Jam dinding di apartemennya menunjukan pukul 12 malam. Nico yang saat itu baru saja menutup laptopnya sembari menguap langsung mengerjab saat bel berbunyi. Segera pria itu membuka pintu untuk melihat siapa yang ada di luar. Seringai terbit di wajahnya saat melihat entitas seorang gadis di depan pintu."Aku nyaris memposting video bercinta denganmu di media sosial. Untung saja kau cepat datang." Nico kembali melontarkan kalimat untuk menakut-nakuti Emily.Emily berjalan menghentak memasuki apartemen Nico. Dia benci lagi-lagi harus datang ke tempat itu. "Kebetulan aku baru saja selesai dengan pekerjaanku. Puaskan aku untuk mengusir rasa lelah yang aku rasakan." Pinta Nico sembari duduk di bibir ranjang. Emily mendengkus dan memalingkan wajah. Dia benar-benar merasakan harga dirinya terinjak di bawah kekuasaan Nico. Apakah dirinya layak untuk dikatakan pelacur sekarang?"Jangan buang-buang waktuku, Emily! Lakukan apa yang harusnya kau lakukan di sini!" geram Nico yang membuat kesadara
Luna terpaku di tempat duduknya, sedangkan tangannya meremas kedua sisi proposal acara fashion show yang diajukan perusahaan event organizer milik ayahnya kepada Magnolia spring Resort. Matanya fokus pada nama direktur perusahaan event organizer Golden Horizon yang telah berubah. Bukan lagi Alexander Winterbourne, melainkan Emily Thompson. Dia membaca ulang nama itu untuk memastikan bahwa penglihatannya salah. Namun sebanyak apapun Luna mengulangi dan mengeja satu-persatu huruf yang merangkai nama pada jabatan direktur tersebut, nama yang tertera tidak juga berubah. Tetap saja nama Emily Thompson yang tertera di sana. 'Ini tidak mungkin! Ya Tuhan, lapangkan hatiku untuk menerima kenyataan ini jika memang harus seperti ini kenyataan yang aku terima,' rintih Luna dalam hati. Ada perasaan sedih yang menyelimuti hatinya pagi itu, dada Luna terasa sesak dan tangannya bergetar menahan tangis. Ia merasa ayah kandungnya telah menghianati Luna. Dulu, Alexander selalu berkata bahwa Golden Hor
"Sebaiknya mulai sekarang kau biasakan dirimu untuk terus menangis seperti itu, Luna. Kau pantas menyesali perbuatan memalukanmu dengan Matteo! Karena perbuatan asusila kalianlah yang menjadikan ayahmu tak sudi menganggapmu sebagai anak!" Ucapan Emily masih terngiang di telinga Luna di malam hari. Dia berulang kali menghela nafas panjang sembari menyuapkan makanannya ke dalam mulut dengan enggan. Matteo yang menyadari perubahan sikap Luna menautkan alis. Mungkinkah gadis itu tidak begitu berselera makan karena mulai bosan dengan hidangan berbahan dasar salmon yang setiap hari Matteo buat? "Kalau kau bosan dengan salmon, katakan, Luna. Aku bisa membuatkan makanan lain untukmu." Ucapan Matteo membuat Luna melihat ke arah kekasihnya pada akhirnya. "Aku sama sekali tidak bosan dengan makanan buatanmu, Matteo. Aku hanya ..." Luna menggantung ucapannya. Dia enggan harus menceritakan apa yang dia alami hari itu. 'Hanya mengingatnya saja hatiku sudah sakit. Haruskah aku menceritakan i
Adrian menatap wanita yang baru saja memerintahnya sembari menipiskan bibir. Terlihat sekali wanita itu sangat kelelahan. Sesekali Sarah menyeka dahinya yang mengeluarkan peluh. "Baik, Bu," jawab Adrian. Pria itu mengambil apron miliknya yang tergantung di dinding dapur, menggunakannya, lalu membantu pekerjaan waiters di restaurant itu. Sarah dan Robert hanya memiliki satu waiters yang membantu di restaurant mereka. Kebetulan akhir-akhir ini pengunjung Diamond Bistro cukup padat. Sebenarnya mereka butuh lebih banyak pekerja untuk membantu mereka melakukan pekerjaan di restaurant itu. "Silahkan, Nona," ucap Adrian ramah sambil meletakkan pesanan di atas meja pengunjung. Tanpa sepengetahuan pria yang datang bersamanya, pengunjung wanita yang duduk di sebelah Adiran berdiri menyenggol kaki Adrian. Dan saat Adrian menoleh dan menatap dengan raut wajah bertanya, wanita dengan riasan mencolok tersebut mengedipkan mata dan menggigit bibir bawahnya dengan gestur sensual. Adrian h
