“Loh, Mama belum tidur.”Sam yang baru saja masuk ke dalam apartemen kaget saat mendapati Mamanya masih duduk di sofa ruang tamu sembari menonton televisi padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.“Belum.” Mamanya berdiri menyambut. Sam memeluk Mamanya dengan erat dan mendaratkan kecupan singkatnya di atas kepalanya lalu menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri.“Apa Boram sudah tidur,Ma?” tanya Sam, menyampirkan jasnya di sandaran sofa dan berjalan ke dapur untuk mengambil minum di bawah tatapan mata Mamanya.“Sudah dari tadi. Mungkin kecapean karena seharian ini ada di luar.”“Oh.” Sam mengangguk mengerti.“Mama panaskan spaghetinya ya untuk makan malam kamu.”Sam mengangguk. Meskipun tadi dia sudah makan tapi dia tidak akan menolak makanan dari Mamanya yang jarang-jarang bisa datang ke Indonesia karena di Singapura sana Mamanya juga sibuk dengan bisnis butik kebayanya.“Sam mau bersih-bersih dulu. Mama tunggu ya.”“Iya,” balas Mamanya dari arah dapur.Sam masuk ke dala
“Kenapa dia belum juga datang?”Sam melihat jam tangan lalu menoleh ke pintu kantornya yang masih tertutup. Seharusnya siang ini Nina akan datang ke kantornya lagi untuk membicarakan beberapa hal. Setengah jam yang lalu wanita itu sudah mengabarinya lewat pesan kalau dia datang tapi ternyata sampai saat ini pun wanita itu belum muncul juga.Sam mencoba untuk menghubunginya tetapi tidak ada yang mengangkat. Sam memutuskan jika setengah jam lagi Nina belum datang maka dia yang akan mencoba mencari rumahnya.Sam kaget saat mendapati ponselnya berdering yang langsung di angkatnya.“Halo….”“Tolong,Pak. Dia datang ke rumah…”“Bu Nina..” Sam mencoba memanggil Nina namun sayang sambungan sudah terputus. Firasatnya langsung merasa tidak enak. Tanpa pikir panjang, Sam bergegas mengambil jas dan kunci mobilnya kemudian berlalu pergi untuk mencari alamat Nina dan tiba di sana kurang dari setengah jam. Pintu garasi terbuka, tidak ada satpam yang berjaga di tempatnya dan pintu depan juga nampaknya
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja