“Ada apa ke sini?” tanya Deon sambil memberikan ekspresi wajah datar, tidak seperti biasanya saat bertemu dengan gadis itu. “Kenapa sikapmu begini?” tanya Hyuna yang siang itu memang sengaja mendatangi Deon di kafe. “Begini bagaimana? Aku bersikap biasa, Hyuna.” Deon membalas dengan nada suara biasa. Dia hanya tidak ingin dianggap keterlaluan atau sombong, padahal Hyuna dulu sudah banyak membantunya. Hyuna membuang napas kasar, menatap Deon yang terus mengalihkan tatapan darinya. “Kamu benar-benar menerima pernikahanmu dengan wanita itu, meski terpaksa? Aku menyukaimu sejak dulu, tidak bisakah kamu mempertimbangkannya? Aku bisa menunggumu, misal kamu ada niat berpisah dengan wanita itu,” ucap Hyuna sambil menatap penuh harap ke Deon. “Hyuna!” Deon bicara dengan nada keras hingga membuat Hyuna terkejut dan mengedikkan bahu. Bahkan Gery yang tidak jauh dari Deon dan Hyuna duduk, ikut bergedik karena terkejut. Dia pun buru-buru menjauh karena tidak ingin terlibat. Hyuna menatap tid
“Kamu belum tidur?” Deon baru saja pulang dari kerja part tim. Dia melihat Ayana yang duduk sambil menonton televisi.Ayana menoleh, melihat Deon yang kini berjalan menghampirinya.“Aku lapar,” ucap Ayana.Deon mengerutkan alis mendengar ucapan Ayana, hingga kemudian bertanya, “Kenapa tidak makan? Biasanya kamu pesan makanan.”Deon mengerutkan alis, merasa aneh jika sampai Ayana kelaparan.Ayana menurunkan kaki yang disilangkan, menatap Deon dengan ekspresi wajah kesal.“Aku ingin makan masakanmu. Kupikir kamu masih ada sisa makan siang tadi di apartemen, ternyata tidak ada apa-apa,” ujar Ayana dengan ekspresi wajah penuh kekecewaan.“Apa porsi siang tadi kurang?” tanya Deon keheranan. Dia duduk di samping Ayana, menatap wanita itu yang terlihat kesal.“Bukan kurang, tapi sesuap saja aku belum merasakannya. Semua dimakan Kyle sampai habis, dia tidak menyisakan sesuap pun untukku!” jawab Ayana sambil mengeluh.Deon terkejut mendengar ucapan Ayana, tapi kemudian malah tertawa lucu.Aya
Ayana mengedip-ngedipkan kelopak mata mendengar pertanyaan Deon. Sungguh isi kepalanya mendadak kosong mendengar permintaan pemuda yang menjadi suaminya itu.Deon menyadari jika permintaannya sangat mendadak. Dia pun mencoba menjelaskan agar Ayana tidak salah paham.“Bukankah kamu bilang sudah tidak ada kontrak. Aku berpikir kenapa kita tidak bisa satu kamar. Lagi pula kita suami-istri, akan aneh jika suatu saat nanti orang tuamu atau orang tuaku datang lalu tahu kita--” Deon bicara dengan cepat, tapi kalimatnya dipotong cepat oleh Ayana.“Pindahlah jika kamu menginginkannya,” ucap Ayana memotong apa yang sedang dikatakan Deon.Deon menatap Ayana, terkejut karena mengira jika Ayana akan menolak permintaannya yang dianggap berlebihan.“Kamu tidak masalah? Aku tahu permintaanku aneh, kupikir kamu tidak nyaman dengan itu,” ujar Deon sedikit ragu.Ayana mengulas senyum, hingga kemudian membalas, “Seperti katamu, kita suami-istri sudah seharusnya sekamar. Permintaanmu tidak aneh, itu wajar
Nabila menatap Ayana dengan dahi berkerut halus. Dia bingung karena Ayana datang ke rumahnya pagi-pagi di saat dia sedang menyiapkan kebutuhan suaminya yang hendak bekerja.Sekarang setelah Nabila duduk dan bertanya apa yang terjadi. Ayana malah berbaring sambil menyandarkan kepala di sandara sofa, tatapan wanita itu tertuju ke langit-langit ruang tamu di rumah Nabila.“Kamu ini sebenarnya kenapa sih, Ay?” tanya Nabila bingung.Ayana menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.Nabila merasa aneh melihat Ayana, hingga kemudian menebak sendiri. “Kamu sedang ada masalah?”Ayana menoleh Nabila, lantas bangun dan duduk berhadapan dengan sahabatnya itu. Dia akhirnya bicara setelah cukup lama diam.“Sepertinya aku butuh psikiater,” ucap Ayana sambil menatap Nabila.Nabila mengerutkan alis mendengar ucapan Ayana, hingga kemudian berkata, “Kalau kamu butuh psikiater, kenapa malah ke sini?”Kedua pundak Ayana merosot, hingga kemudian mengambil bantal sofa dan memeluknya, bahkan meletak
“Sialan!”Rey mengumpat kesal. Dia membanting stopmap yang baru saja dipegangnya. Rey frustasi karena kesekian kalinya berkas pengajuan kerjasama ditolak oleh kliennya.“Sekarang bagaimana?” tanya Abigail yang berada di ruangan itu dan melihat Rey begitu kesal.“Apanya bagaimana? Ini sudah kontrak kerjasama kelima yang ditolak minggu ini. Ini semua imbas dari gagalnya pernikahanku dengan Ayana,” geram Rey. Dia seharusnya menyadari konsekuensi yang akan didapat jika sampai gagal menikah dengan Ayana, tapi nafsunya lebih besar hingga membawanya ke lubang masalah.Abigail pun tidak bisa apa-apa. Sudah hampir dua minggu semenjak Rey gagal menikah dengan Ayana, pria itu mudah marah dan sering membentak.“Semua ini juga karenamu!” amuk Rey kini menyalahkan Abigail.Abigail sangat terkejut mendengar amukan Rey.“Kenapa aku yang disalahkan?” tanya Abigail tidak terima.“Ya, kalau kamu tidak datang ke kamar ganti dan merajuk, aku tidak perlu merayumu! Kemungkinan Ayana pun tidak akan tahu deng
Deon masih di apartemen ketika mendapat informasi tentang perkembangan kasus penyebar berita tentangnya dan Ayana. Pihak kampus juga memberitahu siapa yang menyebar berita itu dan informasi itu juga sudah diteruskan ke Ayana. Dia juga diberitahu jika masa skorsing dicabut dan bisa megikuti kelas seperti biasa setelah melapor.“Di mana dia?” Deon bertanya-tanya karena Ayana tidak menjawab panggilannya.Deon berusaha menghubungi Ayana, tapi istrinya itu tidak menjawab panggilannya, membuat Deon cemas karena takut jika Ayana melakukan hal tak terduga setelah mengetahui siapa pelakunya.Deon pun menyambar jaket, berniat mencari Ayana di perusahaan. Dia tidak akan bisa tenang sampai menemukan Ayana dan bicara dengan wanita itu.Deon pergi menggunakan taksi. Dia sampai di perusahaan dan bertemu dengan satpam.“Bu Ayana belum terlihat datang sejak pagi,” kata satpam yang tempo hari mengira Deon kurir.“Belum datang? Tapi dia pamit ke kantor sejak pagi tadi,” ucap Deon semakin panik. Entah ke
Ayana mengamati jalan yang dilewati. Melihat ke mana Deon membawanya hingga dahi berkerut halus.“De, kita mau ke mana?” tanya Ayana dengan ekspresi bingung meski bisa menebak. Dia menoleh ke Deon yang sedang menyetir.“Ke tempat yang bisa membuatmu senang. Tempat yang bisa membuatmu senang dan sejenak melupakan masalahmu,” jawab Deon sambil terus menyetir. Dia menoleh sekilas ke Ayana, sebelum kembali fokus ke jalanan.Deon tahu jika penyebar berita adalah ketua penyiaran, tapi tidak tahu jika ketua penyiaran adalah sepupu Rey, hingga Deon pun tidak tahu jika mantan tunangan Ayana itu yang sebenarnya menjadi dalang dari masalah yang terjadi.Ayana masih diam duduk di samping Deon. Hingga mobil yang dikemudikan pemuda itu masuk ke gerbang sebuah parkiran. Tebakan Ayana tidak salah, Deon mengajaknya pergi ke taman bermain.“Kenapa kita ke taman bermain?” tanya Ayana keheranan.Deon sudah memarkirkan mobil dengan benar. Kini menoleh Ayana sambil melepas seatbelt.“Di sini ada arena berm
Deon pergi membeli es krim. Dia harus mengantri karena banyak antrian di stand itu. Hingga saat sedang menunggu jatah antrian, ada dua gadis yang mendekat ke arah Deon sambil terlihat malu-malu.“Kakak, tidak kusangka bisa bertemu denganmu di sini,” ucap salah satu gadis ketika menyapa.Deon menoleh dan melihat dua gadis yang biasa datang ke kafe, kini berdiri di sampingnya sambil tersenyum.“Ah … ya,” balas Deon setengah terkejut karena bertemu dengan para gadis itu.“Apa Kakak sendiri? Mau bergabung dengan kami?” tanya salah satu gadis itu, lantas diamini gadis lainnya dengan sebuah anggukan.Deon terkejut mendapat tawaran itu. Hingga dia menoleh ke Ayana, melihat istrinya itu sudah menyipitkan mata ke arahnya. Bahkan raut wajahnya memperlihatkan jika Ayana sedang tidak senang.Deon kembali menatap dua gadis itu yang menunggu jawabannya, hingga kemudian berucap, “Maaf, aku datang ke sini dengan seseorang.”Deon bicara sambil menunjuk ke Ayana. Dua gadis itu pun menoleh ke arah Deon
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida