“Woy ngelamun aja. Emang kamu ngelamunin apa? Ngayal jadi orang kaya?” tegur Topan, tetangga sekaligus teman sejak kecilnya.Ridwan langsung menoleh dan memasang senyum dengan terpaksa. Tanpa basa basi, Topan yang melihat bungkus rokok terbuka pun langsung mengambil satu batang dan menyulutnya, “Join bro! Ngapain ngelamun malem-malem?” tegur Topan tiba-tiba.“Nggak ada apa-apa. Kamu sendiri ngapain? Besok masuk sore?” tanya Ridwan.“Hmm besok off, nih juga lagi cari angin bosen di rumah, emak ngomel mulu!”Ridwan hanya membalas dengan senyum yang tereksan dipaksakan. Kemudian pemuda ini pun menyisir rambut dengan tangan dan kembali menghisap rokoknya.“Eh gimana sama si cewek temen kerjamu itu?” tanya Topan membuka pembicaraan.Ridwan mengibaskan tangannya dan mengatakan, “Lupain aja. Dia ternyata sama dengan Vina, bahkan mungkin lebih parah. Heran, gimana aku bisa tertarik dengan perempuan panggilan seperti dia!”“Hah perempuan panggilan? Kamu jangan nagco!” balas Topan.Ridwan mengg
Sudah cukup lama Kinan berada di rumah ini dan menemani Ibu. Bayi yang dulu dibawa masih dalam keadaan merah dan kurang gizi sudah mulai berisi. Bahkan Kinan sudah bisa menyangga lehernya sendiri.Setiap pagi Kinanlah yang selalu menemani ibu berjemur. Walau dalam gendongan seorang ART, Ibulah yang memperkenalkan Kinan akan dunia luar. Ibu memberitahunya mana kupu-kupu, mana bunga dan lainnya.Sekarang ibu kandung anak itu sudah muncul dan bertemu dengan Radit, apa artinya anak itu akan dibawa pergi. Sejak ada Kinan ibu tak lagi kesepian, ia seperti kembali pada masa mudanya dulu. Walaupun repot, tapi ada kesenangan tersendiri baginya. Bu Wuri merasa dirinya begitu bersemangat.“Syukurlah kalau ibunya sekarang sehat-sehat dan sudah mulai bekerja,” ucap Bu Wuri kemudian terdiam lagi dan kembali raut wajahnya tampak tidak bahagia seperti sedia kala. Mata wanita ini tampak berkaca-kaca dan perlahan mencoba untuk mendongak perlahan. “Apa artinya Kinan akan dibawa pergi?”Radit tahu kalau
Hari sudah sangat gelap, dan kos Mila mulai terlihat sepi. Hanya terdengar beberapa langkah kaki dari penghuni yang baru pulang kerja shift kedua. Sementara Mila masih saja terjaga, di kepalanya masih banyak hal yang ia pikirkan. Esok ia harus tiba di SPBU jam enam pagi seperti biasa. Seharusnya saat ini ia sudah terlelap di alam mimpi, bukan termenung seperti sekarang. Sudah tiga hari seperti ini, tidur larut, setelah merenung sambil duduk bersandar dan melipat kaki. Semuanya terasa kosong baginya sekarang. Berulang kali Mila meratapi nasibnya dan menyesal dengan apa yang dialami sekarang. Namun apa itu berguna untuknya? Nasi sudah menjadi bubur. Saat bekerja pun ia seringkali melamun. Seolah banyak hal yang ada dalam pikirannya. Tak banyak bersenda gurau dengan rekan kerja saat istirahat tiba, seolah kehadirannya memang untuk dilupakan. Tak henti ia mengingat pertemuannya dengan Raditya. Terutama tentang tawaran menggiurkan untuknya. Ada perasaan iba saat mendengar penuturan Pak
Seorang wanita muda datang sambil membawa sekantong tas belanja dari sebuah departemen store dan menyerahkannya pada Radit. “Pak, ini pesanan yang Bapak minta,” ucap Novia sambil meletakkan tas di atas meja kerja Radit. Sejak Radit mendapatkan panggilan dari rumah sakit, ia memang seringkali berinteraksi dengan Novia untuk mengurus bayi itu. Novia juga yang banyak membantunya untuk membelikan perlengkapan dan susu bayi. Wanita itu kemudian mengeluarkan dompetnya dan mengambil kertas putih yang membungkus lembaran uang rupiah dan menyerahkannya pada Radit, “Pak ini sisa uang dan nota belanjanya. Bapak bisa cek jumlah dan harga barangnya, tag masih terpasang kok!” “Nggak usah Nov, saya percaya sama kamu. Ini kembaliannya buat kamu aja, hitung-hitung gantiin bensin suamimu!” balas Radit sambil menyodorkan uang 128.000 yang terbungkus nota belanja. “Pak, nggak usah repot, saya iklas untuk bantu bapak. Saya maklum kalau Bapak tidak tahu selera ibu-ibu muda, suami saya juga ngerti
Radit kembali melirik jam di pergelangan tangannya. Hidangan yang dibawa olehnya telah disusun kembali ke dalam tas platik. Mila berencana untuk membaginya dengan ibu kos dan para penghuni yang sejak tadi mengintip dari depan kamar mereka. “Mil, ini sudah malam. Saya pulang dulu ya, nggak enak sama ibu kos kamu!” pamit Radit padahal sekarang masih jam sembilan malam lebih sedikit. Mila mengangkat wajahnya perlahan dan sedikit terkejut. Sepertinya ia terlalu senang dengan apa yang diterimanya kali ini.Apa yang diterimanya hari ini sedikit banyak memberinya kebahagiaan lebih. “Iya Pak, makasih ya sudah membawakan ini semua untuk saya. Tapi ini bukan berarti sogokan agar saya mau menerima tawaran Bapak kan?” tanya Mila kembali ketus seperti biasa. Dalam hati Mila berkata kalau ia harus bisa membentengi dirinya sendiri. Apapun yang terjadi, sebaik apapun seorang lelaki, ia tidak boleh dengan mudahnya terhanyut. Tidak ada kesempatan untuk membuat kesalahan yang sama. Radit tertawa mel
Tersadar Ridwan pun mengejar Mila kembali ke rumah kosnya. Tepat di saat ia tiba, Mila sudah mulai menutup pintu pagar. Ridwan pun menocba untuk menahan, “Mil, tunggu dulu, kita harus bicara!” Mila pun melengos dan berkata dengan ketus, “Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, sekarang udah malam!” Namun Ridwan tampak berusaha untuk mendorong pintu pagar Mila. Dengan sekuat tenaga tangan Mila pun balas mendorong agar Ridwan pergi dan membatalkan niat untuk datang ke tempatnya. “Apa kamu nggak punya aturan? Jam segini waktunya istirahat!” Saat ini Ridwan melepaskan tangan dan berkacak pinggang, “Oh, kalau aku yang bertamu kamu bilang udah malam. Sedangkan kalau dia yang bertamu kamu terima? Mentang-mentang dia orang kaya dan memiliki mobil bagus, maka kamu dengan semena-mena membedakan antara aku dan dia?” “Kamu salah Ridwan. Ini sudah malam, lagipula Pak Radit sudah pulang dari tadi, dan kamu jam segini masih saja berada di depan pagar. Bukankah ini semakin malam?” balas Mila. “Ka
Mila menghembuskan napas panjang, kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Ridwan. Ia tidak mau mendengar apapun lagi dari laki-laki itu. Meskipun sebenarnya ia menebak kalau Ridwan memiliki perasaan terhadapnya, tapi itu tak ada gunanya. “Lebih baik kamu pulang dulu! Aku nggak enak sama yang lainnya!” “Mil,” panggil Ridwan. “Pulanglah Rid!”pinta Mila sekali lagi. Tanpa menunggu persetujuan Ridwan Mila langsung menutup pintu pagar dan berbalik meninggalkannya pergi. Mila masih bisa mendengar bagaimana Ridwan meneriaki namanya untuk meminta maaf. Namun sekali lagi, Mila tidak mau menoleh sedikitpun ke arah Ridwan. Ia malah berpura-pura untuk tidak mendengarkan apapun. Mila pun langsung menuju kamar tidurnya dan meletakkan hadiah yang diberikan oleh Radit. Setelah itu, ia pun menuju dapur dan segera mengurus makanan dari Radit. Mila pun membagi makanan yang diberikan Radit kepada ibu kos dan juga teman-teman sesama penghuni kos. Walaupun dia tidak akrab dengan mereka, tapi tak
“Mila … Mila tunggu dulu!” seru Ridwan begitu melihat Mila sudah mengenakan jaket hoodienya dan bersiap meninggalkan area SPBU.“Mil, kamu mau kemana? Ayo ikut!” ajaknya setengah memaksa begitu mendapati Mila. Kali ini ia bahkan lebih berani dan meraih tangan Mila, tak peduli kalau mereka saat ini masih berada di tempat umum.Mila ternganga melihat apa yang dilakukan oleh Ridwan. Berani sekali dia meraih tangannya diam-diam. Sedetik kemudian Mila tersenyum dan melepaskan tangannya secara perlahan, “Ini masih di tempat kerja,” tolaknya secara halus.“Oh, iya Mil, aku sampai lupa dengan hal ini,” jawab Ridwan malu-malu.Mila hanya menanggapi dengan senyum kemudian berpamitan untuk pulang ke kos karena ia harus mengerjakan sesuatu. Namun baru selangkah ia sudah ditahan oleh Ridwan, Mil tunggu dulu. Aku mau bicara.”“Kamua mau ngomong apa?”“Kita nggak bisa omongin di sini!”Mia mengerutkan alis, “Kenapa?”“Ini soal semalam. Maksudku kita harus membicarakan masalah kemarin. Mmm kemarin ad
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap