Stefano mendengus saat Matteo memasuki ruang kerjanya dengan wajah tanpa dosa. Pria itu sedang memainkan kunci mobilnya. Melempar benda itu ke atas, lalu menangkapnya, hal tersebut dia lakukan berkali-kali sambil bersandar pada meja Stefano. "Jangan terlalu serius dengan pekerjaanmu. Wajah cemberut membuatmu terlihat lebih tua dari usiamu, Stef," tegur Matteo setelah sesaat mengerling dan mendapati sahabatnya memberungut membaca tumpukan dokumen di atas meja. Berbanding terbalik dengan dirinya yang terlihat ceria beberapa hari ini. Matteo bahkan bersiul, membuat Stefano merasa terganggu. "Bisakah kau berhenti bersiul? Kalau saja kau tahu, beberapa anggota devisi pemasaran sedang mengeluhkan kinerja gadismu yang akhir-akhir ini kacau," protes Stefano tanpa mengalihkan pandang pada tumpukan kertas di meja. Sebenarnya dia sungkan untuk menyampaikan keluhan para staf yang bekerja satu tim dengan Luna, tetapi menurutnya, keterlambatan Luna dan ketidak hadiran gadis itu pada rapat-
"Bagaimana bisa kau mengencani gadis yang mau menerima perlakuan melecehkan seperti itu? Bahkan itu sudah terjadi berkali-kali, Matteo! Dia terlihat menikmati saat tanganmu bergerak masuk ke dalam baju yang dia pakai! Dan kau terlihat sangat menikmatinya! Huh, yang benar saja," Alessia berdecak jijik mengingat rekaman CCTV yang dilaporkan mata-matanya di Magnolia spring Resort. "Bu, tolong dengarkan dulu penjelasanku," Matteo mengatakan kalimat itu dengan raut memohon, berharap ibunya memberi pria itu kesempatan untuk menjelaskan maksud perbuatan gilanya yang lebih layak dilakukan sepasang suami istri di dalam kamar pribadi, bukan di sembarang tempat. Setelah Alessia sudah lebih tenang, Matteo pun berusaha menjelaskan. "Akulah yang sedari awal mengajaknya melakukan hal memalukan itu, Bu. Dan coba perhatikan kembali, aku dan Luna hanya melakukan hal yang menurutmu memalukan jika sedang berhadapan dengan orang-orang tertentu, bukan?" Alessia tempak mengingat, dan membenarkan bahwa M
Di salah satu kamar hotel Luxe Avenue, suara erangan dan desahan terus bersahutan memenuhi ruangan. Emily menatap penuh hasrat pada tubuh pria yang menindihnya. Dia begitu menikmati hujaman kejantanan Adrian yang terasa memenuhi liang kenikmatannya. "Teruskan, Adrian, jangan berhenti," jerit wanita itu tertahan sembari meremas seprei di kanan kiri tubuhnya. Dia begitu menikmati setiap perlakuan Adrian, sehingga bibirnya enggan berhenti untuk melenguh, kendati tenggorokannya terasa kering karena terus bersuara. Emily merasa berada di puncak kebahagiaan hidupnya saat ini. Dia tidak menyangka, apa yang dia impikan benar-benar ia miliki sekarang. Adrian, pria dengan tubuh atletis yang sedang menindihnya adalah sosok yang sangat Emily inginkan, sehingga ia dengan mudah berpaling dari Nico, kekasihnya. Dia pikir, pria itu hanya akan menjadikannya selingkuhan, tetapi siapa sangka, pria itu lebih memilihnya dan meninggalkan Luna, saudara tiri yang selalu membuatnya iri karena memiliki s
Jam dinding di apartemennya menunjukan pukul 12 malam. Nico yang saat itu baru saja menutup laptopnya sembari menguap langsung mengerjab saat bel berbunyi. Segera pria itu membuka pintu untuk melihat siapa yang ada di luar. Seringai terbit di wajahnya saat melihat entitas seorang gadis di depan pintu."Aku nyaris memposting video bercinta denganmu di media sosial. Untung saja kau cepat datang." Nico kembali melontarkan kalimat untuk menakut-nakuti Emily.Emily berjalan menghentak memasuki apartemen Nico. Dia benci lagi-lagi harus datang ke tempat itu. "Kebetulan aku baru saja selesai dengan pekerjaanku. Puaskan aku untuk mengusir rasa lelah yang aku rasakan." Pinta Nico sembari duduk di bibir ranjang. Emily mendengkus dan memalingkan wajah. Dia benar-benar merasakan harga dirinya terinjak di bawah kekuasaan Nico. Apakah dirinya layak untuk dikatakan pelacur sekarang?"Jangan buang-buang waktuku, Emily! Lakukan apa yang harusnya kau lakukan di sini!" geram Nico yang membuat kesadara
Luna terpaku di tempat duduknya, sedangkan tangannya meremas kedua sisi proposal acara fashion show yang diajukan perusahaan event organizer milik ayahnya kepada Magnolia spring Resort. Matanya fokus pada nama direktur perusahaan event organizer Golden Horizon yang telah berubah. Bukan lagi Alexander Winterbourne, melainkan Emily Thompson. Dia membaca ulang nama itu untuk memastikan bahwa penglihatannya salah. Namun sebanyak apapun Luna mengulangi dan mengeja satu-persatu huruf yang merangkai nama pada jabatan direktur tersebut, nama yang tertera tidak juga berubah. Tetap saja nama Emily Thompson yang tertera di sana. 'Ini tidak mungkin! Ya Tuhan, lapangkan hatiku untuk menerima kenyataan ini jika memang harus seperti ini kenyataan yang aku terima,' rintih Luna dalam hati. Ada perasaan sedih yang menyelimuti hatinya pagi itu, dada Luna terasa sesak dan tangannya bergetar menahan tangis. Ia merasa ayah kandungnya telah menghianati Luna. Dulu, Alexander selalu berkata bahwa Golden Hor
"Sebaiknya mulai sekarang kau biasakan dirimu untuk terus menangis seperti itu, Luna. Kau pantas menyesali perbuatan memalukanmu dengan Matteo! Karena perbuatan asusila kalianlah yang menjadikan ayahmu tak sudi menganggapmu sebagai anak!" Ucapan Emily masih terngiang di telinga Luna di malam hari. Dia berulang kali menghela nafas panjang sembari menyuapkan makanannya ke dalam mulut dengan enggan. Matteo yang menyadari perubahan sikap Luna menautkan alis. Mungkinkah gadis itu tidak begitu berselera makan karena mulai bosan dengan hidangan berbahan dasar salmon yang setiap hari Matteo buat? "Kalau kau bosan dengan salmon, katakan, Luna. Aku bisa membuatkan makanan lain untukmu." Ucapan Matteo membuat Luna melihat ke arah kekasihnya pada akhirnya. "Aku sama sekali tidak bosan dengan makanan buatanmu, Matteo. Aku hanya ..." Luna menggantung ucapannya. Dia enggan harus menceritakan apa yang dia alami hari itu. 'Hanya mengingatnya saja hatiku sudah sakit. Haruskah aku menceritakan
Adrian menatap wanita yang baru saja memerintahnya sembari menipiskan bibir. Terlihat sekali wanita itu sangat kelelahan. Sesekali Sarah menyeka dahinya yang mengeluarkan peluh. "Baik, Bu," jawab Adrian. Pria itu mengambil apron miliknya yang tergantung di dinding dapur, menggunakannya, lalu membantu pekerjaan waiters di restaurant itu. Sarah dan Robert hanya memiliki satu waiters yang membantu di restaurant mereka. Kebetulan akhir-akhir ini pengunjung Diamond Bistro cukup padat. Sebenarnya mereka butuh lebih banyak pekerja untuk membantu mereka melakukan pekerjaan di restaurant itu. "Silahkan, Nona," ucap Adrian ramah sambil meletakkan pesanan di atas meja pengunjung. Tanpa sepengetahuan pria yang datang bersamanya, pengunjung wanita yang duduk di sebelah Adiran berdiri menyenggol kaki Adrian. Dan saat Adrian menoleh dan menatap dengan raut wajah bertanya, wanita dengan riasan mencolok tersebut mengedipkan mata dan menggigit bibir bawahnya dengan gestur sensual. Adrian h
Ucapan Sarah masih terngiang di benak Adrian. Mungkinkah suatu hari dia bisa merasakan rasa cinta yang begitu dalam sebagaimana saat ia jatuh cinta pada Luna? "Hay, tampan. Bolehkah aku menemanimu untuk bersenang-senang malam ini?" tawar seorang wanita penghibur yang sedari tadi matanya tidak berhenti menatap Adrian dari kejauhan. Wanita itu dengan sengaja bergelayut manja di pundak Adrian. Tetapi sangat disayangkan, Adrian dengan malas melepas tangan wanita bergaun malam hitam tersebut dari pundaknya, dan sedikit mendorong tubuh wanita itu agar sedikit menjauh. "Maaf, Nona. Tapi sepertinya dua sahabatku ini lebih membutuhkanmu daripada aku." Jawab Adrian sambil menyesap kembali minumannya, pria itu sama sekali tidak berminat untuk menoleh ke arah wanita penghibur yang menatapnya kecewa.Wanita yang baru saja ditolak Adrian memberungut. Dia merasa terhina dengan penolakan tersebut. Bahkan saat Brandon Davis dan Logan Parker menggerakan tangan nakalnya pada bokong dan pinggang ram
Matteo memegangi bahu Luna yang terguncang karena menangis. Gadis itu terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang sudah mengganggu pikiranmu? Apakah seseorang sudah membuatmu bersedih saat aku sedang bekerja?" tanya Matteo sembari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk punggung Luna dan mengecupi kepala gadis itu. Setelah tangis Luna mereda, barulah Matteo menanyakan sebab Luna menangis. "Apa yang terjadi saat aku sedang tidak ada di dekatmu?" tanya Matteo dengan kedua tangan menangkup wajah Luna. Luna ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya kecewa hari itu, tetapi tatapan Matteo yang menghangat membuatnya yakin untuk meneritakan kekecewaannya hari itu. "Aku berharap hari ini Ayah akan menghubungiku dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku hari ini. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan aku. Ini adalah hari ulang tahun tergetir dalam hidupku. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting bagiku." Kembali air mata men
Luna terbangun dari tidur dan langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia sangat berharap ayahnya tidak melupakan hari spesialnya. Gadis itu segera menyalakan ponselnya untuk melihat barangkali ada pesan masuk. Tetapi dia harus menelan kecewa hari itu, tidak ada pesan masuk sama sekali. "Mungkinkah Ayah benar-benar sudah tidak peduli padaku?" gumamnya sembari mengelus dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Air mata menganak sungai dan ia mulai menangis tergugu. "Bahkan aku tidak yakin Matteo tahu kalau ini adalah hari ulang tahunku." Ini adalah hari ulang tahun tergetir seumur hidup Luna. Gadis itu menangis tergugu mendapati kenyataan bahwa hari ini sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Luna berharap, setidaknya dia akan menerima ucapan selamat ulang tahun hari ini, tetapi kenyataan seakan mentertawakannya. "Matteo selalu sibuk akhir-akhir ini. Apakah pekerjaan bisa membuatnya dengan cepat melupakan aku?" Luna mengungkapkan kekesalannya saat satu-satunya orang
"Cinta sejati bukan hanya tentang hadir saat bahagia, tapi juga saat terluka. Dia yang selalu ada, bukan hanya saat dicari, tapi juga saat kau membutuhkannya." Dari balkon apartemen Nico menarik napas dalam saat mobil rolls-royce berwarna merah muda tampak memasuki parkiran. Mendengar nada bicara Emily saat meneleponnya, dia tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja, dan Nico merasa khawatir karenanya. "Apa yang membawamu ke sini? Apakah pria itu mengabaikanmu, sehingga kau memilih datang padaku bukan atas dasar paksaan dariku?" gumam Nico berusaha menerka maksud kedatangan Emily ke apartementnya. Tangan Emily yang hendak menekan bel terhenti di udara saat seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pria itu mengulas senyum tulus. Dan tanpa dipersilahkan Emily sudah masuk terlebih dulu. "Apa yang membawamu datang kepadaku? Apakah dia mengabaikanmu?" tanya Nico sembari menutup pintu. Hening. Emily melepas sepatunya melempar benda tersebut ke segala arah, lalu mendengus da
Emily dan Rosaline berhenti di depan ruang instalasi gawat darurat begitu tenaga medis mendorong brankar Alexander memasuki ruangan tersebut. Pintu ruangan ditutup, menyisahkan Emily dan Rosaline yang saling menatap setelahnya. Berbanding terbalik dengan raut wajah putrinya yang tampak tenang setelah Alex dibawa masuk ke ruang instalasi gawat darurat, Rosline justru terlihat benar-benar gelisah. Emily menepuk lengan ibunya, lalu berkata,"Tidak perlu segelisah itu, Ibu," ucapnya lalu tersenyum licik. "Tapi, Emily, bagaimana kalau dia sampai ...," cicit Rosaline membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Alex. "Meninggal?" tebak Emily sembari mengedikkan bahu."Ya, kau benar. Bisa saja dia menginggal. Ibu rasa penyakit jantungnya cukup serius," ucap Rosaline sembari menggigit ibu jarinya. Wanita paruh baya itu berjalan hilir mudik membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Bukankah itu bagus, Bu?" Emily menyibak rambut brunetnya ke belakang. "Apanya yang
Emily dan Adrian dibuat bertanya dengan ketidakhadiran Luna di ruangan itu. Biasanya mereka bertemu untuk membahas proposal kerjasama yang Golden Horizon ajukan. Mereka merasa asing dengan wanita bertubuh tinggi besar yang kini tengah membaca proposal dan memasang raut wajah serius semenjak pertama mereka bertatap muka. Adrian mengernyit dan menatap Emily dengan raut bertanya, seakan berkata,"Di mana Luna? Dan siapa wanita yang sekarang di hadapan kita?" Emily mengedikkan bahunya. Sebagaimana dengan Adrian, gadis itu juga merasa asing dengan wanita berbadan padat yang minim senyum tersebut. Tetapi, bukan Emily namanya jika hanya menerka-nerka dan membiarkan pikirannya larut dalam pertanyaan di mana keberadaan saudara tirinya. "Maaf, saya ingin bertanya." Emily akhirnya bertanya setelah Adrian menyiku lengannya, memberi isyarat agar Emily menanyakan ketidakhadiran Luna pagi itu. Tidak menjumpai entitas Luna membuat Adrian bertanya-tanya, karena gadis itulah yang membuatnya berseman
Luna mengerjabkan mata untuk menjernihkan penglihatannya begitu tangan kirinya yang merentang menyentuh permukaan kasur, tempat di mana biasanya Matteo berbaring. Gadis itu melirik jam di atas nakas. Waktu menunjukan pukul 05.45 a.m, terlalu awal dari biasanya Matteo bangun untuk menyiapkan sarapan. Luna bangkit dari berbaring. Pandangannya menyapu sekeliling. Di apartemen bermodel studio yang minim sekat, seharusnya dia bisa melihat Matteo jika pria itu memang berada di sana. Luna turun dari ranjang dan mencari keberadaan Matteo. "Matt?" tanyanya seraya berjalan menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, dan tidak ada siapa pun di sana. Alis gadis itu bertaut, dia pun mulai bertanya-tanya di mana Matteo. Kembali Luna mengedarkan pandangannya dan mengernyit saat mendapati hidangan tersaji di atas meja makan. Luna segera mendekat. Di atas meja kaca tersebut, ia mendapati roti gandum utuh yang sudah dipanggang lengkap dengan selai kacang di dalamnya, bubur oatmeal dengan irisan
Gadis itu menggeleng cepat sembari menyeka air matanya. "Bukan aku tidak senang dengan kehamilan ini,""Lalu mengapa kau sesedih itu?" Nampaknya Matteo belum mengerti kalau Luna dipecat dari pekerjaannya. Sehingga gadis itu tersenyum getir, lalu berkata,"Aku dipecat dari pekerjaanku setelah terbukti hamil, Matteo," "Hanya karena itu?" tanya Matteo dengan tatapan datar. Dia merasa tidak senang karena seolah Luna jauh lebih mementingkan pekerjaan dari pada bersuka cita menyambut buah hati yang akan hadir di antara mereka suatu hari nanti. Setelah mendengar jawaban Matteo seketika alis Luna bertaut. "Apa katamu? Hanya?" tanya Luna dengan wajah memerah, dia beranggapan bahwa Matteo baru saja meremehkan persoalan besar yang sedang dia alami. "Ya, benar. Tidak seharusnya kau terlalu memikirkan pemecatan itu. Aku yang akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan kalian." Tidak ada sedikit pun gurat kesedihan yang Matteo tampakkan menanggapi pemecatan Luna, sehingga hal tersebut membuat sang ga
Luna keluar dari toilet untuk menemui Stefano dengan wajah kikuk sekaligus malu. Apa yang akan terjadi padanya kali ini? Apakah dia akan menerima pemecatan perihal hamil di luar nikah? Semoga saja tidak. "Bagaimana hasilnya?" Stefano langsung menyodorkan pertanyaan yang membuat Luna tersenyum canggung. "P-positif, Tuan." Jawab gadis itu sembari memperlihatkan alat tes kehamilan yang menampakkan dua garis merah berjajar dalam genggaman tangannya. Stefano menarik nafas dalam dan memperlihatkan raut wajah menahan amarah. Dia harus mendramatisir suasana untuk membuat gadis di hadapannya merasa bersalah dan bersedia menerima keputusan pemecatan darinya. "Apakah pria yang menghamilimu adalah pria yang kau kenalkan padaku sebagai kekasihmu pada malam acara fashion show beberapa waktu lalu?" "Be-benar, Tuan." Luna menunduk malu dan tersenyum canggung. Adanya kehamilan adalah bukti bahwa dia dan Matteo telah melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Bukan tidak mungkin atasannya
Tak banyak pekerjaan di pagi itu sehingga Stefano bisa menemani atasannya di sebuah sofa yang terletak di dekat jendela besar yang menyuguhkan pemandangan deretan gedung pencakar langit, ditemani secangkir espersso serta beberapa kudapan. "Selama aku menggantikanmu di sini, apa saja yang kau kerjakan?" tanya Stefano di sela aktifitas mengunyah. Memang beberapa kali saat dirinya mengalami kesulitan dalam pekerjaan yang dipercayakan padanya, Matteo selalu bersedia membantu. Tetapi terkadang pria berambut keriting itu penasaran dengan aktifitas baru Matteo selama Stefano menggantikan posisi sahabatnya di hotel milik keluarga Vicenzo. "Sementara ini aku mencari bukti tentang pelaku di balik scandal foto mesumku yang beredar di internet beberapa waktu lalu." Matteo menyesap minumannya, lalu meletakkan kembali gelas di atas meja saat sahabatnya tersebut kembali bertanya. "Lalu, hasilnya?" "Orang-orangku bekerja dengan sangat baik. Bahkan aku sudah menemukan saksi kunci dari peris