah berlian dengan seonggok sampah seperti Mirna.Ya, Mirna hanyalah sampah, atau lebih dari itu. Dengan sisa tenaga aku membuka pintu mobil yang kuparkir di halaman tempat praktek Farhan.Aku lama termenung di belakang kemudi. Napas rasanya sesak dengan dada berdenyut, terbayang wajah lucu Bella yang menangis dan tertawa. Wajah mungil yang mewarnai hari-hariku yang beku bersama Mirna menjadi sedikit berwarna.Kalau aku pernah jatuh dan hancur berkeping dan tak bersisa, sekaranglah saatnya. Bukan karena aku mendapati diri ini mandul dan tak sempurna sebagai laki-laki, tapi menerima kenyataan kalau bayi
28Aini tersenyum lembut. Pandangan dokter Fadhil yang tampak sangat terpesona dengan penampilannya kali ini membuat paras wajah Aini merona. Dokter Fadhil baru melihatnya dengan setelan kerja seperti saat ini. Dia tampak sedikit kaget juga terpesona. Aini luar biasa cantik, wajah lembutnya bepadu dengan tatapan bening yang menghanyutkan. Apalagi dalam blazer panjang dan kerudung senada, Aini tampak smart dan elegan."Bu Direktris." Goda Fadhil membuat Aini tersenyum lebar tapi malu."Mas, tumben pagi-pagi menemuimu. Yuk, di dalam." Aini yang bersiap berangkat kerja, mempersilahkan dokter Fadhil masuk ke dalam rumahnya."Di sini saja, Aini. Di teras."Dokter Fadhil seperti biasa lebih suka menemui Aini dan duduk di teras rumah Aini yang luas."Baiklah, Mas."Aini tersenyum, memanggil Bi Darsih untuk menghidangkan teh hangat seperti biasa untuk dokter Fadhil. "Gak usah repot-repot Aini. Mas, hanya mampir dan ngasih kabar, nanti sore boleh kan, Mas jemput. Ibu ingin bertemu." Dokter
Udara malam Bandung terasa manis membelai hati Aini yang penuh cinta. Mobil melaju membelah jalanan yang tidak begitu ramai, meninggalkan rumah dokter Fadhil. Mang Engkus melajukan mobil dengan kecepatan sedang, saat jalan mulai berbelok memasuki jalan setia Budi menuju kota Lembang.Sepanjang jalan mata Aini dimanjakan dengan pendar lampu jalanan berpadu dengan gemerlapnya sinar lampu gedung dan toko yang dilewati. Pohonan rindang di sisi jalan menerpa tubuh Aini terasa lebih dingin. Bandung di malam hari, selalu terasa romantis.Mobil yang di kemudikan Mang Engkus berhenti di salah satu Swalayan yang di lalui, Aini ingin membeli cemilan dan air mineral. Kebetulan stok di rumah sudah habis, dari pada bolak balik besok kembali mendingan malam ini Aini belanja sekalian sambil lewat.Mang Engkus segera memarkirkan mobil di halaman sebuah swalayan, sesat kemudian Aini turun. Bergegas memasuki pusat perbelanjaan, namun belum sempat Aini belanja tanpa diduga, matanya menangkap sosok yang
Aini hanya mengangguk , memeluk Bella dan membiarkan Afwan berlalu di kegelapan malam. Bara kemarahan di mata Afwan membuat Aini tidak berani bertanya macam-macam.Entah apa yang dilakukan Afwan terhadap Mirna, perempuan yang pernah begitu dipuja dengan sepenuh hati. Jujur, ada perasaan iba di hati Aini, mengingat Afwan kini tidak bisa memanjakan Mirna dengan kemewahan yang selama ini dilimpahkannya pada istri mudanya. Tapi bukankah hidup sejatinya berani bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat?Mungkin Afwan jatuh secara jabatan dan materi, tapi Aini yakin dengan cara seperti itu Afwan bisa lebih bijaksana dan berhati-hati dalam mengambil tindakan, begitupun Mirna, saat Afwan terpuruk, harusnya belajar menjadi istri setia dengan mendampingi pasangan saat suka maupun duka. Geliat halus Bella membuyarkan lamunan Aini. Perlahan dia membetulkan posisi pelukannya di tubuh Bella. "Sayang, kita pulang ke rumah Tante, ya. Biarkan Papamu, menyelesaikan urusan dengan Mamamu."Aini meng
Akhir Kehidupan Sang PelakorMirna mengerjapkan mata beberapa kali ke arah pria yang selama dua tahun ini sudah jadi suaminya. Memberinya gelimang kemewahan dan harta. Memberinya tawa dan kebahagiaan walau diatas penderitaan dan tangisan istri tua beserta anak-anaknya yang dicampakkan begitu saja.Tak akan disesalinya kepergian dari hidup Afwan dan rumah Miranti. Dia kini nyonya di rumahnya sendiri.Berulangkali dia mengatakan pada sahabat dan temannya kalau kecantikan dirinya bisa mengalahkan dunia dan membuat pria manapun akan bertekuk lutut di bawah pesona yang dimilikinya.Mirna bangga. Dia merasa takdir selalu membawanya pada kemenangan dan keberuntungan.Takdir selalu mengantar nya menjadi seorang pemenang diatas kekalahan perempuan yang suaminya telah dia rebut dengan paksa.Tapi tidak sepertinya untuk saat ini. Berulangkali matanya mengerjap dan mencoba awas pada apa yang sedang terjadi.Bagaimana mungkin pemandangan dihadapannya bisa terjadi. Mas Andre, suami yang terakhir d
"Bagus kan? Miranti?" Ibunya Afwan menyodorkan gambar deretan tas branded ke arah menantu barunya. Wajahnya terlihat sumringah. Setelah kemarin Miranti berhasil dia bujuk membelikan sebuah gamis sutra yang lumayan mehong, kini Ibu ingin Miranti membelikannya tas branded." Betul, Bu." Jawab Miranti yang sibuk menyuapi Bella yang kini mulai pandai berjalan dan berceloteh riang."Beliin ibu, Mir." Ibu menyodorkan gambar ke hadapan menantu barunya."Hmm." Miranti meletakan piring di meja dan meraih katalog tas dari tangan Ibu."Yang coklat atau merah, Ibu suka Mir. Maukan beliin Ibu tas merk itu, kan uang mu semuanya berasal dari Afwan." Mulai mengusik. Apalagi kini Ibu tahu Miranti sudah berhenti kerja dan hanya mengandalkan uang belanja dari suaminya."Kalau kamu menolak lagi membelikan tas merk ini, Ibu akan laporkan pada Afwan. Kamu pelit."Miranti meletakkan katalog tas di meja dan bangkit meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sampingnya."Telephon suamiku, Bu. Katakan aku me
Hari-hari selanjutnya bersama seorang bumil yang baru menginjak trimester pertama adalah hari yang penuh warna. Indah, ceria meski sedikit ribet.Tidak menyangka juga ternyata kehamilan Aini termasuk yang cukup repot. Dia alergi dengan segala bentuk bau parfum dan masakan berbau tajam seperti bawang goreng dan minyak.Anehnya, meski payah perempuan yang terlihat makin cantik dan menawan itu jarang absen untuk tetap melayani suami. Bukan karena kuat, tapi karena menyadari kalau itu sebuah kewajiban.Memasak di masa hamil muda itu sesuatu banget. Biasanya dokter Fadhil akan siaga menungguinya di dapur. Sesekali membantu istri tercintanya mengiris atau menggoreng. Meski selama ini dia tipe pria yang tidak pandai masak dan jarang ke dapur, tapi demi Aini dia bisa menjalankannya dengan suka cita.Betul kata peribahasa, saat cinta gula jawa pun rasa coklat. Cinta membuat segalanya menyenangkan, termasuk aktifitas yang selama ini jarang dilakukannya, memasak."Cuss, Mas yang masak hari ini.
Hari sudah agak larut malam saat dokter Fadhil memasuklan mobilnya ke halaman rumah Aini yang luas. Bintang dan bulan tampak bertabur indah di cakrawala yang terlihat pekat. Tanpa banyak bicara,Aini bergegas beranjak turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan suaminya yang bersiap masukkan mobilnya ke dalam garasi dibantu mang Engkus.Sementara Bi Darsih mengikuti Aini masuk ke dalam rumah. Terlihat wajah Bi Darsih yang ikut membawa beberapa bungkusan buah tangan dari keluarga Afifah terlihat heran, Aini terlihat sedikit murung. Tapi perempuan paruh baya itu tidak berani bertanya dan segera menyimpan barang bawaan Aini ke dapur.Aini berjalan lurus menuju kamarnya, wajahnya semakin diam saat melintas di ruangan luas yang menyimpan banyak kenangan, dia langsung menghenyakkan tubuh nya yang terasa penat di kasur. Wajahnya masih terlihat sedikit gundah.Sepertinya candaan suaminya selama perjalan pulang dari pernikahan Faiz dan Afifah masih membuatnya kepikiran."Ke
Prosesi ijab kabul terhenti. Semua memandang ke arah Faiz yang baru tiba. Dengan wajah yang penuh rasa penyesalan faiz segera bersimpuh disisi kakaknya dokter Fadil. "Maaf sedikit terlambat." Faiz tersenyum kikuk. Sadar dia telah membuat acara yang begitu sakral terhenti tiba-tiba.Elsa pacarnya yang terus meracau karena mengamuk dan mencakarnya di Bandara serta merusak ponselnya membuat Faiz kewalahan. Elsa tidak terima Faiz akan menikahi Afifah. Pun, ketika Faiz berusaha menjelaskan dan memberi pilihan untuk berbagi. Elsa murka. Tak terima dengan alasan Faiz meski dirinya seharusnya sadar, hadir di hari-hari Faiz setelah Afifah.Mata Faiz terasa basah saat menyapu semua hadirin di ruangan yang disulap indah meski sederhana. Sungguh dia, tidak menduga, kalau Fadhil kakaknya bersedia menikahi Afifah. Dia pikir percakapannya beberapa waktu lalu di malam hari itu tidak berbuntut Aini mengalah dan meminta suaminya Fadhil menikahi Afifah.Faiz juga tidak menduga trauma Afifah begitu dal
Aini hanya tersenyum getir. Menyadari ucapan Sinta betul adanya. Mungkin dirinya adalah perempuan terbodoh yang merelakan suaminya mendua cinta."Aku mungkin bodoh, Sinta. Tapi aku tidak mampu melihat seorang perempuan seperti Afifah terluka dan terhina." Mata Aini menerawang menembus langit."Aku tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan dihina, aku bisa merasakan bagaimana seorang Afifah yang terluka, trauma dan putus asa."Sinta mengerjap, tak menduga kalau ketulusan Aini begitu dalam."Aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati, tapi aku yakin lebih sakit menjadi seorang perempuan ternoda karena sebuah tindak kejahatan. Aku bahkan tidak membayangkan kalau itu terjadi padaku." Aini tersenyum menatap bola mata Sinta yang tidak berkedip."Kamu pikir, mudah menerima Fadhilmu berbagi hati, Aini?" Sinta yang terlihat sedikit gemukan kembali bertanya.Sinta memang perempuan tegar. Saat dia mendapati Heru suaminya berselingkuh dengan Mirna, dia mantap memilih hidup sendiri dan menggugat cerai. B
Adakalanya ujian Allah hadirkan, agar seseorang mengerti caranya berjuang dan bersyukur, cinta dan keikhlasan.***Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Udara di luar yang menerobos lobang angin di kamar yang ditempati Aini, terasa lembab. Hujan yang turun di sore hari menguarkan bau tanah dan semerbak bunga yang banyak tumbuh di halaman rumah.Wajah Aini memerah sendu saat matanya kembali menyapu ruangan kamarnya yang sepi.Ruangan kamar yang di dominasi warna putih dan krem itu kini menyisakan lengang. Ruangan besar dan luas itu rasanya sepi tanpa tangis dan celoteh bayi mungil yang akan membuat suasana semarak dan hangat.Sejak Bella diambil kembali oleh Miranti rasanya hati Aini begitu sepi. Apalagi setahun pernikahan dengan dokter Fadhil seperti belum ada tanda-tanda dirinya hamil. Padahal kata dokter yang sempat Aini kunjungi untuk melakukan konsultasi, dirinya dan suami baik-baik saja. Hanya belum saatnya dan harus sedikit bersabar.Aini tahu, dia harus sabar menunggu
POV MirnaAku meraba pipi yang terasa panas dan sedikit perih. Tak menduga kalau Afwan, pria bucin yang selama ini puas kupermainkan hati dan perasaannya sanggup menamparku. Pria yang rela membohongi wanita sekaya Aini dan memilih hidup bersamaku, kini menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Sialan.Afwan menamparku demi membela Miranti? Perempuan jelek yang enggak ada manis-manisnya itu? Apa otak dia sudah sepaneng atau Oneng? Ibaratnya aku boneka Berbie dan Miranti boneka orang-orangan di sawah? Kalau sampai Afwan membela Miranti, pasti ada yang korsleting dengan otaknya. Aku mendengus dengan sisa rasa percaya diriku yang sempat hancur gara-gara tamparan Afwan.Tunggu. Kata Si Bibi yang membukakan gerbang rumah Miranti mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Apa betul pria setampan Afwan bisa jatuh cinta pada kakakku?Aku sangsi kalau Afwan benar mencintai perempuan songong itu dengan tulus. Kalau gak ada maunya pasti diguna-guna. Awas kamu Miranti, desis ku dalam hati penuh
Tak terasa dua bulan sudah semenjak Aini dan dokter Fadhil menikah, waktu begitu saja berlalu menyisakan sejuta kisah pahit dan manis silih berganti. Ada tawa, ada air mata, ada suka adapula luka datang dan pergi silih berganti.Itulah kehidupan ibarat panggung sandiwara semua peran berganti dengan sempurna. Adakalanya kita mendapat peran yang manis dan Penuh tawa ada pula peran yang pahit penuh air mata dan kecewa. Kita diciptakan beraneka warna oleh sang pencipta, agar kita sebagai makhluk bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah menjadi goresan takdir dalam hidup.Saat Allah ciptakan luka dan air mata, di sanalah Allah mengajarkan kita arti kesabaran, dan saat Allah menciptakan rasa bahagia dan canda tawa, di sanalah Allah tengah mengajarkan bagaimana rasa bersyukur dan berbagi.Afwan tepekur menatap sederet angka di layar ATM. Lama berdiri di depan mesin canggih itu, tidak juga merubah apapun. Saldonya tetap tidak berubah.Angka yang jauh dari cukup untuk biaya hidup sebul