“Coba buka mulutnya, AAA” Janu berkata, berjongkok di depan Alba sambil membuka mulutnya agar si kecil bisa mengikutinya. Anak itu dengan rambut kuncir dua, seragam rapi, bersiap untuk pergi ke sekolah mengikuti ayahnya membuka mulut lebar-lebar.
“Nah, pantesan sudah gak panas dan mau makan ya nak, giginya sudah keluar.” Janu bertepuk tangan dan mengelus puncak kepala si kecil yang kini tersenyum sangat manis padanya.
“Sudah tidak sakit!” Katanya penuh semangat, berlari ke arah mbak Ayu yang tersenyum sambil memakaikan tas di punggung si kecil. “Mbak, makan Aba sudah banyak ya?” Tanyanya lagi, mencoba meyakinkan kalau dia sudah memberitahu info tepat pada ayahnya yang masih berdiri menatapnya sambil tersenyum.“Iya, Non sudah makan banyak dan lahap!”
“Lahap! Lahap!” Dia mengikuti ucapan itu dengan riang.
Janu hanya tersenyum sambil menggeleng kecil, berjalan mengambil kunci mobil
Sudah dua pekan terakhir Sadam disibukkan dengan promo filmnya yang sedang tayang di bioskop. Dia hanya pulang untuk tidur selama dua jam dan akan kembali disibukkan dengan aktifitas lainnya, Ayas sampai kewalahan menyediakan vitamin dan keperluan si artis. Agensinya memberikan Sadam katering mahal untuk dirinya sendiri agar semua kebutuhan tubuhnya tetap terpantau meskipun dia sibuk.Ini pertama kalinya bagi Kamala setelah menjadi asisten utama penata rias memiliki kesibukkan yang gila, seniornya mbak Riska bilang kalau ini hal biasa ketika si artis sedang melakukan promo. Tapi melihat bagaimana padatnya jadwal Sadam dari satu acara ke acara lain membuat Kamala tidak habis pikir. Cari uang begini banget ya?Kamala besar di keluarga yang tidak begitu hangat, ayahnya selingkuh dan menikah lagi, sedangkan ibunya dibiarkan begitu saja. Tidak diceraikan dan juga tidak dinafkahi, bertahun-tahun. Kedua orangtuanya baru saja resmi bercerai sekitar 3 tahun lalu, ketik
Suara alarm ponsel yang nyaring membangunkan si empunya, pria dengan kulit putih berambut hitam itu segera mematikannya, menguap sebentar dia kemudian duduk diatas kasur. Beberapa saat kemudian dia bangun dari tempat tidur, membereskannya dan keluar dari kamar menuju kamar mandi. Menyalakan kran air hangat, dia bersiap untuk mandi. Melepaskan celana pendek dan kaos yang dipakainya tidur, dia membalut separuh tubuhnya dengan handuk dan pergi menuju dapur untuk menyalakan mesin pembuat kopi. Dia baru saja membelinya beberapa bulan lalu dan sudah jatuh cinta pada alat itu.Pria itu kembali ke dalam kamar mandi dan mulai mandi. 15 menit dan dia keluar, kembali ke kamar dan berganti baju. Hari ini, dia memakai kaos putih dipadu dengan celana jeans, merapikan sedikit rambutnya dia kemudian tersenyum di depan cermin, mengecek dirinya sendiri.Ponselnya berbunyi tepat ketika dia keluar dari kamar menuju dapur.Danda, jangan lupa berkeliling hari ini.
Yuwa keluar dari dalam mobil, dia tersenyum lebar kemudian setengah berjongkok dia menggendong Alba dalam pelukannya.“Hai, apa kabar?” Tanyanya, menyentuh ujung hidung bocah yang juga tersenyum lebar itu.“Baik, paman kangen Aba tidak?” Bocah itu balik bertanya, sambil mengelus kedua pipi Yuwa, menatap mata hitam pria itu dengan dalam. Yuwa mengangguk kecil.“Haduh, bukannya bantuin malahan kangen-kangenan!” Janu mengoceh, memindahkan semua barang-barang belanjaan ke dalam bagasi dan kursi belakang mobil Yuwa.“Wah, di jemput siapa nih Aba?” Pertanyaan itu membuat ketiganya menoleh, Yuwa mengerenyit. Seorang wanita tinggi, putih, dengan mata bulat besar memakai kemeja berwarna khaki dipadu rok span hitam pendek diatas lutut dengan heels berwarna senada.“Ini paman Aba!” Ujarnya, ada nada bangga disana. Dan wanita itu tertawa.“Wah, Aba punya banyak paman ya?” Wanita itu
Beberapa hari lalu, Geya bertemu dengan Janu dan anaknya, kali ini anak itu tidak tertidur seperti pertama kali dia bertemu, kedua kali mereka bertemu juga anak itu sangat manis dan terlihat sangat berhati-hati untuk bicara dengan orang asing. Maka dari itu, Geya menawarkan si kecil untuk bermain ke tempatnya. Dia berjanji untuk membuatkan anak itu Spaghetti, jadi dia mengeluarkan beberapa bahan makanan untuk membuatnya sore ini.Geya, baru saja pindah ke rumah ini.Dia memutuskan untuk menjual rumah yang diberikan mantan suaminya itu sebagai harta gono-gini, rumah yang dulu menjadi sumber kebahagiaannya saat pertama kali dihadiahkan oleh suaminya telah berubah menjadi tempat yang mengerikan, yang bahkan saat dia masih bersama suaminya, dia enggan untuk masuk ke dalam. Setiap sudut rumah mengingatkan dia bagaimana laki-laki itu memukulinya habis-habisan, setiap sudut rumah mengingatkan dia bahwa laki-laki itu pernah membawa seorang perempuan dan berbuat mesum
Pria dengan setelan santai, kaos berwarna putih, celana jeans robek dan jaket denim berjalan masuk ke dalam lobi Rumah Sakit. Dia memakai masker berwarna senada dengan kaos dan topi bercorak, wajahnya hampir tertutup seluruhnya, namun semua orang mengenali hanya dari caranya berjalan, atau dari merk-merk pakaian terkenal yang dia pakai dari ujung kepala sampai ujung kaki.Semua orang menyapanya, dan beberapa memberikan senyuman kecil, dia membalas. Selalu mencoba ramah kepada semua orang meskipun matanya sesekali sibuk dengan ponsel.“Mas Theo, Nyonya sudah nunggu didalam.” Seorang pria berkata, menghentikan langkahnya yang baru saja akan masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti baju santainya dengan baju kerja.Theo berkerenyit, dia tidak berpikir ibunya akan datang ke tempatnya bekerja. Dia langkahkan kakinya menuju ruangan tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, ketika pintu dibuka seorang wanita berusia 56 tahunan dengan wajah yang masih cukup muda
“Kak!” Tara masuk melewati pagar tinggi itu setelah si empunya rumah membuka dari dalam, dia sedikit berlari dengan pantofel tinggi, si empunya rumah terkekeh dari teras melihat kelakuannya.“Kenapa mesti lari-lari sih?” Ucapnya, dia kemudian merangkul gadis itu yang kini masuk dengan wajah cemberut menatapnya.“Mana mana si sialan itu?! Kok berani-beraninya ngechat kak Geya lagi?!” Tara berkata dengan penuh emosi, dan Geya menyambutnya dengan tawa.Bu Ria keluar dari dalam rumah mendengar keributan itu, ketika Tara melihatnya dia menjerit kegirangan karena sudah begitu lama sejak terakhir mereka jumpa satu sama lain, Tara memeluknya erat.“Non Tara masih sama aja kayak dulu, heboh!” Bu Ria berkata sambil tertawa, kemudian mengambil alih bungkusan-bungkusan di tangan Tara yang sedari tadi dia pegang dan tidak dilepas sama sekali. Dia membeli beberapa buah-buahan dan kue untuk Geya karena wanita itu cuti hari
“Kamu emang enggak latihan?” Suara gadis itu terdengar sedikit berteriak dari balik pagar sebuah bangunan berwarna abu-abu, dia terburu-buru keluar dengan tangan penuh jinjingan. Hari ini rambut hitam sebahunya dibiarkan tergerai, dia memakai kaos hitam lengan pendek dipadu dengan celana jeans semata kaki serta sepatu kets putih.“Bawa apa aja ini?” Javis mengecek bawaan kekasihnya, dia membawa dua tas belanja yang isinya lumayan berat. Dia terkadang tidak habis pikir dengan gadis dengan lengan kecil itu, terkadang kedua lengan itu bisa mengangkat sesuatu yang begitu berat.“Itu semua peralatan mandi ibu, biasa bulanan..” Jawabnya dengan senyum penuh. Javis mengangguk, kemudian mereka berjalan sedikit menuju mobil. Javis membuka bagasi mobilnya, menyimpan tas-tas itu ke dalamnya dan siap pergi menuju tempat yang setiap sebulan sekali selalu Tara datangi.Seperti yang sudah-sudah, gadis itu selalu terlihat senang dan bersemanga
