Sudah sebulan sejak Alba tiba di Indonesia dan tinggal bersama Janu, ada banyak kejadian yang terkadang membuat Janu sangat terkejut. Tinggal bersama bocah berusia 4 tahun nyatanya memiliki banyak sekali kejutan. Alba sedikit demi sedikit sudah meninggalkan botol susunya, dia sudah tidak merengek minta botol susu ketika mau tidur, meskipun dalam sebulan itu ada beberapa kali di malam hari Alba tantrum, dia menangis tanpa suara dan membuat Janu kebingungan. Alba bukan tipe anak yang cerewet, dia juga bukan tipe anak kecil pencerita, dia kebanyakan diam dan mengamati sekitar, terkadang Janu khawatir mengenai hal itu. Janu beberapa kali bertanya pada Alba bagaimana kehidupannya bersama nenek, Alba bilang nenek tidak bisa mendengar, pendengaran bibi Millie memang sudah sangat buruk jika tanpa bantuan alat dia sudah tidak bisa mendengar sama sekali. Selama Millie dalam perawatan di Rumah Sakit Alba diasuh oleh neneknya, mungkin itu salah satu alasan kenapa Alba menjadi anak yang jauh lebih pendiam dari anak seusianya, tidak ada yang menemaninya bicara selama ini.
Bahasa Indonesia Alba juga jauh lebih bagus, dia sudah bisa membuat kalimat dari beberapa kata dan Janu begitu senang melihatnya. Dia akan masuk sekolah sebentar lagi, itu merupakan kemajuan meskipun nantinya Alba akan masuk ke TK International setidaknya dia tidak kesusahan mengobrol dengan teman-teman dilingkungannya. Ngomong-ngomong teman satu lingkungan, komplek Janu bukanlah komplek yang memiliki banyak anak seusia Alba, lagipula kebanyakan anak-anak komplek disini jarang sekali keluar. Maka dari itu, Janu sering membawa Alba mampir ke toko bunga milik Yuwa dan disinilah Janu memperkenalkan para paman kepada Alba.
Ketika mau tidur dan Alba menolak ditawarkan untuk membaca cerita, Janu akan menceritakan bagaimana dia bertemu dengan keenam sahabatnya. Yang pertama dia kenalkan pada Alba adalah Yuwa.
Yuwa Sadananda, usianya tahun ini menginjak 34 tahun.
Yuwa berperawakan bagus, tingginya 178cm, bahunya lebar, tubuhnya terlihat kurus namun bisa terlihat di beberapa bagian dia memiliki otot, bibirnya tebal, hidungnya mancung. Wajahnya nampak teduh dengan alis yang nampak tegas. Ketika dia diam banyak orang mengira dia orang yang kalem dan tidak banyak bicara, namun kebalikan dari visualnya, Yuwa adalah orang yang banyak bicara, dia senang bercerita dan juga terkadang memiliki sisi kekanakan yang cukup ekstrim. Dia membuka toko bunga sejak usianya 25 tahun, toko bunga yang hampir bangkrut karena orangtuanya tiada itu dia ambil alih dan teruskan setelah keluar dari pekerjaannya. Dia dulunya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas bergengsi, namun merelakan karirnya dia lebih memilih untuk meneruskan usaha keluarganya. Orangnya sedikit melankolis, dia menghargai momen dan juga sesuatu yang mungkin untuk orang lain hanyalah memori baik. Yuwa tidak memiliki saudara kandung, dia hanya memiliki kami sebagai sahabat dan juga keluarganya. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan dan hanya dia sendiri, keluarga dari ibu dan ayahnya tidak dia ketahui keberadaannya karena memang pernikahan orangtua Yuwa begitu rumit.
Janu bertemu Yuwa ketika dia masih SMA. Saat itu Yuwa kelas 3 SMA, usia mereka terpaut 2 tahun, secara tidak sengaja Yuwa dan Janu selalu bertemu di perpustakaan sekolah, jika Yuwa adalah seorang perempuan mungkin mereka memiliki kisah cinta anak sekolahan yang epik karena entah mengapa setiap kali Yuwa selesai meminjam sebuah buku, Janu selalu tertarik untuk membacanya juga sampai suatu hari Janu mengembalikan satu buku dan Yuwa membacanya ada catatan dibuku itu yang dibuat Janu dan itu menarik buat Yuwa sehingga dia mencari murid mana yang bernama Janu Krispala Wedanta. Setelahnya, mereka terlibat banyak obrolan dan itu membuat keduanya dekat.
Orang kedua yang Janu perkenalkan pada Alba adalah,
Magani Yasodana, usianya 33 tahun. Maga panggilannya, Maga memiliki perawakan yang terlihat kecil padahal tingginya 174cm, kulitnya seputih susu padahal dia tidak pernah merawatnya. Banyak orang salah mengira kalau Maga adalah orang yang malas karena caranya bicara ataupun karena dia lebih suka rebahan ketimbang pergi keluar, nyatanya dia sangat rajin jika sudah menekuni sesuatu. Maga memiliki senyum yang manis, orang-orang menyebutnya Gummy Smile karena ketika dia tertawa yang pertama kali terlihat adalah gusinya. Maga memiliki cukup banyak tato ditubuhnya, terutama di tangan dan di dada. Maga dan Janu adalah tetangga, ketika usia Maga 12 tahun dia pindah tepat disebelah rumah Janu, ternyata orangtua mereka cocok dan kemudian akrab satu sama lain, karena hal itulah keduanya jadi ikut-ikutan akrab, terutama ketika beranjak remaja mereka memiliki minat yang sama pada musik. Janu dan Maga sama-sama menggandrungi musik hip-hop, sampai keduanya ikut kompetisi Rapper Underground dan mendapatkan penghargaan. Sayangnya, Maga tidak meneruskan minatnya pada musik. Setelah keluar kuliah, Maga lebih memilih seni tato menjadi pekerjaan utamanya selain menjadi seorang freelancer. Sekarang dia memiliki studio tato sendiri dengan 2 tattoo artist lain.
“Aku suka paman Maga,” Alba tiba-tiba menyela cerita Janu. Janu mengerenyitkan dahinya, “Kenapa?” Tanyanya kemudian. “Paman Maga baik.”
Janu terkekeh. Benar, Maga adalah pribadi yang baik, meskipun dia tidak banyak bicara dan nampak acuh nyatanya dia adalah orang paling perhatian di dalam grup pertemanan ini. Dia yang paling bisa membaca situasi dan bisa menebak jika salah satu dari mereka sedang dalam masalah. Maga juga lembut, cara dia marah tidak meledak-ledak seperti Yuwa, tapi dia juga sensitif. Ketika dia sudah berada di batas limit, dia bisa menangis.
Orang ketiga yang Janu ceritakan pada Alba adalah,
Theo. Theo Sadhana. Dia adalah teman sekelas Janu ketika di SMA, usia mereka sama, 32 tahun. Theo tipikal teman berisik dan perhatian, ketimbang Janu dia jauh lebih dewasa tapi juga bisa menjadi kekanakan jika berhadapan dengan Javis atau Yuwa. Theo anak tunggal dalam keluarga, keluarganya begitu bergantung pada Theo untuk meneruskan jejak mereka sebagai seorang Laboran maka minatnya pada musik harus dia kubur dalam-dalam. Theo sama seperti dengan Maga dan Janu, dia juga bagian dari Rapper Underground bertalenta, dia salah satu orang yang sering menerima tawaran banyak agensi musik Indonesia. Tapi, dia lebih memilih untuk tidak mengecewakan orangtuanya, ada masa dimana Theo benci dengan kedua orangtuanya karena memaksakan apa yang dia tidak sukai, sampai dia pergi dari rumah dan hilang kontak dengan para sahabatnya tapi kemudian ketika dia kembali, tiba-tiba dia sudah menjadi seorang Laboran. Sampai hari ini, tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya selama 6 bulan menghilang sampai akhirnya dia memutuskan untuk memenuhi keinginan orangtuanya.
Orang keempat yang harus Alba kenal adalah,
Rainer Adi Wasupati, usianya 31 tahun. Hal paling absurd yang Janu pernah lewati adalah pertemuannya dengan Rainer, bagaimana dia akhirnya bisa berteman sangat akrab bahkan sampai sekarang dan bagaimana Rainer bisa masuk ke dalam lingkup pertemanan mereka. Sama seperti yang lainnya, Rainer adalah murid yang bersekolah di SMA yang sama dengan Janu. Ketika Rainer masuk ke SMA Janu, gosipnya langsung menyebar karena ternyata Rainer cukup terkenal. Sejak usia 5 tahun Rainer sering tampil di televisi sebagai penari cilik, dia juga sering ikut lomba di luar negeri. Rain mengharumkan nama sekolah dengan banyak prestasi nyatanya. Berbanding terbalik dengan Rain, kembarannya yang juga orang kelima yang Janu ingin kenalkan pada Alba, Sadam Raka Palguna tidak memiliki prestasi apapun di sekolah. Tidak ada yang menyangka bahwa Rain dan Sadam adalah anak kembar. Rain memiliki tubuh yang terbilang kecil diantara yang lain, tingginya 174cm, badannya atletis namun tidak besar, Rain bukan tipikal orang yang ramah ketika pertama kali bertemu dengan orang baru, bibirnya lumayan tebal dan kecil, dan matanya sendu. Sedangkan Sadam tingginya 179 cm, matanya bulat, bibirnya lebar, pembawaannya ceria dan berisik. Sadam adalah orang yang ramah, setiap guru mengenal dia bahkan semua pegawai sekolah.
Sadam yang pertama kali masuk ke dalam pertemanan Janu dan kawan-kawan karena dia adalah salah satu fans mereka, Sadam suka hip-hop tapi dia tidak bisa nge-rap. Dia selalu ikut kemanapun Janu dan kawan-kawan pergi, sialnya Rain selalu diminta untuk tahu dimana Sadam berada oleh orangtuanya sehingga dia mau tidak mau ikut terjun juga dalam pertemanan ini. Ada beberapa cerita mengenai Rain dan Sadam yang tidak bisa Janu ceritakan pada Alba. Yang pasti, sama dengan Rain, Sadam juga terjun di dunia Entertainment, bedanya dia menjadi aktor karena ditawari ketika SMP sampai akhirnya merambat ke Opera dan Musik Klasik. Kini dia menjadi aktor berpengaruh di Indonesia, sinetron sampai film yang dia bintangi tak terhitung banyaknya sejak SMP.
Dan yang terakhir,
Javis Nirankara Ishara, usianya 29 tahun. Javis adalah satu-satunya orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan sekolah Janu, dia datang begitu saja. Bukan Janu yang bertemu dengan Javis pertama kali, Maga. Maga yang membawa Javis masuk ke dalam pertemanan mereka. Kala itu usia Javis masih 14 tahun, Maga sudah kuliah. Saat Maga pulang kuliah di malam hari, dia melihat seorang anak yang memakai sweater berwarna kuning cerah di pinggir jalan yang gelap dan sepi, dia menghentikan laju motornya dan mendekati anak itu, dia bertanya darimana anak itu berasal namun anak itu hanya menangis maka dia mengajak anak itu ikut dengannya. Dia kemudian membawa Javis ke rumahnya, orangtua Maga kemudian bertanya dan mencari tahu siapa Javis. Cerita Javis adalah cerita paling sedih yang pernah Janu dengar, kala itu komplek mereka jadi ramai karena kehadiran Javis, tapi orangtua Maga selalu memperkenalkan Javis sebagai ‘anak’ mereka pada tetangga, mengarang cerita kalau anak itu dulunya ikut dengan neneknya dan hal lainnya. Ibu Janu selalu membantu kebohongan itu hingga akhirnya kebohongan itu menjadi kenyataan, Javis diadopsi secara sah oleh keluarga Maga.
Lalu, mengapa Javis yang masih berusia 14 tahun berada di jalanan? Dia mencari ibunya, ayahnya meninggal ketika dia berusia 13 tahun dan dia diperlakukan tidak baik oleh saudaranya karena keadaan keluarganya yang kurang mampu, dia tidak tahan karena sering jadi sasaran marah paman dan bibinya maka si kecil Javis mencoba pergi, menaiki satu truk ke truk lain sampai pada akhirnya dia sampai di kota, sayangnya kota sangat keras sehingga dia berkali-kali terkena ciduk satpol PP sampai akhirnya dia bertemu Maga. Sampai saat ini, Javis tidak tahu siapa ibunya, dia juga tidak memiliki foto bahkan namanya, dia hanya pergi begitu saja mencari seseorang sebagai ibunya yang mungkin mengenalinya.
Javis diadopsi keluarga Maga ketika usianya 16 tahun, dia disekolahkan dengan layak, dan tinggal di rumah Maga. Dia selalu ikut kemanapun Maga pergi seperti layaknya seorang adik, Maga juga tidak risih dengan hal itu dia malah selalu memperkenalkan Javis sebagai adiknya kepada teman-temannya. Tentu saja wajah mereka berbeda, dengan tinggi 179cm tubuh Javis jauh lebih besar dan kekar ketimbang Sadam yang tingginya sama dengannya, rahangnya kokoh, namun dia punya mata yang lucu, bulat dan terlihat polos. Hidungnya sangat mancung, bibirnya kecil dan memiliki gigi kelinci. Javis menjadi seorang petinju muda profesional dengan prestasi yang sangat membanggakan, Maga dan orangtuanya selalu menyempatkan diri menghadiri setiap pertandingan Javis.
“Paman Javis seperti paman Maga.” Ucap Alba,
“Oh ya? Mereka mirip?” Tanya Janu.
Alba mengangguk, “Tato,”
“Oh kau benar, paman Javis punya banyak tato di tangan dan tubuhnya ya? Dia meminta paman Maga untuk membuatkannya tato ketika dia pertama kali menang kejuaraan, bagus tidak menurut Alba?”
“Bagus.” Jawab Alba singkat sambil tersenyum.
Kedua orangtua Maga adalah seorang dosen namun mereka tidak membatasi keingininan anak-anaknya, Maga yang memilih menjadi seorang tato artis dan juga Javis yang memilih menjadi seorang petinju di dukung penuh oleh mereka.
Janu jadi tersenyum, kalau di ingat lagi, mereka sudah berteman cukup lama. Masing-masing datang dengan membawa cerita mereka masuk ke dalam pertemanan ini, tapi mereka tidak pergi kemanapun, mereka masih disini satu sama lain, saling menguatkan. Bahkan bisa dibilang sekarang mereka seperti menjadi satu keluarga, karena sering kali bermain bersama mereka tidak canggung kepada orangtua teman masing-masing, seperti Yuwa yang selalu datang ke rumah orangtua mereka untuk sekedar menginap atau diajak jalan. Yuwa hidup sendirian namun orangtua mereka selalu berusaha membuat Yuwa tidak merasa sendiri.
“Dad senang ya?” Tanya Alba lagi, Janu tersadar bahwa selama dia bercerita senyumnya tidak pernah lepas, dia kemudian mengangguk.
“Iya, Dad bersyukur punya teman yang baik, bahkan bisa menjadi paman yang baik untuk Alba. Nanti kalau sudah besar, Dad harap Alba bisa bertemu dengan teman-teman yang baik juga.” Ucap Janu sembari mengelus dan mengecup puncak kepala Alba, gadis kecil itu mengangguk kecil. Janu merapikan selimut Alba dan kemudian mematikan lampu kamar, bersiap tidur.
Janu lagi-lagi melihat jam tangannya, ini hari Minggu pagi, matahari bahkan baru saja terbit dan dia sudah sangat gelisah. Sebenarnya, sudah sejak beberapa hari terakhir Janu gelisah, hal ini dikarenakan Alba mulai bersekolah Senin besok.Beberapa minggu lalu, Janu sempat mengobrol dengan Yuwa. Dia membawa Alba datang ke toko bunga milik Yuwa, gadis kecilnya sangat suka berada disana, Alba suka dikelilingi banyak bunga-bunga cantik dan juga wangi. Pertama kali Alba datang kesini ketika dia dibawa oleh paman Maga, saat itu Janu sedang ada meeting di akhir pekan. Pengasuh Alba tidak bisa datang, terpaksa Magani yang harus menemani si bocah meskipun dia hanya baru tidur selama 2 jam. Pelanggannya datang semalam, dia mengerjakan tato selama 8 jam penuh. Setelahnya dia membereskan perabotan dan menutup toko, Maga baru bisa tidur menjelang subuh, baru saja terlelap Janu menelepon meminta tolong untuk menemani Alba. Maga mengiyakan, namun dia tidak kuat membuka mata ditambah tubuhny
Magani tidak pandai dengan anak-anak, dia anak tunggal sebelum Javis masuk ke dalam keluarganya. Kedua orangtuanya sibuk bekerja sehingga Maga biasa ditinggal bersama dengan pengasuhnya, Maga juga tidak jago bersosialisasi, dia biasanya hanya ikut kemanapun ibunya pergi maka dari itu dia berakhir berteman dengan Janu. Maga jarang berbicara, dia biasanya hanya menjadi seorang pengamat seperti ayahnya tapi jika sudah dekat terkadang dia jauh lebih cerewet seperti ibunya.Ketika Janu memperkenalkan Alba, ada rasa canggung yang tercipta. Maga mengambil jarak cukup jauh pada Alba. Bukan karena dia membenci anak itu, hanya saja dia memang tidak bisa begitu saja akrab dengan anak-anak, dia banyak berpikir seperti topik apa yang harus dibicarakan dengan seorang anak usia 4 tahun? Bertanya apakah anak itu sudah makan atau belum rasanya terlalu dasar sehingga dia berakhir tidaka mengajak Alba mengobrol.Beberapa kali Maga menjaga Alba tapi tidak sendirian, dia selalu mengajak Al
Ini sudah hari ke 4 Alba tinggal bersama Maga. Kecanggungan mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, ucapan Alba yang tulus membuat Maga merasa nyaman, dia menjadi mengerti bahwa bicara dengan anak-anak tidak membutuhkan banyak effort. Selera makan Maga dan Alba juga mirip, mereka hampir memilih menu yang sama di Hokben, bahkan dessert juga. Ketika pertama kali pulang dan harus memandikan Alba, disitu Maga sedikit canggung bagaimanapun Alba adalah anak perempuan takut-takut dia salah atau membuat si kecil Alba malu tapi pada akhirnya dia bisa melalui itu semua. Alba juga tidak merepotkan, anak itu pandai bermain sendiri sehingga Maga memiliki banyak waktu untuk mendesain beberapa tato yang sudah dipesan oleh pelanggannya.Melihat bagaimana Alba bersikap, Maga seperti melihat dirinya sendiri. Karena kedua orangtuanya sibuk bekerja, Maga diharuskan tinggal bersama pengasuh terkadang tinggal bersama tetangga karena satu dan lain hal, tanpa sadar dia membuat dir
Hari ini Alba sangat bersemangat, sejak pagi dia sudah sangat ceria. Ketika Maga memandikannya dia terus berceloteh mengenai banyak hal, dia bercerita apa yang dia tonton kemarin meskipun Maga ada disampingnya dan menonton hal yang sama. Dia juga kembali menceritakan apa yang dia lakukan bersama Nina yang tentu saja sudah sangat Maga hapal, Maga sendiri sedang menebak-nebak mengapa anak ini sangat penuh semangat dan terus mengulang hal yang sudah Maga tahu.Maga mengeringkan rambut Alba dan menyisirnya ketika anak itu tengah memilih hiasan rambut. Hiasan rambut itu mereka beli kemarin ketika pemadaman listrik berlangsung di tempat Maga, karena panas dan juga bosan akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan-jalan ke Mall dan berakhir menghabiskan waktu di toko aksesoris anak-anak.“Mau pakai warna purple.”“Ungu,”“Iya, ungu!”Maga memakaikan jepitan pita berwarna ungu itu di rambut Alba, sedikit miring karena Maga
Ini hari kedua setelah Janu pulang dan Alba kembali bersamanya, sejak hari pertama Alba tidak berhenti membicarakan bagaimana dia memiliki teman baru. Namanya, Nina. Nina memberikannya boneka kecil di hari pertama mereka memutuskan untuk menjadi teman, Nina sudah tidak memiliki ibu dan tinggal bersama neneknya. Dia hanya diantar oleh supir dan pengasuhnya ketika bersekolah, Nina punya seorang kakak laki-laki. Sudah. Tidak ada lagi informasi mengenai Nina yang Janu dapatkan. Alba juga tidak menceritakan teman lain selain Nina hingga Janu merasa janggal. Janu hendak bertanya pada Maga tetapi pemuda itu sudah mulai membuka toko tatonya dan sepertinya sudah memiliki banyak jadwal yang penuh.Hari minggu kali ini, Janu sudah merencanakan banyak kegiatan bersama Alba tapi ketika dia baru selesai bersiap-siap Alba menghampirinya dengan terbatuk-batuk, wajah anak itu memerah. Janu menyambutnya dengan pelukan dan menggendong anak itu, tubuhnya agak panas. Jadi, Janu menelepon pengasuh
Janu mengecek ponselnya berkali-kali, tidak ada kabar dari Sadam. Hari ini Sadam mendapat giliran menjaga Alba setelah dua hari terakhir Janu dan Yuwa serta yang lainnya bergantian menjaga bocah itu, hari ini Sadam meminta hanya dia seorang diri yang menjaga si kecil. Bukan Janu tidak percaya pada Sadam, hanya saja dia itu bintang terkenal di Indonesia. Seluruh negeri tahu siapa dia, Janu hanya takut kehadiran Sadam di Rumah Sakit menjadi keributan kecil tersendiri, bisa-bisa karena penggemarnya yang kebanyakan ibu-ibu atau bahkan para perawat ingin berfoto dengan Sadam ruang rawat Alba menjadi ricuh.Janu menghela napas. Mengecek sekali lagi ke ponselnya, dia kini mengalihkan pandangannya ke depan, dia sedang mengikuti meeting untuk project baru, tidak bisa mendapat izin begitu saja hanya karena anak sakit. Pekerjaannya memiliki waktu fleksibel, tapi tidak ada alasan ketika sebuah project baru dikeluarkan. Bosnya sudah meminta maaf mengenai hal ini, d
Alba sudah diperbolehkan pulang ke rumah hari ini oleh dokternya, panasnya sudah turun dan dia terlihat jauh lebih baik. Darahnya sudah diambil untuk pemeriksaan kesehatan lebih lanjut dan juga si kecil Alba sudah menjalani segala prosedur untuk mengecek kesehatannya, yang harus dilakukan sekarang adalah menunggu. Janu berharap tidak ada berita menyedihkan mengenai kondisi Alba, setidaknya dia ingin Alba sehat.Hari ini, selain Janu, Maga juga menemani karena yang lain sedang tidak bisa datang mengantar Alba pulang. Magani membawakan boneka beruang baru untuk Alba, si kecil berjingkrak kegirangan dan memeluk boneka itu dengan erat.“Ayo pulang!” Pekik Alba penuh semangat.Di perjalanan Alba tidak berhenti mengoceh mengenai bagaimana dia sangat bersemangat dan menantikan untuk kembali bersekolah. Dia terus bercerita tentang Nina, cerita yang sudah Janu dan Magani dengar berulang kali. Tapi tetap, keduanya masih merespon cerita itu penuh antusias sehin
Rainer membaca pesan-pesan di grup Whatsapp, akhir-akhir ini grup itu sangat ramai sekali dengan berbagai banyak pesan masuk mengenai keseharian mereka dengan si kecil Alba. Entah Janu ataupun Yuwa, mereka seakan berlomba-lomba untuk menghabiskan waktu dengan bocah itu. Bukannya Rainer tidak menyukai Alba, bukan juga tidak menyukai kehadiran bocah itu tetapi grup hanya membahas bagaimana keseharian Alba. Alba inilah, Alba itulah, semuanya tentang bocah itu. Sebenarnya cukup bagus, karena sesungguhnya grup itu biasanya sangat sepi, beberapa kali hanya Janu yang membagikan jadwal tur artis di agensinya atau membagikan tiket gratis untuk konser. Terkadang Magani juga mengirimkan foto tato yang baru saja dia buat dan yang lainnya hanya menanggapi sekedarnya saja, tidak ada yang lebih, tapi akhir-akhir ini semuanya bahkan mengecek bagaimana keadaan masing-masing.Mengejutkan, tapi ke arah yang baik dan itu bagus.Menyimpan ponselnya ke dalam saku, Rainer menatap jalanan di
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Alba membuka matanya, sejak semalam dia sudah begitu bersemangat sampai-sampai ayahnya memintanya untuk tidur dengan tenang atau hari ini dia akan bangun kesiangan, kenyataannya dia tidak bangun kesiangan sedikitpun. Malahan dia bangun terlalu pagi, membangunkan sang ayah yang masih terkantuk-kantuk, dia mengoceh selama sejam sebelum akhirnya tertidur kembali. Janu melirik kearah jam dan waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dia membuka pintu kamar perlahan dan mendapati keenam temannya sudah tersenyum lebar menyambutnya. Janu menutup pintu kamar selembut mungkin agar tidak membangunkan putri kecilnya yang bersemangat, dia mendekat kearah teman-temannya yang sudah merampungkan dekorasi hampir delapan puluh persen. Mereka berencana merayakan ulang tahun outdoor karena memang teras belakang Janu cukup besar untuk ukuran rumah orang Indonesia yang berada di tengah kota, jadi mereka bisa mendekorasi balon, tulisan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pesta ulang tahun Alba. “Nu, ini hadiah
Janu memasukkan mobil ke dalam garasi, dia mengecek Alba yang baru saja menyelesaikan nyanyiannya di kursi belakang. Anak itu begitu ceria sejak di jemput dari taman kanak-kanak, Janu turun dari mobil, membuka pintu belakang dan melepaskan sabuk pengaman bocah itu. Alba merentangkan tangannya minta di gendong, Janu tersenyum dan menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah si kecil Alba masih bernyanyi riang, mbak Ayu menyambut Alba dan membantunya melepaskan sepatu serta baju seragamnya. “Non seneng banget hari ini..” Kata mbak Ayu sambil melepaskan rok sekolah Alba, bocah itu menatapnya, matanya berbinar-binar. “Aba mau ulang tahun!” Pekiknya lantang, Janu terkekeh mendengarnya menatap si kecil dari arah dapur. Tiga hari sudah berlalu semenjak dia dan keenam temannya bertemu di tempat Yuwa. Mereka sudah merencanakan bagaimana acara itu akan digelar, Magani sudah membuatkan rundown acara yang akan berlangsung selama satu jam saja, karena ketika Janu berk
Janu memakirkan mobilnya dengan hati-hati, dia baru saja sampai di depan toko Yuwa. Iya, baru saja dia mengantar Alba ke sekolah dan kini dia sudah berada di toko Yuwa, jam masih menunjukkan pukul 10 ketika dia sampai, melepas sabuk pengaman dia tidak lupa membawa paper bag berisi sarapannya bersama Yuwa. Dia menyebrang dan mendapati Yuwa bersama karyawannya tengah mengeluarkan beberapa bunga display ke depan toko. “Lah udah datang aja Nu?” Yuwa terkejut, memang benar teman-temannya berjanji untuk bertemu di tempatnya tapi tidak sepagi ini seingatnya. Jadi dia terkejut melihat pria dengan celana jeans gombrang dan kaos belel itu ada di depan tokonya. “Jam 12 sama jam 10 apa bedanya sih kak...” Ujar Janu santai, masuk ke dalam toko Yuwa dan pergi ke belakang, mencari-cari mangkok dan kemudian duduk di salah satu bangku kayu. “Kak aku gak beliin karyawanmu makan, tapi ini aku beliin buat kamu!” Pekiknya dari belakang. “Udah makan dia!” Jawab Yuwa lagi berteriak dari depan, masih sibu