Alba sudah diperbolehkan pulang ke rumah hari ini oleh dokternya, panasnya sudah turun dan dia terlihat jauh lebih baik. Darahnya sudah diambil untuk pemeriksaan kesehatan lebih lanjut dan juga si kecil Alba sudah menjalani segala prosedur untuk mengecek kesehatannya, yang harus dilakukan sekarang adalah menunggu. Janu berharap tidak ada berita menyedihkan mengenai kondisi Alba, setidaknya dia ingin Alba sehat.
Hari ini, selain Janu, Maga juga menemani karena yang lain sedang tidak bisa datang mengantar Alba pulang. Magani membawakan boneka beruang baru untuk Alba, si kecil berjingkrak kegirangan dan memeluk boneka itu dengan erat.
“Ayo pulang!” Pekik Alba penuh semangat.
Di perjalanan Alba tidak berhenti mengoceh mengenai bagaimana dia sangat bersemangat dan menantikan untuk kembali bersekolah. Dia terus bercerita tentang Nina, cerita yang sudah Janu dan Magani dengar berulang kali. Tapi tetap, keduanya masih merespon cerita itu penuh antusias sehin
Rainer membaca pesan-pesan di grup Whatsapp, akhir-akhir ini grup itu sangat ramai sekali dengan berbagai banyak pesan masuk mengenai keseharian mereka dengan si kecil Alba. Entah Janu ataupun Yuwa, mereka seakan berlomba-lomba untuk menghabiskan waktu dengan bocah itu. Bukannya Rainer tidak menyukai Alba, bukan juga tidak menyukai kehadiran bocah itu tetapi grup hanya membahas bagaimana keseharian Alba. Alba inilah, Alba itulah, semuanya tentang bocah itu. Sebenarnya cukup bagus, karena sesungguhnya grup itu biasanya sangat sepi, beberapa kali hanya Janu yang membagikan jadwal tur artis di agensinya atau membagikan tiket gratis untuk konser. Terkadang Magani juga mengirimkan foto tato yang baru saja dia buat dan yang lainnya hanya menanggapi sekedarnya saja, tidak ada yang lebih, tapi akhir-akhir ini semuanya bahkan mengecek bagaimana keadaan masing-masing.Mengejutkan, tapi ke arah yang baik dan itu bagus.Menyimpan ponselnya ke dalam saku, Rainer menatap jalanan di
Matahari sangat terik hari ini, ketika pria tinggi itu keluar dari mobil dia bisa merasakan sengatan yang membuat seluruh kulitnya nyeri, kembali masuk ke dalam mobil dia mencari sesuatu di belakang mobilnya. Ketemu. Ruang tunggu di sekolah Alba tampak penuh hari ini, mungkin karena ini adalah hari terakhir sekolah sebelum akhir pekan jadi hampir semua orangtua hadir untuk menjemput anak-anaknya, semua mata sedang tertuju pada satu orang sekarang, seorang pria dengan celana bahan berwarna hitam, sendal jepit hitam, dan kaos V neck putih tangan panjang serta payung hitam lengkap dengan kacamata hitam plus masker berwarna putih yang menutup wajahnya. Penampilan aneh yang super mencolok itu berhasil membuat semua orang yang berada disana penasaran siapakah dirinya, apakah dia adalah salah satu orangtua murid? Sadam berdehem, merasa apa yang dia kenakan sudah cukup untuk membuatnya terlihat normal dan tidak menarik perhatian. Dia mencari tempat duduk kosong namun tidak m
Alba keluar dari ruang kelasnya, matanya berkeliling mencari sosok seseorang di tengah banyaknya orang yang berlalu lalang, keningnya berkerut karena dia tidak menemukan sosok itu diantara para orang dewasa.“Hey,” Seseorang kemudian mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan Alba tahu siapa itu, hanya satu orang yang sering menggendongnye ketika bertemu.“Paman Yuwa!” Pekiknya, mendapati wajah tampan Yuwa tepat di hadapannya. “Kok paman Yuwa yang ada disini? Kata Dad paman Sadam jemput Alba?” Alba memegang wajah Yuwa dengan kedua tangannya, dia senang dengan wangi yang dikeluarkan dari tubuh pamannya yang satu ini.“Paman Sadam ada syuting hari ini, dan dia lupa.” Yuwa menjawab pertanyaan si kecil sambil berjalan sesekali dia sedikit membungkuk karena beberapa orangtua murid atau para pengasuh mereka mengenalnya. Ya, Yuwa sering mengantar, menunggui dan menjemput Alba sama seperti Magani dia cukup dikenal.Alba
Janu masih berada di kantornya, headphone masih terpasang, matanya masih tertuju ke layar komputer sambil sesekali dia bergerak mengikuti irama lagu yang masuk ke dalam telinganya, sampai kacamatanya melorot sedikit setiap kali dia mengangguk-anggukkan kepala, kakinya naik turun, dan tangan kirinya sibuk memencet-mencet tombol keyboard yang berada di sebelah meja sedangkan tangan kanannya memainkan mouse.Dia sudah berada di kantor selama 3 hari, mengerjakan project millik Kiyoko. Project ini begitu penting untuk si penyanyi karena setelah dua tahun akhirnya dia memiliki lagu baru, para penggemarnya sudah menunggu, dan di waktu istirahatnya selama dua bulan ini Kiyoko masih sering datang ke kantor untuk membahas lagu dan rekaman. Meskipun si penyanyi hanya datang beberapa kali, untuk Janu sendiri dia tidak bisa pulang pergi begitu saja, terkadang kalau dia sedang punya banyak inspirasi dia bisa terlalu asyik sampai-sampai lupa waktu.Selama tiga hari ini Alba
Kafe sore ini terlihat cukup ramai, beberapa orang keluar masuk hanya untuk memesan, menunggu dan kemudian pergi membawa pesanan mereka, sama seperti segelintir abang ojek online yang tengah menunggu pesanan, ada juga yang duduk di depan kafe hanya untuk menunggu hujan berhenti. Iya, hujan turun beberapa menit lalu, langsung deras, tidak ada peringatan di prakiraan cuaca. Well, prakiraan cuaca Indonesia kadang gak bisa dijadikan patokan karena memang gak begitu akurat. Hujan dan panas datang tanpa bisa prediksi.Seorang wanita dengan rambut digelung, berpakaian kasual, kaos hitam pas tubuh, celana jeans pas pinggang, sling bag dan masker putih yang menutupi setengah wajahnya mengedarkan seluruh pandangan keluar kafe, kepalanya kesana kemari mencoba melihat jalanan yang tertutup hujan, menunggu seseorang. Dia melirik lagi kearah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 8. Dia mau pulang duluan tapi tahu benar, seseorang yang sedang ditunggunya ini nanti kesal, mereka
“Javis Nirankara Ishara.”“Maaf?”“Javis mbak, J A V I S. Javis Nirankara Ishara.”Perempuan berkerudung di depannya mengerenyit, berusaha mengeja nama belakang Javis dengan benar. Akhirnya si pria muda dengan banyak tato ditubuhnya itu memberikan KTP kepada petugas Rumah Sakit, tidak ada lima menit si petugas mengembalikan KTP miliknya. Sudah sering kali Javis sedikit bermasalah ketika dia menyebutkan namanya kepada orang-orang, entah di kafe, atau tempat makan apalagi di Bank. Orang-orang sering salah mengeja namanya, Japis, Jafis, atau Isyara, Isara, Ihsara. Tidak ada yang bisa menebak sekali dengan benar ejaan namanya.Dia duduk kembali ke tempatnya, menunggu gilirannya untuk melakukan MCU.Setiap setahun sekali Javis pasti melakukan MCU, ini sudah prosedur dari sanggar yang menaunginya. Kesehatan para petinju adalah yang utama. Terlebih lagi Javis tengah melakukan latihan untuk kembali bertarung di kejuaraan
Magani melambaikan tangannya sekali lagi, berpamitan kepada kedua orangtua dan adik serta pacar adiknya. Dia baru saja selesai makan malam dengan mereka, makan malam yang cukup dramatis karena ibunya meminta untuknya datang untuk bicara pada adiknya, Javis. Kedua orangtuanya menentang keputusan bocah itu untuk beralih menjadi seorang atlit MMA, ya, sejujurnya Magani juga khawatir. Bagaimanapun, atlit MMA memiliki resiko sangat tinggi. Kedua orantuanya menyayangi Javis, begitu juga dirinya. Untungnya semua berjalan lancar, mereka makan malam dan pulang.Melirik ke belakang mobil dan melihat tumpukan kresek hitam dia hanya tersenyum, ibunya membagi bahan makanan di parkiran. Untuknya dan untuk Tara, pacar adiknya. Selalu seperti itu, ibunya tidak pernah berubah. Dia selalu membagikan semua orang rezekinya tanpa terkecuali.Ibu seorang dosen di Universitas ternama di kotanya, sedangkan ayahnya juga seorang dosen di Universitas ternama di kota lain yang jaraknya 1,5 jam da
Janu memakirkan mobil ke dalam garasi, mengepak beberapa barang yang berserakan di dalam mobil ke dalam tas dia keluar, menutup garasinya masuk ke gerbang menuju pintu utama rumahnya. Dia berjalan, melewati kebun kecil yang tanamannya dia tanam sendiri, bunga-bunga itu mulai bermekaran dengan indah. Sampai di depan pintu utama dia mengeluarkan kunci cadangan. Hari ini, kak Yuwa dan Rainer menjaga Alba selagi dia sibuk di kantor.“Hei, udah pulang?” Sebuah suara yang tentu saja sangat familiar di telinga Janu membuat pria itu mengangguk pelan, melihat seorang pria dengan rambut hitam sedikit acak-acakan, memakai pajamas berwarna ungu dengan kacamata bertengger di hidungnya muncul dari balik sofa dengan buku tebal di tangan.Melirik ke jam dinding yang menempel, waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.“Kak Yuwa gak tidur?” Tanya Janu, dia menyimpan tasnya di atas meja makan dan berjalan kearah kulkas, membukanya dan meng
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Alba membuka matanya, sejak semalam dia sudah begitu bersemangat sampai-sampai ayahnya memintanya untuk tidur dengan tenang atau hari ini dia akan bangun kesiangan, kenyataannya dia tidak bangun kesiangan sedikitpun. Malahan dia bangun terlalu pagi, membangunkan sang ayah yang masih terkantuk-kantuk, dia mengoceh selama sejam sebelum akhirnya tertidur kembali. Janu melirik kearah jam dan waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dia membuka pintu kamar perlahan dan mendapati keenam temannya sudah tersenyum lebar menyambutnya. Janu menutup pintu kamar selembut mungkin agar tidak membangunkan putri kecilnya yang bersemangat, dia mendekat kearah teman-temannya yang sudah merampungkan dekorasi hampir delapan puluh persen. Mereka berencana merayakan ulang tahun outdoor karena memang teras belakang Janu cukup besar untuk ukuran rumah orang Indonesia yang berada di tengah kota, jadi mereka bisa mendekorasi balon, tulisan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pesta ulang tahun Alba. “Nu, ini hadiah
Janu memasukkan mobil ke dalam garasi, dia mengecek Alba yang baru saja menyelesaikan nyanyiannya di kursi belakang. Anak itu begitu ceria sejak di jemput dari taman kanak-kanak, Janu turun dari mobil, membuka pintu belakang dan melepaskan sabuk pengaman bocah itu. Alba merentangkan tangannya minta di gendong, Janu tersenyum dan menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah si kecil Alba masih bernyanyi riang, mbak Ayu menyambut Alba dan membantunya melepaskan sepatu serta baju seragamnya. “Non seneng banget hari ini..” Kata mbak Ayu sambil melepaskan rok sekolah Alba, bocah itu menatapnya, matanya berbinar-binar. “Aba mau ulang tahun!” Pekiknya lantang, Janu terkekeh mendengarnya menatap si kecil dari arah dapur. Tiga hari sudah berlalu semenjak dia dan keenam temannya bertemu di tempat Yuwa. Mereka sudah merencanakan bagaimana acara itu akan digelar, Magani sudah membuatkan rundown acara yang akan berlangsung selama satu jam saja, karena ketika Janu berk
Janu memakirkan mobilnya dengan hati-hati, dia baru saja sampai di depan toko Yuwa. Iya, baru saja dia mengantar Alba ke sekolah dan kini dia sudah berada di toko Yuwa, jam masih menunjukkan pukul 10 ketika dia sampai, melepas sabuk pengaman dia tidak lupa membawa paper bag berisi sarapannya bersama Yuwa. Dia menyebrang dan mendapati Yuwa bersama karyawannya tengah mengeluarkan beberapa bunga display ke depan toko. “Lah udah datang aja Nu?” Yuwa terkejut, memang benar teman-temannya berjanji untuk bertemu di tempatnya tapi tidak sepagi ini seingatnya. Jadi dia terkejut melihat pria dengan celana jeans gombrang dan kaos belel itu ada di depan tokonya. “Jam 12 sama jam 10 apa bedanya sih kak...” Ujar Janu santai, masuk ke dalam toko Yuwa dan pergi ke belakang, mencari-cari mangkok dan kemudian duduk di salah satu bangku kayu. “Kak aku gak beliin karyawanmu makan, tapi ini aku beliin buat kamu!” Pekiknya dari belakang. “Udah makan dia!” Jawab Yuwa lagi berteriak dari depan, masih sibu