Janu membuka matanya, wewangian yang tidak terlalu familiar tapi mungkin akan menjadi sangat familiar baginya dalam beberapa saat kini mulai tercium lagi, wewangian yang lembut dan menenangkan, wewangian khas, wewangian yang bisa mengingatkannya pada seseorang, seseorang bermata biru cerah yang kini Janu dapati duplikatnya. Kedua mata itu tertutup hingga Janu bisa melihat bulu matanya yang panjang mencuat, dengan perlahan jari telunjuk Janu menelusuri pipi putih itu, lembut, nyata. Dan senyum Janu terlihat, senyuman seorang ayah yang tengah mengamati wajah tidur putri kecilnya.
Alba.
*
*
*
Sebelum kedatangan AlbaSetelah Janu memutuskan membawa Alba untuk hidup bersamanya, dimulailah pengurusan surat-surat kepindahan Alba yang sangat panjang dan rumit. Anak gadis itu diajukan untuk memiliki dua kewarganegaraan, karena usianya masih sangat kecil sekarang. Janu ingin nantinya Alba bebas memilih kewarganegaraannya sendiri, tidak bisa egois karena bagaimanapun ada darah Amerika mengalir ditubuhnya, ada sanak saudara yang mungkin tidak akan lagi ada ketika Alba tumbuh dewasa namun setidaknya Alba harus tahu bahwa dia adalah bagian dari sana, jika nantinya anak itu memilih warga negara lain menjadi kewarganegaraannya, Janu rela. Jadi untuk beberapa saat Janu sibuk mengurus dokumen, pulang pergi ke Amerika karena bibi Millie tidak sanggup mengurus semuanya, dibantu oleh pekerja dari kedutaan Indonesia disana dalam sebulan akhirnya Janu mengantongi segala berkas yang mengizinkan anaknya tinggal bersamanya disini.Janu juga mengganti nama Alba, orangtuanya berkata bahwa nama adalah sebuah doa, jadi mereka ingin menambahkan nama indah untuk Alba tentu saja atas persetujuan Janu. Janu menimbang, kemudian dia bertanya pada Alba apakah anak itu tidak keberatan, si kecil mengangguk saja. Tidak tahu apakah dia mengerti apa tidak, tapi pengurusan ubah namanya berhasil. Kini nama gadis kecil itu,
Alba Parvati Krispala.
Ibu Janu meminta Janu untuk membereskan rumah sebelum Alba kembali ke Indonesia dan menetap di tempatnya, namun pria itu sudah terlalu lelah untuk sekedar menyalakan Vacuum Cleaner dan membiarkan alat itu melakukan tugasnya. Jadi, dia hanya masuk ke kamar dan tidur di sela waktu senggangnya.
Terkadang rasa takut selalu menghampiri Janu ketika dia mengingat akan membesarkan putrinya seorang diri, ini tentu saja kali pertama dia berhadapan dengan anak-anak, dia tidak pernah terlibat sekalipun dengan anak kecil di sepanjang hidupnya, jadi memikirkan bagaimana nantinya dia akan bersama-sama dengan Alba selama dua puluh empat jam penuh setiap harinya membuat Janu merinding ngeri. Dia takut jika apa yang di lakukannya membahayakan putri kecilnya, semua orang tahu bagaimana Janu bersikap, semua orang tahu bahwa Janu adalah seorang pria ceroboh saking cerobohnya entah berapa kali dia membuat pintu-pintu dan laci-laci rusak hanya karena menyentuhnya, entah sudah keberapa kalinya dia mengganti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidurnya sendiri karena ulahnya atau menyakiti dirinya sendiri. Jadi, dia benar-benar merasa takut akan melukai Alba.
Pikiran-pikiran buruk, rasa khawatir meliputi Janu setiap harinya. Ada kalanya dia bersemangat karena menyambut status baru yang akan di sandangnya begitu Alba tiba di Indonesia, namun dia terlalu sering merasa tidak sanggup menjalani peran seorang ayah yang baik untuk putrinya. Dan, satu bulan lalu ketika pada akhirnya surat permohonan dua kewarganegaraan Alba di terima, Janu mendapat panggilan saat dia baru saja hendak memejamkan matanya setelah tiga hari penuh terbangun untuk mengerjakan salah satu lagu milik penyanyi solo dari label musiknya. Dia bergegas penuh semangat ketika petugas kedutaan mengatakan dia harus menandatangani beberapa dokumen untuk pengesahan, jadi disinilah Janu sekarang menandatangani sejumlah berkas.
“Alba akan diberangkatkan ke Indonesia dalam dua hari, saya harap anda bisa menunggunya dengan sabar.” Ucap si petugas, tersenyum lebar pada Janu sambil memasukan berkas-berkasnya.
“Anakku akan berangkat seorang diri?” Tanya Janu kemudian, raut wajah khawatir terlihat dengan jelas ketika dia mengatakannya.
Petugas itu tertawa kecil, Janu jadi merasa malu karena tanpa sadar dia memanggil Alba dengan sebutan ‘anakku’.“Tidak, petugas pengadilan dan kedutaan akan menemani putri anda dalam perjalanannya.”
Janu mengangguk kaku sebelum berpamitan pada si petugas, memikirkan bagaimana nantinya dia dan Alba tinggal bersama membuat dia sangat bersemangat, rasa takut yang beberapa hari ini menghampirinya mendadak menguap tak bersisa. Moodnya sedang sangat bagus sekarang, maka dia memencet nomor telepon ibunya dan memberitahukan hal ini, ibunya berteriak kegirangan disambut suara ayahnya yang terdengar jauh lebih bersemangat dari dirinya sendiri.
“Kau harus segera merenovasi kamar untuk Alba meskipun sedikit! Jangan membuatnya sedih karena kamarnya terlihat seperti gudang, anak perempuan sangatlah sensitive!” Ibunya berkata,
Dan Janu mengangguk seperti seorang bocah kecil, dia melirik ke arah jam di tangannya, jam makan siang sudah terlewati dua jam yang lalu. Dia merasa lapar namun tidak terlalu lapar, terdiam sejenak dia memutuskan untuk pergi ke studio tattoo milik Maga, dia akan meminta pria itu menemaninya berbelanja, lebih tepatnya mengantarnya dengan mobil karena sampai saat ini Janu belum memiliki surat izin mengemudi karena kedua orangtuanya tidak mengizinkan dia mengendarai mobil akibat tingkat kecerobohannya. Tidak perlu menghubungi Maga terlebih dahulu, dia langsung saja menaiki bus yang melewati studio sahabatnya tersebut.
Di dalam bus tanpa sadar Janu menggumamkan lagu-lagu miliknya sendiri, lagu-lagu sendu dengan tema kesepian dan rasa tidak percaya diri kini berubah menjadi lagu yang indah untuk dirinya, tidak akan ada lagi rasa kesepian yang menjalari hatinya, rasa rindunya pada Millie kini sudah tergantikan dengan sosok yang baru, sosok yang bahkan jauh lebih berharga dari hal berharga lainnya yang pernah dia miliki. Janu tidak pernah berpikir jika Millie akan tetap mengandung anaknya, padahal ketika tahu bahwa dirinya tengah mengandung Millie bersikeras untuk menggugurkan kandungannya, passion-nya pada musik tidak ingin membuatnya merasa terbebani dengan kehadiran seorang anak, dia tidak ingin memiliki keluarga, dia tidak ingin memiliki tanggung jawab akan apapun. Lalu, mengapa Millie tetap mempertahankan Alba?
Mendadak pertanyaan itu melintas di benak Janu.
Dia mungkin akan meluangkan waktu untuk membaca isi notes millik Millie, disana mungkin dia akan mendapatkan jawabannya.
Magani tertawa lebar sampai-sampai gusinya terlihat semua ketika Janu baru saja menginjakkan kakinya ke dalam studio, disana sudah ada Sadam, Rainer, Javis bahkan Theo yang sulit mengambil waktu luang untuk sekedar membalas pesan W******p -kecuali ada gossip hangat- duduk di sofa sambil memegang sekaleng bir. Entah darimana tapi mereka sudah mengetahui kabar bahwa Alba akan tiba dalam dua hari di Indonesia.
"Selamat kawan, kamu bakalan menyandang gelar baru begitu anakmu sampai di Indonesia!" Theo tertawa, melempar sekaleng bir pada Janu yang menangkapnya dan duduk di samping Sadam.
"Aku tidak tahu kalian sangat bersemangat dengan kedatangan putriku,"
"Oh!! Kalian mendengarnya? Dia mengatakan putriku dari pada menyebut namanya!" Sadam berkata membuat empat orang lainnya saling berseru dan tertawa meledek Janu. Janu memukul perut Sadam yang masih tertawa.
"Ini bagus, kamu melakukan tindakan yang bagus, Nu." Suara Yuwa tiba-tiba terdengar pria itu baru saja keluar dari kamar mandi sambal tersenyum menatap Janu dan berjalan mendekat.
"Aduh! Aku tahu deh, kak Yuwa ‘kan yang mengompori Sadam dan Kak Maga untuk mengatakan hal-hal menyentuh itu padaku?”
Yuwa melirik Magani dan Sadam, merasa ketahuan tapi ketiga malah mengangkat bahu bersamaan."Gak ada yang membocorkannya padaku, hanya saja, kata-kata indah seperti itu hanya keluar dari seseorang yang memiliki daya imajinasi tinggi sepertimu. Kakak pikir aku bakalan percaya bahwa kak Maga akan mengatakan hal seperti itu? Dia bahkan tidak peduli apakah harus berkencan atau tidak, yang dia lakukan selama ini hanyalah menyukai seseorang secara diam-diam."
Dan Janu mendapat tendangan tepat di tulang kakinya dari Maga setelah mengatakan hal itu, yang lainnya tertawa melihat tingkah keduanya.
"Bukankah ini berarti kita telah berubah? Kita sudah benar-benar dewasa sekarang." Ujar Rainer."Rain benar, lihatlah bahkan Javis sudah memiliki sedikit jenggot," Theo berkata, melingkarkan tangannya ke belakang leher Javis sambil memainkan dagu pria itu. Menggodanya.
"Kak Theo! Aku sudah besar!” Pekik Javis, dan sejurus kemudian keenam orang itu meledeknya.
"Aku ingat sekali pertama kali bertemu Javis ketika dia masih berusia 15 tahun, tubuhnya penuh dengan luka-luka, dia memakai jaket, tas, topi dan juga sepatu berwarna merah." Magani tersenyum, terlihat sekali memorinya melayang ketika dimana hal itu terjadi. Theo tertawa, "Benar, dan kak Maga membawanya seperti baru saja menemukan seekor anak kucing." Ucapnya.
"Saat itu, Javis benar-benar seperti kucing liar," Yuwa menambahkan. "Dia bahkan meneriaki kita yang mencoba mengobati luka-lukanya," Janu berkata di sela hisapan rokoknya.
"Kalian ingat apa yang dia teriakkan saat itu?" Rainer menatap kelima orang di depannya,
"Bajingan!" Ucap keenam orang itu bersamaan dibarengi derai tawa. Javis memajukan bibirnya, tidak suka, tapi dia tertawa juga mengingat betapa konyol reaksinya saat itu.
Sadam menepuk pundak Javis, "Melihat Javis sudah sebesar ini dan menjadi seorang petinju, rasanya aku bangga sekali."
Mereka kembali tertawa, kembali bercerita mengenai bagaimana satu persatu saling menemukan. Di mulai ketika Magani dan Janu yang saling bertemu karena kedua orangtua mereka saling mengenal, kemudian Theo, dilanjutkan Yuwa, dan tiga orang lainnya. Tidak ada yang pernah berpikir mereka akan sampai disini, tidak ada yang berpikir apa yang mereka lalui selama ini akan mereka tertawakan hari ini. Hal-hal menyedihkan itu kini bisa mereka jadikan bahan lelucon.
Saat itu, Janu tahu betul bagaimana sulitnya Javis untuk percaya pada orang lain, Yuwa tahu betul bagaimana susah payahnya Rainer membuka dirinya pada orang lain, jujur dan menyadari bahwa dia memerlukan orang lain, Maga tahu betul bagaimana perjuangan Theo lepas dari obat-obatan yang hampir merenggut nyawanya, dan mereka semua tahu betul bagaimana Sadam menaklukan rasa putus asa dan ketidakpercayaan dirinya yang mendadak luntur karena ulah orang-orang yang membencinya. Masa-masa itu telah mereka lewati bersama-sama, bertahun-tahun.
"Sebenarnya, kami berkumpul disini karena ingin membantumu," Tiba-tiba suara Maga menghentikan tawa keenam orang tersebut. "Kau pasti cukup kesulitan untuk mengasuh Alba sendirian, aku, kak Yuwa, Theo, Rainer, Sadam dan Javis sudah membicarakan hal ini. Kami tahu betul bagaimana pekerjaanmu, maksudku.. jadwal kerjamu yang tidak memiliki aturan. Jadi, kurasa, kami sepakat untuk menggantikanmu mengasuh Alba untuk sementara."
Janu terdiam,
"Biaya menyewa pengasuh sekarang cukup mahal, daycare juga tidak bisa menjaga Alba sampai malam. Lagipula, bagaimanapun, Alba juga bagian dari kami, dia anakmu, kami akan menjaganya seperti anak kami sendiri." Yuwa tersenyum,
"Jika kau benar-benar kesulitan dan tidak memiliki waktu untuk menjaganya, kami siap membantu!" Theo menambahkan.
Janu mematikan rokoknya, dia menunduk dalam, senyumnya mengembang. Benar, inilah mengapa dia yakin betul untuk mengambil Alba bersamanya, karena dia tidak sendirian, diluar keluarganya, dia masih memiliki keluarga yang jauh lebih solid, yang selalu ada untuknya dan siap kapanpun dia memerlukannya.
"Terima kasih, terima kasih sudah menerima Alba."
...
"Jadi, bagaimana? Aku harus ke toko mana?" Janu bertanya, keningnya berkerut dan dia kebingungan, menoleh kesana kemari dia jadi pusing sendiri karena Mall hari ini terlihat sangat ramai dan penuh sesak oleh orang-orang.
"ASTAGA JANU! Kamu bisa bertanya pada spg disana! Disana ada toko khusus penjual baju anak-anak, kalau tidak salah di lantai tiga, bacalah petunjuknya bodoh!" Yuwa membentak Janu di ujung telepon.
Janu menghela napas, bukan karena dia malu harus membeli baju untuk Alba hanya berduaan dengan makhluk mungil itu, tapi…..ya….. itulah yang sedang Janu rasakan.
"Alba ada bersamamu?" Tanya Yuwa, menengok ke arah Alba yang terdiam sambil memegang erat boneka kecilnya Janu menggumam untuk menjawab pertanyaan Yuwa. "Dengar, kamu gak boleh membiarkannya berjalan terlalu lama, kamu harus menggendongnya terutama jika kalian naik eskalator. Sebaiknya kamu menggunakan lift dan jangan turunkan Alba dari gendonganmu, mengerti?"
Janu bergumam sekali lagi menyetujui ucapan Yuwa, dia mematikan teleponnya dan memandang Alba. Menghela napas, pria itu berjongkok di depan Alba, ayah dan anak itu saling pandang. Janu merapikan mantel bulu berwarna merah marun yang Alba kenakan, dia juga merapikan rambut panjang Alba, bola mata biru cerah itu menatap Janu lekat-lekat.
"Kita, ngapain?" Tanya Alba dengan Bahasa Indonesia terbata.
"Hm, kita belanja baju. Alba ‘kan mau masuk sekolah.” Jawab Janu.
"Sekolah?"
"Iya, biar Alba tidak bosan dirumah saja, biar bertemu dengan teman.”
"Teman?"
Janu mengangguk. "Maka dari itu, Alba harus bersiap-siap untuk bertemu teman-teman."Alba mengangguk kecil, Janu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi dan memeluknya dengan erat. Dia menggendong Alba, seperti apa yang di peringatkan Yuwa, dia tidak akan melepaskan Alba sedikitpun untuk hari ini. Jadi, mereka masuk ke dalam lift dan menuju lantai tiga.
Janu mendudukkan Alba di dalam troli, ada begitu banyak jenis dan merk pakaian anak yang terpampang di lantai tiga. Melihat ke dalam contekan yang dia bawa dari rumah, Janu mulai berkeliling. Pajamas, Underwear, Shirt, Skirts, Socks, Leggings. Dia terdiam di depan jajaran rok-rok anak usia empat tahun, dia bahkan tidak tahu ukuran Alba jadi dia mengintip sebentar ke belakang rok yang kini di pakai oleh Alba, Janu asik memilih dan sesekali bertanya pada Alba apakah anak itu menyukai pilihannya atau tidak. Terkadang Alba mengangguk, atau menggeleng, terkadang hanya diam saja.
Setelah satu jam berkeliling, akhirnya Janu membayar semua belanjaannya dia begitu terkejut karena baju-baju Alba bahkan jauh lebih mahal di bandingkan dengan baju-baju miliknya. Ayah dan anak itu mampir ke sebuah restoran, Janu memesan makanan untuknya dan Alba, namun sebelumnya Alba meminta di buatkan susu. Beruntung, dia mendengarkan saran Yuwa dengan membelikan Alba botol susu canggih yang hanya perlu air panas, ditekan bawahnya dan kemudian susunya tercampur sempurna. Bocah itu mulai menyedot susunya dengan sangat lahap membuat Janu terkekeh geli.
"Kayaknya Alba harus berhenti meminum susu dari botol, ‘kan sudah besar." Ujarnya, makanan datang begitu Alba menyelesaikan susunya. Janu memisahkan udon ke mangkuk kecil untuk Alba makan dan anak itu makan dengan lahap, beruntungnya, Alba tidak terlalu pemilih untuk urusan makanan.
Janu tidak pernah mengira dia akan seluwes ini mengasuh Alba, ketika Alba pertama kali datang ke Indonesia seminggu lalu, dia sudah takut setengah mati, dengan gemetaran dia memeluk Alba yang berlari ke arahnya. Putri kecilnya masih mengenali siapa dirinya, Alba menatapnya dengan penuh minat, seperti benar-benar sudah mengenalnya sejak pertama anak itu lahir ke dunia. Janu mengelus kepala putri kecilnya kemudian berbisik, "Selamat datang." Dengan sangat lembut.Hari-hari pertama membuatnya terkejut terutama ketika bangun dari tidur dan mendapati Alba tengah tertidur di sebelahnya, kamar Alba sudah dia persiapkan, bahkan dia mendesainnya dengan sangat cantik karena ibunya berkata bahwa anak perempuan sangatlah sensitif. Namun kenyataannya, setiap malam Alba selalu diam-diam masuk ke dalam kamar ayahnya untuk tidur bersama. Mungkin disana, Alba selalu tidur bersama neneknya karena itulah anak itu terus-menerus kembali ke kamar Janu untuk tidur bersamanya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Janu menggunakan microwave di dapur hanya untuk memanaskan susu yang akan dia campurkan ke dalam sereal Alba, dia takut Alba akan sakit perut jika susunya dingin. Janu juga mulai membeli bermacam-macam buah-buahan untuk dijadikan jus, dia membacanya di sebuah buku jika anak-anak akan menyukai berbagai macam jus dan itu bagus untuk kesehatan. Dia belum berani untuk memasak sendiri, maka dari itu untuk urusan makan siang dan makan malam Janu sering sekali mengajak Alba dari satu restoran ke restoran lain, dan beruntung sekali si kecil Alba tidak pernah mengeluh dan menolak makanan yang Janu pesan.
"Aku sudah mendaftarkannya," Janu berkata, telinganya menempel pada layar ponsel. Ibunya menelepon.
"Baguslah, kapan dia mulai masuk TK?" Tanya ibunya di ujung telepon.
"Besok, Janu memiliki jadwal yang padat sampai minggu depan jadi nanti kak Maga anter Alba ke daycare sepulang dari TK.”
"Kamu udah kasih tahu Alba kalau dia akan berada di Daycare sampai kamu pulang dari bekerja?"
"Sudah."
"Bagus Nu, ibu tidak pernah berpikir kamu akan secepat ini beradaptasi dengan Alba." Ujar Ibunya kemudian tertawa disana. Janu hanya terdiam, sibuk mengisi ulang mangkok Alba yang sudah kosong.
I wonder too.
"Alba makan dengan baik?"
"Dia sangat suka makan, dan susu."
"Susu? Dia masih menyusu?"
"Menggunakan botol,"
"Aduh Nu, sepeertinya kamu harus menghentikan kebiasaannya itu, itu akan membuat giginya jelek!"
Hm, kayanya gigi Alba baik-baik aja?
"Dengar? Kamu harus menghentikan kebiasaan menyusu dengan botol, berikan dia cangkir untuk minum susu."
Janu hanya menjawab dengan gumaman setiap ocehan ibunya. Dia belum memikirkan bagaimana mengasuh Alba dengan baik, sangat baik, namun dia tengah berusaha, berusaha agar Alba aman dan mendapat pendidikan yang baik.
"Ibu,"
"Ya?"
"Ibu melakukan hal ini setiap hari?"
"Apa?"
"Ketika aku kecil," Janu berkata, menatap Alba yang tengah mengunyah mie udonnya.
"Tentu saja," Jawab ibunya, pelan.
"Ibu pernah merasa lelah?"
Dan Janu bisa mendengar suara ibunya tertawa, "Kamu Lelah, Nu?" Dan gumaman terdengar sebagai jawaban. Ibunya tertawa lagi.
"Dulu,, setiap kali ibu melihatmu tertidur sehabis makan atau sehabis pergi bersama-sama ke suatu tempat, ibu merasa bahagia, karena ibu tahu kamu juga merasakan hal yang sama.”
"Aku bahagia,"
Dan Janu bisa mendengar suara ibunya tertawa sekali lagi.
Mungkin masih terlalu dini untuk memanggil Janu sebagai ayah yang hebat, namun dia tengah berusaha, berusaha menjadi sangat hebat di mata Alba. Berusaha menjadi yang terbaik bagi putri kecilnya.
"Alba, senang gak?" Tanya Janu, mencondongkan tubuhnya ke depan, menjajari mata Alba dengan matanya. Kedua bola mata bulat besar itu menatapnya. Alba mengunyah dan menelan udon di dalam mulutnya, dan untuk kali pertama Janu melihat senyum malaikat kecilnya, tanpa menjawab, hanya memberikan senyuman kecil, Janu yakin Alba merasa senang sekarang.
Jadi, dia mengelus puncak kepala Alba dan tersenyum pada bocah itu.
Perkiraan Janu ternyata meleset tentang dirinya sebagai “Pekerja dibalik layar” dia pikir kedatangan Alba dan fakta bahwa Alba adalah anak diluar pernikahan tidak akan menjadi konsumsi publik. Mengingat bagaimana sebesar apa agensinya di Indonesia dan terkenal akan privasi yang terjaga membuatnya sangat terkejut ketika di pagi hari Minggu yang semestinya menyenangkan mendadak menjadi horor karena telepon berdering serentak di rumahnya. Janu bangun dengan tergesa karena deringan telepon yang bersahutan, dari arah ruang santai dan juga ponselnya. Dia mematikan ponselnya sebelum mengecek siapa yang menelepon, melihat putri kecilnya masih tertidur Janu berjalan pelan menuju ruang santai, mengangkat telpon rumahnya.“Nu, maaf nelpon jam segini.” Suara Nara terdengar disana, Naraya adalah sekretaris bosnya di kantor.“Mbak Nara? Ada apa mbak?” Tanya Janu, masih setengah sadar, mengintip sedikit dari balik gorden Janu yakin matahari bahkan
Sudah sebulan sejak Alba tiba di Indonesia dan tinggal bersama Janu, ada banyak kejadian yang terkadang membuat Janu sangat terkejut. Tinggal bersama bocah berusia 4 tahun nyatanya memiliki banyak sekali kejutan. Alba sedikit demi sedikit sudah meninggalkan botol susunya, dia sudah tidak merengek minta botol susu ketika mau tidur, meskipun dalam sebulan itu ada beberapa kali di malam hari Alba tantrum, dia menangis tanpa suara dan membuat Janu kebingungan. Alba bukan tipe anak yang cerewet, dia juga bukan tipe anak kecil pencerita, dia kebanyakan diam dan mengamati sekitar, terkadang Janu khawatir mengenai hal itu. Janu beberapa kali bertanya pada Alba bagaimana kehidupannya bersama nenek, Alba bilang nenek tidak bisa mendengar, pendengaran bibi Millie memang sudah sangat buruk jika tanpa bantuan alat dia sudah tidak bisa mendengar sama sekali. Selama Millie dalam perawatan di Rumah Sakit Alba diasuh oleh neneknya, mungkin itu salah satu alasan kenapa Alba menjadi anak yang jauh leb
Janu lagi-lagi melihat jam tangannya, ini hari Minggu pagi, matahari bahkan baru saja terbit dan dia sudah sangat gelisah. Sebenarnya, sudah sejak beberapa hari terakhir Janu gelisah, hal ini dikarenakan Alba mulai bersekolah Senin besok.Beberapa minggu lalu, Janu sempat mengobrol dengan Yuwa. Dia membawa Alba datang ke toko bunga milik Yuwa, gadis kecilnya sangat suka berada disana, Alba suka dikelilingi banyak bunga-bunga cantik dan juga wangi. Pertama kali Alba datang kesini ketika dia dibawa oleh paman Maga, saat itu Janu sedang ada meeting di akhir pekan. Pengasuh Alba tidak bisa datang, terpaksa Magani yang harus menemani si bocah meskipun dia hanya baru tidur selama 2 jam. Pelanggannya datang semalam, dia mengerjakan tato selama 8 jam penuh. Setelahnya dia membereskan perabotan dan menutup toko, Maga baru bisa tidur menjelang subuh, baru saja terlelap Janu menelepon meminta tolong untuk menemani Alba. Maga mengiyakan, namun dia tidak kuat membuka mata ditambah tubuhny
Magani tidak pandai dengan anak-anak, dia anak tunggal sebelum Javis masuk ke dalam keluarganya. Kedua orangtuanya sibuk bekerja sehingga Maga biasa ditinggal bersama dengan pengasuhnya, Maga juga tidak jago bersosialisasi, dia biasanya hanya ikut kemanapun ibunya pergi maka dari itu dia berakhir berteman dengan Janu. Maga jarang berbicara, dia biasanya hanya menjadi seorang pengamat seperti ayahnya tapi jika sudah dekat terkadang dia jauh lebih cerewet seperti ibunya.Ketika Janu memperkenalkan Alba, ada rasa canggung yang tercipta. Maga mengambil jarak cukup jauh pada Alba. Bukan karena dia membenci anak itu, hanya saja dia memang tidak bisa begitu saja akrab dengan anak-anak, dia banyak berpikir seperti topik apa yang harus dibicarakan dengan seorang anak usia 4 tahun? Bertanya apakah anak itu sudah makan atau belum rasanya terlalu dasar sehingga dia berakhir tidaka mengajak Alba mengobrol.Beberapa kali Maga menjaga Alba tapi tidak sendirian, dia selalu mengajak Al
Ini sudah hari ke 4 Alba tinggal bersama Maga. Kecanggungan mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, ucapan Alba yang tulus membuat Maga merasa nyaman, dia menjadi mengerti bahwa bicara dengan anak-anak tidak membutuhkan banyak effort. Selera makan Maga dan Alba juga mirip, mereka hampir memilih menu yang sama di Hokben, bahkan dessert juga. Ketika pertama kali pulang dan harus memandikan Alba, disitu Maga sedikit canggung bagaimanapun Alba adalah anak perempuan takut-takut dia salah atau membuat si kecil Alba malu tapi pada akhirnya dia bisa melalui itu semua. Alba juga tidak merepotkan, anak itu pandai bermain sendiri sehingga Maga memiliki banyak waktu untuk mendesain beberapa tato yang sudah dipesan oleh pelanggannya.Melihat bagaimana Alba bersikap, Maga seperti melihat dirinya sendiri. Karena kedua orangtuanya sibuk bekerja, Maga diharuskan tinggal bersama pengasuh terkadang tinggal bersama tetangga karena satu dan lain hal, tanpa sadar dia membuat dir
Hari ini Alba sangat bersemangat, sejak pagi dia sudah sangat ceria. Ketika Maga memandikannya dia terus berceloteh mengenai banyak hal, dia bercerita apa yang dia tonton kemarin meskipun Maga ada disampingnya dan menonton hal yang sama. Dia juga kembali menceritakan apa yang dia lakukan bersama Nina yang tentu saja sudah sangat Maga hapal, Maga sendiri sedang menebak-nebak mengapa anak ini sangat penuh semangat dan terus mengulang hal yang sudah Maga tahu.Maga mengeringkan rambut Alba dan menyisirnya ketika anak itu tengah memilih hiasan rambut. Hiasan rambut itu mereka beli kemarin ketika pemadaman listrik berlangsung di tempat Maga, karena panas dan juga bosan akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan-jalan ke Mall dan berakhir menghabiskan waktu di toko aksesoris anak-anak.“Mau pakai warna purple.”“Ungu,”“Iya, ungu!”Maga memakaikan jepitan pita berwarna ungu itu di rambut Alba, sedikit miring karena Maga
Ini hari kedua setelah Janu pulang dan Alba kembali bersamanya, sejak hari pertama Alba tidak berhenti membicarakan bagaimana dia memiliki teman baru. Namanya, Nina. Nina memberikannya boneka kecil di hari pertama mereka memutuskan untuk menjadi teman, Nina sudah tidak memiliki ibu dan tinggal bersama neneknya. Dia hanya diantar oleh supir dan pengasuhnya ketika bersekolah, Nina punya seorang kakak laki-laki. Sudah. Tidak ada lagi informasi mengenai Nina yang Janu dapatkan. Alba juga tidak menceritakan teman lain selain Nina hingga Janu merasa janggal. Janu hendak bertanya pada Maga tetapi pemuda itu sudah mulai membuka toko tatonya dan sepertinya sudah memiliki banyak jadwal yang penuh.Hari minggu kali ini, Janu sudah merencanakan banyak kegiatan bersama Alba tapi ketika dia baru selesai bersiap-siap Alba menghampirinya dengan terbatuk-batuk, wajah anak itu memerah. Janu menyambutnya dengan pelukan dan menggendong anak itu, tubuhnya agak panas. Jadi, Janu menelepon pengasuh
Janu mengecek ponselnya berkali-kali, tidak ada kabar dari Sadam. Hari ini Sadam mendapat giliran menjaga Alba setelah dua hari terakhir Janu dan Yuwa serta yang lainnya bergantian menjaga bocah itu, hari ini Sadam meminta hanya dia seorang diri yang menjaga si kecil. Bukan Janu tidak percaya pada Sadam, hanya saja dia itu bintang terkenal di Indonesia. Seluruh negeri tahu siapa dia, Janu hanya takut kehadiran Sadam di Rumah Sakit menjadi keributan kecil tersendiri, bisa-bisa karena penggemarnya yang kebanyakan ibu-ibu atau bahkan para perawat ingin berfoto dengan Sadam ruang rawat Alba menjadi ricuh.Janu menghela napas. Mengecek sekali lagi ke ponselnya, dia kini mengalihkan pandangannya ke depan, dia sedang mengikuti meeting untuk project baru, tidak bisa mendapat izin begitu saja hanya karena anak sakit. Pekerjaannya memiliki waktu fleksibel, tapi tidak ada alasan ketika sebuah project baru dikeluarkan. Bosnya sudah meminta maaf mengenai hal ini, d
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Alba membuka matanya, sejak semalam dia sudah begitu bersemangat sampai-sampai ayahnya memintanya untuk tidur dengan tenang atau hari ini dia akan bangun kesiangan, kenyataannya dia tidak bangun kesiangan sedikitpun. Malahan dia bangun terlalu pagi, membangunkan sang ayah yang masih terkantuk-kantuk, dia mengoceh selama sejam sebelum akhirnya tertidur kembali. Janu melirik kearah jam dan waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dia membuka pintu kamar perlahan dan mendapati keenam temannya sudah tersenyum lebar menyambutnya. Janu menutup pintu kamar selembut mungkin agar tidak membangunkan putri kecilnya yang bersemangat, dia mendekat kearah teman-temannya yang sudah merampungkan dekorasi hampir delapan puluh persen. Mereka berencana merayakan ulang tahun outdoor karena memang teras belakang Janu cukup besar untuk ukuran rumah orang Indonesia yang berada di tengah kota, jadi mereka bisa mendekorasi balon, tulisan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pesta ulang tahun Alba. “Nu, ini hadiah
Janu memasukkan mobil ke dalam garasi, dia mengecek Alba yang baru saja menyelesaikan nyanyiannya di kursi belakang. Anak itu begitu ceria sejak di jemput dari taman kanak-kanak, Janu turun dari mobil, membuka pintu belakang dan melepaskan sabuk pengaman bocah itu. Alba merentangkan tangannya minta di gendong, Janu tersenyum dan menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah si kecil Alba masih bernyanyi riang, mbak Ayu menyambut Alba dan membantunya melepaskan sepatu serta baju seragamnya. “Non seneng banget hari ini..” Kata mbak Ayu sambil melepaskan rok sekolah Alba, bocah itu menatapnya, matanya berbinar-binar. “Aba mau ulang tahun!” Pekiknya lantang, Janu terkekeh mendengarnya menatap si kecil dari arah dapur. Tiga hari sudah berlalu semenjak dia dan keenam temannya bertemu di tempat Yuwa. Mereka sudah merencanakan bagaimana acara itu akan digelar, Magani sudah membuatkan rundown acara yang akan berlangsung selama satu jam saja, karena ketika Janu berk
Janu memakirkan mobilnya dengan hati-hati, dia baru saja sampai di depan toko Yuwa. Iya, baru saja dia mengantar Alba ke sekolah dan kini dia sudah berada di toko Yuwa, jam masih menunjukkan pukul 10 ketika dia sampai, melepas sabuk pengaman dia tidak lupa membawa paper bag berisi sarapannya bersama Yuwa. Dia menyebrang dan mendapati Yuwa bersama karyawannya tengah mengeluarkan beberapa bunga display ke depan toko. “Lah udah datang aja Nu?” Yuwa terkejut, memang benar teman-temannya berjanji untuk bertemu di tempatnya tapi tidak sepagi ini seingatnya. Jadi dia terkejut melihat pria dengan celana jeans gombrang dan kaos belel itu ada di depan tokonya. “Jam 12 sama jam 10 apa bedanya sih kak...” Ujar Janu santai, masuk ke dalam toko Yuwa dan pergi ke belakang, mencari-cari mangkok dan kemudian duduk di salah satu bangku kayu. “Kak aku gak beliin karyawanmu makan, tapi ini aku beliin buat kamu!” Pekiknya dari belakang. “Udah makan dia!” Jawab Yuwa lagi berteriak dari depan, masih sibu