Afwan sepertinya tak sabar ingin mematikan sambungan telepon dan memijit tombol merah. Ini kali kesepuluh dia menjawab pertanyaan Mirna sejak pagi. Afwan melirik jam, setengah dua siang dia menghitung sampai tiba di rumah jam delapan malam, berapa puluh kali lagi Mirna akan menerornya dengan chat dan panggilan rutinnya.
"Sudah dulu ya, Sayang Mas lagi repot. Kalau ada apa-apa telepon Ibu saja buat menemanimu, suruh Bang Hasan menjemputnya."
"Tapi janji ya, Mas. Harus pulang cepat. Aku iseng." Terdengar nada manja suara Mirna di sebrang sana.
"Kakiku bengkak, aku hanya ingin dipijit Mas."
Afwan hanya menghela napas.
"Iya. Sudah dulu ya, Mir. Mas lagi ada klien," jawab Afwan ingin segera mengakhiri percakapan ini. Berbohong, di ruangan ini tak ada klien. Afwan malah sedang duduk sendiri dan sedikit santai setelah membaca laporan masuk dari Andi tangan kanannya. Tapi rentetan pesan dan panggilan masuk dari Mirna sepertinya membuat kepalanya pusing.
Terdengar Mirna menghela napas di ujung sana. Afwan yakin pasti ekspresi wajahnya marah dan merenggut. Selalu begitu, tiap keinginannya tak terpenuhi. Sepertinya Mirna semakin posesif seminggu ini.
Apalagi sejak tahu, Afwan belum juga mentalak Aini.
"Awas, ya Mas harus pulang cepat. Aku tidak mau Mas pulang telat," jawab Mirna mengakhiri kalimatnya. Tanpa basa-basi, persis seorang majikan yang tengah menginstruksikan bawahannya untuk masuk kerja tepat waktu. Kalau tidak, akan dipecat atau dipotong gaji.
Dulu, Afwan merasa suka dengan nada perintah dan tegas Mirna, dan bersiap memenuhi dan mengabulkan apa titahnya, tapi entah mengapa semakin hari nada suara itu makin terdengar menyebalkan.
Afwan bahkan rindu nada bicara Aini yang lembut, memohon dan malu-malu. Aku rindu kalimat Aini yang manis dan memuja, aku rindu ....gelendot manjanya saat memohon cinta dariku. Aku rindu segala apapun tentangnya kini. Afwan menghapus kasar wajahnya.
Masih pantaskah aku rindu pada segala kemanisan cinta dan hati Aini? setelah apa yang aku katakan dihadapan Mama tentang rasaku pada perempuan itu? Desah Afwan kembali.
Bahkan, senyum Aini benar-benar telah lenyap saat Afwan meminta izin untuk pulang kemarin, saat dia menyusul Aini di rumah Papanya di Lembang, Bandung Barat.
"Tak harus minta izin untuk pergi dalam hidupku. Aku telah membebaskan mu untuk pergi dalam hidupku sesuka yang kau mau. Satu-satunya yang kuminta darimu, izinkan aku menyelesaikan sandiwara cinta kita dihadapan Papa sampai dia sembuh dan kuat menerima kenyataan, kalau putrinya sudah saatnya ditendang dan dibuang."
Deg. Afwan merasa kalimat Aini menamparnya. Ada dingin yang perlahan menyelimuti hatinya. Afwan termangu, sampai tak menyadari kalau Mirna sudah mengakhiri panggilannya dengan sedikit kesal.
Tut.
Gawai sunyi. Mirna telah menutup panggilannya menyisakan kelegaan dan perasaan bebas.
***
Afwan melangkah memasuki ruangan yang terasa begitu hampa. Setelah sekian lama Afwan berangkat dan pergi dari rumah Mirna, rasanya Afwan rindu untuk pulang ke rumahnya.Tiga Minggu sudah Aini tak kembali ke rumah ini. Rumah yang selama bertahun menjadi tempatnya merajut harapan dan cinta, pada sosok seorang Afwan. Rumah yang setiap sudutnya melukiskan betapa dalam cinta dan luas ketulusan yang perempuan itu persembahkan untuk dirinya. Duh.
Afwan menghembuskan napasnya perlahan, saat merasakan setiap pojoknya terasa sunyi dan sepi. Tak ada debu di rumah ini, karena asisten rumah tangga, meski datang paruh waktu tetap menjaga dan merawatnya dengan baik.
Mata Afwan lepas menatap ke luar, menembus tirai tipis yang menyelimuti jendela kaca. Dibawah lampu penerang rumahnya, tampak samar aneka bunga kesukaan Aini masih bermekaran di teras rumah. Tak ada yang berubah dengan mereka, yang berubah adalah hati pemiliknya yang tak lagi seindah bunga di taman rumahnya.
Afwan kembali menatap gawai yang tergeletakkan di meja kamarnya. Sederet panggilan Mirna merajai layar ponselnya.
[Mas, kok gak pulang?]
[Mas, beliin buah dan kue di toko langganan ku.]
[Mas, kok aku pipis melulu. Pulang cepat ya, Mas. Aku takut ke WC sendiri.]
Afwan hanya membaca chat Mirna sekilas. Tak sedikitpun tangannya tergerak untuk membalas istri manjanya.
[ Mas.]
[ Mas...Maaaaaas.]
Pesan kembali masuk. Menjengkelkan.
[ Mas, aku muntah lagi. Pokoknya pulang cepat, urutiiiin. Emot menangis.]
Afwan menghela napas menatap deretan pesan Mirna. Ada perasaan kesal yang tiba-tiba menjalari hatinya.
Drrrrrt.
Pesan tak kunjung dibalas akhirnya Mirna memutuskan untuk menghubunginya via video call. Afwan melengos, membiarkan dering telepon Mirna memenuhi sepinya kamar.
Afwan tidak tertarik mengangkatnya. Entah mengapa rasa pada perempuan cantik dan manja, yang selama ini menghipnotis jiwanya, perlahan memudar seiring kerinduannya pada sosok lembut Aini yang terus mengetuk kesendiriannya.
Langit hitam menjelaga di luar sana. Bulan sabit tampak enggan mengintip dibalik awan. Malam ini tak banyak bintang, mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Deru angin terdengar sengau menyelinap lubang angin di kamar Arfan.
Suaranya lirih seperti kidung sepi di hati Afwan.Perlahan Afwan merebahkan tubuh di kasur yang terasa dingin. Ada perasaan sunyi luar biasa saat menyentuh bidang kosong di sisinya. Tiga Minggu yang lalu, dia masih mendapati tubuh hangat Aini yang berbaring dengan mata yang tampak sembab. Afwan mendengus halus, hatinya betul-betul berdenyut saat tak sengaja tangannya menyentuh lingerie yang dibeli Aini tiga Minggu yang lalu. Lingerie itu masih teronggok di sudut kasur, sepertinya Aini lupa memasukannya ke lemari.
Afwan meraihnya. Perlahan memeluk dan menciumnya.
Gemetar tangannya meraih gawai dan mengetik sesuatu.[Aini, pulanglah.]
Terkirim, sepi.
Tak ada notifikasi balasan.[Aini, jawablah. Aku rindu...]
Send jangan?
Send.
Jangan.
Gemetar Afwan menghapus kembali pesannya. Kehadiran Mirna dan buah cinta mereka, seakan menjadi dinding yang menjulang begitu tinggi antara dirinya dan Aini. Sialnya, dia merasa tersiksa.
Detak jam terasa nyaring, lagi-lagi Afwan menghembuskan napas sedihnya. Hatinya sepi.
"Dari mana Mas?" tanya Mirna penuh curiga. Tatapannya jatuh di wajah lelah Afwan yang baru tiba setelah seharian bekerja dan pulang menembus jalanan macet."Menemui, Aini 'kan?" Kembali meneror dengan prasangka yang sama. Bukannya menghidangkan teh buat suaminya, Mirna malah sibuk mengoceh dengan kecurigaan yang berlebihan. Wajah menornya tampak sedikit kemerahan menahan cemburu."Aku ada meeting, Mir. Ada banyak yang harus kubahas dengan staf baruku." Afwan menjelaskan apa adanya. Awal bulan ini dia menerima manager baru, banyak yang harus mereka bicarakan."Aku tidak percaya." Mirna membantah."Aku tahu kau diam-diam mengunjungi Aini di rumah Papanya. Tega sekali kamu, Mas." Mirna mulai terisak."Padahal usia kandunganku sebentar lagi memasuki trimester akhir. Kau malah as
Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas."Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu."Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya."Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah."Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya." Menginap? Di sini? Di kamar ini?"Afwan mengangguk ragu."Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.
Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipaka
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu.Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh.Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka.Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan.Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-
Mirna!Afwan sedikit terpekik, tak menyangka Mirna mengejarnya sampai ke rumah Aini."Sebentar, Aini." Afwan mendekati Mirna dan berusaha menariknya ke luar ruangan. Bagaimana tidak, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Papa Aini yang sedang sakit keras.Aini melirik Bi Darsih memberi isyarat untuk menemani Papa. Perempuan paruh baya itu dengan cepat menuruti perintah anak majikannya dan menunggui Papa di dalam kamar."Tutup, pintunya Bi."Bu Darsih mengangguk. Segera melaksanakan perintah Aini.Mirna menatap Aini dengan wajah memerah menahan kesal. Seperti seseorang yang tengah melihat pencuri miliknya yang paling berharga.Mirna lupa, dialah yang mencuri Afwan dari Aini, merayu dan menjeratnya dengan berbagai cara.Aini melangkah mendekati Mirna yang tengah menantangnya. Wajahnya tenang tak sedikitpun terlihat gentar.Aini mengajak Mirna ke ruang tamu. Setidaknya jarak ruang tamu dan kamar Papa
Fadhil perlahan membalikkan tubuhnya. Suara Isak tangis Aini di punggungnya membuatnya menunduk, menelisik wajah Aini.Aini berusaha membuang pandangannya. Ada perasaan malu bercampur kaget diperhatikan seseorang. Apalagi dia sejujurnya tak begitu akrab selama ini hubungannya sebatas dokter pribadi dan keluarga pasin. Resmi dan seperlunya.Tapi sepertinya semua itu akan berubah mulai saat itu. Aini melihat mata dokter Fadhil menyimpan tanya dan mungkin ras prihatin. Jangan-jangan laki -laki itu menyaksikan adegan panasnya tadi bersama Mirna?Serapat apapun dia menyimpan masalah rumah tangganya selama ini, sekuat apapun dia menelan lukanya seorang diri, faktanya hari ini dokter Fadhil telah menyaksikan adegan menyakitkan dirinya dan Afwan beserta istri mudanya. Hari ini setegar apapun Aini bersikap dan serapat apapun dia menyembunyikan lukanya laki-laki sudah tahu, lihat senyum itu seolah berusaha membasuh luka hatinya. Aduh, Aini merasa malu.Wajah Aini memerah, malu.Merasa telanjang
POV Afwan Aku bergegas ke luar. Tak kuhiraukan Mirna yang memanggilku. Entah mengapa aku ingin mendengar suara Aini. Aku ingin bicara panjang lebar dan terbebas dari pandangan penuh cemburu Mirna. Di sudut hatiku yang lain memang kesal tapi di sisi hatiku yang sesungguhnya aku kasihan melihat Mirna. Perasaan kasihan bercampur jengkel yang menyatu di dadaku membuat jiwaku lelah.Mungkinkah ini balasan dari sikapku selama ini pada Aini? Dua tahun mengarungi hidup bersama yang kuberikan padanya hanya kepalsuan dan kepura-puraan. Awal pernikahan, aku masih bertahan. Aku masih menyentuh Aini layaknya seorang suami. Aku masih ingat segala jasa baik kedua orang tuanya yang telah banyak membantuku sehingga aku bisa lulus kuliah dan punya perusahaan.Aku membalas budi baik Pak Surya Papanya Aini, dengan manis. Sampai di tahun kedua, aku bertemu Mirna di reuni teman sekolah waktu SMA. Mirna yang cantik, bohay, manis dan manja seketika langsung membiusku.Pertemuan demi pertemuan semakin membu
POV AfwanAku mundur ke belakang. Tak mampu memeluk tubuh Aini yang kian sesenggukan. Merapikan debaran sakit di hati yang kian terasa.Bahkan di saat dirinya hancur sekalipun Aini masih tak menerimaku. Aku sudah tidak ada tempat dihatinya. Dia memilih memeluk lukanya seorang diri dibanding melabuhkan kepalanya di dadaku.Suasana semakin ramai. Kerabat dan sanak saudara, mulai berkumpul untuk takziyah. Semasa hidupnya Papa Aini adalah orang yang sangat baik. Sahabat dan saudaranya sangat banyak.Wajar saat dirinya pergi, banyak yang merasa terpanggil untuk memberi penghormatan terakhir.Jenazah Papa sudah selesai dimandikan. Sudah terbujur bertutup kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya di ruang tengah, dikelilingi kerabat dan saudara yang tampak berduka. Rencananya setelah subuh dan masuk waktu solat duha sambil menunggu kerabat yang jauh, jenazah akan dibawa ke mesjid untuk di sholatkan setelah itu akan diberangkatkan dari rumah duka ke taman pemakan sebagai peristirahatan tera
Akhir Kehidupan Sang PelakorMirna mengerjapkan mata beberapa kali ke arah pria yang selama dua tahun ini sudah jadi suaminya. Memberinya gelimang kemewahan dan harta. Memberinya tawa dan kebahagiaan walau diatas penderitaan dan tangisan istri tua beserta anak-anaknya yang dicampakkan begitu saja.Tak akan disesalinya kepergian dari hidup Afwan dan rumah Miranti. Dia kini nyonya di rumahnya sendiri.Berulangkali dia mengatakan pada sahabat dan temannya kalau kecantikan dirinya bisa mengalahkan dunia dan membuat pria manapun akan bertekuk lutut di bawah pesona yang dimilikinya.Mirna bangga. Dia merasa takdir selalu membawanya pada kemenangan dan keberuntungan.Takdir selalu mengantar nya menjadi seorang pemenang diatas kekalahan perempuan yang suaminya telah dia rebut dengan paksa.Tapi tidak sepertinya untuk saat ini. Berulangkali matanya mengerjap dan mencoba awas pada apa yang sedang terjadi.Bagaimana mungkin pemandangan dihadapannya bisa terjadi. Mas Andre, suami yang terakhir d
"Bagus kan? Miranti?" Ibunya Afwan menyodorkan gambar deretan tas branded ke arah menantu barunya. Wajahnya terlihat sumringah. Setelah kemarin Miranti berhasil dia bujuk membelikan sebuah gamis sutra yang lumayan mehong, kini Ibu ingin Miranti membelikannya tas branded." Betul, Bu." Jawab Miranti yang sibuk menyuapi Bella yang kini mulai pandai berjalan dan berceloteh riang."Beliin ibu, Mir." Ibu menyodorkan gambar ke hadapan menantu barunya."Hmm." Miranti meletakan piring di meja dan meraih katalog tas dari tangan Ibu."Yang coklat atau merah, Ibu suka Mir. Maukan beliin Ibu tas merk itu, kan uang mu semuanya berasal dari Afwan." Mulai mengusik. Apalagi kini Ibu tahu Miranti sudah berhenti kerja dan hanya mengandalkan uang belanja dari suaminya."Kalau kamu menolak lagi membelikan tas merk ini, Ibu akan laporkan pada Afwan. Kamu pelit."Miranti meletakkan katalog tas di meja dan bangkit meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sampingnya."Telephon suamiku, Bu. Katakan aku me
Hari-hari selanjutnya bersama seorang bumil yang baru menginjak trimester pertama adalah hari yang penuh warna. Indah, ceria meski sedikit ribet.Tidak menyangka juga ternyata kehamilan Aini termasuk yang cukup repot. Dia alergi dengan segala bentuk bau parfum dan masakan berbau tajam seperti bawang goreng dan minyak.Anehnya, meski payah perempuan yang terlihat makin cantik dan menawan itu jarang absen untuk tetap melayani suami. Bukan karena kuat, tapi karena menyadari kalau itu sebuah kewajiban.Memasak di masa hamil muda itu sesuatu banget. Biasanya dokter Fadhil akan siaga menungguinya di dapur. Sesekali membantu istri tercintanya mengiris atau menggoreng. Meski selama ini dia tipe pria yang tidak pandai masak dan jarang ke dapur, tapi demi Aini dia bisa menjalankannya dengan suka cita.Betul kata peribahasa, saat cinta gula jawa pun rasa coklat. Cinta membuat segalanya menyenangkan, termasuk aktifitas yang selama ini jarang dilakukannya, memasak."Cuss, Mas yang masak hari ini.
