Azlan memandang ayahnya dengan rasa enggan, tentu saja karena pikiran-pikiran negatif akan apa yang diucapkan sang papa berputar di kepala. “Jika ingin menyalahkan apa yang terjadi kepadaku hari ini, salahkan saja aku. Jangan pernah menyalahkan Ayana karena dia tidak tahu apa-apa. Aku memang bodoh, tapi mata hatiku tidak buta. Aku tidak akan pernah mungkin bisa membiarkan orang kesayanganku terluka.” Azlan bicara seperti kereta ekspres yang tak bisa dihentikan, sebelum ayahnya menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Firman mengembuskan napas kasar mendengar ucapan Azlan, hingga kemudian menarik kursi agar lebih dekat dengan ranjang, sebelum akhirnya duduk di sana. Firman menatap Azlan yang masih berbarin, hingga kemudian berkata, “Yang patut disalahkan adalah pelaku penusukan, bukan kamu atau Ayana.” Azlan sangat terkejut mendengar ucapan Firman, sampai merasa jika dia sudah salah mendengar. “Aku tahu seberapa bencinya kamu kepadaku, tapi aku tidak menyalahkan juga takkan mint
“Kondisimu sudah membaik, kan? Papa sangat cemas saat mendengar kabar kamu hampir terkena tusuk.”Jonathan yang sebelumnya ingin pergi ke luar kota, mengurungkan jadwal kepergiannya karena mendengar kabar soal Ayana.“Sudah membaik, Pa. Hanya saja tadi memang harus mendapat transfusi darah balik karena kondisiku menurun. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa,” ujar Ayana menjelaskan saat Jonathan menemuinya di ruang inap Azlan.Jonathan sangat lega, saat perjalanan menuju rumah sakit, dia tak berhenti memikirkan kondisi Ayana. Kini dia bisa bernapas begitu lega.“Lalu bagaimana dengan pelakunya?” tanya Jonathan sambil mengusap rambut Ayana.“Pelakunya sudah ditangkap dan akan menjalani proses yang berlanjut. Dia ingin mencelakaiku karena kesal, sebab tak bisa memiliki pria yang dulu jadi mantan tunanganku,” ujar Ayana menjelaskan ketika menjawab pertanyaan Jonathan.Jonathan mengerutkan alis mendengar jawaban Ayana. Dia sedikit tak paham dengan apa yang dimaksud putrinya.“Jadi, polisi me
“Sudah, aku sudah kenyang.”Azlan menolak Hyuna yang ingin menyuapinya lagi.“Makan! Kamu ini masih sakit, harus makan banyak biar cepat pulih!” Hyuna tetap memaksa meski Azlan menolak.“Kalau rajin minum obat, aku yakin akan cepat pulih,” elak Azlan agar tidak terus disuapi.“Alasan saja! Pokoknya ini harus habis!” Hyuna tetap memaksa meski Azlan menolak.Azlan sudah bisa bangun dan duduk setelah sehari dirawat pasca operasi. Hyuna sendiri terus menemani Azlan di rumah sakit, memastikan perkembangan kondisi kesehatan Azlan agar cepat pulih.Azlan terpaksa membuka mulut agar Hyuna bisa menyuapi, daripada kekasihnya itu terus mengomel.Ayana dan Deon menahan tawa, tidak menyangka jika Azlan akan takut dan kalah dari Hyuna.“Kalau kalian menikah, sudah bisa dipastikan Azlan akan kalah dari Hyuna,” ujar Deon meledek Azlan.“Enak saja, mana ada suami takut istri,” sanggah Azlan tak mau kalah.“Apa? Apa kamu bilang? Maksudmu nanti, kamu mau berkuasa melawan aku, gitu?” Hyuna langsung membe
“Hari ini Azlan keluar dari rumah sakit. Aku ingin menjemputnya juga,” ujar Ayana sambil mengeringkan rambutnya.Deon yang baru saja berganti pakaian pun mendekat ke Ayana, kemudian mengambil pengering rambut dari tangan istrinya itu. Dia mulai membantu Ayana mengeringkan rambut.Selama beberapa hari ini, Firman tak datang ke rumah sakit untuk menjaga Azlan, tidak ada yang tahu apa alasan pria itu tak peduli, yang jelas bagi Ayana dan Azlan, Firman sedang memberi kesempatan mereka untuk bebas.“Jadi, keputusan Azlan sudah final?” tanya Deon sambil menggerakkan hair dryer di atas rambut Ayana.“Ya, aku menghormati apa pun keputusannya,” jawab Ayana, “lagi pula, aku merasa jika sekarang Azlan sudah lebih dewasa. Bisa membuat keputusan berdasarkan apa yang benar-benar dibutuhkan, juga apa yang diinginkan. Aku pun berharap dia mau berusaha dan tidak bertanggung ke orang lain lagi,” ujar Ayana kemudian.“Hm … sudah sepatutnya dia lebih dewasa. Semoga setelah ini, semua berjalan dengan baik
“Tuan.”Pembantu rumah Firman memanggil majikannya itu setelah sebelumnya mengetuk pintu ruang kerja Firman.Firman yang sedang duduk di meja kerjanya setelah pulang dari kantor pun langsung memandang ke arah pembantunya.“Ada apa?” tanya Firman.“Itu, Tuan Azlan dan Nona Ayana di depan.”Firman langsung berdiri begitu mendengar nama kedua anaknya disebut.“Mereka pulang?” tanya Firman setengah tak percaya.Pembantu mengangguk dengan ekspresi bahagia.Firman bergegas keluar untuk menemui Ayana dan Azlan. Terlepas dari maksud keduanya datang, Firman hanya senang karena keduanya mau menginjakkan kaki di rumah itu lagi.Di ruang tamu. Ayana dan yang lain duduk menunggu Firman keluar dari rumah.Ayana mengedarkan pandangan, memperhatikan seluruh ruangan yang masih sama seperti dulu. Dia sudah lama tak menginjakkan kaki di sana setelah perseteruannya dengan sang papa, kini dia kembali dan melihat semua masih pada tempatnya.Firman ke ruang tamu, melihat Ayana dan Azlan yang duduk di sana.
