Halo teman2, adakah yang masih membaca cerita ini? Terima kasih yang masih mengikuti. semoga selalu sehat dan lancar puasanya (bagi yang menjalankan)
Andini memacu mobilnya menuju rumah sakit tempat Irena bekerja. Sudah cukup rasanya bicara dengan Siska meski tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia percaya saat Siska mengatakan sudah tak lagi berhubungan dengan Radit. Ia juga percaya Siska tidak tahu keberadaan Chiara.Semakin lama ia bicara dengan wanita itu, hanya akan membuka lukanya lebih dalam lagi. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Sebagai sesama wanita, Andini cukup mengerti apa yang dirasakan Siska.Andini memukul handel stir. Darahnya terasa mendidih. Radit. Di matanya benar-benar bajingan. Bagaimana ia bisa melakukan hal setega itu pada Siska setelah memperlakukan Irena dengan buruk pula? Benar-benar pria brengsek karena memaksa Irena rujuk dengan menyembunyikan anaknya. Dan … gongnya dari semua perbuatan sang pria, Radit meminta dirinya yang menikah setelah Irena menolak rujuk.“Gila! Benar-benar gila!” gumamnya dengan gigi gemeletuk. “Pengecut!” lanjutnya. Ya, hanya pria pengecut yang menyembunyikan anak dari ibunya
“Iren?”“Mbak Iren?”Untuk beberapa lama dunia seakan berhenti berputar. Semua orang mematung di tempatnya. Kecanggungan menyelimuti. Tangan Prabu yang baru saja memeluk Andini terangkat dengan gemetar. Sementara wajah Andini memucat. Gelas di tangannya sampai terjatuh mengenai punggung kakinya.Tidak terasa sakit sama sekali karena sesuatu yang lebih besar tengah terjadi di dadanya.“Iren … ini tidak seperti yang terlihat ….” Akhirnya Prabu buka suara setelah berjalan menghampiri Irena. “Aku … aku kira dia adalah kamu,” lanjutnya sambil menggeleng. Tatapannya mengiba.Irena tidak menjawab. Hanya menatap suami dan juga adiknya penuh selidik sebelum kemudian berucap, “Din, besok-besok jangan memakai bajuku lagi.”Setelah mengatakan itu, Irena berlalu dari sana. Membawa langkahnya kembali ke kamar. Prabu gegas menyusul dengan berlari, sementara Andini memejamkan matanya. Menjatuhkan bokongnya dengan lemas di salah satu kursi meja makan.Sungguh, ia masih belum bisa meredakan dadanya yan
“Mbak Iren…!” Andini berteriak sambil berlari keluar kamar, menuju kamar Irena. Sesampainya di sana, ia langsung masuk tanpa mengetuk lebih dulu. Kabar yang ingin ia sampaikan sangat penting hingga tidak berpikir panjang.“Mbak….” panggilnya lagi seraya masuk lebih dalam ke kamar kakaknya. “Mbak Ir….” Mulutnya seketika berhenti bersuara, lidahnya mendadak kelu, dan kakinya mematung di tempat saat bukan Irena yang ia dapati di sana, melainkan… suaminya.Bola mata Andini melebar, jantungnya terasa berhenti berdetak. Bagaimana tidak? Di sana, di samping ranjang Irena yang besar, berdiri Prabu dengan tatapan kaget. Pria itu bertelanjang dada. Hanya celana pendek yang membalut tubuh bagian bawahnya.Hening. Seolah dunia sudah kehilangan semua isinya, sebelum jeritan Andini membahana, disusul tubuhnya yang berbalik dan berlari kembali keluar kamar.**“Ceritakan sama Mbak apa yang terjadi?” tanya Irena lembut, meski terdapat kerutan di antara kedua alisnya.Wanita itu duduk di samping Andin
Irena menelan ludah, langkahnya semakin cepat mendekati salah satu petugas keamanan yang berdiri di depan gerbang tinggi menjulang. Rasa tidak sabar yang menggelayuti hatinya semakin sulit dibendung. Prabu membuntutinya dengan sorot mata waspada. Sementara Andini memilih tetap di dalam mobil untuk menenangkan dirinya lebih dulu."Permisi, Pak," sapa Irena dengan suara yang terdengar ramah, meski ada getaran cemas yang samar di dalamnya. Ia berusaha menahan gejolak emosinya, tetapi dadanya terasa sesak.Petugas itu menoleh, lalu menatapnya dengan mata tajam. "Iya, Bu. Ada yang bisa dibantu?" balasnya sopan, meskipun tetap dalam kewaspadaan.“Kami mencari seseorang, bolehkah kami masuk?” Irena langsung ke inti pembicaraan.Petugas itu tidak segera menjawab. Ia memindai Irena dari atas ke bawah dengan sorot mata penuh selidik. Hal itu membuat Prabu yang berdiri di samping istrinya merasa tidak nyaman. Meskipun petugas itu tidak menunjukkan niat buruk, tetap saja Prabu tidak rela ada pria
Andini mengintip dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Terlihat di sana sang kakak meringkuk di bawah selimutnya. Tadi Irena sangat emosional, histeris hingga tubuhnya akhirnya ambruk. Prabu membopong dan memutuskan membawanya lagi pulang. Pria itu membuka sepatu dan menyelimuti kakaknya sebelum sibuk dengan teleponnya.Dari sini Andini bisa melihat bagaimana paniknya Prabu dengan kondisi Irena. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Prabu yang gelisah walaupun Irena sudah tertidur. Pria itu terus mondar-mandir sembari menelepon berkali-kali.Andini menarik diri. Bersandar lemas di luar kamar Irena, wajahnya menengadah. Ia bisa merasakan bagaimana kalutnya Irena karena ia yang bicara langsung dengan Chiara. Jika berada di posisi Irena, mungkin ia akan lebih kalut dari ini.Satu hal yang ia syukuri, Irena sudah punya seseorang yang mendampinginya di saat seperti ini. Lihat bagaimana Prabu begitu panik melihatnya terpuruk. Sangat jelas jika Prabu begitu mencintainya. Itu pantas untuk Irena.
"Mas Prabu?" Andini memekik saat pandangannya tertumbuk pada pria berkemeja hitam yang tatapannya tajam terhujam ke arahnya. Sejenak, Andini terpaku, mencoba menalar kehadiran pria itu di sini. Bukankah Irena hari ini sedang beristirahat di rumah? Lantas, kenapa Prabu ada di sini sendirian?Andini mengerjap, lalu menghampiri sang pria setelah meminta waktu dulu pada penjaga yang sejak tadi bicara dengannya.Ia menarik tangan Prabu untuk dibawa menjauh dari sana. Bagaimanapun, penjaga semalam sudah bertemu Prabu dan Irena, mereka pasti sudah di-blacklist dari daftar tamu karena semalam Irena histeris di sana."Kamu ngapain di sini?" tanya Prabu setelah Andini melepaskan tangannya. Suaranya terdengar dalam, sarat dengan ketidakpercayaan.Andini menelan ludah, mengangkat dagunya dengan tenang meski jantungnya mulai berdegup cepat.“Aku yang harusnya tanya, ngapain Mas Prabu di sini?” Andini balik bertanya sambil menengadah. Menatap sepasang mata sang kakak ipar yang… tak kuasa ia tatap l
Andini memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya ia melajukan mobil. Tidak mungkin, bukan, ia menendang Prabu dari dalam mobilnya di sini? Akhirnya, meski kesal dan berbagai perasaan lain berkecamuk di dadanya, ia membawa serta pria itu di dalam mobilnya.“Bagaimana kalau kita ke restoran itu?” tanya Prabu begitu mobil melaju keluar pelataran bangunan rumah susun itu.Andini menoleh cepat dengan mata melotot. Namun, melihat gelagatnya, Prabu gegas mengangkat tangan.“Hei, slow, dong. Mas tidak bermaksud apa-apa. Mas hanya ingin mengajakmu mengawasi Radit. Siapa tahu memang benar dia tinggal di sana. Hanya saja meminta keberadaannya dirahasiakan dari siapa pun. Kalau kita menunggu di sana, kita bisa melihat semua orang yang keluar masuk gerbang itu.” Prabu menjelaskan dengan lembut dan runut. Ia mulai mengenali watak adik iparnya yang berbanding terbalik dengan istrinya itu.Andini yang kasar dan cepat tersulut, harus dihadapi dengan tenang dan lembut. Jika sama-sama keras, hanya ak
Suasana mendadak hening dan tegang. Suara Andini menarik perhatian orang-orang.Prabu tersentak, tangannya langsung terangkat seperti seorang penjahat yang tertangkap basah. Tatapan para pengunjung restoran kini terarah pada mereka, membuatnya semakin salah tingkah. Dengan gerakan hati-hati, ia menunjuk ponsel Andini yang masih berkedip di atas meja.Andini mengernyit, lalu menoleh ke ponselnya. Matanya membulat begitu melihat nama yang tertera di layar. Tanpa pikir panjang, ia langsung meraihnya dan menekan tombol hijau. Sambil berjalan cepat keluar restoran, Andini mengabaikan Prabu yang masih berdiri di tempatnya dengan napas tertahan.“Halo, iya, Mas?” Suara Andini saat mengangkat panggilan masih dapat Prabu dengar. Mata wanita itu mengerling kesal sebelum meninggalkannya.Prabu mengembuskan napas kasar. Perempuan itu bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Ia melirik ke meja, lalu buru-buru merogoh saku celana dan menaruh beberapa lembar uang kertas merah sebelum me
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p