Gadis dengan rambut ikal panjang yang digelung masuk, memakai kaos berwarna biru dongker dipadu dengan rok jeans selutut itu mengamati sekelilingnya, mata mengikuti setiap gerak orang-orang di depannya. Mulutnya sibuk mengunyah coklat bar yang kini hampir meleleh ditangannya yang penuh dengan cat warna-warni, sepatu kets putihnya terkena lumpur di beberapa bagian bercampur dengan cat warna-warni.Mahika, namanya. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan, Mahimo, Ma-chan, Ikaika atau paling normalnya orang-orang memanggilnya dengan sebutan Mahika saja. Usianya tahun ini memasuki angka 29. Usia yang begitu rentan memiliki ketakutan akan masa depan, yang memiliki krisis karena sebentar lagi usianya memasuki angka 30. Kepala tiga pertama.Dia menaikkan kacamata bingkai besar yang tengah dia pakai dengan ujung jarinya. Masih sibuk mengamati orang-orang yang berlalu lalang di taman kota. Ini adalah hobi utamanya, duduk di sebuah taman, menikmati kudapan apapun yang dia miliki
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Alba membuka matanya, sejak semalam dia sudah begitu bersemangat sampai-sampai ayahnya memintanya untuk tidur dengan tenang atau hari ini dia akan bangun kesiangan, kenyataannya dia tidak bangun kesiangan sedikitpun. Malahan dia bangun terlalu pagi, membangunkan sang ayah yang masih terkantuk-kantuk, dia mengoceh selama sejam sebelum akhirnya tertidur kembali. Janu melirik kearah jam dan waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dia membuka pintu kamar perlahan dan mendapati keenam temannya sudah tersenyum lebar menyambutnya. Janu menutup pintu kamar selembut mungkin agar tidak membangunkan putri kecilnya yang bersemangat, dia mendekat kearah teman-temannya yang sudah merampungkan dekorasi hampir delapan puluh persen. Mereka berencana merayakan ulang tahun outdoor karena memang teras belakang Janu cukup besar untuk ukuran rumah orang Indonesia yang berada di tengah kota, jadi mereka bisa mendekorasi balon, tulisan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pesta ulang tahun Alba. “Nu, ini hadiah
Janu memasukkan mobil ke dalam garasi, dia mengecek Alba yang baru saja menyelesaikan nyanyiannya di kursi belakang. Anak itu begitu ceria sejak di jemput dari taman kanak-kanak, Janu turun dari mobil, membuka pintu belakang dan melepaskan sabuk pengaman bocah itu. Alba merentangkan tangannya minta di gendong, Janu tersenyum dan menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah si kecil Alba masih bernyanyi riang, mbak Ayu menyambut Alba dan membantunya melepaskan sepatu serta baju seragamnya. “Non seneng banget hari ini..” Kata mbak Ayu sambil melepaskan rok sekolah Alba, bocah itu menatapnya, matanya berbinar-binar. “Aba mau ulang tahun!” Pekiknya lantang, Janu terkekeh mendengarnya menatap si kecil dari arah dapur. Tiga hari sudah berlalu semenjak dia dan keenam temannya bertemu di tempat Yuwa. Mereka sudah merencanakan bagaimana acara itu akan digelar, Magani sudah membuatkan rundown acara yang akan berlangsung selama satu jam saja, karena ketika Janu berk
Janu memakirkan mobilnya dengan hati-hati, dia baru saja sampai di depan toko Yuwa. Iya, baru saja dia mengantar Alba ke sekolah dan kini dia sudah berada di toko Yuwa, jam masih menunjukkan pukul 10 ketika dia sampai, melepas sabuk pengaman dia tidak lupa membawa paper bag berisi sarapannya bersama Yuwa. Dia menyebrang dan mendapati Yuwa bersama karyawannya tengah mengeluarkan beberapa bunga display ke depan toko. “Lah udah datang aja Nu?” Yuwa terkejut, memang benar teman-temannya berjanji untuk bertemu di tempatnya tapi tidak sepagi ini seingatnya. Jadi dia terkejut melihat pria dengan celana jeans gombrang dan kaos belel itu ada di depan tokonya. “Jam 12 sama jam 10 apa bedanya sih kak...” Ujar Janu santai, masuk ke dalam toko Yuwa dan pergi ke belakang, mencari-cari mangkok dan kemudian duduk di salah satu bangku kayu. “Kak aku gak beliin karyawanmu makan, tapi ini aku beliin buat kamu!” Pekiknya dari belakang. “Udah makan dia!” Jawab Yuwa lagi berteriak dari depan, masih sibu