Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas.
"Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu.
"Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."
Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.
Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya.
"Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah.
"Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."
" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"
Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya.
" Menginap? Di sini? Di kamar ini?"
Afwan mengangguk ragu.
"Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.
"Betul ini masih kamarku, tapi sebentar lagi ini akan menjadi kamar Mirna."
"Akan menjadi kamarmu, selamanya." Afwan mendekat. Ragu meraih tangan Aini yang tiba-tiba terasa membeku dan dingin. Tatapannya hangat dan menghanyutkan.
Ah, Aini kenapa aku baru menyadari kalau kau tercipta begitu indah dan sempurna? Afwan merapikan debaran dadanya, ada hasrat yang menggelora untuk menyentuh lembut pipi Aini.
Afwan meremas lembut jemari Aini dengan tegang, setelah dusta dan kepalsuannya terbongkar, dia tak cukup punya nyali untuk memeluk Aini. Membuatnya hanya mampu menatap paras lembut Aini.
Aini melengos. Jangan rindu. Apapun kemanisan yang dia temui pada laki-laki itu adalah fatamorgana. Dusta.
"Aini, pulanglah. Kembalilah." Ragu Afwan kembali meminta.
"Mas, adakah alasan aku untuk kembali ke rumah ini? Tak ada yang bisa kuperjuangkan di sini."
Deg.
"Aku ingin memulai hidup baruku di rumah Papa." Aini melanjutkan kalimatnya pelan.
Afwan termangu.
"Aini, apapun yang ada di sini masih milikmu." Afwan kembali mendekat Mencoba meraih jemari Aini lebih dekat kedalam pelukanmya, meremas dan menciuminya.
Aini terhenyak kaget luar biasa. Spontan menariknya, tapi cengkraman Afwan sangat erat.
"Ada apa, Mas? Maaf, lepaskan jemariku." Paras Aini memerah.
"Aku juga masih suamimu."
Aini terdiam.
"Aku juga masih punya kewajiban memberimu...nafkah batin."
Aini terbelalak. Wajahnya memerah. Sekian lama dia pergi dari hidup Afwan, dia merasa malu mendengar kalimat itu. Langit merah di luar sana menyiratkan sinar merah ke arah kamar, senja baru saja turun. Membuat rona wajah Aini makin cantik terpantul sinar kemerahan dari mentari yang menerobos jendela.
" Aini...aku ingin menunaikan kewajibanku padamu, aku ingin menyentuhmu." Kalimat Afwan meluncur begitu saja membuat Aini makin kaget. Parasnya merona.
"Aini, aku menyesal telah membuatmu pergi. Aku...aku minta maaf."
Aini terhenyak. Seketika mundur dua langkah ke belakang. Membuat tubuhnya lebih menempel ke dinding.
"Aku masih, suamimu Sayang."
Sayang?
Sejak kapan Afwan bisa memanggilnya dengan kata Sayang? Aini gemetar.
"Aku masih berhak atas setiap inci tubuhmu." Meski malu Afwan berhasil menyelesaikan kalimatnya.
Aini tengadah, bola matanya tampak mengerjai memperhatikan gerakan bibir Afwan. Bibirnya bergetar dengan wajah yang membeku.
"Apa maksudmu, Mas?" tanya Aini dingin.
"Setelah lantang kau berteriak muak dengan tubuhku, kini kau dengan mudahnya meminta hakmu? Mas aku tidak menolak hakmu atas tubuhku, tapi aku bukan pelacur, Mas."
Aini menahan tangis.
"Aku bukan perempuan jalanan yang bebas kau buang dan kau pungut sesuka hati."
Aini menyeka air matanya.
" Seandainya kehadiranku tak berarti selama ini, setidaknya aku masih punya hati. Aku ikhlas menerima kenyataan bahwa aku tak berharga di hatimu, tapi tolong jangan permainkan hati dan cintaku," tutur Aini makin lirih.
Afwan terpaku. Tak kuasa mempertahankan genggaman tangannya di jemari Aini.
"Aku rela menerima takdirku. Aku pun bahagia, seandainya kau bahagia bersama perempuan selainku, jadi tolong Mas, seandainya pernikahan ini hanya menghitung hari untuk berakhir, jangan pernah kau menuai bunga harapan di hatiku."
"Tunggu, Aini.Tunggu."
Afwan tersentak. Aini bangkit tiba-tiba. Membiarkan sebagian bajunya terburai begitu saja di atas peraduan.Afwan mengejar tubuh Aini yang hendak berlari dan menariknya dengan keras.
"Uf."
Aini kehilangan keseimbangan tubuhnya. Perempuan dengan wajah lembut dan mata bening itu oleng dan terjatuh di dada bidang Afwan yang langsung mendekapnya.
" Mas, lepaskan."
Aini memberontak.
"Begini caramu menghargai ku?" Wajah Aini merah menahan perasaan hatinya yang terluka.
"Satu tanganmu memeluk seorang Mirna dan satu tanganmu lagi menggapai perempuan yang telah kau campakkan."
Afwan kaku.
Aini merapikan hijabnya yang berantakan.
" Maaf Mas. Selamat tinggal." Tergesa Aini merapikan baju yang berserakan di atas kasur dan memasukannya ke dalam tas. Tanpa sedikitpun kembali menoleh ke arah Afwan yang terus meminta maaf, Aini gegas berlalu keluar kamar dan berlari menuju mobilnya.
"Aini, tunggu." Afwan kembali mengejar tapi langkah lebar Aini menuju mobilnya membuat Afwan hanya mampu mengejar sampai di halaman.
Tergesa Aini menutup pintu mobilnya, tanpa sepatah katapun perempuan yang diam-diam mulai mencuri hati Afwan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Suara gesekan ban mobil Aini dengan aspal yang dilaluinya terdengar nyaring, membuat Afwan terperanjat.
Dia kaget melihat cara Aini melajukan mobilnya. Sejujurnya Afwan jadi gelisah, apalagi jalan menuju rumah Aini berkelok apalagi saat senja seperti sekarang, banyak rombongan mobil pariwisata berukuran besar yang tengah pulang. Afwan mengucek kasar rambutnya, dia berpikir keras.
Afwan tersentak, bayangan Aini yang mengemudikan mobilnya dengan sedikit ngebut membuat dia seketika meraih kunci mobilnya dan memutuskan mengejar mobil Aini.
Masih memakai pakaian kerja, Afwan langsung tancap gas. Sebisa mungkin dia harus bisa mengekor mobil Aini. Tapi apa bisa kekejar?
Semoga saja Aini terjebak macet, mengingat rumah Afwan yang terletak di Bandung timur memaksa Aini harus banyak melintasi rute macet. Belum kalau melintasi daerah Universitas dan jalur ramai sepanjang terminal. Kalau Aini memilih rute lain? Bagaimana kalau Aini memilih jalur Soekarno Hatta dengan membawa mobil seperti itu?Ya Allah...Afwan benar-benar tegang.Berkali-kali Afwan menghubungi ponsel Aini dengan hasil yang sama. Hanya mode memanggil. Apakah Aini sengaja mematikan ponselnya?
Afwan menaikan kecepatan mobilnya, seandainya dia tak bisa mengejar Aini dia bisa memastikan kalau mobil Aini sudah sampai di rumahnya.
Jalanan mulai sedikit padat, Afwan menghembuskan nafas. Mobil melintasi jalan Suka jadi yang cukup ramai, Afwan terus menancap gas. Beberapa orang Mahasiswa Perhotelan di seputaran kampus NHI Bandung, yang hendak menyebrang nampak kaget saat mendapati mobil Afwan yang hampir saja menyerempet.
"Wow, maaf Bro." Afwan sedikit kaget. Dia tidak menyangka setelah tadi hatinya sempat berbunga-bunga, kini dia harus sport jantung karena mengejar mobil Aini.
Jalan Lembang yang berkelok tapi rindang membuat Afwan menurunkan kecepatan mengemudinya. Sepanjang jalan Afwan hanya menghembuskan napas, deretan pedagang Bungan dan wahana Wisata Edukasi buat anak-anak mengingatkannya pada Aini.
Maaf Aini, karena keegoisanku kau belum juga mengandung, sehingga mimpi manismu untuk membawa buah hati ke tempat-tempat seperti ini belum pernah terwujud. Mimpi Aini begitu sederhana, sayang meski sederhana menjadi tak sederhana karena rahim perempuan itu tidak pernah mendapat cinta. Anak yang diidamkan perempuan itu hanya penuh dalam hayalan.
Maafkan Mas, Aini. Maafkan...
Afwan menyeka air mata yang tiba-tiba mengembun.
Mobil mulai memasuki jalan yang lebih sepi. Afwan melambatkan lajunya dan berhenti tak jauh dari rumah besar berjalanan luas yang tampak begitu sepi, rumah Aini.
mata Afwanawas memperhatikan seputar halaman rumah Aini, mencari mobil Aini yang terparkir.Tidak ada. Halaman itu sepi, hanya ada mobil abu metalik yang tak dikenal Afwan terparkir di halaman rumah Aini.
Aini kemana? Harusnya dia dia sudah sampai ? Afwan mulai gelisah.
Resah dia tak beranjak di balik kemudi mobilnya, siapa tahu mobil Aini datang belakangan. Sepi.
Senja mulai pergi, langit mulai menjelaga.Lampu di rumah Aini mulai menyala menerangi pilar teras rumahnya yang tinggi.
Afwan semakin resah, kembali menghubungi nomor Aini.
"Hallo?"
Kali ini tersambung. Jawaban suara bariton di gawai Aini membuat alis Afwan berkerut.
"Maaf, saya mau bicara sama Aini." Jawab Afwan kaku.
"Aini, belum kembali sejak siang tadi. Dia juga lupa membawa poselnya."
"Maaf, anda siapa?"
"Saya Fadhil. Dokter yang merawat Papanya Aini."
Tut. Meski ada rasa tak nyaman mendapati seorang laki-laki di rumah Aini Afwan tak sempat memikirkannya. Dadanya dipenuhi rasa khawatir, karena Afwan tahu Aini bukan tipe perempuan yang suka keluyuran.Bahkan dua tahun menikahinya, tak sekalipun Aini pergi tanpa alasan.
Suasana sekitar rumah Aini begitu sepi. Afwan kembali mengurut pelipisnya dan menunggu di balik kemudi.
Satu jam.
Dua jam.
Afwan makin gelisah, Aini tidak juga kembali.
Ya, Allah, di mana Ainiku? hati Afwan makin cemas. Tak terasa ada butir hangat yang meluncur begitu saja dari sudut matanya.
Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipaka
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu.Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh.Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka.Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan.Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-
Mirna!Afwan sedikit terpekik, tak menyangka Mirna mengejarnya sampai ke rumah Aini."Sebentar, Aini." Afwan mendekati Mirna dan berusaha menariknya ke luar ruangan. Bagaimana tidak, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Papa Aini yang sedang sakit keras.Aini melirik Bi Darsih memberi isyarat untuk menemani Papa. Perempuan paruh baya itu dengan cepat menuruti perintah anak majikannya dan menunggui Papa di dalam kamar."Tutup, pintunya Bi."Bu Darsih mengangguk. Segera melaksanakan perintah Aini.Mirna menatap Aini dengan wajah memerah menahan kesal. Seperti seseorang yang tengah melihat pencuri miliknya yang paling berharga.Mirna lupa, dialah yang mencuri Afwan dari Aini, merayu dan menjeratnya dengan berbagai cara.Aini melangkah mendekati Mirna yang tengah menantangnya. Wajahnya tenang tak sedikitpun terlihat gentar.Aini mengajak Mirna ke ruang tamu. Setidaknya jarak ruang tamu dan kamar Papa
Fadhil perlahan membalikkan tubuhnya. Suara Isak tangis Aini di punggungnya membuatnya menunduk, menelisik wajah Aini.Aini berusaha membuang pandangannya. Ada perasaan malu bercampur kaget diperhatikan seseorang. Apalagi dia sejujurnya tak begitu akrab selama ini hubungannya sebatas dokter pribadi dan keluarga pasin. Resmi dan seperlunya.Tapi sepertinya semua itu akan berubah mulai saat itu. Aini melihat mata dokter Fadhil menyimpan tanya dan mungkin ras prihatin. Jangan-jangan laki -laki itu menyaksikan adegan panasnya tadi bersama Mirna?Serapat apapun dia menyimpan masalah rumah tangganya selama ini, sekuat apapun dia menelan lukanya seorang diri, faktanya hari ini dokter Fadhil telah menyaksikan adegan menyakitkan dirinya dan Afwan beserta istri mudanya. Hari ini setegar apapun Aini bersikap dan serapat apapun dia menyembunyikan lukanya laki-laki sudah tahu, lihat senyum itu seolah berusaha membasuh luka hatinya. Aduh, Aini merasa malu.Wajah Aini memerah, malu.Merasa telanjang
POV Afwan Aku bergegas ke luar. Tak kuhiraukan Mirna yang memanggilku. Entah mengapa aku ingin mendengar suara Aini. Aku ingin bicara panjang lebar dan terbebas dari pandangan penuh cemburu Mirna. Di sudut hatiku yang lain memang kesal tapi di sisi hatiku yang sesungguhnya aku kasihan melihat Mirna. Perasaan kasihan bercampur jengkel yang menyatu di dadaku membuat jiwaku lelah.Mungkinkah ini balasan dari sikapku selama ini pada Aini? Dua tahun mengarungi hidup bersama yang kuberikan padanya hanya kepalsuan dan kepura-puraan. Awal pernikahan, aku masih bertahan. Aku masih menyentuh Aini layaknya seorang suami. Aku masih ingat segala jasa baik kedua orang tuanya yang telah banyak membantuku sehingga aku bisa lulus kuliah dan punya perusahaan.Aku membalas budi baik Pak Surya Papanya Aini, dengan manis. Sampai di tahun kedua, aku bertemu Mirna di reuni teman sekolah waktu SMA. Mirna yang cantik, bohay, manis dan manja seketika langsung membiusku.Pertemuan demi pertemuan semakin membu
POV AfwanAku mundur ke belakang. Tak mampu memeluk tubuh Aini yang kian sesenggukan. Merapikan debaran sakit di hati yang kian terasa.Bahkan di saat dirinya hancur sekalipun Aini masih tak menerimaku. Aku sudah tidak ada tempat dihatinya. Dia memilih memeluk lukanya seorang diri dibanding melabuhkan kepalanya di dadaku.Suasana semakin ramai. Kerabat dan sanak saudara, mulai berkumpul untuk takziyah. Semasa hidupnya Papa Aini adalah orang yang sangat baik. Sahabat dan saudaranya sangat banyak.Wajar saat dirinya pergi, banyak yang merasa terpanggil untuk memberi penghormatan terakhir.Jenazah Papa sudah selesai dimandikan. Sudah terbujur bertutup kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya di ruang tengah, dikelilingi kerabat dan saudara yang tampak berduka. Rencananya setelah subuh dan masuk waktu solat duha sambil menunggu kerabat yang jauh, jenazah akan dibawa ke mesjid untuk di sholatkan setelah itu akan diberangkatkan dari rumah duka ke taman pemakan sebagai peristirahatan tera
Air mata rasanya tidak berhenti mengalir dari kedua kelopak mata Aini. Hati Aini, Hancur luar biasa. kepergian Papa untuk selamanya seolah menggoreskan luka yang teramat dalam di hatinya. Di saat dirinya terpuruk oleh penghianatan Afwan suaminya, pun saat merasa runtuh dan jatuh mendapatkan, dia mendapatkan kenyataan seorang Affan tidak pernah mencintainya. Kehilangan Papa adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah Aini alami. Dulu dia kehilangan mama tapi Aini masih punya Papa. Saat Mama pergi Aini tidak seruntuh ini, hatinya masih memiliki kehangatan dan harapan. Dia menyeka air mata yang lagi-lagi meluncur bak sungai di musim hujan. Angin sepoi yang lirih menerobos jendela mobil yang melaju sedang dan membelah jalanan Lembang yang tidak begitu padat tak juga mampu membuat hati Aini sejuk. Sesekali usapan lembut tangan Tante Isma di punggungnya seolah ingin memberikan Kekuatan kepada Aini. Aini melirik dokter Fadhil yang duduk di depan bersama Sinta yang tamp
Aini berusaha tersenyum manis. Sebisa mungkin menyembunyikan kesedihannya. Sementara Bi Darsih segera bergegas ke belakang untuk membawa air dan membuat makanan kecil untuk teman ngobrol."Maaf, menunggu," sapa Aini ramah ramah.Dokter Fadhil balas tersenyum, sedikit menundukkan tatapannya."Tidak apa-apa, Aini. Mas...""Iya.Mas," jawab Aini menunggu dokter Fadhil menyelesaikan kalimatnya.Dokter Fadhil masih tak mau menatapnya. Aini agak kikuk."Maaf,Mas, ada urusan pentingkah? Sehingga malam-malam menemuiku?"Aini terpaksa to the point, menyaksikan dokter Fadhil yang terlihat sangat salah tingkah."Emh...""Apa, Mas?""Aini, maaf Mas, bicaranya sambil nunduk saja."What?"Oh."Aini hanya ber oh, karena bingung."Aini, baik-baik saja?" tanya dokter Fadhil."Apakah Mas melihatku tidak baik-baik saja?" Jawab Aini sedikit sensitif."Emmh, tentu saja kamu terlihat baik-baik saja dan...sangat cantik," jawab dokter Fadhil membuat paras Aini memerah.Tidak biasanya dokter Fadhil sehangat
Akhir Kehidupan Sang PelakorMirna mengerjapkan mata beberapa kali ke arah pria yang selama dua tahun ini sudah jadi suaminya. Memberinya gelimang kemewahan dan harta. Memberinya tawa dan kebahagiaan walau diatas penderitaan dan tangisan istri tua beserta anak-anaknya yang dicampakkan begitu saja.Tak akan disesalinya kepergian dari hidup Afwan dan rumah Miranti. Dia kini nyonya di rumahnya sendiri.Berulangkali dia mengatakan pada sahabat dan temannya kalau kecantikan dirinya bisa mengalahkan dunia dan membuat pria manapun akan bertekuk lutut di bawah pesona yang dimilikinya.Mirna bangga. Dia merasa takdir selalu membawanya pada kemenangan dan keberuntungan.Takdir selalu mengantar nya menjadi seorang pemenang diatas kekalahan perempuan yang suaminya telah dia rebut dengan paksa.Tapi tidak sepertinya untuk saat ini. Berulangkali matanya mengerjap dan mencoba awas pada apa yang sedang terjadi.Bagaimana mungkin pemandangan dihadapannya bisa terjadi. Mas Andre, suami yang terakhir d
"Bagus kan? Miranti?" Ibunya Afwan menyodorkan gambar deretan tas branded ke arah menantu barunya. Wajahnya terlihat sumringah. Setelah kemarin Miranti berhasil dia bujuk membelikan sebuah gamis sutra yang lumayan mehong, kini Ibu ingin Miranti membelikannya tas branded." Betul, Bu." Jawab Miranti yang sibuk menyuapi Bella yang kini mulai pandai berjalan dan berceloteh riang."Beliin ibu, Mir." Ibu menyodorkan gambar ke hadapan menantu barunya."Hmm." Miranti meletakan piring di meja dan meraih katalog tas dari tangan Ibu."Yang coklat atau merah, Ibu suka Mir. Maukan beliin Ibu tas merk itu, kan uang mu semuanya berasal dari Afwan." Mulai mengusik. Apalagi kini Ibu tahu Miranti sudah berhenti kerja dan hanya mengandalkan uang belanja dari suaminya."Kalau kamu menolak lagi membelikan tas merk ini, Ibu akan laporkan pada Afwan. Kamu pelit."Miranti meletakkan katalog tas di meja dan bangkit meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sampingnya."Telephon suamiku, Bu. Katakan aku me
Hari-hari selanjutnya bersama seorang bumil yang baru menginjak trimester pertama adalah hari yang penuh warna. Indah, ceria meski sedikit ribet.Tidak menyangka juga ternyata kehamilan Aini termasuk yang cukup repot. Dia alergi dengan segala bentuk bau parfum dan masakan berbau tajam seperti bawang goreng dan minyak.Anehnya, meski payah perempuan yang terlihat makin cantik dan menawan itu jarang absen untuk tetap melayani suami. Bukan karena kuat, tapi karena menyadari kalau itu sebuah kewajiban.Memasak di masa hamil muda itu sesuatu banget. Biasanya dokter Fadhil akan siaga menungguinya di dapur. Sesekali membantu istri tercintanya mengiris atau menggoreng. Meski selama ini dia tipe pria yang tidak pandai masak dan jarang ke dapur, tapi demi Aini dia bisa menjalankannya dengan suka cita.Betul kata peribahasa, saat cinta gula jawa pun rasa coklat. Cinta membuat segalanya menyenangkan, termasuk aktifitas yang selama ini jarang dilakukannya, memasak."Cuss, Mas yang masak hari ini.
Hari sudah agak larut malam saat dokter Fadhil memasuklan mobilnya ke halaman rumah Aini yang luas. Bintang dan bulan tampak bertabur indah di cakrawala yang terlihat pekat. Tanpa banyak bicara,Aini bergegas beranjak turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan suaminya yang bersiap masukkan mobilnya ke dalam garasi dibantu mang Engkus.Sementara Bi Darsih mengikuti Aini masuk ke dalam rumah. Terlihat wajah Bi Darsih yang ikut membawa beberapa bungkusan buah tangan dari keluarga Afifah terlihat heran, Aini terlihat sedikit murung. Tapi perempuan paruh baya itu tidak berani bertanya dan segera menyimpan barang bawaan Aini ke dapur.Aini berjalan lurus menuju kamarnya, wajahnya semakin diam saat melintas di ruangan luas yang menyimpan banyak kenangan, dia langsung menghenyakkan tubuh nya yang terasa penat di kasur. Wajahnya masih terlihat sedikit gundah.Sepertinya candaan suaminya selama perjalan pulang dari pernikahan Faiz dan Afifah masih membuatnya kepikiran."Ke
Prosesi ijab kabul terhenti. Semua memandang ke arah Faiz yang baru tiba. Dengan wajah yang penuh rasa penyesalan faiz segera bersimpuh disisi kakaknya dokter Fadil. "Maaf sedikit terlambat." Faiz tersenyum kikuk. Sadar dia telah membuat acara yang begitu sakral terhenti tiba-tiba.Elsa pacarnya yang terus meracau karena mengamuk dan mencakarnya di Bandara serta merusak ponselnya membuat Faiz kewalahan. Elsa tidak terima Faiz akan menikahi Afifah. Pun, ketika Faiz berusaha menjelaskan dan memberi pilihan untuk berbagi. Elsa murka. Tak terima dengan alasan Faiz meski dirinya seharusnya sadar, hadir di hari-hari Faiz setelah Afifah.Mata Faiz terasa basah saat menyapu semua hadirin di ruangan yang disulap indah meski sederhana. Sungguh dia, tidak menduga, kalau Fadhil kakaknya bersedia menikahi Afifah. Dia pikir percakapannya beberapa waktu lalu di malam hari itu tidak berbuntut Aini mengalah dan meminta suaminya Fadhil menikahi Afifah.Faiz juga tidak menduga trauma Afifah begitu dal
Aini hanya tersenyum getir. Menyadari ucapan Sinta betul adanya. Mungkin dirinya adalah perempuan terbodoh yang merelakan suaminya mendua cinta."Aku mungkin bodoh, Sinta. Tapi aku tidak mampu melihat seorang perempuan seperti Afifah terluka dan terhina." Mata Aini menerawang menembus langit."Aku tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan dihina, aku bisa merasakan bagaimana seorang Afifah yang terluka, trauma dan putus asa."Sinta mengerjap, tak menduga kalau ketulusan Aini begitu dalam."Aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati, tapi aku yakin lebih sakit menjadi seorang perempuan ternoda karena sebuah tindak kejahatan. Aku bahkan tidak membayangkan kalau itu terjadi padaku." Aini tersenyum menatap bola mata Sinta yang tidak berkedip."Kamu pikir, mudah menerima Fadhilmu berbagi hati, Aini?" Sinta yang terlihat sedikit gemukan kembali bertanya.Sinta memang perempuan tegar. Saat dia mendapati Heru suaminya berselingkuh dengan Mirna, dia mantap memilih hidup sendiri dan menggugat cerai. B
Adakalanya ujian Allah hadirkan, agar seseorang mengerti caranya berjuang dan bersyukur, cinta dan keikhlasan.***Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Udara di luar yang menerobos lobang angin di kamar yang ditempati Aini, terasa lembab. Hujan yang turun di sore hari menguarkan bau tanah dan semerbak bunga yang banyak tumbuh di halaman rumah.Wajah Aini memerah sendu saat matanya kembali menyapu ruangan kamarnya yang sepi.Ruangan kamar yang di dominasi warna putih dan krem itu kini menyisakan lengang. Ruangan besar dan luas itu rasanya sepi tanpa tangis dan celoteh bayi mungil yang akan membuat suasana semarak dan hangat.Sejak Bella diambil kembali oleh Miranti rasanya hati Aini begitu sepi. Apalagi setahun pernikahan dengan dokter Fadhil seperti belum ada tanda-tanda dirinya hamil. Padahal kata dokter yang sempat Aini kunjungi untuk melakukan konsultasi, dirinya dan suami baik-baik saja. Hanya belum saatnya dan harus sedikit bersabar.Aini tahu, dia harus sabar menunggu
POV MirnaAku meraba pipi yang terasa panas dan sedikit perih. Tak menduga kalau Afwan, pria bucin yang selama ini puas kupermainkan hati dan perasaannya sanggup menamparku. Pria yang rela membohongi wanita sekaya Aini dan memilih hidup bersamaku, kini menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Sialan.Afwan menamparku demi membela Miranti? Perempuan jelek yang enggak ada manis-manisnya itu? Apa otak dia sudah sepaneng atau Oneng? Ibaratnya aku boneka Berbie dan Miranti boneka orang-orangan di sawah? Kalau sampai Afwan membela Miranti, pasti ada yang korsleting dengan otaknya. Aku mendengus dengan sisa rasa percaya diriku yang sempat hancur gara-gara tamparan Afwan.Tunggu. Kata Si Bibi yang membukakan gerbang rumah Miranti mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Apa betul pria setampan Afwan bisa jatuh cinta pada kakakku?Aku sangsi kalau Afwan benar mencintai perempuan songong itu dengan tulus. Kalau gak ada maunya pasti diguna-guna. Awas kamu Miranti, desis ku dalam hati penuh
Tak terasa dua bulan sudah semenjak Aini dan dokter Fadhil menikah, waktu begitu saja berlalu menyisakan sejuta kisah pahit dan manis silih berganti. Ada tawa, ada air mata, ada suka adapula luka datang dan pergi silih berganti.Itulah kehidupan ibarat panggung sandiwara semua peran berganti dengan sempurna. Adakalanya kita mendapat peran yang manis dan Penuh tawa ada pula peran yang pahit penuh air mata dan kecewa. Kita diciptakan beraneka warna oleh sang pencipta, agar kita sebagai makhluk bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah menjadi goresan takdir dalam hidup.Saat Allah ciptakan luka dan air mata, di sanalah Allah mengajarkan kita arti kesabaran, dan saat Allah menciptakan rasa bahagia dan canda tawa, di sanalah Allah tengah mengajarkan bagaimana rasa bersyukur dan berbagi.Afwan tepekur menatap sederet angka di layar ATM. Lama berdiri di depan mesin canggih itu, tidak juga merubah apapun. Saldonya tetap tidak berubah.Angka yang jauh dari cukup untuk biaya hidup sebul