"Jangan mencoba berbohong!"Theo menyeringai, seolah tengah meledek perkataan Stephen terhadapnya. "Setelah apa yang ia lakukan, dia sekarang mengejar-ngejar apa yang setelah sekian lama ia tinggalkan!" umpatnya di dalam hati."Aku ingin membuktikannya. Sekarang aku harus menemui Amilie langsung!" katanya memaksa.Namun, saat Stephen berjalan menghampiri Amilie yang kini masih belum keluar dari toilet. Theo langsung menahan tubuhnya bagian depan. "Tidak perlu. Dia anakku dan aku yang akan membesarkannya dengan Amilie!"Theo pun pergi menuju toilet, ia menggedor-gedornya."Sayang, kamu masih di dalam?" tanya Theo khawatir sembari sesekali menoleh ke arah Stephen yang ternyata masih ada di sana.Amilie yang mendengar gedoran serta suara suaminya yang terdengar khawatir kepadanya, membuatnya langsung menoleh dan menyahut. "Iya, Mas. Tunggu sebentar~!" begitulah katanya.Amilie pun mematikan keran tersebut dan langsung membuka pintu. Klek!Kepala pun mulai terlihat keluar dari toilet.
Makan malam pun berakhir, Amilie beranjak dari meja makan. Ia bermaksud untuk ke toilet karena merasa sedikit mual. Ketika yang lainnya sudah pergi dari meja makan dan bersiap pulang, Amanda menggunakan kesempatan itu untuk mendekati Theo. "Kakak ipar~! Boleh aku duduk di sini?" tanya Amanda.Pertanyaan itu membuat Theo menoleh. Ia merasa heran dengan sikap Amanda, tetapi ia tidak mengangguk atau mengizinkan wanita itu untuk duduk di sampingnya.Dengan tidak tahu dirinya, ia pun langsung duduk begitu saja. "Aku pasti boleh dong ya duduk di sini. Tidak mungkin kamu melarang. Tapi, aku juga mengerti kalau kamu merasa tidak nyaman karena takut Amilie menyangka yang tidak-tidak," ucapnya.Sekali lagi, Theo hanya terdiam sembari menatap layar ponsel. Ia mengabaikan wanita yang dipikirnya hanya akan menghancurkan hidupnya. Wanita yang menjadi benalu jika ia ladeni."Amilie pasti ke toilet lagi. Tapi kenapa lama sekali? Aku tidak tahan dengan wanita ini. Tapi, aku juga bingung dengan situ
"Ekhem!" Amilie masih tak menoleh, ia hanya terus memandang jauh mencari keberadaan Theo yang tak bersama dengannya."Ekhem!" Stephen berdeham kembali. Ia terus berusaha untuk mengalihkan perhatian Amilie agar menoleh ke arahnya."Mau apa kamu ke sini menemuiku?" sahut Amilie dengan nada ketus.Sebetulnya, sedari tadi ia menyadari dan melihat Stephen yang berdiri di sampingnya. Tetapi, ia tidak begitu mempedulikannya. Karena ada sesuatu hal yang teramat penting untuknya dibandingkan hanya meladeni orang yang tidak penting."Kenapa kamu ketus begitu, sih? Padahal aku datang ke sini karena ingin menjaga silaturahmi sama kamu. Walau sudah jadi mantan, itu tidak berarti harus memutus tali silaturahmi, 'kan?""Kalau tujuanmu buruk, mungkin memutus silaturahmi tidak lagi menjadi masalah.""Aku tidak mau berdebat denganmu. Ngomong-ngmong ..." Stephen menjamah seluruh tubuh Amilie yang tampak begitu cantik dengan pakaian yang dikenakannya malam ini. Meskipun dalam keadaan hamil, Stephen
"Dari tadi pembicaraan kita ngelantur saja. Katakan dengan jelas, sebenarnya apa yang mau kamu sampaikan kepada saya?" tanya Theo dengan nada ketus karena sudah terlanjur kesal dengan orang yang ada di hadapannya tersebut.Saat itu, Theo bahkan sudah siap berbalik badan dan pergi menemui Amilie agar mereka segera pulang. Namun, lagi-lagi Amanda menahannya untuk tau pergi."Sabar sebentar. Baiklah, sekarang aku akan mengatakannya.""Cepat katakan! Waktu saya tidak banyak!""Apa kamu tahu sesuatu mengenai Amilie?" "Soal apa? Jangan bertele-tele!" tanya Theo sembari mengerutkan dahi."Tapi kamu pasti akan sakit hati mendengarnya. Dan ... Aku tidak yakin kamu akan percaya padaku," tutur Amanda.Pernyataan Amanda ini membuat dirinya bertambah penasaran, ia semakin ingin mengetahui apa yang ingin Amanda katakan kepadanya. Sebab, sepertinya terlihat sangat penting dan ini berhubungan erat dengan dirinya."Cepat katakan, jangan membuatku penasaran!""Tapi, aku yakin kamu pasti akan sakit ha
Setelah melakukan pembicaraan panjang lebar dengan Amanda, Theo pun langsung kembali ke ruangan pesta makan malam.Namun, rupanya di sana tidak banyak orang yang duduk ataupun berkumpul. Hanya ada Dania yang sedang duduk santai dengan Rosalina."Yang lainnya ke mana, Ma?" tanya Theo mengarah kepada Dania.Rosalina yang ada di sana hanya diabaikannya saja. Sebab, dirinya merasa tidak nyaman jika bertanya kepada Rosalina."Nak, lebih baik bergabung dulu di sini!" ajak Rosalina kepada Theo."Maaf, tapi aku sedang bicara dengan Mama mertuaku!" tegas Theo menoleh ke arah Rosalina.Rosalina langsung merasa terintimidasi dengan kalimat yang terlontar keluar dari mulut Theo itu."Kurang ajar anak itu! Dia bahkan bersikap tidak sopan kepadaku di depan orang lain! Dasar tidak tahu sopan santun!" umpat Rosalina di dalam hatinya. Pandangannya menatap tajam seraya mengepalkan salah satu tangan. Hingga, kemudian dirinya memaksakan dirinya untuk melontarkan senyum palsu. "Kenapa kamu malah mengata
"Oh, bagus! Sekarang dia mematikan teleponnya! Sebenarnya apa yang kamu mau ini, Amilie?!" umpatnya kesal.Tetapi, ia mencoba menghubunginya lagi karena rasa khawatirnya tak kunjung hilang. Perasaan di hatinya pun tidak nyaman, seolah tengah memberitahu bahwa hal buruk terjadi pada Amilie.Dan untuk kedua kalinya pria berkedok hitam itu menjawab telepon dari Theo lewat ponsel Amilie."Halo? Amilie, bicaralah! Jangan marah tidak jelas begini?""Halo. Ada perlu apa Anda menghubunginya?" jawab pria berkedok itu dengan suara besar.Pria itu memang menyamarkan suara tersebut, agar tak ada yang mengenalinya.Theo pun langsung terheran-heran. Kedua bola matanya terbelalak kaget. "Siapa kamu?! Kenapa ponsel istri saya ada sama kamu?!" tanya Theo dengan nada tegas."Anda bisa menebaknya sendiri kenapa ponsel ini ada pada saya!""Awas, kamu jangan macam-macam dengan istri saya! Sekarang katakan, dimana dia berada?!" kecam Theo dengan suara keras.Ckiiitt!"Tidak boleh, Amilie tidak boleh kenapa
Kedua anak buah Stephen itu saling berpandangan. Lalu, mereka pun berjalan ke arah Amilie disekap. Salah seorang diantaranya menyentuh pipi Amilie, memastikan bahwa wanita itu masih belum sadarkan diri atau hanya berpura-pura saja.Amilie menahan nafasnya beberapa saat hingga dadanya terlihat agak membusung. Ia melakukan hal ini karena tidak ingin bahwa akalnya diketahui oleh mereka."Bagus. Sepertinya dia masih belum sadar. Sekarang kita bisa santai sebentar dan menikmati kopi yang hampir dingin itu!" kata salah seorang pria dengan tubuh agak gempal. Lalu, temannya yang lain mengangguk. "Benar, ayo sekarang kita ke sana!" ajaknya.Saat itu, mereka masih mengenakan kedok. Mereka belum melepasnya sama sekali, sehingga Amilie tidak tahu dan tidak dapat menghafal satu persatu wajah mereka.Hanya Stephen saja yang ia ketahui mengenai dalang dibalik penculikan dirinya malam ini.Ketika kedua anak buah Stephen itu sudah berjalan jauh dari Amilie. Secara perlahan, Amilie pun membuka matan
"Sebaiknya aku telepon saja Stephen, mungkin dia bisa mengetahui atau membantuku mencari Amilie." Tanpa memiliki rasa curiga atau memikirkan hal itu, Theo langsung mengambil ponsel dan menghubunginya.Stephen yang baru saja sampai rumah dan hendak melangkah masuk ke dalam kamarnya, ia pun langsung menghentikan langkah kaki itu dan melihat ponselnya yang ada di dalam saku."Kak Theo? Mau apa dia menghubungiku malam-malam begini, apa dia tahu sesuatu mengenai apa yang aku lakukan?" batin Stephen dengan panik.Tetapi, untuk mengelabui Theo. Ia mencoba tampak tenang dan memilih untuk menjawab telepon itu. Karena tidak ingin jika dirinya dicurigai oleh Theo."Ya, halo. Ada apa Kakak menghubungiku malam-malam begini?" tanya Stephen dengan santainya."Apa kamu tahu sesuatu mengenai Amilie? Dia sepertinya diculik. Tadi sudah kutelpon tapi yang menjawab malah seorang pria yang bahkan suaranya baru kudengar," tutur Theo dengan panik."Benarkah? Apa Kakak masih yakin dia diculik? Siapa tahu saja