“Apa yang Hyuna katakan kepadamu?” tanya Deon penasaran karena Ayana tidak kunjung bicara.Ayana menatap Deon yang sudah memandangnya. Hingga wanita itu mencebik seolah apa yang akan dikatakan tidak penting.“Sudahlah jangan dibahas, mungkin aku saja yang sedang banyak kerjaan dan lelah, sehingga berpikiran berlebih,” ucap Ayana seolah tidak mau cerita, padahal sedang memancing Deon lebih penasaran.Cara Ayana memang bisa dibilang licik, tapi dia hanya ingin memberi pelajaran ke Hyuna, serta membuat Deon memperlihatkan seberapa pentingnya Ayana untuk pemuda itu.“Tapi aku mau membahasnya. Katakan, apa yang Hyuna katakan hingga membuat moodmu buruk?” tanya Deon memaksa karena penasaran.Ayana sedang ingin mengambil lauk, tapi terhenti saat mendengar pertanyaan Deon. Dia pun kembali memandang pemuda itu dengan suara helaan napas berat.“Dia bilang aku memang tidak layak untukmu, katanya aku juga terlalu tua. Ya, meski benar, tapi rasanya menyakitkan. Andai dia tahu kalau kita menikah ka
Haruskah Ayana bersyukur. Dia membuang batu kerikil, kemudian mendapatkan berlian. Berlian yang terbungkus lumut dan kini menunjukkan keindahan saat bersamanya.Bibir mereka sudah sangat dekat, bahkan embusan napas terasa menerpa satu sama lain. Meski otaknya menolak saat Deon mendekat, tapi jantungnya berdebar cepat hingga membuat tubuh mendadak membeku, memberikan sinyal jika tidak akan ada penolakan.Bibir mereka hampir menyentuh, hingga tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Deon berhenti bergerak, menatap Ayana yang berada di bawahnya. Mereka saling tatap sejenak, hingga suara ketukan pintu kembali terdengar, membuat Deon buru-buru bangun dan kembali duduk sambil berdeham.Ayana pun duduk dengan benar, entah keapa merasa canggung. Dia merapikan rambut hingga berteriak mempersilakan orang yang mengetuk masuk.“Masuk!” perintah Ayana. Dia melirik Deon yang memalingkan wajah sambil memegang sendok.Ayana mengulum bibir, menahan tawa melihat Deon salah tingkah. Pemuda itu yang memu
Ayana berjalan dari lift menuju ruang kerjanya. Dia tampak sesekali menunduk sambil mengulum bibir, tiba-tiba merasa malu saat ingat apa yang dilakukan tadi saat di lift bersama Deon.Sebut dia gila, semua karena pemuda yang mampu membuat otaknya berpikir tak waras. Ayana benar-benar tidak menyangka jika akan tertarik dengan pemuda itu, awalnya mengira jika Deon tidak akan pernah menyukainya, tapi siapa sangka semua itu salah.Ayana masuk ke ruang kerjanya untuk melanjutkan makan, sedangkan Deon pamit pergi ke kafe juga sebenarnya malu bertemu Kyle karena sudah cemburu dengan pria itu.Ayana menghentikan langkah, memandang tempat makan di meja yang sudah kosong. Kyle pun menatap Ayana yang baru saja datang, mulutnya penuh dengan makanan yang sedang dikunyah.“Oh, kupikir kamu akan datang saat jam makan siang berakhir,” ucap Kyle. Dia menelan makanan yang ada di mulut, kemudian mengambil air mineral di atas meja.Ayana tidak bisa berkata-kata. Bagaimana bisa Kyle menghabiskan jatah mak
“Ada apa ke sini?” tanya Deon sambil memberikan ekspresi wajah datar, tidak seperti biasanya saat bertemu dengan gadis itu. “Kenapa sikapmu begini?” tanya Hyuna yang siang itu memang sengaja mendatangi Deon di kafe. “Begini bagaimana? Aku bersikap biasa, Hyuna.” Deon membalas dengan nada suara biasa. Dia hanya tidak ingin dianggap keterlaluan atau sombong, padahal Hyuna dulu sudah banyak membantunya. Hyuna membuang napas kasar, menatap Deon yang terus mengalihkan tatapan darinya. “Kamu benar-benar menerima pernikahanmu dengan wanita itu, meski terpaksa? Aku menyukaimu sejak dulu, tidak bisakah kamu mempertimbangkannya? Aku bisa menunggumu, misal kamu ada niat berpisah dengan wanita itu,” ucap Hyuna sambil menatap penuh harap ke Deon. “Hyuna!” Deon bicara dengan nada keras hingga membuat Hyuna terkejut dan mengedikkan bahu. Bahkan Gery yang tidak jauh dari Deon dan Hyuna duduk, ikut bergedik karena terkejut. Dia pun buru-buru menjauh karena tidak ingin terlibat. Hyuna menatap tid
“Kamu belum tidur?” Deon baru saja pulang dari kerja part tim. Dia melihat Ayana yang duduk sambil menonton televisi.Ayana menoleh, melihat Deon yang kini berjalan menghampirinya.“Aku lapar,” ucap Ayana.Deon mengerutkan alis mendengar ucapan Ayana, hingga kemudian bertanya, “Kenapa tidak makan? Biasanya kamu pesan makanan.”Deon mengerutkan alis, merasa aneh jika sampai Ayana kelaparan.Ayana menurunkan kaki yang disilangkan, menatap Deon dengan ekspresi wajah kesal.“Aku ingin makan masakanmu. Kupikir kamu masih ada sisa makan siang tadi di apartemen, ternyata tidak ada apa-apa,” ujar Ayana dengan ekspresi wajah penuh kekecewaan.“Apa porsi siang tadi kurang?” tanya Deon keheranan. Dia duduk di samping Ayana, menatap wanita itu yang terlihat kesal.“Bukan kurang, tapi sesuap saja aku belum merasakannya. Semua dimakan Kyle sampai habis, dia tidak menyisakan sesuap pun untukku!” jawab Ayana sambil mengeluh.Deon terkejut mendengar ucapan Ayana, tapi kemudian malah tertawa lucu.Aya
Ayana mengedip-ngedipkan kelopak mata mendengar pertanyaan Deon. Sungguh isi kepalanya mendadak kosong mendengar permintaan pemuda yang menjadi suaminya itu.Deon menyadari jika permintaannya sangat mendadak. Dia pun mencoba menjelaskan agar Ayana tidak salah paham.“Bukankah kamu bilang sudah tidak ada kontrak. Aku berpikir kenapa kita tidak bisa satu kamar. Lagi pula kita suami-istri, akan aneh jika suatu saat nanti orang tuamu atau orang tuaku datang lalu tahu kita--” Deon bicara dengan cepat, tapi kalimatnya dipotong cepat oleh Ayana.“Pindahlah jika kamu menginginkannya,” ucap Ayana memotong apa yang sedang dikatakan Deon.Deon menatap Ayana, terkejut karena mengira jika Ayana akan menolak permintaannya yang dianggap berlebihan.“Kamu tidak masalah? Aku tahu permintaanku aneh, kupikir kamu tidak nyaman dengan itu,” ujar Deon sedikit ragu.Ayana mengulas senyum, hingga kemudian membalas, “Seperti katamu, kita suami-istri sudah seharusnya sekamar. Permintaanmu tidak aneh, itu wajar
Nabila menatap Ayana dengan dahi berkerut halus. Dia bingung karena Ayana datang ke rumahnya pagi-pagi di saat dia sedang menyiapkan kebutuhan suaminya yang hendak bekerja.Sekarang setelah Nabila duduk dan bertanya apa yang terjadi. Ayana malah berbaring sambil menyandarkan kepala di sandara sofa, tatapan wanita itu tertuju ke langit-langit ruang tamu di rumah Nabila.“Kamu ini sebenarnya kenapa sih, Ay?” tanya Nabila bingung.Ayana menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.Nabila merasa aneh melihat Ayana, hingga kemudian menebak sendiri. “Kamu sedang ada masalah?”Ayana menoleh Nabila, lantas bangun dan duduk berhadapan dengan sahabatnya itu. Dia akhirnya bicara setelah cukup lama diam.“Sepertinya aku butuh psikiater,” ucap Ayana sambil menatap Nabila.Nabila mengerutkan alis mendengar ucapan Ayana, hingga kemudian berkata, “Kalau kamu butuh psikiater, kenapa malah ke sini?”Kedua pundak Ayana merosot, hingga kemudian mengambil bantal sofa dan memeluknya, bahkan meletak
“Sialan!”Rey mengumpat kesal. Dia membanting stopmap yang baru saja dipegangnya. Rey frustasi karena kesekian kalinya berkas pengajuan kerjasama ditolak oleh kliennya.“Sekarang bagaimana?” tanya Abigail yang berada di ruangan itu dan melihat Rey begitu kesal.“Apanya bagaimana? Ini sudah kontrak kerjasama kelima yang ditolak minggu ini. Ini semua imbas dari gagalnya pernikahanku dengan Ayana,” geram Rey. Dia seharusnya menyadari konsekuensi yang akan didapat jika sampai gagal menikah dengan Ayana, tapi nafsunya lebih besar hingga membawanya ke lubang masalah.Abigail pun tidak bisa apa-apa. Sudah hampir dua minggu semenjak Rey gagal menikah dengan Ayana, pria itu mudah marah dan sering membentak.“Semua ini juga karenamu!” amuk Rey kini menyalahkan Abigail.Abigail sangat terkejut mendengar amukan Rey.“Kenapa aku yang disalahkan?” tanya Abigail tidak terima.“Ya, kalau kamu tidak datang ke kamar ganti dan merajuk, aku tidak perlu merayumu! Kemungkinan Ayana pun tidak akan tahu deng