Hari sudah agak larut malam saat dokter Fadhil memasuklan mobilnya ke halaman rumah Aini yang luas. Bintang dan bulan tampak bertabur indah di cakrawala yang terlihat pekat. Tanpa banyak bicara,Aini bergegas beranjak turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan suaminya yang bersiap masukkan mobilnya ke dalam garasi dibantu mang Engkus.Sementara Bi Darsih mengikuti Aini masuk ke dalam rumah. Terlihat wajah Bi Darsih yang ikut membawa beberapa bungkusan buah tangan dari keluarga Afifah terlihat heran, Aini terlihat sedikit murung. Tapi perempuan paruh baya itu tidak berani bertanya dan segera menyimpan barang bawaan Aini ke dapur.Aini berjalan lurus menuju kamarnya, wajahnya semakin diam saat melintas di ruangan luas yang menyimpan banyak kenangan, dia langsung menghenyakkan tubuh nya yang terasa penat di kasur. Wajahnya masih terlihat sedikit gundah.Sepertinya candaan suaminya selama perjalan pulang dari pernikahan Faiz dan Afifah masih membuatnya kepikiran."Ke
Prosesi ijab kabul terhenti. Semua memandang ke arah Faiz yang baru tiba. Dengan wajah yang penuh rasa penyesalan faiz segera bersimpuh disisi kakaknya dokter Fadil. "Maaf sedikit terlambat." Faiz tersenyum kikuk. Sadar dia telah membuat acara yang begitu sakral terhenti tiba-tiba.Elsa pacarnya yang terus meracau karena mengamuk dan mencakarnya di Bandara serta merusak ponselnya membuat Faiz kewalahan. Elsa tidak terima Faiz akan menikahi Afifah. Pun, ketika Faiz berusaha menjelaskan dan memberi pilihan untuk berbagi. Elsa murka. Tak terima dengan alasan Faiz meski dirinya seharusnya sadar, hadir di hari-hari Faiz setelah Afifah.Mata Faiz terasa basah saat menyapu semua hadirin di ruangan yang disulap indah meski sederhana. Sungguh dia, tidak menduga, kalau Fadhil kakaknya bersedia menikahi Afifah. Dia pikir percakapannya beberapa waktu lalu di malam hari itu tidak berbuntut Aini mengalah dan meminta suaminya Fadhil menikahi Afifah.Faiz juga tidak menduga trauma Afifah begitu dal
Aini hanya tersenyum getir. Menyadari ucapan Sinta betul adanya. Mungkin dirinya adalah perempuan terbodoh yang merelakan suaminya mendua cinta."Aku mungkin bodoh, Sinta. Tapi aku tidak mampu melihat seorang perempuan seperti Afifah terluka dan terhina." Mata Aini menerawang menembus langit."Aku tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan dihina, aku bisa merasakan bagaimana seorang Afifah yang terluka, trauma dan putus asa."Sinta mengerjap, tak menduga kalau ketulusan Aini begitu dalam."Aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati, tapi aku yakin lebih sakit menjadi seorang perempuan ternoda karena sebuah tindak kejahatan. Aku bahkan tidak membayangkan kalau itu terjadi padaku." Aini tersenyum menatap bola mata Sinta yang tidak berkedip."Kamu pikir, mudah menerima Fadhilmu berbagi hati, Aini?" Sinta yang terlihat sedikit gemukan kembali bertanya.Sinta memang perempuan tegar. Saat dia mendapati Heru suaminya berselingkuh dengan Mirna, dia mantap memilih hidup sendiri dan menggugat cerai. B
Adakalanya ujian Allah hadirkan, agar seseorang mengerti caranya berjuang dan bersyukur, cinta dan keikhlasan.***Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Udara di luar yang menerobos lobang angin di kamar yang ditempati Aini, terasa lembab. Hujan yang turun di sore hari menguarkan bau tanah dan semerbak bunga yang banyak tumbuh di halaman rumah.Wajah Aini memerah sendu saat matanya kembali menyapu ruangan kamarnya yang sepi.Ruangan kamar yang di dominasi warna putih dan krem itu kini menyisakan lengang. Ruangan besar dan luas itu rasanya sepi tanpa tangis dan celoteh bayi mungil yang akan membuat suasana semarak dan hangat.Sejak Bella diambil kembali oleh Miranti rasanya hati Aini begitu sepi. Apalagi setahun pernikahan dengan dokter Fadhil seperti belum ada tanda-tanda dirinya hamil. Padahal kata dokter yang sempat Aini kunjungi untuk melakukan konsultasi, dirinya dan suami baik-baik saja. Hanya belum saatnya dan harus sedikit bersabar.Aini tahu, dia harus sabar menunggu
POV MirnaAku meraba pipi yang terasa panas dan sedikit perih. Tak menduga kalau Afwan, pria bucin yang selama ini puas kupermainkan hati dan perasaannya sanggup menamparku. Pria yang rela membohongi wanita sekaya Aini dan memilih hidup bersamaku, kini menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Sialan.Afwan menamparku demi membela Miranti? Perempuan jelek yang enggak ada manis-manisnya itu? Apa otak dia sudah sepaneng atau Oneng? Ibaratnya aku boneka Berbie dan Miranti boneka orang-orangan di sawah? Kalau sampai Afwan membela Miranti, pasti ada yang korsleting dengan otaknya. Aku mendengus dengan sisa rasa percaya diriku yang sempat hancur gara-gara tamparan Afwan.Tunggu. Kata Si Bibi yang membukakan gerbang rumah Miranti mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Apa betul pria setampan Afwan bisa jatuh cinta pada kakakku?Aku sangsi kalau Afwan benar mencintai perempuan songong itu dengan tulus. Kalau gak ada maunya pasti diguna-guna. Awas kamu Miranti, desis ku dalam hati penuh
Tak terasa dua bulan sudah semenjak Aini dan dokter Fadhil menikah, waktu begitu saja berlalu menyisakan sejuta kisah pahit dan manis silih berganti. Ada tawa, ada air mata, ada suka adapula luka datang dan pergi silih berganti.Itulah kehidupan ibarat panggung sandiwara semua peran berganti dengan sempurna. Adakalanya kita mendapat peran yang manis dan Penuh tawa ada pula peran yang pahit penuh air mata dan kecewa. Kita diciptakan beraneka warna oleh sang pencipta, agar kita sebagai makhluk bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah menjadi goresan takdir dalam hidup.Saat Allah ciptakan luka dan air mata, di sanalah Allah mengajarkan kita arti kesabaran, dan saat Allah menciptakan rasa bahagia dan canda tawa, di sanalah Allah tengah mengajarkan bagaimana rasa bersyukur dan berbagi.Afwan tepekur menatap sederet angka di layar ATM. Lama berdiri di depan mesin canggih itu, tidak juga merubah apapun. Saldonya tetap tidak berubah.Angka yang jauh dari cukup untuk biaya hidup sebul