“Kamu tenang aja sayang, aku pasti akan bahagiakan kamu. Aku nggak akan membiarkanmu menjadi bulan-bulanan orang lain, seperti itu!” seru Fajar sambil mengangkat dagunya dan mengarah pada Radit. “Janji ya sayang, kalau kita nikah nanti kamu harus tunjukin kalau bisa kasih anak ke aku!” Naura merajuk sambil mempererat pelukannya pada Fajar. Sengaja Naura menyindir Radit dengan harapan mantan suaminya itu pergi dan berhenti untuk mengganggu kesenangannya. “Pastilah sayang. Kemarin kan kita udah periksa kalau kita berdua sama-sama subur, apalagi aku juga masih muda, pasti lebih kuat donk!” tambah Fajar. “Tuh! Kamu udah dengar kan Mas, kalau laki-laki yang aku idamkan itu yang seperti ini. Seorang laki-laki yang bisa membahagiakan pasangannya bukan mempermalukannya!” tegas Naura sambil menunjuk ke arah Radit. Setelah itu mereka berdua pun tertawa begitu lantang sambil menatao Radit dengan tatapan yang meremehkan. Begitu banyak kalimat-kalimat buruk yang dilontarkan oleh Naura dan juga
“Kinan gimana, le?” tanya Bu Wuri saat melihat Radit menikmati sarapannya pagi ini. Kedua matanya masih sedikit merah karena kurang tidur, atau mungkin juga memikirkan nasib perasaannya sendiri. Pertemuan dengan Naura semalam benar-benar terasa menyesakkan bagi dirinya. Ia tak henti bertanya pada diri sendiri kenapa Naura bisa bertingkah sebegitu liarnya. Seharusnya Naura malu dengan perbuatannya, apalagi ia juga telah mencoreng nama baik ayah Naura. Meski mereka sudah bercerai, tapi Radit tetap saja menaruh rasa hormat pada ayah dan ibu Naura, bagaimanapun juga mereka adalah orang tua yang layak untuk dihormati. Malam itu ia benar-benar kalut sampai harus merenung cukup lama. Setelah memergoki Naura, ia hanya duduk di balik kemudi cukup lama, sampai akhirnya saat melewati rumah kos Mila, kondisi sudah sepi, dan tak mungkin baginya untuk menekan bel karena tak ingin menggangu kenyamanan penghunu lainnya. Saat itu Radit memaki dirinya sendiri yang terlalu meratapi Naura sampai-sa
Dengan langkah gontai, Mila pun berjalan menuju tempat kosnya. Ia masih ingat bagaimana teman-teman seprofesinya menatap dirinya dengan perasaan jijik seolah ia adalah seorang pesakitan. Berulang kali Mila menengok ke belakang dan yang ia lihat masih sama. Semua yang tidak sedang bekerja tampak melirik Mila dengan pandangan yang meremehkan. Bahkan ada juga yang masih menunjuk ke arahnya sambil bicara dengan rekan kerja yang berdiri tak jauh darinya. “Apa yang telah aku lakukan pada mereka. Apakah masa laluku ini mengganggu pekerjaan mereka?” tanya Mila dalam hati. Mila berpikir apa ada orang yang telah membuatnya dipojokkan seperti ini? Ia pun menghembuskan napas panjang dan berkata pada dirinya sendiri, apa mungkin Ridwan yang menyebarkan berita ini? Bukankah selama ini hanya Ridwan saja yang mengerti tentang kehidupan pribadinya. Ataukah mungkin Pak Radit yang telah menyebarkan cerita ini agar ia mau bekerja di rumahnya. Mila terus saja memikirkan siapa yang telah menyebarkan b
Radit mengambil ponsel dalam kantongnya yang bergetar beberapa menit lalu, begitu ia menemukan tempat yang pas untuk menepi. Kejadian kecelakaan beberapa waktu lalu membuatnya harus lebih berhati-hati dalam mengemudi. Tak mau menjawab telepon saat berkendara. Ia mendengkus, saat sebuah nomor tak dikenal muncul pada layar ponselnya. Sedikit menyesal karena harus menepi untuk menanggapi sebuah nomor yang tak dikenal. Namun ia tetap saja menghubungi nomor itu kembali, berusaha berpikir positif, mungkin saja itu nomor dari kliennya. "Halo, selamat siang," sapa Radit mengawali panggilan. "Eh ... Ngg selamat siang Pak Radit," jawab suara di seberang. Sekilas Radit seperti mengenali pemilik suara itu. Namun entah dimana, ia tak begitu ingat.Itu adalah suara seorang perempuan yang terdengar begitu lembut dan ada sedikit kegugupan, mungkin ini pertama kalinya perempuan itu menelepon Radit. "Maaf mengganggu Pak, saya Mila. Mila Ariani, bundanya Kinanthi," jawab pemilik suara lagi. "Oh
Mila sangat tersentuh dengan perhatian yang diberikan oleh Radit barusan. Hanya dengan melihat saja Radit sudah tahu kalau Mila memiliki beban yang begitu berat. “Eh bukan apa-apa Pak. Yah hanya masalah pekerjaan pada umumnya saja,” jawab Mila disambut anggukan Radit. Ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya pada Radit. Mereka baru saja berkenalan dan Pak Radit sudah memberikan kesempatan padanya untuk hidup lebih baik, tidak mungkin ia harus membebani pikiran pria itu dengan curhatan yang tak masuk akal. Saat ini pekerjaan dari Radit menjadi satu-satunya yang bisa membantunya untuk bertahan hidup. Setidaknya ini yang ada dalam pikirannya. Dalam hati Mila berkata semoga pekerjaan ini membuatnya nyaman dan hidup dengan tenang. Mila tidak mengerti kenapa ada soerang yang begitu tega untuk membuatnya terusir dari tempat kerjanya. Padahal selama ia bekerja tidak sekalipun melanggar aturan atau sekedar tindakan tidak disiplin. Selama bekerja pun Mila selalu berusaha untuk berlaku
Pagi ini Mila membuka jendela kamar tidurnya pelan-pelan. Semalam ia sudah menyiapkan surat pengunduran diri yang nanti akan diberikan pada Pak Iwan. Kali ini keputusannya sudah bulat, ia akan bekerja di rumah Pak Radit. Meski semalam sempat menanyakan tentang hal konyol pada pria itu, tapi ia tahu kalau ada ketulusan dibalik sikap Pak Radit. “Huft! jika pekerjaan tidak kondisif lagi, tak ada salahnya menerima tawaran yang lebih baik. Demi menjaga kewarasanku,” gumam Mila sendirian. Jika Pak Radit tidak serius mempekerjakannya, mana mungkin dia akan terus mencarinya. Apalagi sekarang anaknya diadopsi oleh Pak Radit, wajar jika mencari kejelasan tentang status Kinanti. Mila berpikir tak ada gunanya merasa bersalah atau sungkan karena tinggal satu atap dengan Pak Radit. Ia harus sadar diri kalau kedudukanya di sana nanti bukanlah tamu, melainkan pekerja sama saja dengan seorang asisten rumah tangga. Sangat tidak sopan jika ia menganggap kalau Pak Radit memiliki niat lain terh
"Mas, aku nggak bisa datang kali ini. Terserah nanti keputusan pengadilan bagaimana, aku ngikut," tulis Naura pada pesan w******p Radit kemudian meletakkan ponsel pada pangkuannya. Radit memandangi layar ponselnya sekali lagi. Tak lagi ada rasa kecewa dengan penolakan dari Naura. Ia sudah tahu kalau saat ini dia bukan lagi prioritas utama bagi wanita berdagu belah itu. "Ya, tak apa. Terima kasih," balas Radit singkat. Naura yang menerima pesan dari Radit hanya bisa termenung karena terkejut. Walaupun sudah tak ada rasa cinta untuk mantan suaminya, tapi ia tak suka dengan tanggapan yang diberikan untuknya. “Hah, gitu aja?” gumam Naura. Harga diri yang tercipta karena kecantikan yang dimiliki membuat Naura memprotes apa yang dikatakan oleh Radit. Menurutnya, sang mantan suami seharusnya bertanya kenapa ia tak bisa datang. Bukannya dulu Radit begitu mencintainya? Apa semudah ini mantan suami melepaskannya? Memangnya kalau sudah pisah dengan Naura akan mudah mendapatkan wanita lai
Permohonan talak Radit akan Naura pun dikabulkan atas putusan vertex. Radit pun menyanggupi untuk membayar iddah Naura sebanyak enam bulan nafkah. Mahligai rumah tangga yang dibangun delapan tahun lamanya itu pun kandas sudah. Meski sangat disayangkan, tapi tak ada lagi kesedihan yang bisa ditunjukkan oleh Radit. Ia menanggapinya dengan sikap yang datar, melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. “Mungkin lebih baik seperti ini, untuk kebahagiaan bersama,” batin Radit sambil menghembuskan napas panjang. “Pak Radit, maaf saya tidak tahu bagaimana harus bersikap kali ini. Sebagai seorang profesional, saya cukup puas karena sidang kali ini tidak alot dan berjalan lancar. Namun saya juga ikut prihatin dengan apa yang menimpa klien saya,” ucap Pak Wandi, pengacara sambil menepuk pundak Radit, dan membesarkan hatinya. Radit hanya tersenyum getir, kemudian berkata, “Tidak apa-apa Pak. Yang meminta bantuan Bapak agar perceraian ini berjalan lancar juga saya. Sekali lagi terima kasih karena su
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap