Prabu membeku. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Puspita membentur dadanya seperti palu godam.“Mereka… datang ke apartemen sebelum Irena dibawa ke rumah sakit?” gumamnya nyaris tak terdengar.Puspita mengangguk kuat. “Iya, Bang. Aku berani bersaksi karena aku membersamai mereka. Kami tidak tahu jika Abang baru saja mengantar dokter Irena ke rumah sakit. Kami baru tahu setelah bertemu Mbak Sri dan Chiara di sana.”Sekali lagi Prabu tertegun. Saat itu ia memang buru-buru membawa Irena dengan segala kepanikannya. Tidak memperhatikan sekitar.“Kalau Abang tidak percaya,” lanjut Puspita sambil menatap mata kakaknya lembut, “silakan periksa CCTV di apartemen.”Suasana mendadak sunyi. Bahkan suara mesin inkubator terasa nyaring di tengah keheningan itu. Prabu membeku, menatap wajah Puspita dengan sorot masih tak percaya, lalu menoleh perlahan ke arah Oma.Wanita tua itu masih berdiri di sana dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Matanya sembap, tapi dalam sorotnya, Prabu menemuka
Prabu terpaku. Cangkir di tangannya nyaris jatuh jika tak segera ia letakkan ke meja. Ia menoleh ke Puspita, yang langsung menghindari tatapan itu. Sementara Opa dan Oma menatapnya dengan sorot penuh harap.Prabu menghela napas berat. Seberat beban dalam dadanya.“Aku baru saja kehilangan istri. Bahkan belum genap sepuluh hari. Aku belum mau memikirkan hal itu,” kilah Prabu lelah. Ia tidak mengira jika keluarganya berharap seperti itu.Ya, ia yakin jika semua keluarganya mengharapkan ia menikahi Andini. Buktinya, Puspita dan Opa juga diam saja, tak memberikan komentar apa pun. Ia sangat yakin jika semua orang sepemikiran. Hanya saja mewakilkan semua pada Oma karena tahu, ucapan Oma adalah yang paling ia dengar.Oma ikut-ikutan menghela napas berat.“Oma tahu. Kami sangat tahu hal itu, sakit ditinggalkan memang tidak ada obatnya. Hanya saja perlu kamu ingat, rasa sakit melihat darah daging kita tumbuh dalam ketimpangan kasih sayang akan lebih menyakitkan nantinya. Kami tidak mau meliha
Prabu membeku di tempatnya. Ia seperti baru saja dijatuhkan dari tempat tinggi tanpa sempat bersiap. Napasnya tercekat, tenggorokannya mengering. Kalimat Andini masih bergema di telinganya."Kami akan segera berangkat setelah semuanya selesai." Berangkat? Mereka benar-benar akan pergi?Keheningan bercampur dengan dinginnya suhu ruangan semakin membalut luka di hati Prabu. Ia menggenggam besi pembatas ranjang pasien erat. Jemarinya menegang, seperti hendak menahan sesuatu yang hendak pecah di dalam dadanya.“Din…” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Kau benar-benar yakin akan membawa Chiara pergi?”“Tentu saja.” Andini menjawab masih dengan suara datar.“Lalu, bagaimana dengan amanat Irena? Bukankah kakakmu meminta kita menjaga Chiara dan Raja sama-sama?”“Bukankah aku sudah pernah bilang sebaiknya kita berbagi tugas, Mas?”“Apa kamu tidak ingin membantu mengurus Raja?”Andini diam sejenak. “Aku tidak bisa terus-terusan di sini. Aku punya pekerjaan. Punya tanggung jawab. Makanya aku
Prabu berjalan lunglai kembali ke ruang NICU. Kalimat penolakan Andini terus terngiang di telinganya saat ia menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.“Aku bawa mobil sendiri, Mas. Tidak usah khawatir. Aku hanya minta satu hal, tolong segera urus surat pindah sekolah Chiara. Aku ingin semua beres sebelum kami berangkat.”Kalimat itu disampaikan Andini tanpa sedikit pun nada benci atau amarah. Justru terlalu tenang. Dan ketenangan itulah yang menusuk paling dalam.Prabu mengangguk pelan, menahan napas yang rasanya mulai sesak di dada. Ia tak bisa memaksa. Tidak setelah semua yang terjadi.Oma, Opa, dan Puspita hanya menatapnya dari kejauhan, tak ada satu pun yang berani bicara. Tatapan mereka penuh luka dan iba, tapi mereka memilih diam. Mereka tahu, satu kata saja bisa jadi pemicu amarah Prabu yang tengah rapuh. Dan mereka tidak ingin Prabu kembali menjauh dari mereka. Tidak lagi. Mereka juga tak ingin memaksakan lagi kehendak. Hanya bisa berdiri di sampingnya apa pun keputusannya.L
Prabu berdiri di ambang pintu kamar, mematung. Pintu terbuka, dan dari celah itu, terlihat punggung Andini dan Chiara yang tengah sibuk berkemas. Koper besar terbuka di atas tempat tidur, dan beberapa kardus kecil diletakkan di lantai, sebagian sudah ditutup dengan lakban.Hati Prabu terasa hampa. Seperti ruangan itu—tak lagi memiliki sisa tawa, tak ada jejak yang bisa ia pertahankan.Andini melipat satu helai baju kecil milik Chiara lalu menaruhnya di dalam koper. Gerakannya tenang, rapi, tanpa suara. Tapi justru dari ketenangan itu, Prabu bisa membaca begitu banyak hal: luka yang ditekan, kecewa yang disembunyikan, dan entah apa lagi.Chiara duduk di lantai sambil memilih beberapa buku dan mainan kesukaannya. Anak itu terlihat sangat tenang dan menurut. Tidak terlihat sedih, protes, apalagi tantrum. Begitu pandai Andini memberi pengertian. Prabu angkat jempol untuk itu.Di samping anak itu, sebuah bingkai foto diletakkan hati-hati: foto keluarga mereka. Prabu, Irena yang sedang meng
Langkah Prabu terhenti di depan pintu apartemen. Napasnya memburu, dada sesak menahan harap yang mulai menipis. Ia langsung menerobos masuk setelah Mbak Sri membuka pintu. Kakinya refleks melangkah menuju kamar Chiara, tempat mereka biasa tidur selama ini.Kosong.Selain Mbak Sri yang menatapnya sendu dari balik pintu, tak ada sesiapa pun lagi di sana.Ruang itu terasa asing, sepi, dan dingin. Koper-koper, kardus, mainan—semuanya telah lenyap. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi masuk, menyinari ruangan dengan suram. Bekas-bekas keberadaan mereka pun seperti telah disapu bersih waktu.“Andini… Chiara…” gumamnya pelan, suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ia bergegas keluar dari kamar itu, menelusuri ruang demi ruang seperti masih berharap menemukan bayangan mereka. Tapi tidak ada. Bantal-bantal sudah ditumpuk rapi, lemari pakaian kosong, bahkan sandal kecil milik Chiara pun tak tampak di dekat pintu.“Kalian… sudah pergi?” bisiknya lagi, kini dengan suara
“Kalian di sini?” suara Prabu tercekat, nyaris tak terdengar.Tubuhnya masih setengah membungkuk, napasnya tersengal. Pandangannya menangkap dua sosok di ujung lorong ruang NICU: seorang perempuan berkerudung dengan balutan coat cokelat muda, dan seorang gadis kecil yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memeluk boneka.Andini. Chiara.Sementara di sekitar mereka, berkumpul sepasang orang tua, sepasang suami istri muda, dan juga seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Semua orang itu kini menatap Prabu yang masih terduduk lemas di lantai rumah sakit.Prabu memejamkan matanya setelah memastikan bahwa pandangannya tidak salah. Ia memejamkan mata seolah ingin membuang rasa sesak yang bertubi-tubi datang yang nyaris merenggut nyawanya.Prabu masih memejam sampai sentuhan kecil terasa di pundaknya.“Papa kenapa?”Prabu membuka mata dan mendapati gadis enam tahun yang memeluk boneka itu berdiri tepat di hadapannya.“Kenapa Papa nangis? Kenapa Papa lari-lari?” tanyanya lagi dengan tatap
Seminggu berlalu …Mendung menggantung seolah ikut merasakan kesedihan yang masih membekas di hati banyak orang. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk menghapus luka, terutama kehilangan sebesar Irena. Tapi hidup tak menunggu siapa pun. Dan hari ini, Prabu akan mengucapkan janji baru di hadapan penghulu.Di ruangan kecil yang menjadi bagian sebuah masjid, Pram berdiri di samping kakak iparnya. Ia memandangi Prabu yang duduk tegang menunggu Andini didandani di dalam sana. Wajah kakak iparnya itu serius, matanya tampak lelah.“Bang …,” panggil Pram pelan tapi tegas. “Bawa santai saja,” lanjutnya seraya menepuk pundak Prabu.Prabu tidak menjawab. Hanya berkedip lemah. Meski sangat ingin pernikahan ini terjadi, tentu saja hatinya masih bertentangan. Kalaupun ia kemarin berjuang keras meyakinkan Andini agar mau menikah dengannya, semua karena amanat Irena dan juga demi kebaikan anak-anaknya. Bukan karena perasaannya terhadap wanita itu.Terkadang ia merasa bersalah pada adik iparnya itu.
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p