Azlan dan Ayana sangat terkejut karena Firman sampai menangis. Mereka tidak pernah membayangkan, bahkan menduga jika pria itu bisa menangis di hadapan mereka.Azlan bangun meski pelan-pelan karena lukanya yang belum sembuh sempurna. Dia kemudian mendekat ke Firman, lantas menepuk pelan punggung ayahnya itu.“Kami memaafkan asal Papa benar-benar mau berubah,” ucap Azlan sambil mengusap secara konstan punggung Firman.Firman tak bisa berkata-kata, hanya bisa menganggukkan kepala sambil masih menyembunyikan wajahnya.Ayana sendiri merasa lega, setidaknya dia tak harus berseteru dengan pria yang sudah mendidiknya meski dengan cara keras.“Papa berterima kasih kalian mau memaafkan,” ujar pria itu setelah sedikit tenang. Dia mengusap air mata yang sempat menetas, lantas memberanikan diri memandang Azlan dan Ayana secara bergantian.Ayana hanya mengangguk membalas ucapan Firman. Dia paham jika tak mudah untuk Firman meminta maaf, sehingga ucapan Firman saat ini begitu berarti.“Berarti kamu
“Berkas ini sudah aku pilah, kamu tinggal cek apa sudah benar atau belum.”Deon memberikan beberapa stopmap berisi berkas laporan proyek yang sedang ditangani perusahaan Ayana, termasuk proyek sekolah milik Jonathan.“Terima kasih,” ucap Ayana yang merasa terbantu punya dua asisten.Ayana mengecek berkas yang diberikan Deon. Ini sudah satu bulan semenjak hubungan dengan ayahnya membaik. Ayana bersyukur karena dalam kondisi hamil tak perlu lagi cemas akan perselisihan dengan ayahnya.Deon menatap wajah Ayana yang terlihat berseri, bahkan tampak tak memiliki beban meski banyak sekali pekerjaan yang harus ditangani.Saat masih menunggu Ayana mengecek, ponsel Deon berdering hingga membuat Ayana memandang pemuda itu.“Siapa yang menghubungi?” tanya Ayana. “Gery,” jawab Deon, “aku jawab bentar,” ucapnya lagi karena berpikir jika Gery mungkin saja membutuhkan sesuatu di kafe.Ayana hanya mengangguk menanggapi ucapan Deon, hingga kemudian kembali mengecek berkasnya.“Halo.” Deon menjawab pan
“Apa? Mau apa?” Gery begitu syok mendengar ucapan Shirly.Ibu Gery gemas karena anaknya malah terkejut seperti itu. Dia bahkan sampai memukul lengan Gery dengan keras.“Ini mau lahiran, malah tanya lagi. Itu udah kesakitan, bawa ke rumah sakit!” amuk ibu Gery yang tidak habis pikir dengan keterkejutan anaknya yang berlebihan.Deon sendiri sudah berdiri, lantas memegang tangan Shirly untuk mengajaknya berdiri.“Kita ke rumah sakit,” kata Deon memapah Shirly.“Biar aku temani ke rumah sakit,” ujar Gery sambil berniat ikut memapah Shirly.“Eh, ga usah. Kamu lagi kerja, tanggung jawab buat kerja. Biar ibu yang temani, lagi pula ibu lebih pengalaman.” Wanita itu mendorong Gery mundur agar menjauh dari Shirly.Deon hanya menghela napas melihat tingkah ibu dan anak itu, lantas melihat Shirly yang sudah kesakitan.“Ger, kamu jaga kafe. Nanti tutup lebih awal saja.” Akhirnya Deon memberi keputusan.Deon membawa Shirly ke rumah sakit dibantu ibu Gery.“Jangan mengejan dulu, nunggu sampai rumah
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida