Bayi Kinanthi seolah enggan untuk lepas dari gendongan Radit. Setiap kali bayi mungil itu diletakkan di atas pembaringan pasti akan menangis, namun saat tangan Radit menyentuhnya tangis itu pun sirna. Radit berpikir mungkin ini yang dinamakan sudah bau tangan, sebuah istilah yang sering didengar jika di rumah ada seorang bayi.Pria yang usianya mulai mendekati empat puluh ini pun akhirnya menemani Kinanthi sampai tertidur, baru kemudian berangkat ke tempat kerja. Tanpa ia sadari, Ibu Wuri diam-diam memperhatikan sambil membatin andai saja bayi mungil itu benar-benar bisa dimiliki.Tak dapat dipungkiri, wanita berusia senja ini mendambakan kehadiran seorang cucu. Kehadiran Kinanthi telah memberikan warna tersendiri bagi hari-harinya.Keinginan itu segera ditepiskan olehnya. Sebagai seorang Ibu, seharusnya dirinya berempati, bisa merasakan perasaan Ibu kandungnya yang jauh dari putrinya. Juga merasakan ketidak sempurnaan Radit yang belum bisa memiliki keturunan."Bu, Radit titip Kinan y
SUV putih itu sudah meninggalkannya dengan menyisakan karbon monoksida. Melanjutkan perjalanan, tapi bukan tujuan semula, mencari tempat untuk melancarkan rencana yang datang tiba-tiba. Sementara perempuan operator SPBU itu melanjutkan tugasnya.Pengendara SUV itu memilih memarkir mobilnya pada warung di samping SPBU. Menunggu sang operator SPBU selesai jam kerjanya.Agar tak curiga, ia membeli sebotol minuman kemasan dan gorengan untuk dinikmati di sana. Sesekali melirik ke arah SPBU."Huh sudah jam dua, tapi dia belum keluar juga. Mungkin sekarang dia lagi ganti baju atau ngobrol bareng teman-temannya kali," pikirnya sambil menikmati gorengan."Lagi nunggu Mas?" tanya pemilik warung."Iya Pak, nunggu teman saya yang kerja di situ," Ia menunjuk ke SPBU.Pria penjaga warung hanya mengangguk kemudian mengangkat bahu. Seolah apa yang ia katakan adalah dusta.Mungkin bagi penjaga warung, akan tampak aneh jika orang sepertinya memiliki kawan yang bekerja di SPBU. Namun, bisa jadi kawannya
Sejujurnya Mila senang dengan pertemuannya dengan Radit. Dalam hati ia sangat yakin kalau pria yang menemuinya memperlakukan putrinya dengan baik. Bahkan memberikan nama yang cantik untuknya. Namun sebagai Ibu, ia tak bisa menyembunyikan rasa rindu akan putrinya. Radit melirik Mila yang berdiri di sampingnya saat memesan makanan. Mila yang ada di sana hanya cemberut dan memandangnya tak bersabat.Seharusnya memang tak ada alasan untuk Mila merasa kesal dengan Radit. Pria itu telah bertanggung jawab setelah mencelakainya.Mungkin ia hanya ingin melindungi diri dan memberi kesan kalau ia bukan perempuan gampangan."Kamu boleh kesal dengan saya, tapi tolong ini makanannya dibayar dulu. Dompet saya kan masih dalam tas kamu," kata Radit lirih sambil mendekat ke arah Mila.Saat itulah perempuan muda ini tersenyum malu dan mengeluarkan dompet milik Radit. "Ini Pak," katanya sambil menunduk malu. Mila kembali menerima dompet milik Radit setelah pria itu selesai membay
Radit segera meraih tangan Mila dan menahannya."Mbak, seorang Ibu tetaplah seorang Ibu.""Eh, maksudnya," balas Mila."Saya tahu keputusan Mbak untuk menyerahkan anak pada saya itu tidak mudah. Namun Mbak harus melakukan semua itu demi masa depan anak Mbak," jawab Radit.Mila terdiam, dalam hati membenarkan apa yang dikatakan oleh Radit."Namun Mbak juga tak bisa menyembunyikan perasaan Mbak sebagai seorang Ibu. Mbak pasti ingin melihat dan memeluk Kinanthi, saat melihat videonya tadi kan?"Mila terdiam dan kembali air matanya meleleh."Saya punya solusi buat Mbak," tawar Radit."Solusi?""Ya, Mbak tinggal saja di rumah saya bersama Kinanthi."Mendadak Mila membelalakkan matanya, terkejut dengan tawaran Radit. Namun ia sama sekali tak curiga kenapa pria ini bersikap begitu. Entah mengapa, ia tak tahu, hanya perasaan yang mendorongnya demikian.Mila masih menatap pria yang memegangi lengannya. Tatapan pria yang bersamanya itu terasa sangat teduh dan menyejukkan, tak ada maksud yang ter
Ridwan duduk di teras rumah orang tuanya sambil menghisap rokok putih dan ditemani secangkir kopi. Sampai saat ini ia masih tidak percaya apa yang dilihat olehnya tadi. Mila, perempuan yang selama ini telah mengisi hatinya tiba-tiba saja pergi bersama seorang lelaki dewasa dengan mobil yang bagus.Tak dapat dipungkiri kalau sebenaranya Ridwan sudah jatuh cinta pada Mila sejak pertama kali ia bertemu dengan perempuan itu. Saat itu ia tengah duduk menunggu giliran interview sebagai operator SPBU, kedatangan Mila yang tiba-tiba menjadi pemandangan yang segar baginya saat itu.Saat itu Ridwan menghentak-hentakkan kakinya dengan tempo yang lambat untuk menunggu kebosanan. Ketika Mila membuka pintu, rasa bosan pun langsung hilang. Naluri lelakinya pun berkata untuk mendekati gadis itu dan berkenalan.Ridwan mulai menyapa dan memperkenalkan diri sambil terus mencuri pandang pada wajah Mila yang putih dan bibir merah muda.“Mbak juga mau kerja di sini? Apa nggak masalah? Kerja jadi operator S
“Woy ngelamun aja. Emang kamu ngelamunin apa? Ngayal jadi orang kaya?” tegur Topan, tetangga sekaligus teman sejak kecilnya.Ridwan langsung menoleh dan memasang senyum dengan terpaksa. Tanpa basa basi, Topan yang melihat bungkus rokok terbuka pun langsung mengambil satu batang dan menyulutnya, “Join bro! Ngapain ngelamun malem-malem?” tegur Topan tiba-tiba.“Nggak ada apa-apa. Kamu sendiri ngapain? Besok masuk sore?” tanya Ridwan.“Hmm besok off, nih juga lagi cari angin bosen di rumah, emak ngomel mulu!”Ridwan hanya membalas dengan senyum yang tereksan dipaksakan. Kemudian pemuda ini pun menyisir rambut dengan tangan dan kembali menghisap rokoknya.“Eh gimana sama si cewek temen kerjamu itu?” tanya Topan membuka pembicaraan.Ridwan mengibaskan tangannya dan mengatakan, “Lupain aja. Dia ternyata sama dengan Vina, bahkan mungkin lebih parah. Heran, gimana aku bisa tertarik dengan perempuan panggilan seperti dia!”“Hah perempuan panggilan? Kamu jangan nagco!” balas Topan.Ridwan mengg
Sudah cukup lama Kinan berada di rumah ini dan menemani Ibu. Bayi yang dulu dibawa masih dalam keadaan merah dan kurang gizi sudah mulai berisi. Bahkan Kinan sudah bisa menyangga lehernya sendiri.Setiap pagi Kinanlah yang selalu menemani ibu berjemur. Walau dalam gendongan seorang ART, Ibulah yang memperkenalkan Kinan akan dunia luar. Ibu memberitahunya mana kupu-kupu, mana bunga dan lainnya.Sekarang ibu kandung anak itu sudah muncul dan bertemu dengan Radit, apa artinya anak itu akan dibawa pergi. Sejak ada Kinan ibu tak lagi kesepian, ia seperti kembali pada masa mudanya dulu. Walaupun repot, tapi ada kesenangan tersendiri baginya. Bu Wuri merasa dirinya begitu bersemangat.“Syukurlah kalau ibunya sekarang sehat-sehat dan sudah mulai bekerja,” ucap Bu Wuri kemudian terdiam lagi dan kembali raut wajahnya tampak tidak bahagia seperti sedia kala. Mata wanita ini tampak berkaca-kaca dan perlahan mencoba untuk mendongak perlahan. “Apa artinya Kinan akan dibawa pergi?”Radit tahu kalau
Hari sudah sangat gelap, dan kos Mila mulai terlihat sepi. Hanya terdengar beberapa langkah kaki dari penghuni yang baru pulang kerja shift kedua. Sementara Mila masih saja terjaga, di kepalanya masih banyak hal yang ia pikirkan. Esok ia harus tiba di SPBU jam enam pagi seperti biasa. Seharusnya saat ini ia sudah terlelap di alam mimpi, bukan termenung seperti sekarang. Sudah tiga hari seperti ini, tidur larut, setelah merenung sambil duduk bersandar dan melipat kaki. Semuanya terasa kosong baginya sekarang. Berulang kali Mila meratapi nasibnya dan menyesal dengan apa yang dialami sekarang. Namun apa itu berguna untuknya? Nasi sudah menjadi bubur. Saat bekerja pun ia seringkali melamun. Seolah banyak hal yang ada dalam pikirannya. Tak banyak bersenda gurau dengan rekan kerja saat istirahat tiba, seolah kehadirannya memang untuk dilupakan. Tak henti ia mengingat pertemuannya dengan Raditya. Terutama tentang tawaran menggiurkan untuknya. Ada perasaan iba saat mendengar penuturan Pak
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap