Aku kembali menghela napas untuk menekan amarah yang mulai hadir setiap melihat tatapan Mas Bian yang terkesan menghina hubungan kami. Setelah kulihat Megan masih bisa mengendalikan dirinya, aku kembali bicara."Seperti yang Mas Bian tau. Megantara adalah suamiku sekarang. Aku hanya akan bicara denganmu kalau dia mengijinkan dan ada dia," putusku. Wajah yang tadinya terlihat begitu percaya diri pun akhirnya berubah pucat pasi.Di belakangku, Megan tak mengeluarkan sepatah kata, dia lebih sibuk meladeni celoteh Nizam yang bertanya tentang mainan-mainan barunya. Tapi aku yakin, dia mengamati kami.Map coklat tebal itu disodorkan ke arahku. "Ini uang yang Mas pinjam dari almarhum Ayah, Mas akan transfer sisanya." "Anyelir tidak membutuhkannya, Tuan." Megantara menyergah, kemudian bangkit dari karpet di mana dia menemani Nizam yang sempat merosot dari dekapan untuk mengambil mainan."Ini bukan urusan Anda. Ini urusan saya dengan Anyelir dan Nizam. Jangan ikut masuk ke ranah yang bukan h
"Anye, buka pintunya, Sayang. Kita bicara." Suara ketukan pintu yang bertubi-tubi tak lagi aku hiraukan, aku sendang menikmati rasa sakit ini sendiri. Jika benar dia orangnya, apa aku sanggup menatapnya ... lagi? "Anye, kasihan Nizam, dia nangis terus. Bukalah," ucapnya lagi. Nizam dengan langkah kecilnya merosot dari ranjang dan menangis menuju pintu, menggedor pintu dengan terus memanggil nama Megan. Melihat itu membuatku sedikit tersadar. Aku pun beringsut turun dari tempat tidur. Kuraih tubuh bocah malang yang terlihat begitu ketakutan mencari perlindungan itu. Kubawa dia dalam dekapan hangat yang memang sudah seharusnya dia dapatkan dariku. Kuhapus air mataku, setelahnya menghapus airmata Nizam dan berusaha menenangkan meski hati masih remuk redam, pun masih bergemuruh hebat. Menit berganti, malam merambat naik. Ketukan pintu pun tak lagi terdengar. Dia pergi entah kemana dan dengan pikiran seperti apa, yang pasti disini aku terluka dalam.***Mentari pagi mulai menampakkan s
Ponsel Ibu di atas meja berpendar dan bergetar, sepertinya ada telepon masuk. Aku tak sabar melihat Ibu mengangkatnya, mana tau itu adalah Megan."Waalaikumsalam.""Baik.""Oh, Anye, ada."Deg! Ada debar yang tak bisa aku kendalikan. Benarkah itu Megan?Ibu mendekat ke arahku."Ibu mertuamu mau bicara, Nye. Angkatlah, Ibu mau ke toko dulu." Ibu menyodorkan ponsel ke arahku. Debaran itu tiba-tiba lenyap setelah tahu siapa yang menghubungi. Dia bukan Megan melainkan Mama."Oh, ya," jawabku menerima ponsel dari tangan Ibu dengan cepat, kemudian segera berpaling agar gurat kecewa tak terlihat olehnya."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, apa kabar, Anye?""Baik, Ma.""Megan bilang kamu baru keluar dari rumah sakit?"Deg! Lagi-lagi jantungku berdetak. Apa mungkin dia mengadu pada Mamanya?"Sudah sehat, Ma. Ini juga mau kerja, kok.""Syukur, Mama ikut seneng. Maaf, Megan baru memberi tau semalam."Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang terus mengering."Apa yang Megan katakan?" K
POV MegantaraKepulangan Ibu membuatku tercekat dan harus segera berpikir cepat. Aku tak ingin Ibu tahu pertengkaran yang terjadi antara aku dan istriku, pernikahan kami bahkan belum satu Minggu. Aku tidak ingin dipandang gagal sebagai suami. Semua harus terlihat baik-baik saja. "Mau ke mana, Nak?" tanya Ibu saat Ibu mengunci pintu dan aku bergegas keluar."Ke rumah sakit, ada pasien yang harus ditangani, Bu. Anyelir dan Nizam sudah tidur. Saya berangkat dulu," ucapku memberikan alasan.Wajah teduh itu menatapku kasihan. "Baru juga pulang. Ya sudah hati-hati."Aku mengangguk sambil tersenyum."Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Kukecup punggung tangan Ibu dan segera berangkat.Dalam hening malam mobil melaju dengan kecepatan sedang sambil sesekali meremas roda kemudi mengingat perkataan Biantara yang menuduhku dengan begitu kejam dan yang lebih menyakitkan, wanitaku percaya. Menyedihkan.Mobil melesat dengan kecepatan tinggi begitu suara tangis Nizam pecah akibat ulahku itu terus
Mereka pun bergegas keluar dan kedua security itu melepaskan tanganku. "Jangan bikin keributan," pesannya penuh penekanan.Perlahan aku memasuki ruangan bercat putih dengan jendela kaca besar di satu sisi belakang Biantara. Dengan langkah cepat aku mendekat pada orang yang terlihat arogan, yang dengan santainya duduk bersandar menyilangkan kaki tanpa beban setelah apa yang sudah dia lakukan terhadap hubunganku dan Anyelir."Apa saya harus mempersilahkan duduk?" tanyanya dengan raut wajah setengah menghina.Aku menghela napas dalam, kemarahan harus tetap terlihat elegan dan harga diri tetap harus dijaga. Dia harus tahu siapa Megantara sesungguhnya."Meski perusahaan ini tergolong kecil menurut saya. Tetap saja Anda hanya pemimpin bukan pemilik, jadi, saya tidak perlu ijin Anda hanya untuk duduk di kursi ini," balasku menarik kursi di depannya dan duduk bersandar menyilangkan kaki. Ia kembali tersenyum remeh, namun bisa kulihat tangan itu mengepal sempurna. Dia ... mencoba untuk menyemb
Urusan dengan Biantara kuanggap selesai, aku kembali ke rumah setelah memberi tahu Suster Yeni akan datang agak terlambat, semoga pasien bisa memaklumi. "Bu, saya akan membawa Nizam pergi sebentar, boleh? Mungkin akan pulang bersama Anyelir nanti," ucapku meminta ijin pada Ibu yang sedang menemani Nizam bermain di teras begitu aku sampai di rumah."Mau ke mana? Memang nggak kerja?" Ibu mangernyit.Aku bergeming, tak mungkin mengatakan apa yang akan aku lakukan bersama Nizam di rumah sakit. "Hari ini saya cuti, mau mengajak Nizam main setelah itu menjemput Anyelir pulang." Akhirnya aku berbohong."Oh, ya nggak papa, lagi pula selama ini Nizam belum pernah main ke luar. Pasti suka." Ucapan Ibu membuat hatiku diliputi rasa haru. Apakah seperti ini nasib anak yang dibesarkan tanpa keluarga yang utuh? Di luar sana banyak sekali kulihat keluarga utuh bermain bersama orang tua, bahkan makan di restoran saja mereka diikut sertakan meski harus membawa meja khusus dari rumah. Sedangkan Nizam,
POV AnyelirAku memang duduk di meja kerja saat ini namun pikiranku tidak ada di sini , pikiranku terus berkelana, konsentrasiku benar-benar menurun. Sampai akhirnya, beberapa kali Mbak Annisa menepuk pundakku hanya karena aku termangu katanya. Bayangan wajah Megan yang enggan bertanya, memberi penjelasan, dan bersikap datar pagi tadi terus berkelebatan di dalam benakku. Bahkan hatiku terasa dihantam bongkahan batu besar yang begitu menyiksa ketika dia meminta ijinku untuk masuk ke dalam kamar kami. Ya, kamar kami. Dia meminta ijin. Menyedihkan.Berbagai pikiran berkecamuk, berjejalan masuk ke dalam otakku. Perkataan Mas Bian membuatku benar-benar rapuh, tak bisa lagi mengendalikan emosi. Dan dia kecewa padaku. Aku tahu. Dari sorot mata itu terlihat ada rasa kecewa, lelah, dan marah. Tapi dia menutupinya dengan menyibukkan diri bersama Nizam. Pernikahanku baru beberapa hari, bagaimana bisa, aku yang tak bisa memberi apa yang menjadi haknya justru mengusirnya secara tersirat semal
Aku menyelinap masuk setelah tempat duduk Nizam dilepas dari jok sebelah kemudi. Aku masuk dengan perasaan yang dipenuhi dengan tanda tanya. Melihat begitu banyak sampah, tissu, dan juga susu yang berceceran di mana-mana. Juga basah di beberapa bagian."Tadi Nizam nggak sabar minta susu, aku panik. Terus tumpah, deh," ucapnya saat menyadari mataku tak berhenti menyisir keadaan mobil yang berantakan. Kemudian membuang dengan sedikit mengamati sampah plastik bekas snack bayi."Cemilannya sehat, kok. Nggak usah khawatir, aku beli di baby shop tadi. Aman. Kalau puding itu di tempat langganan, bahannya semua dijamin aman, nggak ada pemanis buatannya, kok," ucapnya dengan raut wajah sedikit ketakutan."Harusnya nggak usah dikasih yang ada Fla pudingnya," gumamku membersihkan tangan dan mulut Nizam yang penuh dengan Fla vanila dengan tissue basah. "Anak makan kenapa ditinggal diluar?" lanjutku mengeluh meski dengan nada sangat pelan, tapi jujur kesal itu ada. "Dia maunya makan yang itu. Ma
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata