"Hah? Astaga! Jadi kamu mencintai calon mantan kakak iparmu sendiri, Randi?!" tanya Susi yang mendadak muncul dari arah pintu depan rumah. Randi yang sedang berdiri di hadapan Dedi dan Ratna, menoleh ke arah Susi. "Yah, benar," sahut Randi pendek. Susi terperangah dan wajahnya terlihat kecewa. "Kok bisa sih? Padahal masih banyak gadis dan janda lho? Kenapa harus mencintai istri orang? Istri kakak kamu sendiri lagi?! Jangan - jangan kamu yang menyebabkan hubungan antara kakak kamu dan istri nya renggang sehingga akhirnya bercerai?!" tanya Susi menatap Randi penuh selidik. Randi menghela napas panjang. Sebenernya malas sekali untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan nya dengan Ratna. Suasana terlihat tegang. "Kamu kenapa kembali kemari? Tadi bukannya sudah pulang dengan paman kamu ya!?" tanya Agung mencoba mencairkan suasana. Susi menatap Agung. "Iya, ponsel aku yang tertinggal saat aku ke kamar mandi tadi. Dan untung saja ponsel aku tertinggal di sini, sehi
Wajah Dedi memucat. "I- itu.. Tidak jadi, Ratna. Aku juga butuh dana untuk biaya pernikahan ku dengan Agustina," ujar Dedi terbata. Tapi dia melirik ke arah Ratna, berharap calon mantan istri nya itu cemburu. Ratna menyeringai. "Tuh, kan? Ayo pulang, Gung. Percuma kita di sini lama- lama, ada manusia munafik!"***Ratna menatap pengacara yang baru saja pergi dari rumahnya dengan menghela napas lega. "Kamu sudah menyerahkan berkas syarat gugatan cerai, Mbak!?" tanya Agung yang muncul ke ruang tamu dari ruang tengah. Ratna menoleh ke arah adiknya. "Sudah. Alasan dan semua bukti perselingkuhan mas Dedi juga sudah kulampirkan. Kata pengacara nya, masuk akal jika aku ingin bercerai dari suami yang berselingkuh karena aku menjaga dari tertularnya penyakit kelamin yang kemungkinan dibawa oleh mas Dedi," jawab Ratna. "Alhamdulillah, kalau begitu. Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan, Mbak? Apa mbak mau keluar rumah? Rapi bener!?" tanya Agung kepo. Ratna mengangguk. "Aku ingin bert
"Dengan ini pengadilan agama kabupaten Sidoarjo tanggal 25 September 2024, memutuskan bahwa antara saudara Dedi setyoadi dengan saudari Ratna Indaryati bukan pasangan suami istri lagi dan telah jatuh talak satu dari saudara Dedi pada saudari Ratna," ujar hakim ketua pengadilan agama itu dengan tegas. Tok! Tok! Tok! "Alhamdulillah!" gumam Ratna sambil mengatupkan kedua tangan ke wajahnya setelah mendengar keputusan hakim ketua. "Ratna, selamat ya. Rasanya tidak etis kalau mengucapkan selamat untuk hal-hal yang serupa dengan perceraian. Tapi, yah, bunda rasa untuk saat ini perceraian adalah hal yang terbaik untuk kamu. Jadi selamat ya, semoga bisa segera move on dan memperbaiki kehidupan kamu," ujar Bunda yang datang sebagai salah satu saksi di persidangan Ratna. Ratna mengangguk. Dia menatap Agung dan bunda yang datang sebagai saksi di kasusnya hari ini dengan mata berkaca. Berbagai rasa berkecamuk di hatinya. Jujur saja dia tidak pernah mengira akan menjadi janda di usia yang masi
"Terimakasih, sekarang tolong keluar saja," ujar Ratna pendek sambil melanjutkan memotong sayuran untuk pesanan capcay. "Tidak. Aku pengelola kafe ini juga. Bersikaplah profesional, Mbak. Aku akan membantu memasak di sini karena memang situasi kafe sedang ramai. Daripada pesanan terbengkalai dan kafe kita mendapat review jelek, lebih baik mari kita bekerja sama melayani pembeli hingga pesanan bisa selesai tepat waktu," ujar Randi serius sambil mengambil bumbu nasi goreng racikan Ratna dari dalam kulkas dan mulai membuat nasi goreng. Ratna terdiam, lalu melanjutkan pekerjaan nya, ada rasa tidak enak karena merasa telah memberikan reaksi berlebihan terhadap Randi. ***Agustina dan Dedi yang sedang berci*man di ruang tengah rumah Randi segera saling menjauh saat sang empunya rumah datang. "Kalau mau me su m, lebih baik jangan di rumahku, bikin apes saja," ujar Randi sambil menyedekapkan kedua tangan di depan dada. Wajah Dedi memerah. "Sopan kamu seperti itu pada orang yang lebih tua?
Beberapa saat sebelum nya, "Aku mau nongkrong di warkop dan mungkin juga futsal," ujar Dedi saat Randi akan keluar rumah untuk dinas malam. Randi menoleh ke arah kakak nya sekejap. "Hm, terserah mas Dedi saja. Kamu kan biasanya memang suka kelayapan kalau malam. Aku bawa kunci rumah sendiri," ujar Randi seraya keluar dari rumah nya dan menaiki honda verzanya. Dedi mengikuti dari belakang. Dia memperhatikan sang adik yang tampak lelah. "Kamu tampak lelah, seharusnya kamu nggak perlu sampai mendirikan kafe, Ran. Jadi kamu bisa istirahat setelah pulang dari rumah sakit," ujar Dedi. Randi melambaikan tangannya. "Makasih sarannya. Aku dinas malam dulu, Mas," ujar Randi dan melajukan motornya keluar dari rumah. Dedi tersenyum dalam hati dan meraih ponselnya. "Halo, Yang. Laksana kan rencana kita selanjutnya ya," ujar Dedi di panggilan telepon. ***"Kamu sudah datang, Ran?" tanya Susi tersenyum. Gadis berlesung pipi dan berjilbab itu memegang dua kotak makanan dari kertas. Randi me
Keesokan paginya, "Rekaman CCTV yang terpasang di kafe menunjukkan bahwa sekitar jam 1 malam, ada bayangan orang yang menyiram sesuatu ke pagar kafe sebelum kemudian menyalakan api lalu bayangan tersebut langsung lari ke barat. Dan sekitar 30 menit kemudian, datanglah Dedi yang melewati kafe dan memanggil tetangga yang mempunyai rumah di sekitar kanan dan kiri kafe lalu berusaha memadamkan api. "Apa kita akan lapor polisi?" tanya Randi menatap ke arah Agung dengan bingung. Mereka berdua sedang berdiskusi di ruang khusus untuk staf. Agung berpikir sejenak, "takutnya kalau lapor polisi, kita harus bayar. Ehm, aku pernah denger sih, suatu kasus akan dikerjakan oleh polisi jika ada duitnya atau kasus itu viral," ujar Agung lirih. Randi menghela napas kasar. "Apa kita diamkan saja. Lagi pula yang rusak kan cuma pintu gerbang. Kita bisa beli lagi. Daripada nyari pelakunya lalu membayar lagi lebih mahal daripada harga pagar pada polisi," usul Randi. "Ck, kita laporkan sajalah. Kalau tid
Beberapa saat sebelum nya, "Kamu tega sekali! Masa lulusan S1 ekonomi jadi OB sih, Randi!?" tanya Dedi dengan nada tak suka. Randi melihat Dedi dan menghela napas panjang. "Memangnya kenapa kalau menjadi OB? Yang penting kan halal. Sekarang banyak kok sarjana yang mempunyai pekerjaan yang nggak nyambung dengan title. Lancar - lancar saja. Asalkan ulet dan cekatan. Banyak pula yang lulusan SMA tapi mempunyai penghasilan lebih tinggi daripada sarjana karena mereka nggak gengsi dan nggak pilih- pilih pekerjaan. Daripada enggak ada kerjaan atau punya pekerjaan tapi haram, ya mending pekerjaan apapun asal halal. Memangnya bisa makan gengsi?!" tanya Randi menatap kakaknya dengan serius. Dedi meletakkan sendoknya di atas piring. 'Duh, sudah capek - capek membuat rencana membakar pagar kafe untuk bekerja di kafe Randi, malah permintaanku ditolak lagi,' keluh Dedi dalam hati. Dedi pun memilih berdiri dan meninggalkan makan siangnya yang baru berkurang beberapa sendok. "Nggak usah, deh.
"Aku mau menempati rumah baruku sekarang, Randi," ujar Dedi sambil menyeret kopernya ke hadapan Randi yang sedang duduk di ruang tengah melihat tivi. Randi mengangkat wajahnya dan melihat sang kakak yang sedang mengotak atik ponselnya."Ya syukur lah kalau mas Dedi bisa membeli rumah lagi. Emangnya kamu kerja apa, Mas? Cepet banget beli rumah, memangnya kamu kerja apa, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi seketika menyimpan ponselnya di saku celana. "Yang jelas bukan sekedar menjadi office boy di rumah sakit tempat kamu bekerja," ujar Dedi dengan nada mencemooh. "Tapi pekerjaan kamu halal kan, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi langsung mendelik. "Apa maksud kamu bicara seperti itu, Randi!? Kamu iri dengan rejeki dan keberuntungan aku!?" tanya Dedi sengit. Randi menggeleng. "Sama sekali tidak! Aku justru tidak ingin mas Dedi menjalani pekerjaan haram hanya agar cepat mendapat uang,” ujar Randi tegas. " Kasihin orang tua kita jika mereka tahu kalau pekerjaan mas Dedi haram,
"Boleh, aku akan memberikan infus padamu yang berisi seluruh rasa di hatiku, sehingga kamu tidak akan mengalami dehidrasi cinta dan kasih sayang seumur hidup dan kupastikan jika semua perasaan ku yang ku berikan padamu steril tanpa kuman pihak ketiga atau CLBK," ujar Susi, membuat semua teman - temannya melongo."Astaga, kalian berdua so sweet banget! Bagaimana para saksi? SAH?" tanya salah seorang teman Agung dan Susi. "Sah!""Sah!""Alhamdulillah!" Ruang perawat kelas satu pun sejenak riuh dengan gurauan tenakesnya. Susi dan Agung bertatapan, tanpa saling berbicara, mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Dedi pulang dari kantor polisi dengan wajah gusar. "Ck, nggak ada bukti dan aku diminta tenang dulu sampai ada bukti kuat baru bisa melapor ke polisi? Ck, apa - apaan ini? Bagaimana kalau aku keburu mati? Tampaknya suami tante itu berbahaya," gerutu Dedi. Dia lalu melajukan motor nya menuju ke arah hotel bintang tiga yang mempunyai satpam yang sedang berjaga
Dedi terkejut dengan kata - kata penelepon nya. "Hutang mata dibalas mata, hutang istri dibalas istri. Sekarang selamat menikmati rasanya kehilangan istri," ujar laki - laki yang menelepon Dedi. Dedi terhenyak. 'Astaga! Jadi tante sudah meninggal bunuh diri karena terkena HIV? Dan lelaki yang mengaku suaminya tante sudah membunuh Agustina?' batin Dedi. 'Wah, jangan - jangan sebentar lagi, dia juga akan menuntut pertanggungjawaban ku! Padahal aku tidak tahu siapa yang menulari siapa.'"Heh, enak saja kamu menuduhku! Aku tidak kenal siapa kamu dan siapa istrimu! Jangan sembarangan memfitnah ya! Bisa jadi istri kamu ada main dengan orang lain, bukan dengan aku! Jangan asal tuduh!!" ujar Dedi memberanikan diri. Lelaki di seberangnya menggeram. "Jangan mengelak! Hari ini kamu dan istrimu harus mati, Dedi!" ujar suara seberang dengan nada marah. Tubuh Dedi gemetaran. Lelaki itu segera mengakhiri panggilan teleponnya. "Aku harus kabur kemana ini? Apa aku harus lapor polisi atas ancaman
Agung terdiam sejenak. "Kok sepi, Mama mana?" tanya Agung. "Mama tidur. Tadi seharian mama mengajakku nonton telenovela marathon kesukaan nya saat masih muda dulu dari Hp. Setelah itu mama ketiduran, padahal masih belum tamat filmnya," sahut Susi. "Apa perlu kubangunkan?" sambung Susi lagi. Agung buru- buru menggeleng. "Jangan! Kasihan mama kamu! Biar mama kamu tidur saja," sahut Agung cepat. Susi manggut- manggut. "Oke, tunggu di sini. Aku tadi bikin martabak manis tevlon. Semoga bisa dimakan," ujar Susi sambil berlalu meninggalkan ruang tamu, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa sepiring martabak manis yang beraroma wangi. Susi meletakkan martabak manis itu di hadapan Agung. "Hm, kayaknya enak nih!" celetuk Agung tersenyum. "Enak! Ayo kita coba sama-sama! Kamu jangan ragu dengan masakan aku ya!" ujar Susi. Agung tertawa. "Asalkan tidak beracun dan tidak mentah saja, aku bisa nelen makanan, Yang," ujar Agung seraya mencomot martabak di hadapan nya. "Hm, enak kok, S
"Alhamdulillah, lancar ya acara lamaran mbak Ratna," ujar Agung sambil mengambil makanan di meja prasmanan. Di sebelah Agung, Ratna mengambil es buah dan tersenyum. "Iya, alhamdulillah, Gung. Semoga kamu cepet nyusul ya?!" sahut Ratna. Agung tersenyum dan mengangguk. "Aamiin, Mbak, makasih doanya. Semoga mbak Ratna juga dilancarkan sampai pernikahan," ujar Agung yang langsung diamini oleh Ratna. Ratna celingukan ke sekeliling taman tengah rumahnya. "Lho, Susi tidak kamu ajak kesini?" tanya Ratna."Hm, sudah. Tapi dia nggak bisa. Dia bilang mau nganter mamanya kontrol saja," sahut Agung, lalu menuju tempat duduk yang telah disediakan oleh pihak EO yang disewa oleh keluarga nya. Ratna mengerut kan kening nya. "Kok kamu biarkan Susi mengantarkan ibunya kontrol sendiri ke rumah sakit sih? Kenapa kamu nggak mengantarkan Susi dan ibunya, Gung?" tanya Ratna. "Kata Susi, ada saudara nya yang akan mengantarkan mereka kontrol. Jadi aku tidak diperlukan dulu," ujar Agung tertawa. "Hahaha,
"Kita akan melihat hal itu nanti, Bu. Jadi bapak dan ibu harus saya ke kantor polisi dulu untuk dimintai keterangan," ujar polisi itu tegas. Agustina melirik ke arah Dedi yang juga terlihat gamang. "Pak, saya tidak mungkin membunuh ibu saya sendiri, meskipun ibu saya selingkuh dengan suami saya. Saya hanya mengusir nya keluar dari rumah karena saya sangat sakit hati," ujar Agustina mencari aman dengan mengatakan permasalahan nya. Dedi mendelik mendengar ucapan Agustina. Sementara itu polisi semakin antusias melihat ke arah Agustina dan Dedi secara bergantian. "Kalau begitu kalian berdua segera ikut kami untuk penyelidikan lebih lanjut! Silakan ikut kami ke kantor polisi!" ujar polisi itu tegas. ***Agustina yang sudah selesai diinterogasi di kantor polisi, memutuskan untuk pulang ke rumahnya dulu. "Ck, sialan! Ini semua gara- gara mas Dedi! Mending aku jadi janda lagi aja deh. Aku nggak peduli dengan balas dendam mas Dedi pada Ratna, aku nggak mau lagi pura - pura kaya dan bahag
"Selamat malam, kami dari kepolisian, ibu anda tertabrak mobil dan meninggal seketika di jalan pahlawan. Dimohon anda segera kemari," sahut polisi itu membuat Agustina gemetaran seketika. "Hah, apa? Tidak mungkin, Pak!" desis Agustina tidak percaya. 'Jangan - jangan ibuk bun*h diri. Atau ibu sudah ada firasat kematian, jadi ibu menelepon ku dari tadi pagi untuk berpamitan,' batin Agustina dengan perasaan menyesal. "Kami dari kepolisian satlantas telah mengevakuasi korban dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Kami juga melakukan olah tkp dan penyelidikan terhadap identitas korban. Hasilnya, kami menemukan KTP dan ponsel korban. Kontak paling atas di panggilan keluar yang dihubungi oleh korban, adalah nomor ibu. Jadi bisa kah ibu datang ke rumah sakit Sumber Sehat sekarang untuk memastikan tentang identitas korban kecelakaan?" tanya Polisi itu lagi. "Baiklah saya akan datang di Rumah Sakit Sumber Sehat. Bagaimana dengan orang yang menabrak ibu saya? Apakah orang
Suasana hening sejenak. Tina menunduk dan berjongkok membereskan cangkir yang dilemparkan sang anak. "Pergi dari sini, Bu!" usir Agustina dengan suara dingin. Dedi dan Tina menatap ke arah Agustina dengan terkejut. "Nak, tapi...""Pergi dari sini atau kuadukan pada warga bahwa kalian telah melakukan hal yang paling memalukan!" seru Agustina lagi. Dia menatap ke arah ibunya dengan mata berkaca. Tina menoleh ke arah Dedi. Berharap sang menantu membelanya. Namun sayang sekali, bukannya membela Tina, Dedi justru menatap ke arah pintu ruang tamunya, seolah mengisyaratkan dan menyetujui sang mertua untuk pergi dari rumah itu. Tina berdiri perlahan dan meletakan pecahan kaca di meja tamu, lalu menatap ke arah sang anak. "Baiklah, ibu akan pergi dari sini agar kamu memaafkan ibu, meskipun ibu tidak tahu akan pergi kemana," ujar Tina dengan nada putus asa sambil masuk ke dalam kamarnya dan membereskan semua pakaiannya kedalam tas nya. Dedi mendekati Agustina dan berusaha merayunya, tapi
"Astaga! Apa- apaan ini, Mas Dedi?! Ibuk!? Jadi begini kelakuan kalian saat aku tidak ada di rumah? B@jing*n kalian!" seru Agustina sambil menutup mata anaknya yang berdiri kebingungan di samping ibunya yang tengah mengumpat. Dedi segera menurunkan Tina dan melangkah mendekat sang istri. "Yang, aku bisa jelasin. Kamu bawa masuk dulu anak kamu ke kamar, dan aku akan menjelaskan nya," ujar Dedi meremas pelan bahu sang istri. Agustina mencebik. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semua sudah jelas. Kamu menjijikkan, Mas. Masa mertua sendiri pun diembat!" omel Agustina. Dia lalu menoleh pada ibunya. "Ibu juga malu - maluin! Bisa - bisanya tertarik dengan mantu sendiri. Ck, kayak enggak ada orang lain saja!" seru Agustina. "Agustina, maafkan ibu. Ibu khilaf, Nak!" ujar Tina sambil mendekat ke arah sang anak. Perempuan itu merentang kan tangannya dan bermaksud memeluk Agustina, tapi anaknya lebih dulu menepis tangan ibunya. "Aku nggak bakal maafin ibu! Ibu sudah mengkhianati dan m
"Hm, sepertinya buah saja. Buah dalam bentuk parcel yang mewah dan cantik."Paman Dedi menghela napas dan menjeda kalimat nya sejenak. "Oh ya, apa kamu tidak merasakan cemburu dan marah saat adik kamu akan menikah dengan mantan istri kamu? Om sendiri juga tidak menyangka bahwa Randi memilih mantan istri kamu sebagai istri nya. Padahal gadis dan lajang banyak," ujar paman Dedi. Dedi tertawa. "Enggak. Biarlah saja, Paman. Lagi pula saya sudah menikah dengan istri saya yang sekarang," ujar Dedi dengan mata menerawang. Sebenarnya perasaan nya campur aduk.'Seandainya saja aku tidak selingkuh, seandainya saja aku setia dan tidak bekerja sebagai debt collector, mungkin aku masih mempunyai keluarga, bahkan aku masih mempunyai anak. Dan... aku tidak perlu mengidap penyakit sialan ini!' batin Dedi menyesal. Dedi berjalan memasuki rumahnya dengan gontai. Di dalam pikiran nya masih tersisa berjuta tanda tanya, siapa yang menulari nya. Dedi masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan