Dominic tidak ikut treatment. Dia hanya menemani Chalondra sambil memeriksa pekerjaannya di tablet. Dom sengaja memilih therapist yang sudah berusia senja. Selain pijatannya sudah pasti lebih oke, Dom tidak ingin nanti therapistnya justru lebih perhatian kepadanya ketimbang pasien yang sedang dia pegang. Bukan bermaksud tinggi hati, namun itulah kenyataannya. Dominic sudah pasti jadi pusat perhatian dimana pun dia berada. Dan biasanya therapist yang lebih muda sering melakukannya.
Sesekali dia melihat Chalondra yang merem melek lantaran terlena dengan pijitan-pijitan di seluruh tubuhnya. Pria itu tersenyum senang. Jika sekarang Chalondra sudah dibuat nyaman dan kembali bugar, itu artinya sesi jacuzzi mereka akan berjalan dengan panas nanti. Dominic mengulum senyum sambil menatap tabletnya.
"Jangan gila, Dad..." desis Chalondra yang melihat sugar daddy-nya senyum-senyum sendiri.
"Biarin..." balas Dom cuek.
"Miris banget aku jatuh cinta sama om-om gila..."<
Flashback hari Minggu sebelumnya... Pagi hari, sekitar pukul delapan, Reina sedang bersiap untuk menghadiri arisan alumni kampus ibunya yang kebetulan diadakan di rumah orangtuanya sendiri. Dia juga mengajak Dominic dan laki-laki itu mau tidak mau harus ikut lantaran diminta langsung oleh ibunya. Satu hal yang masih harus disyukuri Reina, sekalipun Dominic membencinya, pria itu masih bisa diajak kompromi untuk bersandiwara untuk menunjukkan kalau rumah tangga mereka baik-baik saja. Setidaknya, ayah Reina yang sedang sakit-sakitan tidak akan kepikiran tentang dia. Yaa… meskipun setelah itu Dominic akan kembali seperti orang asing setelah mereka pulang ke rumah. Saat sudah berada di dalam mobil dan siap untuk berangkat, Dominic tiba-tiba mengingat bahwa dompetnya tertinggal di ruang tamu. Dia pun kembali masuk ke rumah dengan tanpa membawa ponselnya yang dia letakkan begitu saja di atas kursi. Saat itulah, Reina mendapati sesuatu yang disembunyikan oleh Dom, suaminya.
Namun harapan Dominic untuk segera mewujudkan perceraiannya dengan Reina tidak semulus rencana yang sudah dia susun. Tidak ada angin ataupun hujan, keesokan harinya ayah mertuanya mendadak dilarikan ke rumah sakit. Sakit jantungnya kumat dan menurut info dari dokter yang menangani, sebelum dibawa ke rumah sakit, beliau sempat tidak sadarkan diri. Dominic menghela napas. Map gugatan cerai yang sudah ditandatangani oleh Reina kembali dia simpan dalam brankas yang ada di dalam kantornya. Dia masih punya hati. Tidak mungkin mendesak untuk berpisah sementara kondisi sedang tidak kondusif seperti ini. Sekarang Dom sedang menunggu Chalondra di sebuah café. Dia mengajak gadis itu ketemuan karena galau dengan urusan rumah tangganya. Sebuah café yang mempunyai ruangan khusus untuk privat meeting dan Dominic sudah memesan ruangan tersebut. Ponsel Dom berbunyi, Chalondra memanggil. Gadis itu sudah ada di luar dan meminta Dominic untuk keluar. Namun Dom mengirim waitress
Time flies... tak terasa satu tahun pun berlalu. Dominic dan Reina masih belum bisa mewujudkan perceraian mereka karena ayah Reina justru mengalami koma setelah penanganan dokter satu tahun yang silam. Saat itu, Reina sudah pasrah dengan apa pun keputusan Dominic karena dia tau Dominic sudah tidak sabar ingin menikahi Chalondra. Namun kenyataannya, pria itu masih menaruh iba. Status pernikahan pun digantung entah sampai kapan. Tidak ada kepastian dari tim medis kapan mertuanya akan sadarkan diri. Yang pasti, Reina tetap bersama anjar dan Dominic pun tetap menjalin hubungan dengan Chalondra. Malahan sekarang keduanya lebih mirip seperti sepasang suami istri karena Chalondra diijinkan oleh orangtuanya untuk menyewa sebuah apartemen lantaran kampusnya yang jauh dari rumah. Dominic cukup telaten mengurus semua anak buah Chris Ellordi yang bertugas mengawasi Chalondra. Tapi dia harus mengakui kalau dia sedikit kewalahan selama satu tahun ini. Namun demi quality time-nya d
Keesokan harinya Dominic segera memanggil kepala bagian purchasing untuk mendengar penjelasan yang lebih mendetail mengenai pergantian supplier mereka. Arita -lebih tepatnya Dominic memanggil wanita berusia empat puluhan itu dengan sebutan 'Bu Arita'- datang ke ruangan Dominic dengan membawa berkas-berkas yang sudah dia persiapkan di dalam sebuah map khusus. Mungkin beliau sudah punya feeling kalau Dominic akan memanggilnya setelah membuat laporannya kemarin sore. Dia benar-benar mengenal atasannya itu. "Bu Arita, silakan duduk, Bu." Dominic yang sudah menunggu di sofa set-nya berdiri sebentar untuk menyambut wanita yang lebih tua darinya itu. Dom jelas sangat tau tentang tata krama. Arita pun duduk di kursi yang ada di seberang Dominic. Setelahnya Dom kembali duduk. "Bu, bisa ceritakan tentang Sagara Natural?" Dominic langsung memulai pembicaraan dengan menyebutkan nama perusahaan supplier bahan baku mereka. Dia sudah membuat posisi duduk yang siap untuk men
Setelah Dominic pergi begitu saja tanpa memberinya kesempatan untuk bicara, Firdaus pun segera kembali masuk ke dalam gedung kantor dan langsung menuju lantai empat, alias lantai divisi marketing mereka. Baru saja keluar dari lift, pria itu dengan terburu-buru langsung menghampiri seseorang yang bertanggung-jawab dalam mengurus kontrak bisnis dengan klien-klien mereka. Namanya Julie, seorang wanita berusia tiga puluh lima yang sudah lama mengabdi di Sagara natural, jauh sebelum Firdaus ada. “Bu Julie …” Firdaus memanggil dengan napas yang terengah-engah. Wanita yang sedang mengerjakan sesuatu di komputer pribadi miliknya itu pun menengadah dan memasang wajah bertanya kepada Firdaus. “Saya mau bertanya soal kontrak Inti Global.” “Kenapa, Pak? Bukannya kemarin saya sudah mengeluarkan surat keputusan soal itu?” jawab Julie dingin. Hah, dia sudah menebak hal ini akan terjadi. Tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. “Ibu Julie tidak menjelaskan
Dominic melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju mall yang tertera di tiket bioskop yang baru saja difoto Chalondra untuknya. Dia tidak ingin terburu-buru. Sebelum bertemu gadis itu, Dominic berusaha membuat pikiran dan jiwanya tenang. Pembicaraannya dengan Marcus, ayahnya, tentu saja mengusik dirinya dan tidak bisa dipungkiri dia cukup gusar karenanya. Dia mulai memikirkan arti dari kata-kata Marcus yang mengatakan dia sedang dalam bahaya. Apa gerangan yang telah diketahui Marcus? Alih-alih memberitahu Dominic tentang bahaya yang dia maksud, pria tua itu malah terkesan hanya ingin memperingatkan tanpa menawarkan bantuan. Tapi tidak apa-apa. Dominic memang tidak berniat mengandalkan ayahnya tiap kali dia terjerat dalam masalah. Dom hanya penasaran dengan maksud Marcus, sampai-sampai ayahnya itu berani melewati batas dengan menunjukkan bahwa dia sudah mengetahui perihal kekasih muda puteranya. Jika tidak ada apa-apa, mungkin Marcus akan tetap keep silent dan
Jika satu jam yang lalu, saat dia berangkat ke mall tersebut dengan perasaan yang ringan, enteng karena tidak ada kerjaan yang urgent di kantor, sekarang Brandon pulang dengan perasaan yang kacau. Dia tidak salah lihat tadi. Itu adalah Dominic. Pria yang dipilih Chalondra untuk menemaninya menonton. Dominic, putera tunggal pewaris PT. Inti Global Paper, musuh terbesar perusahaan mereka, Cakrawala Paper. Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam benak Brandon. Bagaimana bisa mereka saling mengenal? Bagaimana awalnya mereka sampai sedekat itu? Brandon tidak buta sehingga tidak bisa membaca arti dari gesture tubuh keduanya saat duduk di sofa. Adiknya jelas-jelas bergelanyut manja di lengan laki-laki itu. Saat mereka berjalan menuju bioskop pun, Chalondra memeluk pinggang Dominic dan laki-laki itu merangkul pundak adiknya. Lalu, bukankah Dominic itu sudah punya istri?? Ya Tuhaaaannn! Apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan yang seperti itu seme
"Kita bicara di kamar kamu." Brandon melihat kondisi Chalondra yang begitu shock mendengar apa yang baru saja dia ucapkan. Pria bertubuh tinggi itu pun berinisiatif untuk membuat adiknya merasa nyaman terlebih dahulu sebelum membahas ini lebih lanjut. Ini sangat krusial dan menyangkut masa depan Chalondra sendiri. Chalondra pun membiarkan Brandon menggendongnya masuk ke dalam rumah. Dia begitu lemah dan tidak bisa memikirkan apa pun. Informasi yang diberikan Brandon memberikan efek kejut yang membuat seluruh tulang-tulangnya lemas kehilangan seluruh tenaga. Setibanya di kamar Chalodra, Brandon pun mendudukkan adiknya di tepi kasur queen size miliknya. Setelah itu, dia berjongkok di hadapan Cha dan berpegang pada lututnya. Chalondra sendiri langsung menutup matanya. Dia sama sekali tidak berani menatap Brandon yang masih terlihat begitu marah kepadanya. Wajah dingin abang sematawayangnya itu adalah hal terseram kedua setelah wajah penuh amarah ayahnya, Chris.
(Yokk nangis berjamaah duluu hahahaaa.)HAHHH! FINALLYYY TAMAT JUGAAAAAAAAAA. AKU MEWEK NIHH NULISNYA HIKSSSSSSSS :( :(Nggak kerasa M.P.S.D ini sudah menemani kita selama 7 bulan yaaa (Mei-November 2021). Ahhhh, time fliessss.Masih ingat awal-awal aku ngerencanain novel ini, nggak ada persiapan yang matang sama sekali. Cuma mau cek ombak Goodnovel sambil nulis di aplikasi hijau (K.B.M). Karakter Dom dan Cha ini bahkan aku bikin ngalir aja, nggak ngarep banyak. Cover juga hasil crop foto random dari G**gle.TAPI SAMPAI SE-BOOMING INI, hikssss. Aku gak nyangka M.P.S.D sudah membawaku ke tahap ini. Bisa kasih penghasilan, buat namaku sedikit dikenal juga. Bisa bertemu dengan banyak pembaca yang sekarang udah aku anggap kayak saudara :( :(..GAIISSSS MAKASIH YAAAAAAA.WITHOUT YOU I'M NOTHINGGGG. ASLIII.Itu IG-ku yang Ootbaho baru berisi setelah ada Dom-Cha. F
"Buruan, B! Pesawat kita sudah mau berangkat!!""Don't push me, J! Siapa suruh kau tidak membangunkan aku!" Setelah menikah, Brandon jadi terbiasa memanggil istrinya dengan sebutan 'J' saja, sama seperti Janice yang memanggilnya dengan 'B'."Siapa suruh kau begadang? Sudah tau kita harus flight pagi!""Shiitt!" Brandon memaki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menganggap sepele jam terbang mereka. Berharap tangan dan kakinya bisa bergerak dua kali lebih cepat sekarang. Janice pasti akan menggorok lehernya jika mereka ketinggalan pesawat. Dia tidak ingin diceramahi dua SKS jika tiket mereka hangus dan jika mereka harus beli tiket on the spot yang tentunya jauh lebih mahal.Sepanjang perjalanan Janice hanya diam karena pikirannya tidak tenang. Pergerakan mobil yang sudah sangat maksimal di dini hari tetap terasa begitu lambat baginya. Kenapa di saat genting seperti ini supir pribadi Brandon terkesan tidak lihai dalam membawa mobil?"J, kita tidak akan
Keesokan harinya, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu menghabiskan waktu seharian di hotel. Mereka bercinta, makan, tidur and repeat. Benar-benar menikmati hidup tanpa beban. Tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Baik keluarga maupun pekerjaan.Satu hari ini Janice merasa begitu dimanja oleh Brandon. Laki-laki itu sangat lembut baik dari tutur kata maupun caranya memperlakukan Janice. Sebaliknya, Brandon pun tidak ingin lepas atau jauh-jauh darinya. Persis seperti anak bayi yang ingin selalu berada di samping sang ibu.“I love you.”“I love you too, B. Sudah seratus kali loh ya. Aku bosan mendengarnya.”“What? Berani-beraninya?!” Bukannya tersinggung, Brandon malah menghujani pipi Janice dengan kecupan yang bertubi-tubi. Dia sepertinya sedang merasakan pelipatgandaan cinta setelah mereka resmi menjadi suami dan istri. Bagi Brandon, Janice adalah wanita sempurna yang membuat hidupnya lengkap, utuh dan bahagia. Di
Warning 21+ Yang fanatik agama tolong menyingkir, karena bab ini akan membuat anda pusing dang mual. Daripada lapor-lapor, mending sadar diri untuk out. Saya menulis bukan untuk tabungan saya di surga kelak. Paham ya? Buat yang udah nungguin belah duren manten baru, happy reading!! ***** Hari H pernikahan Brandon dan Janice sudah di depan mata. Gedung tempat diselenggarakannya pesta resepsi sudah dipenuhi oleh teman-teman sejawat Brandon dan rekanan bisnis semua keluarga. Keluarga Ellordi, keluarga Richard, keluarga Alexander. Janice dan Brandon benar-benar menjadi raja dan ratu sehari yang tidak berhenti menyapa semua tamu yang datang. Setelah kedua mempelai selesai berdansa, Janice mengganti sepatu pengantinnya dengan sepatu sneakers dengan sol sedikit tebal saat akan turun menyapa para tamu. Setidaknya tinggi tubuhnya bisa mengimbangi tinggi Brandon. Mereka menyapa teman satu sekolah yang memang diundan
"Brandon! Your hand!" Janice bolak-balik geram karena selama proses berganti di dalam kamar, Brandon seperti tidak sabaran ingin memijit betisnya. Sejak pulang dari konferensi pers tadi, pria itu kelihatannya sudah gatal ingin menyentuh tubuh calon istrinya.Brandon tidak perduli pekikan Janice. Dia menarik wanita itu ke atas kasur. Dress mahalnya sudah luluh ke lantai dan memang Brandon sengaja menunggu momen dimana dia hanya mengenakan sepasang pakaian dalamnya."B!""What?!" Brandon membalas seraya menaiki tubuh Janice dengan cara yang seksi."Wajahku masih penuh make-up! Aku mandi dulu, baru lakukan apa yang kau mau!""Tapi ada yang sudah mendesak ingin berdekatan dengan belahan jiwanya. Melihat kharisma mu di sepanjang acara tadi, jiwaku jadi meronta-ronta, Janice.""Kharisma yang bagaimana yang bisa membuat jiwa seseorang meronta-ronta? Aw! Brandon!" Janice memekik lantaran pria itu tanpa permisi menurunkan segitiga pengaman Janice. Da
Konferensi pers yang tadinya digelar hanya untuk klarifikasi hubungan antara Brandon dan Chelsea, nyatanya berubah menjadi konferensi pers besar-besaran karena Richard memutuskan untuk ikut tampil di depan media. Malahan setting tempat yang tadinya direncanakan di Cakrawala, kini berpindah ke kantor Richard, yaitu Rich Textile. Brandon dan Janice langsung saling beradu pandang lewat dinding kaca saat pesan dari Chris masuk ke ponsel mereka berdua, yang menyuruh keduanya untuk segera meninggalkan kantor dan hadir di konferensi pers. “Opa sepertinya ingin mengumumkan kamu sebagai penerus perusahaan.” Brandon menebak saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan Richard. “Aku … dengan tampilan yang seperti ini?” Janice langsung panik karena sekarang dia hanya memakai celana jins berwarna hitam dan kemeja biru muda. Itu juga lengan pendek. Jelek sekali! “It’s oke. Kita ketemu opa dulu. Siapa tau mereka sudah mempersiapkan yang terbaik untukmu.”
Janice menghembuskan napasnya ke udara bebas. Dia sedang berdiri di balkon dan menikmati udara pukul dua dini hari. Dia tidak bisa tidur. Di antara mereka, hanya Brandon lah yang berhasil terlelap satu jam yang lalu. Dia tidak bisa berhenti memikirkan semua hal. Pernikahan dan tanggung jawab yang baru saja dia emban sebagai penerus keluarga Richard. Dia sempat bertanya secara diam-diam kepada opa-nya, kenapa bukan Dion saja yang mengelola perusahaan? Tapi Richard menjawab kalau Dion sudah mendapat hak-nya, yaitu perusahaan yang ada di Jepang. Dan Dion sendiri yang meminta demikian, karena dia tidak ingin menetap di Indonesia. Sebentar lagi hidup Janice tidak akan sama lagi. Menikah dengan Brandon saja sudah akan membuat statusnya berbeda dengan rekan-rekan di kantornya, apalagi menjadi penerus Richard. Janice tidak tau apakah ini sebuah berkat atau malah sebuah petaka yang akan membawanya ke kehidupan yang serba rumit. "Kau belum tidur?" Tiba-tiba sua
Notes : Bab ini berisi Brandon-Janice, dan sampai tamat juga akan tentang mereka. Kisah Dom-Cha udah selesai ya gaes, di ige -ku juga udah aku info kalau ekstra part hanya untuk BJ, karena aku ga jadi bikin buku khusus mereka. Kalaupun aku bikin Dom-Cha sesekali, itu buat selingan aja. Jadi, yang ga suka Brandon-Janice, skip aja yaa, thank youu. Happy reading. ***** “Janice … wake up.” Janice merasakan pipinya ditepuk seseorang. Sayup-sayup juga dia mendengar namanya disebut dan orang tersebut menyuruhnya bangun sekarang. Itu suara Brandon. Kedua kelopak mata Janice terbuka dan didapatinya Brandon sedang duduk di tepi kasur. Sudah dengan celana boxer pendek yang menutupi bagian bawahnya. “Sudah sore, Sayang. Kau harus mandi,” ucap Brandon seraya tersenyum manis. “Om dan tante sudah pulang?” “Belum. Mereka sudah langsung ke rumah opa Richard. Dan kita disuruh ke sana sekarang.” Janice spontan terduduk. Selimut ya
"Kenapa kau sangat perhatian kepada Chelsea?" tanya Janice dengan nada yang sedikit curiga. Matanya memicing kepada Brandon yang duduk di sebelahnya. "What?" Pria itu pun tidak kalah kaget mendengar pertanyaan tunangannya. "Aku tidak salah dengar?" "Hm-m. Kenapa kau sepertinya begitu khawatir akan Chelsea?" ulang Janice seraya menatap Brandon yang sempat sesekali menoleh kepadanya. "Kau cemburu?" "Jelas. Aku tidak suka kau memikirkan wanita lain sampai sebegitunya. Apalagi sampai memikirkan nasib hubungan pertunangannya." Brandon langsung tergelak mendengar Janice yang tidak malu berterus terang. Gadis itu jelas-jelas sedang cemburu buta kepadanya. Ha-ha-ha. Menggemaskan sekali. Padahal tidak ada sedikitpun maksud tersembunyi di balik kekhawatiran Brandon kepada Chelsea. Murni hanya sudut pandang dia sebagai seorang laki-laki yang gentleman. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya melihat ini dari sudut pandang seorang pri