Naura sedang berjalan menuju kubikelnya sambil membawa beberapa dokumen. Tiba-tiba saja pandangannya menjadi gelap dan kepalanya berputar-putar.“Ah apa yang terjadi ini, “ gumamnya sendirian sambil merasakan lemas pada lututnya.Bruk! Seketika ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Dokumen yang ia bawa berserakan di lantai. Naura pingsan! Insiden kali ini membuat semua rekan seprofesinya pun menghentikan aktivitas dan menoleh ke arah Naura.“Cepat! Cepat! Semuanya tolong Naura!” teriak salah seorang dari rekan kerjanya.Salah satu dari mereka memeriksa nadi Naura, dan merasa kalau pergerakan nadinya sangat lemah. Tubuh Naura mulai dingin dan berkeringat.“Sepertinya kita harus membawa ke rumah sakit!” ucap salah seorang dari mereka.Tubuh Naura yang ramping pun digotong oleh beberapa pekerja pria dan mengantarnya menuju mobil. Tampak dua pekerja pria dan seorang pekerja wanita mengantar Naura ke rumah sakit terdekat lantaran melihat kondisi Naura yang tak sadarkan diri.“Kamu kok b
“Bu Naura, Ibu dipanggil ke ruangan personalia,” kata salah satu rekan kerja Naura di saat ia sedang mengerjakan laporan yang sempat tertunda.“Saya? Ada apa ya?” tanya Naura tidak mengerti.Rekan kerjanya hanya mengangkat bahu. Sejak ia tiba di kantor hari ini, dia merasakan banyak sekali ketidaknyamanan. Situasi kantor telah berubah, tak lagi ramah terhadap dirinya.Naura pun berpikir apakah mungkin alasannya dipanggil HRD karena masalah gosip yang beredar di kantor kali ini? Kalau memang demikian berarti nasibnya benar-benar sial.Naura tak ingin menuduh ataupun menegur siapa yang telah menyebarkan gosip ini. Bagaimanapun juga insiden itu terjadi di kantor dan beberapa waktu yang lalu. Teman kerjanya juga yang membawanya ke rumah sakit dan berbicara dengan dokter yang menanganinya.Mereka juga yang mengurus administrasi serta surat ijin untuk HRD. Apalagi, asuransi yang digunakan Naura adalah fasilitas yang diberikan untuk kantor, sudah pasti semuanya diketahui oleh pihak kantor.“
Melihat foto di tangannya, Naura pun senyum-senyum sendiri. Semakin lama ia memperhatikan foto ini semakin besar pula ia mengingat aib yang telah dilakukannya.“Huh! Foto ini saksi kebodohanku masa itu. Namun aku tidak bisa diam, foto ini harus membuat Fajar bertekuk lutut. Enak sekali dia menggunakan tubuhku dan mengacaukan pernikahanku sekarang melarikan diri dari tanggung jawab,” gumam Naura sendirian.Saat ini ia pun mencoba mengambil napas panjang dan menenangkan diri. Saat pikirannya cukup tenang, Naura mulai merencanakan strategi balas dendamnya. Dia tahu bahwa langkah ini tidak boleh gegabah, tetapi harus dilakukan dengan bijaksana dan hati-hati.“Aku harus berpikir dengan jernih. Aku sudah pernah salah melangkah sebelumnya, dan sekarang aku tidak boleh melakukannya lagi,” gumam Naura sambil memijit kepalanya. Dia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri atau orang-orang yang tidak berdosa dalam proses ini.Saat ini Naura mengelus lembut perutnya sambil berkata, “Anakku, percayal
Naura duduk sambil menunduk di hadapan pria yang terlihat berwibawa ini. Naura harus menunjukkan ekspresi yang begitu menyedihkan agar layak untuk dikasihani.“Assalamualaikum Bu, apa yang bisa saya bantu?” tanya Pak Herdiawan ramah.“Waalaikumsalam, begini Pak perkenalkan nama saya adalah Naura Anindya. Namun sebelumnya saya ingin meminta maaf pada Bapak, karena apa yang saya sampaikan setelah ini adalah sebuah kepentingan pribadi.”Pak Herdiawan pun mengangguk-angguk dan mengarahkan tangan ke arah Naura, memintanya untuk melanjutkan pembicaraan. Naura kembali menggigit bibir dan menunjukkan dirinya adalah seorang yang tersakiti. Kemudian ia pun menghembuskan napas panjang lalu mengangkat wajahya perlahan-lahan.“Sebelumnya saya minta maaf, karena saya pernah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dengan karyawan Bapak. Saya memiliki hubungan terlarang dengan karyawan bapak, Fajar yang sebelumnya menjadi kepala cabang di PT.Gilang Persada, cabang kantor Wahidin.”Pak Herdiawan pun m
Fajar masih duduk memperhatikan layar ponselnya begitu selesai mendapat telepon dari Pak Herdiawan. Menurut jadwal seharusnya dia tidak perlu ke kantor hari ini karena harus menyiapkan diri sebelum dipindahkan tugas ke luar kota.Namun, Fajar berusaha mengingat apa yang telah dilakukannya yang bisa menyebabkan panggilan ini, tetapi tidak ada yang terlintas dalam pikirannya. Ah mungkin saja ada beberapa hal yang harus dipelajari, lagipula ini adalah panggilan dari bos tidak seharusnya ia menunda.“Mungkin juga ini berkaitan dengan kepindahanku. Benar, Pak Herdiawan terkenal sebagai pria yang bijaksana, tidak mungkin beliau akan membiarkan stafnya salah langkah di sana,” gumam Fajar kemudian segera mengganti pakaiannya dengan setelan kerjaTak mau menunda, Fajar pun langsung mengemudikan mobil menuju kantor. Dengan perasaan cemas, Fajar segera berjalan menuju ruang dewan yang berada di lantai atas kantor.Fajar mengetuk pintu ruang rapat, sesuai dengan arahan Pak Herdiawan. Dengan sedik
Tes DNA? Perkataan itu berulang kali muncul di kepala Fajar, bahkan ia sendiri tidak pernah memikirrkan tentang Tes DNA. Fajar pun tiba-tiba mematung, bibirnya seakan terkunci.“Ngg ngg kita akan mengadakan tes DNA?” tanya Fajar entah apa maksudnya.Pak Herdiawan mengangguk, “Hmm ya benar, kita akan mengadakan tes DNA untuk mendapatkan pembuktian siapa yang berbohong di sini. Sesuai perkataan anda kalau Bu Naura telah memfitnah anda bukan?”Fajar mengangguk dengan cepat. “Benar Pak, tidak perlu mempercayainya. Lagipula ini adalah kantor seharusnya yang kita bahas adalah masalah pekerjaan. Bukan masalah perempuan ini!” seru Fajar.Pak Herdiawan hanya tersenyum, sama dengan Naura yang tersenyum getir. Namun pria bijak ini pun tak tinggal diam. Ia pun segera menanggapi ucapan Fajar. “Benar sekali Pak Fajar, kita memang seharusnya membicarakan pekerjaan di tempat ini. Seperti yang anda tahu kalau saya sangat menjunjung tinggi kejujuran dan norma kesusilaan. Saya tidak ingin perusahaan yan
Naura menghembuskan napas panjang sambil memperhatikan punggung Fajar. Sementara itu pak Herdiawan pun membuka pintu ruang dewan. Naura mengerti ini saatnya dia untuk pergi meninggalkan kantor.Apa yang dia inginkan saat ini sudah tercapai. Fajar sudah menderita, karirnya pun hancur saat ini.“Pak, terima kasih untuk bantuan yang Bapak berikan. Saya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan ucapan terima kasih pada Anda. Saya juga mohon maaf karena telah mengganggu waktu Bapak, dan tidak seharusnya masalah pribadi seperti ini dibicarakan di tempat kerja,” ucap Naura sambil berdiri dan bersiap untuk pamitan.“Tidak apa Bu Naura. Saya hanya bisa membantu dengan cara seperti ini saja, memepertemukan kalian berdua. Mengenai sanksi yang saya berikan terhadap Pak Fajar bukan sepenuhnya karena kedatangan Ibu. Namun sejak awal saya sudah menekankan pada semua karyawan saya dan secara tertulis ada pada perjanjian kerja kalau saya tidak akan mentolelir perbuatan asusila.”Naura mengangguk, “Saya
Bu Fatma pun langsung duduk semakin dekat dengan Naura. Wanita tambun itu pun langsung menepuk-nepuk pundak putrinya dengan penuh semangat. “Memangnya kamu punya rencana apa? Seingat Mama, kemarin kamu bermalas-malasan saat ke kantor polisi dan menjalani pemeriksaan.”Saat itu memang Naura berusaha untuk menolak permintaan ayahnya yang mendesaknya untuk melaporkan perkara ini pada pihak kepolisian dan menjalani visum. Saat itu Naura sanagt malu jika harus berbicara pada orang lain dan menceritakan apa yang terjadi kepadanya.Namun sekarang ini ia malah berterima kasih karena ayahnya. Gara-gara laporan itu, Naura jadi punya perlindungan.“Memang Ma, Papa sudah memaksaku untuk ke kantor polisi dan menjalani visum. Hasil visum sudah jelas kalau aku mendapatkan kekerasan dari Fajar, dan aku berencana untuk melanjutkan perkara ini,” kata Naura mantap.“Jadi kamu serius dengan keinginanmu untuk melaporkan Fajar? Membuatnya masuk penjara?”Naura mengangguk, “Ya, Ma. Aku tahu kalau Fajar tida
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap