8. Dijaga Bagai RatuDi dalam sebuah kamar, Alissia merenungi hidupnya. Dirinya benar-benar sedih dengan keadaan ini. Kenyataan buruk ini begitu menyiksa dirinya. Pengkhianatan yang belum sanggup ia terima."Tidak bisa terus begini, dia juga harus merasakannya."Amilie menyeka air matanya dan kemudian bangkit dari duduknya. Ia lekas berjalan keluar dari dalam kamar tersebut untuk kemudian menuruni tangga."Nyonya, Anda mau pergi ke mana?" tanya Reza dari belakang secara tiba-tiba.Ia menoleh ke arah suara itu dan kemudian menjawabnya dengan singkat."Aku mau pergi keluar sebentar."Lantas, Amilie pun melanjutkan langkah kakinya kembali.Reza panik, ia tidak bisa membiarkan Amilie keluar sendirian tanpa penjagaan."Nyonya, lebih baik Anda di rumah sampai Tuan pulang," pinta Reza. Namun, Amilie tak menyahutnya ia terus berjalan. Bahkan, ia mempercepat langkah kakinya tersebut. Sedangkan, Reza mengejarnya -- berusaha menghentikan Amilie."Nyonya, Tuan bisa marah kalau Anda pergi sendiri!
"Maaf kalau saya agak terlambat," ucap Theo yang kemudian duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kliennya.Klien Theo terlihat kecewa, ia bahkan tak menyahut permintaan maaf darinya. Namun, Theo tetap tenang menghadapinya."Bagaimana dengan kerjasama kita?""Maaf, Pak Theo. Sepertinya saya mengurungkan kerjasama bisnis ini dengan Anda."Pernyataan pahit yang dikatakan kliennya membuat Theo bertanya-tanya. Padahal, sebelumnya tampak baik-baik saja. Tak ada masalah yang muncul."Kenapa? Bukankah kita sudah sepakat untuk melakukan kerjasama ini?!" Theo protes. Ia merasa ada sesuatu yang aneh.Namun, kliennya tidak menjelaskan secara mendetil. Setelah membatalkan perjanjian bisnis dengan Theo, ia bangkit dari duduknya dan melangkah pergi keluar dari cafe tersebut.Ini membuat Theo semakin bertanya-tanya. Hingga, ia mengingat sesuatu."Aku tahu siapa pelakunya," ucap Theo geram.Theo meraih ponselnya yang ada di meja, ia pun mencari nomor Ayahnya untuk kemudian ia hubungi. Setelah m
Sedangkan di rumah, Amilie hanya diam sembari menunggu kepulangan Theo yang entah kapan. Perutnya berkali-kali berbunyi, tetapi ia enggan untuk memesan makanan. "Nyonya, apa mau saya buatkan makanan?" tanya Reza memberikan penawaran.Tetapi, Amilie terus menggelengkan kepalanya. Ia menolak pelayanan dari Reza."Tidak usah, aku tidak lapar," jawabnya lesu.Hingga, suara ketukan bel pintu terus berbunyi. Amilie terkesiap, ia bangkit dari duduknya dan siap menyambut kedatangan Theo. "Akhirnya dia pulang juga, aku akan meminta dia menemaniku makan," ucap Amilie dengan wajah berseri.Perlahan, ia membuka pintu itu dengan senyuman. Namun, senyuman itu berubah kecut saat yang ada di hadapannya bukanlah suaminya, Stephen -- mantan pacar yang membuat hatinya hancur. Pada saat Amilie hendak menutup pintu itu kembali, tangan Stephen menahannya dengan kuat. Sehingga, membuat Amilie kewalahan dan terpaksa membiarkan pintu terbuka."Mau apa kamu datang ke sini? Calon istrimu sekarang bukan lagi
"Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini sebelum tulangmu patah!" usir Theo dengan suara serak.Namun, lagi-lagi Stephen hanya tersenyum masam. Dirinya begitu tenang saat berhadapan langsung dengan Theo."Kamu yakin mau mengusir aku dari sini, Kak?" sahut Stephen dengan dada membusung dan kepala mendongak, menatap wajah Theo."Pergi kamu dari sini! Aku tidak ingin melihat tampangmu di rumah ini!" teriak Theo.Bibir Amilie gemetar, jantungnya berdebat kencang. Ia ketakutan melihat rona merah pada mata Theo. Sebab, ini pertama kalinya ia melihat Theo Namun, demi sebuah kedamaian. Perlahan Amilie mendekat dan menggenggam tangan Theo. Ia mengelus lembut tangan itu, berusaha menenangkan suaminya yang tampak begitu marah.Theo yang merasakan genggaman Amilie pun langsung menoleh ke arah istrinya. Amilie lekas memberi isyarat mata, agar suaminya tidak terlalu meladeni Stephen.Hingga, tak lama kemudian suara langkah kaki memasuki rumah itu. Amilie dan Theo menoleh secara bersamaan. Dan Step
Sembari membawa dua koper di kanan-kirinya, Amilie dan Theo pun kemudian berjalan keluar dari rumah itu. Theo keluar dengan penuh kekecewaan terhadap Sanjaya yang bertindak tidak adil terhadap dirinya itu.Dalam hati, Stephen tertawa senang. Ia pun kemudian berjalan keliling rumah itu sembari memandangi langit-langit rumah yang kini telah menjadi miliknya."Aku tidak akan mau tinggal di rumah itu!"Theo memasukkan dua buah koper itu ke dalam bagasi dengan kesal sembari terus mengomel.BRAK!Dengan sekuat tenaga Theo menutup pintu bagasi itu begitu keras hingga menimbulkan suara yang mendenging di telinga Amilie. Suara itu membuat Amilie terhenyak seketika, tetapi ia berusaha memakluminya.Sanjaya melihat ke luar, ia menatap Theo yang memasuki mobil jok depan dengan Amilie. Reza berjalan menyusul majikannya, tetapi keegoisan Sanjaya menghentikan Reza."Kamu di sini saja bersama saya! Biarkan dia berdua dengan istrinya!""Maaf, Tuan. Tapi, saya biasanya bekerja untuk Pak Theo," sahu
Di jalan raya saat Theo tengah melempar gurauan pada Amilie. Terlihat dari kaca spion, ada sebuah mobil yang terus mengejar mobil miliknya. Mobil itu menyelinap diantara mobil yang lain dan terus mengikutinya ke manapun pergi.Theo mempercepat kemudi mobilnya, tetapi mobil itu terus berdekatan dengan mobilnya. Seolah tak mau tertinggal.Amilie yang juga melihat hal itu pun, membuatnya cemas. Ia terus menerus melihat ke belakang karena takut orang jahat mencegat mereka. "Bersiaplah untuk pegangan! Kita akan ngebut!" ujar Theo memberi aba-aba kepada Amilie.Sontak, Amilie pun memegang pegangan yang ada di atasnya. Ia berusaha mencengkeram kuat pegangan itu, karena seperti yang dikatakan oleh Theo. Ia mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Ini membuat Alissia ketakutan. Tetapi, ia pun tidak bisa berbuat banyak selain menurut dengan permintaan Theo.Hingga, Theo pun akhirnya sampai di salah satu apartemen milik Grup J. Ia segera keluar dari mobil itu. Namun ternyata, mobil yang tadi
14. Theo menyodorkan sebuah kartu kepada resepsionis tersebut."Saya mau tinggal disini. Tolong siapkan kamar VIP untuk kami!" pinta Theo.Resepsionis itu pun kemudian mengambil kartu tersebut.Amilie terus melihat ke arah pintu, ia takut jika Stephen menyusulnya sampai ke sana. Bibirnya kering dengan perasaan panik yang tak kunjung hilang."Mas, bagaimana kalau dia menemukan kita?" ucap Alissia panik dengan pandangan terus ke luar. Memperhatikan siapa saja orang yang keluar -- masuk apartemen tersebut."Tenang saja, dia tidak akan berani mengganggumu."Tak lama setelah menunggu, resepsionis itu mengembalikan kartu itu kepada Theo."Maaf, Pak. Kartu Anda sudah terblokir."Lalu, Theo mengambil kartu yang satunya lagi. Yang mana kemudian kartu itu ia berikan kepada resepsionis tersebut untuk diperiksa juga."Maaf, yang ini juga sudah diblokir."Theo menerima kartu terakhir yang dimilikinya tersebut."Papa! Ini pasti karena ulahnya!" umpat Theo di dalam hatinya.Kekesalan itu tampak sek
Amilie yang melihat Rosalina terus melihat ke arahnya membuatnya tidak bisa diam saja. Ia berjalan ke arah Rosalina dan meminta maaf."Ma, maaf kalau sikap Mas Theo membuat Mama jengkel. Tapi, mungkin dia juga sedang ada masalah dengan hidupnya," ucap Amilie meminta maaf.Meskipun begitu, Rosalina tidak peduli. Sebab, Theo merupakan saingannya Stephen -- anaknya sendiri."Tidak masalah, sudah biasa. Tenang saja, Mama dukung pernikahan kamu dengan Theo."Amilie yang mendapat dukungan itu malah merasa sedih, sebab pernikahan yang ia inginkan adalah dengan Stephen. "Terima kasih," sahut Amilie sembari tersenyum samar.'Berarti selama ini Mama mertua tidak setuju kalau aku menikah dengan Stephen' pikir Amilie dalam lamunannya."Kamu lebih cocok dengan Theo daripada Stephen!" ujar Rosalina seraya menepuk-nepuk pundak Amilie.Amilie mengedipkan mata, ia bangkit dari lamunannya. Lalu, kemudian berpamitan kepada Rosalina."Kalau begitu aku permisi, Ma.""Ya, silakan."Amilie melangkah pergi
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,