Aku terbangun, seiring dengan suara Nizam yang seolah sedang terusik, menggeliat, dan sedikit meringik.Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, aku meraihnya dalam dekapan, menenangkan. Demam. Suhu tubuh Nizam kembali naik, bahkan semakin tinggi. "Ya Allah, Nizam." Aku berlari keluar kamar, membawa Nizam dalam dekapan menuju kamar Ibu yang masih tertutup. Kuketuk pintu dan kupanggil nama Ibu. "Bu." Tak ada jawaban. Kembali kuketuk pintu lebih keras dan memanggilnya pun dengan suara yang lebih keras lagi. Namun sama. Tak ada jawaban. Kutengok jam dinding waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Aku pun mendesah lelah, pastilah Ibu sedang nyenyak-nyenyaknya, pintu pun dikunci dari dalam dan itu memang sudah menjadi kebiasaan.Aku kembali ke kamar, memakai hijab dan sweater tebal untuk menutupi piyama yang hanya sebatas lengan. Kuambil gawai dan memesan taksi online. Kemudian kusambar tas begitu taksi sudah berada di depan.Tak lupa beberapa keperluan Nizam aku bawa, keperluanku bisa
Mereka menoleh cepat ke arahku. "Anyelir ...." Lirih, namun masih bisa kudengar suara itu keluar dari bibir Dokter Megan yang menatapku entah.Aku pun berjalan mendekati Nizam yang masih terbaring, lemas seperti tak ada daya. Mereka tampak memberi jalan. Kulihat infus sudah terpasang. Namun, Nizam masih tertidur pulas. Menangis pun tidak. Membuatku semakin was-was."Apa anak saya pingsan? Kenapa dipasang infus yang sudah pasti sakit sekali masih tidak bangun?" tanyaku sambil terus menyeka air mata yang keluar terus dari sudut mata ini tanpa jeda."Tenang, Bu, tadi bangun, kok, nangis sebentar. Sudah ditenangkan sama dokter Megan," terangnya, aku menoleh sekilas pada dokter Megan yang tersenyum samar di sebelahku. Kami memang dekat di dunia maya, namun saat bertemu, entah, canggung itu masih begitu kentara. Membatasi hubungan pertemanan yang terjalin hanya lewat WA."Terima kasih," ucapku menundukkan wajah. Ia mengangguk pelan."Sekarang kita bisa bawa ke kamar, Bu," ujar petugas yang
Setelah meletakkan tas di atas nakas. Ia meraih Nizam dari tanganku. Aku pun memberikan. Sudah buntu rasanya membuatnya tenang."Sssttt ...." Dia mulai menenangkan kemudian duduk memangku seraya menepuk bagian dada pelan. Setelahnya terdengar deheman dari penghuni sebelah."Nggak enak sama tetangga sebelah kalau terus nangis," keluhku setengah berbisik."Iya, tau.""Kenapa nggak ambil VIP biar bisa istirahat?" sambungnya."Penuh, baru ada yang kosong besok katanya.""Sudah pesan?" "Sudah.""Ini kenapa lampunya mati? Nyalain, tambah sumpek," perintahnya."Ssttt ... mungkin mereka biasa tidur dengan lampu mati, kita pendatang, jangan arogan," bisikku meletakkan jari telunjuk di bibir."Kenapa dia diam?" Kutonggokkan kepalaku ke arah Nizam yang terlihat tenang di pangkuan dokter Megan."Kamu salah gendongnya, nggak nyaman, di rumah siapa yang biasa gendong?""Saya lah.""Bohong."Aku menelan ludah. "Ya, Ibu." Aku pun mengaku. Aku hanya menggendong saat memberi Asi. Selebihnya, saat Ni
POV Megantara[ Assalamualaikum, Bu Lestari. Saya mau mengabarkan bahwa, Nizam terkena radang. Harus dirawat. Tadi Anyelir membawanya ke rumah sakit. Ibu tidak usah khawatir, saya menemani Anyelir, mereka baik-baik saja. Megantara ]Send.Kupandangi wajah yang sudah berbulan-bulan aku tak melihatnya. Selama itu pula tak jarang aku mampir ke toko kue miliknya hanya untuk sekedar ingin melihat wajahnya walau hanya sekilas saja, menyapa, kemudian berharap mereka mempersilahkan mampir sebentar. Namun nihil, sejak kelahiran Nizam aku tak pernah melihat lagi Bu Lestari di toko kue, apa lagi Anyelir. Mungkin mereka sibuk mengurus Nizam di rumah yang ada di belakang toko itu. Tak mungkin juga datang bertamu secara langsung tanpa ada keperluan penting. Alhasil, aku hanya pulang dengan tangan kosong, hanya membawa kotak kue dengan berbagai isi di dalamnya dan kadang aku berikan pada pemulung yang aku temui di jalan pulang. Bukan tidak
POV AnyelirAku duduk di meja kantin sambil memainkan ponsel untuk mengusir kebosanan, saat harus menunggu nasi goreng pesanan selesai dibuat. Membuka media sosial dan berakhir pada WA karena ada pesan masuk dari dosen pembimbing yang mengabarkan bahwa bimbingan libur hari ini. Alhamdulillah. Setelahnya, seperti biasa, tangan ini mulai ingin tahu dan memeriksa status WA, tanpa sengaja aku melewati sebuah status yang menyita perhatian. Aku pun mengembalikannya kemudian membacanya sejenak.*Mencintai dalam diam memang terlihat menyedihkan, namun akan lebih menyedihkan jika tak pernah mengungkapkan tapi sudah kehilangan.*"Mengantara?!" lirihku. Status yang diunggah oleh dokter Megan itu menunjukan waktu yang sama, waktu setelah kami berbincang saat ia seolah sedang mengungkapkan perasaan. Apa itu tandanya dia serius, tapi kenapa di mataku dia selalu terlihat main-main?Aku yang tidak peka atau memang dia hanya main-main? Entah.Aku segara pergi setelah nasi goreng pesanan sudah jadi, ten
Aku menghela napas kemudian membuka pintu kamar. Mbak Mayang dan Ibu menoleh ke arahku. "Ini sarapannya, Bu.""Mbakmu sudah bawa, Nye.""Ah, telat, tau gitu nggak perlu harus ketemu dokter Megan segala di kantin.""Kenapa emangnya?" tanya Mbak Mayang"Meresahkan.""Meresahkan gimana?""Lupakan."Setelah sarapan, sekitar pukul 10 perawat memberi tau untuk segera pindah ke kamar yang sudah aku pesan semalam.Kami pun segera membereskan barang. Ibu menggendong Nizam, aku mengekor membawa infusnya, sedangkan Mbak Mayang membawa barang. Untung dia datang, jadi tugas terasa lebih ringan.***Kamar VIP nomor 10 menjadi tempat kami menginap sekarang, Nizam sudah tidak begitu rewel semenjak Ibu datang. Tapi, masih ada yang mengganggu pikiran yaitu tentang ancaman dokter Megan. Jika dipikirkan masak-masak perkataannya memang ada benarnya, Ibu bisa kecapekan kalau terus ada di sini. Tapi kalau Ibu tak ada di sini? Aku takut Nizam akan rewel seperti semalam, apa aku bisa menenangkan? Ditemani
"Ada pasien darurat, maaf telat.""Memangnya saya tanya? Siapa yang menyuruh kesini pula?" ucapku tersenyum sinis. Percaya dirinya terlalu tinggi, menurutku. Dia pun mencebikkan bibir dan menganggukkan kepala, seolah tak peduli dengan jawabanku. Meremehkan. "Saya sendiri. Kan, saya sudah janji. Harus ditepati, dong. Ya kan, Nizam? Sudah nangis berapa kali sejak ditinggal Oma?" ucapnya pada Nizam namun, sindiran jelas padaku."Belum nangis, ni masih mau nangis karena ada monster di depan," sindirku balik. Ia mengulum bibirnya menahan senyum."Monster kok tampan. Super Hero, Mama salah sebut, ya?!" ucapnya pada Nizam lagi."Malam, mau ganti infus. Eh, ada Daddy," perawat datang dan terkejut melihat ada Dokter Megan di dalam. Daddy, sudah lama sekali tidak ke tempat ini, tapi mereka masih menggunakan nama itu."Om, Sus.""Oh, maaf. Sudah selesai. Saya permisi. Selamat malam, Dok," pamitnya menyapa dokter Megan."Ya."Entah, apa yang dipikirkan olehnya, setelah kepergian perawat itu mula
"Kenapa Nizamnya?" tanyanya begitu masuk."Mau tidur mungkin." "Sini, kasih ke saya," ucapnya mengulurkan kedua tangan."Nggak usah, saya sudah bisa," tolakku menjauhkan Nizam dari tangan Dokter Megan. Kadang, bukan hanya ketidak nyamanan saja yang membuat kita ingin pergi. Tapi kenyamanan pada orang yang salah mengharuskan kita untuk pergi, karena harus tahu diri. Dokter Megan. Aku tak ingin, baik Nizam ataupun aku merasakan nyaman dengannya karena itu kesalahan. Seperti kenyamanan pada Mas Bian yang berujung kecewa, aku tak mau terulang dan Nizam ikut merasakannya. Karena aku dan Nizam adalah sebuah noda, bisa mengotori apa saja yang kami pijaki. Sadar diri jauh lebih baik dari pada harga diri harus terpaksa dijatuhkan dan diinjak lagi jika semua tau siapa aku dan Nizam sesungguhnya. "Jangan keras kepala, kamu nggak bisa.""Saya Ibunya, bagaimana bisa dokter bilang saya nggak bisa mengurus anak sendiri?"Terlihat ia menarik napas panjang. "Keras kepala. oke. Silahkan." Akhirny
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata