Dengan mengucap basmallah dalam hati dan menghela napas panjang, Randi mengetuk pintu ruang rawat inap lalu membukanya seraya mengucap salam. Randi terperanjat karena di dalam ruangan tampak orang tua Ratna dan Agung yang baru saja dinas malam. "Eh, Nak Randi, mau dinas?" tanya Agus yang tersenyum melihat kedatangan Randi. Sementara itu Agung dan Ratna bertatapan karena teringat kisah Dedi semalam. "Selamat pagi, om dan tante. Saat berangkat ke sini tadi, saya melihat bubur ayam dan teringat jika mbak Ratna suka bubur ayam. Jadi saya membelikannya," sapa Randi sambil menciun punggung tangan orang tua Ratna. "Wah, terimakasih, Nak. Kamu masih ingat saja tentang mbak mu ini," sahut Nita sambil menerima bubur ayam pemberian Randi. "Iyalah, Randi pasti ingat pada mbak Ratna, kan Randi ... awww! Apaan sih, Mbak kok dicubit?!" tanya Agung saat Ratna mencubit lengannya. Orang tua Ratna terlihat bingung. "Hm, maksud Agung, tentu saja Randi ingat sama aku, kan dia perawat di sini," ujar R
Beberapa hari yang lalu, "Apa keluhannya hari ini, Bu?" tanya dokter kandungan berjilbab putih yang memeriksa kondisi Ratna. Ratna menggelengkan kepalanya. "Saya sudah tidak ada keluhan, Dok. Mau pulang saja," sahut Ratna tersenyum. Dokter itu menatap ke arah layar monitor USGnya. "Perut nya sudah tidak nyeri dan tidak mengeluarkan flek?" tanya dokter kandungan itu sekali lagi. Sekali lagi Ratna hanya menggeleng kan kepalanya. "Aman, Dok. Saya hanya ingin pulang karena perut saya sudah tidak nyeri lagi dan tidak keluar flek," sahut Ratna. Dokter itu mengembalikan tranducer ke tempatnya, lalu menatap ke arah Ratna. "Baik lah, Bu. Kondisi kehamilan ibu baik. Ibu bisa pulang dan saya resepkan vitamin. Ibu bisa kontrol sebulan lagi atau sewaktu - waktu jika ibu ada keluhan. Tapi jangan sampai terlalu lelah atau kecapean, jangan jatuh, jangan stres, ya Bu," ujar dokter berjilbab itu sambil menuliskan resep. "Iya, Dok," ujar Ratna sambil turun dari bed pemeriksaan di poli. "Hm, s
Wajah Agus memerah. "Bunda, ayah sudah meminta maaf ratusan kali lho. Tolong jangan dibahas lagi tentang hal itu. Apalagi di depan anak - anak. Dan yang terpenting sekarang bukan membahas tentang kesalahan masa lalu ayah lagi, tapi bagaimana melindungi anak - anak kita dari tindakan Agustina yang mungkin merugikan mereka dan kita lagi," ujar Agus memelas.Nita pun hanya terdiam melihat penyesalan sang suaminya. Beberapa hari belakangan, dia selalu berusaha menahan perasaan nya dari marah dan kesal pada masa lalu yang telah disembunyikan oleh suaminya. "Hm, oh, ya besok Ratna mau belanja ke mall saja. Mungkin ayah dan bunda mau menemani?!" tanya Ratna berusaha mencair kan suasana. "Wah, Bunda besok setelah memeriksa stok di toko, mau arisan sama teman - teman Mama. Mungkin ayah atau Agung bisa menemani?" "Ayah juga sudah janjian dengan teman ayah untuk memperbaiki alat di gym yang eror.""Aku juga dinas pagi nerus sore. Temanku ada yang cuti melahirkan, Mbak. Jadi aku dinesnya ner
Pengendara motor yang telah melepas plat nomor motornya itu melajukan motor yang dikendarai nya dengan kecepatan tinggi dan beberapa kali melirik ke spion untuk memastikan dia tidak dikejar oleh massa. Akhirnya pengendara motor itu masuk ke sebuah gang sempit dan melewati beberapa trabasan, akhirnya dia sampai di rumah petak sederhana dua kamar. Pengendara itu pun melepas helm teropong dan jaket tebalnya lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Kaki nya membawanya ke belakang rumah, dan mengambil cangkul lalu menguburkan helm teropong dan jaket tebalnya. Setelah itu, pengendara motor itu pun mencuci tangan dan kembali ke ruang depan rumah nya seolah tidak terjadi apa - apa. Dia lalu duduk di kursi bambu yang terpasang di teras depan rumah. "Bagaimana? Sudah kamu bereskan belum si Ratna, Nduk?" tanya Tina sambil duduk di sebelah anaknya. Agustina mengangguk dan mengacungkan dua jempolnya. "Sip, Bu! Aku sengaja memilih kafe kecil yang tidak banyak pengunjung agar tidak banyak saksi m
"Tapi kita tidak punya bukti untuk membenarkan semua dugaan kamu, Gung," ujar Ratna. Agung mendesah kasar. "Bisa! Kalau kita meminta rekaman CCTV dari kafe itu, biar aku yang ke kafe itu dan mencari tahu kejadian yang sebenarnya! Mbak di sini saja menunggu waktunya kuret dengan tenang," ujar Agung. Dia lalu melesat pergi meninggalkan Ratna yang berbaring sendirian di ruang kelas satu, menunggu persiapan kuret. Ratna meraih ponselnya dan mencoba menelepon orang tuanya. Tapi ponsel orang tuanya ternyata tidak aktif, akhirnya Ratna mengirimkan pesan WA untuk ayah dan bundanya. [Ayah, bunda dimana? Aku tertabrak motor dan sekarang cuma sama mbok Siti di rumah sakit mitra sehat. Agung ke kafe untuk mencari tahu orang yang menabrakku. Kalau ayah dan bunda melihat pesan ini, segera ke rumah sakit ya.]Centang satu. "Kayaknya ayah dan bunda sedang sibuk masalah pekerjaan nya masing - masing. Yah, sudahlah. Mending aku istirahat saja, lagipula badan ku terasa sakit semua setelah ditabrak,
Terdengar suara dari arah belakang tempat duduk Randi dan Agung. Seketika wajah Randi dan Agung terkejut setelah menoleh ke asal suara. "Bunda?!""Tante?!"Nita dan Agus mendekat ke arah Randi dan Agung duduk. "Maaf kalau ayah dan bunda baru bisa datang ke rumah sakit. Tadi baru ketemu teman - teman ayah dan bunda. Lalu apa maksud nya dengan Randi yang mencintai Ratna!?" tanya Nita menatap tajam ke arah Agung dan temannya itu. Agung menghela napas panjang. Dia menatap ke arah Randi, seolah meminta pendapat siapa yang akan menjelaskan pada orang tuanya tentang hal itu. "Baik lah, saya jelaskan dulu, Om dan Tante," sahut Randi sopan. Dia menjeda kalimat nya, mempersilahkan orang tua Ratna untuk duduk di kursi kayu depan ruang tindakan. 'Duh, astaga, akhirnya sampai juga waktunya aku harus menceritakan dan jujur tentang perasaan ku tentang mbak Ratna pada orang tuanya. Tapi demi masa depanku dan mbak Ratna, aku harus jujur. Tak masalah dengan respon setelah nya. Yang penting sekaran
Keesokan harinya, Randi yang dinas pagi tampak lesu. Susi yang baru saja datang lebih awal dari jam kerja untuk dinas siang, akhirnya memberanikan diri untuk mengajak bicara teman sejawat nya itu. "Randi, kamu kenapa? Kayak orang susah?" tanya Susi seraya duduk di samping Randi yang sedang mengerjakan laporan pasien. Aroma parfum Randi yang maskulin membuat Susi ingin memeluk nya. Tapi tentu saja ditahannya keinginan itu. Dia ingin Randi juga mencintai nya, dan Susi masih berusaha untuk hal itu. "Iya nih, Sus. Aku memang susah. Kok kamu tahu?" tanya Randi tanpa menghentikan kegiatannya menulis. "Iya, kamu memang susah Ran, susah untuk dilupain," ujar Susi lalu tertawa terkekeh. Randi pun tersenyum lebar. "Kamu bisa saja, Sus.""Eh, aku serius deh. Kamu lagi mikirin apa? Mungkin aja aku bisa bantu kan?" "Hm, aku mikirin kakak iparku... Eh, maksudnya kakak kandung ku. Dia kan mau cerai sama istri nya, dan mau jual rumah. Ada nggak ya orang yang membutuhkan rumah. Ada sertifikat nya
"Hah? Astaga! Jadi kamu mencintai calon mantan kakak iparmu sendiri, Randi?!" tanya Susi yang mendadak muncul dari arah pintu depan rumah. Randi yang sedang berdiri di hadapan Dedi dan Ratna, menoleh ke arah Susi. "Yah, benar," sahut Randi pendek. Susi terperangah dan wajahnya terlihat kecewa. "Kok bisa sih? Padahal masih banyak gadis dan janda lho? Kenapa harus mencintai istri orang? Istri kakak kamu sendiri lagi?! Jangan - jangan kamu yang menyebabkan hubungan antara kakak kamu dan istri nya renggang sehingga akhirnya bercerai?!" tanya Susi menatap Randi penuh selidik. Randi menghela napas panjang. Sebenernya malas sekali untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan nya dengan Ratna. Suasana terlihat tegang. "Kamu kenapa kembali kemari? Tadi bukannya sudah pulang dengan paman kamu ya!?" tanya Agung mencoba mencairkan suasana. Susi menatap Agung. "Iya, ponsel aku yang tertinggal saat aku ke kamar mandi tadi. Dan untung saja ponsel aku tertinggal di sini, sehi
"Belum. Belum terpikir tentang hal itu. Aku hanya ingin menjalani waktu dulu dan memberikan kesempatan bagi ku dan Randi agar lebih saling mengenal. Mumpung masa iddahku sudah selesai. Kalau untuk menikah lagi, sejujurnya aku masih takut diselingkuhi kembali. Tapi setidaknya jika aku dengan Randi, kamu kan ada kesempatan untuk mendekati Susi. Tunjukkan sinyal kamu jatuh cinta sama dia. Jangan diam saja. Dia mana tahu perasaan kamu. Cinta itu datang karena terbiasa. Witing tresno soko saking jalaran kulino, kata orang Jawa," jelas Ratna panjang lebar. "Hm, baiklah! Aku akan meraih dan mendapatkan cintaku. Minimal biar dia tahu perasaanku dan memberikan kesempatan kami untuk saling mengenal!" tekad Agung. "Nah, gitu dong. Ya sudah, ayo siap -siap berangkat ke pernikahan mantan ku," ujar Ratna sambil mengacungkan kedua jempolnya. *Ratna dan Agung memasuki aula hotel mahkota dengan dress code yang telah ditentukan. Ratna tampak cantik dan anggun dengan make up flawless ala Korea deng
"Hah? Jadi selama ini Agung mencintai Susi? Tapi Susi malah mencintai Randi, teman Agung," gumam Ratna kaget. Dia lalu menyimpan foto - foto dan surat - surat yang ditulis Agung untuk Susi di kamarnya, kemudian meminta mbok Siti untuk menyetrika gaun nya dan baju Agung yang akan dipakai di acara resepsi pernikahan Dedi. Agung pulang ke rumah dengan terburu-buru lalu masuk ke dalam kamarnya dan membuka lemari. Dengan panik, lelaki muda itu memeriksa tiap helai pakaiannya. Beberapa saat memeriksa tumpukan baju, Agung duduk di ranjang dengan kecewa. Lalu dia menghela napas panjang dan memeriksa lipatan baju di lemari nya sekali lagi. "Apa kamu mencari ini?" tanya Ratna berdiri di depan pintu kamar adiknya. Agung menoleh ke arah suara dan terhenyak saat melihat Ratna yang memegang surat- surat dan foto Susi. "Mbak, tolong kembalikan!" seru Agung mendekat ke arah Ratna. Tapi Ratna justru menyembunyikan foto dan surat milik Agung tersebut di balik punggung nya. "Tenang. Aku pasti meng
Suasana hening sejenak. "Mas, jangan kebanyakan mikir! Kalau kamu bersedia, aku akan menjaga omongan ku sekaligus omongan Si Agustina agar dia nggak nyebarin informasi tentang masa lalu kamu yang menelantarkan kami. Tapi kalau kamu tidak mau ya, siap - siap saja kamu menjadi bahan gibah semua orang di komplek perumahan ini!" ujar Tina tersenyum menyeringai. "Baiklah, aku bersedia untuk menikah kan Agustina. Bagaimana pun kan dia anak yang terlahir dari pernikahan yang sah secara agama," ujar Agus akhirnya. ***Sebulan kemudian, "Mbak, ada undangan dari mantan nih!" ujar Agung yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dia membawa sepucuk undangan berwarna emas dan menyerahkan nya pada Ratna. Ratna menatap undangan itu sekilas. "Wah, mereka jadi menikah akhirnya," ujar Ratna sambil membaca nama yang tertera di surat undangan itu. "Apa mbak Ratna mau datang?" tanya Agung pada kakaknya. Ratna terdiam sejenak. "Hadeh, aku malas. Mending buat kerja di kafe saja," ujar Ratna mencebik. Agu
Pak RT dan para pengunjung warung pun tercengang, sementara wajah Agus merah padam. "Lho, jadi pak Agus ini suaminya Bu Tina?" tanya Pak RT dengan wajah bingung. Baru saja Tina hendak menjawab pertanyaan dari Pak RT, saat Agustina menyela. "Betul, Pak RT, beliau ayah saya, namanya Agus dan ibu saya bernama Tina, jadi saya diberi nama Agustina," sahut Agustina mantap. Sementara itu Agus semakin salah tingkah. Pak RT langsung menangkap arah pembicaraan Agustina dan mengira Agus dan Tina adalah pasangan suami istri yang sudah bercerai."Hm, jadi begitu. Baiklah, saya harap walaupun sudah berpisah, pak Agus dan bu Tina tetap menjaga kerukunan di kampung ini ya?! Bapak dan ibu tinggal di satu komplek perumahan dengan saya. Kalau ada masalah atau beda pendapat, boleh meminta saran saya atau warga desa yang dituakan. Tidak usah takut atau malu," ujar pak RT sambil menatap Agus dan Tina bergantian. Keduanya mengangguk dengan kikuk. Agustina mendekat ke arah bu RT yang sedang mengantarkan
Ratna dan Agung segera memeluk sang bunda sambil bertangisan. "Maafkan bunda! Maafkan karena bunda membuat keluarga kita terpecah. Bunda sungguh tidak kuat serumah dengan ayah kalian. Maafkan bunda karena telah membiarkan Augustina menang!" ujar Bunda dalam dekapan kedua anaknya. "Iya, Bunda. Kami mengerti. Bunda tenang saja. Kami tetap di sini untuk menjaga bunda," ujar Ratna dan Agung hampir bersamaan. *Agus mengendarai mobilnya dengan perasaan masygul. Dia menuju ke gedung gym miliknya. Dalam hati menimbang- nimbang akan bermalam dimana untuk sementara waktu. Dengan langkah gontai, Agus memasuki gedung gym nya lalu mulai memeriksa berbagai peralatan di sana. Satu per satu berdatangan lah pelatih yang bekerja di tempat gymnya, diikuti dengan member lama dan member baru. Agus terlihat melamun saat seorang pelatih yang bekerja di tempat gymnya menghampirinya. "Kenapa Bos? Kucel amat wajahnya? Kayak enggak diberi jatah sama bini berhari-hari," tegur salah seorang pelatihnya. Agu
"Ceraikan aku, Mas! Aku ingin bebas dari bayang- bayang kesalahan masa lalu kamu!" tukas Nita tegas. Agus tampak terkejut dengan keputusan Nita. "Kamu serius mengatakan hal itu?!" tanya Agus, menatap sang istri tak percaya. "Iya, Mas. Aku... Ternyataa tidak bisa hidup dengan kamu yang telah membohongi ku sejak awal pernikahan," ujar Nita dengan mata berkaca. Agus berdiri dan segera berlutut di depan istri sahnya. "Maafkan aku, Nit. Maafkan aku! Aku sungguh tidak bermaksiat untuk membohongi mu. Aku khilaf di masa lalu dan menikah siri dengan Tina saat KKN. Dan aku tahu jika kita awalnya memang dijodohkan, tapi aku benar-benar jatuh cinta padamu, Nit! Jangan tinggal kan aku!" ujar Agus menghiba. Nita menatap suami nya dengan nanar. "Kalau kita mempertahankan rumah tangga kita hanya demi anak, kamu dan aku akan sama - sama tersiksa. Aku tersiksa karena membayang kan kamu yang pernah membohongi ku dengan menikahi perempuan lain sebelum denganku. Dan kamu pasti akan tersiksa juga ji
"Aku mau menempati rumah baruku sekarang, Randi," ujar Dedi sambil menyeret kopernya ke hadapan Randi yang sedang duduk di ruang tengah melihat tivi. Randi mengangkat wajahnya dan melihat sang kakak yang sedang mengotak atik ponselnya."Ya syukur lah kalau mas Dedi bisa membeli rumah lagi. Emangnya kamu kerja apa, Mas? Cepet banget beli rumah, memangnya kamu kerja apa, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi seketika menyimpan ponselnya di saku celana. "Yang jelas bukan sekedar menjadi office boy di rumah sakit tempat kamu bekerja," ujar Dedi dengan nada mencemooh. "Tapi pekerjaan kamu halal kan, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi langsung mendelik. "Apa maksud kamu bicara seperti itu, Randi!? Kamu iri dengan rejeki dan keberuntungan aku!?" tanya Dedi sengit. Randi menggeleng. "Sama sekali tidak! Aku justru tidak ingin mas Dedi menjalani pekerjaan haram hanya agar cepat mendapat uang,” ujar Randi tegas. " Kasihin orang tua kita jika mereka tahu kalau pekerjaan mas Dedi haram,
Beberapa saat sebelum nya, "Kamu tega sekali! Masa lulusan S1 ekonomi jadi OB sih, Randi!?" tanya Dedi dengan nada tak suka. Randi melihat Dedi dan menghela napas panjang. "Memangnya kenapa kalau menjadi OB? Yang penting kan halal. Sekarang banyak kok sarjana yang mempunyai pekerjaan yang nggak nyambung dengan title. Lancar - lancar saja. Asalkan ulet dan cekatan. Banyak pula yang lulusan SMA tapi mempunyai penghasilan lebih tinggi daripada sarjana karena mereka nggak gengsi dan nggak pilih- pilih pekerjaan. Daripada enggak ada kerjaan atau punya pekerjaan tapi haram, ya mending pekerjaan apapun asal halal. Memangnya bisa makan gengsi?!" tanya Randi menatap kakaknya dengan serius. Dedi meletakkan sendoknya di atas piring. 'Duh, sudah capek - capek membuat rencana membakar pagar kafe untuk bekerja di kafe Randi, malah permintaanku ditolak lagi,' keluh Dedi dalam hati. Dedi pun memilih berdiri dan meninggalkan makan siangnya yang baru berkurang beberapa sendok. "Nggak usah, deh.
Keesokan paginya, "Rekaman CCTV yang terpasang di kafe menunjukkan bahwa sekitar jam 1 malam, ada bayangan orang yang menyiram sesuatu ke pagar kafe sebelum kemudian menyalakan api lalu bayangan tersebut langsung lari ke barat. Dan sekitar 30 menit kemudian, datanglah Dedi yang melewati kafe dan memanggil tetangga yang mempunyai rumah di sekitar kanan dan kiri kafe lalu berusaha memadamkan api. "Apa kita akan lapor polisi?" tanya Randi menatap ke arah Agung dengan bingung. Mereka berdua sedang berdiskusi di ruang khusus untuk staf. Agung berpikir sejenak, "takutnya kalau lapor polisi, kita harus bayar. Ehm, aku pernah denger sih, suatu kasus akan dikerjakan oleh polisi jika ada duitnya atau kasus itu viral," ujar Agung lirih. Randi menghela napas kasar. "Apa kita diamkan saja. Lagi pula yang rusak kan cuma pintu gerbang. Kita bisa beli lagi. Daripada nyari pelakunya lalu membayar lagi lebih mahal daripada harga pagar pada polisi," usul Randi. "Ck, kita laporkan sajalah. Kalau tid