Ucapan Sarah masih terngiang di benak Adrian. Mungkinkah suatu hari dia bisa merasakan rasa cinta yang begitu dalam sebagaimana saat ia jatuh cinta pada Luna? "Hay, tampan. Bolehkah aku menemanimu untuk bersenang-senang malam ini?" tawar seorang wanita penghibur yang sedari tadi matanya tidak berhenti menatap Adrian dari kejauhan. Wanita itu dengan sengaja bergelayut manja di pundak Adrian. Tetapi sangat disayangkan, Adrian dengan malas melepas tangan wanita bergaun malam hitam tersebut dari pundaknya, dan sedikit mendorong tubuh wanita itu agar sedikit menjauh. "Maaf, Nona. Tapi sepertinya dua sahabatku ini lebih membutuhkanmu daripada aku." Jawab Adrian sambil menyesap kembali minumannya, pria itu sama sekali tidak berminat untuk menoleh ke arah wanita penghibur yang menatapnya kecewa. Wanita yang baru saja ditolak Adrian memberungut. Dia merasa terhina dengan penolakan tersebut. Bahkan saat Brandon Davis dan Logan Parker menggerakan tangan nakalnya pada bokong dan pinggang
Seorang pria paruh baya berpakaian armani sedang mengawasi seorang gadis yang beberapa hari ini menjadi incarannya. Jika diibaratkan, Tyler adalah serigala yang sedang membidik kelinci hutan yang hendak ia mangsa. Kedua manik cokelat terangnya dengan sempurna mengikuti setiap pergerakan gadis bermantel merah muda yang tampak sedang sibuk memilih bahan-bahan dapur. Pria itu mengetuk-ngetukkan sepatu pantovelnya pada permukaan lantai supermarket. Gadis yang sedang ia incar terlalu lama dalam memilih prodak yang ia beli, tetapi Tyler menahan diri dan memilih kembali bersabar. Ponsel dalam saku mantel gadis itu berdering, dengan cepat sang gadis mengangkat panggilan telepon. Seketika wajah gadis itu berubah panik, dan perubahan ekspresi wajah gadis itu cukup mengundang perhatian Tyler. Setelah panggilan telepon berakhir, gadis itu bersegera memasukan semua prodak yang dia butuhkan ke dalam keranjang belanja tanpa menimbang-nimbang lagi, dia harus segera menemui seseorang yang sang
Di dalam sebuah ruangan bawah tanah, lebih tepatnya basemant, Greta duduk di atas lantai di sudut ruangan. Kedua tangannya terikat di belakang. Gadis itu duduk meringkuk dan menyandarkan sisi wajahnya pada kedua lututnya yang tertekuk. 'Ya, Tuhan. Apa yang akan menimpaku kali ini?' batin gadis itu sembari menghela nafas lelah. Pria misterius yang menangkapnya, atau lebih tepat menculiknya meninggalkannya sendirian di ruangan luas itu, sehingga helaan nafas Greta terdengar cukup keras untuk dia dengar sendiri. Derap suara sepatu terdengar dari luar ruangan, seketika mata gadis itu terbuka lebar, bersamaan dengan keringat dingin yang membasahi dahinya. 'Semoga seseorang yang menangkapku bukanlah pria psikopat yang sesuka hatinya menyiksa dan menghilangkan nyawaku tanpa perasaan,' gadis itu merapal doa dalam hati, bayangan kekejaman seorang tokoh psikopat dalam film trailler yang sering ia tonton bergelayut dalam pikirannya dan membuatnya takut.Greta memejamkan mata dan menyembunyika
Tatapan benci seorang gadis dialamatkan pada Luna yang sedang berusaha bersikap tenang di seberang meja gadis pemilik rambut brunet. Hal yang memuakkan bagi Luna untuk kembali bertemu dengan dua orang yang datang sebagai perwakilan Golden Horizon itu. 'Cih, kenapa harus mereka yang datang? Bukankah seorang direktur bisa memerintahkan seorang bawahan untuk datang mengajukan proposal pengajuan kerja sama?' batin Luna berdeceh sembari dengan malas membuka lembaran berikutnya. Seorang waiters masuk ke ruang rapat untuk mengantarkan empat cangkir kopi untuk empat orang yang ada di sana. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Luna merasa terhibur walau hanya sejenak dari situasi memuakkan berada satu ruangan dengan mantan tunangan dan saudara tirinya. Aroma kopi yang menguar tiba-tiba membuatnya merasa terganggu. Luna tahu, tidak biasanya dia merasa terganggu dengan aroma minuman yang sebelumnya terasa memanjakan penciumannya. Menurutnya kali ini cukup aneh. "Apa kau sudah sele
Di sebuah apartemen yang disewakan Adrian untuk tempat tinggal Luna. Gadis itu menatap ke luar jendela yang menampilkan lalu lalang kendaraan yang cukup ramai. Situasi jalanan itu seolah menggambarkan pikirannya yang saat ini sangat penuh dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi hari itu; Matteo kalah dari Adrian, dan dia menepati janjinya untuk melepas Luna. Gadis itu sudah melihat betapa gigihnya Adrian berlatih untuk mempersiapkan diri melawan Matteo. Gadis itu menyentuh liontin dari kalung yang dia pakai. Hadiah ulang tahun dari Matteo, pemberian yang sangat berharga dari pria yang sangat dia cintai. Bayangan makan malam romantis di hari ulang tahunnya kembali berkelibat di dalam kepalanya. Saat itu, Matteo adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulang tahun Luna. Akankah romantisme di antara keduanya hanya akan menjadi kenangan dan menyisakan Luna yang akan menerima kenyataan pahit, bahwa Matteo benar-benar melepasnya dan keduanya mencari jalan hidup masing-masi
Alaram di ponsel berbunyi yang membuat Matteo terbangun. Segera ia mematikan alaram agar ponselnya berhenti berdering, khawatir mengusik Luna yang masih terlelap. Mata pria tersebut terbuka lebar saat mendapati Luna tidak berada di sampingnya. Segera Matteo bangkit dari ranjang dan mencari keberadaan Luna. Dia tidak ingin kekasihnya yang sedang hamil kelelahan karena menyiapkan sarapan di dapur. Tetapi saat tiba di dapur, hanya kesunyian yang ia dapati. Semua peralatan dapur masih berada pada tempatnya. Pun saat dia menoleh ke arah kamar mandi. Pintu ruangan tersebut terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Seketika Matteo menyugar rambut hitamnya dan mulai berpikir di mana keberadaan Luna. "Tidak biasanya dia keluar tanpa memberi tahuku," gumam Matteo sembari menggeleng. Perasaannya mendadak kalut. Seolah kepergian Luna kali itu merupakan sesuatu yang tidak wajar. Pria berbadan tinggi besar itu kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya. Segera ia melakukan panggilan tetep
Luna memejamkan kedua matanya dengan paksa saat mendengar pintu apartemen terbuka. Dia memilih untuk berpura-pura tidur daripada meluapkan amarahnya malam itu. Jantung Luna berdenyut nyeri saat pria yang ia tunggu kepulangannya berjalan mendekatinya. Matteo mengelus rambut Luna, mengecup kening perempuan itu cukup lama dan menghirup aroma harum rambut perempuan itu untuk mengisi paru-parunya. Aroma harum rambut Luna sedikit membuat Matteo merasa tenang, setelah malam itu dia menemui mantan kekasihnya tanpa sepengetahuan Luna. Tangan Matteo membelai wajah rupawan perempuan itu. Seketika dahi pria itu mengernyit, dia baru menyadari kelopak mata Luna menghitam, mascaranya luntur karena ia menangis. Matteo tersenyum. Dia berpikir bahwa Luna sengaja berdandan malam itu untuk menyambutnya. Pun bibirnya yang terpoles lipstik merah muda yang membuat Matteo gemas. Pria itu mengecup singkat bibir Luna dan berucap; "Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu malam ini", sebelum akhirnya berbar
Malam itu hujan turun lebat mengguyur Los Angles. Luna yang terjaga dari tidurnya menatap kecewa pada ranjang di sebelahnya, tempat di mana biasanya Matteo tidur. Jam dinding menunjukan pukul 23.35. Terlalu larut untuk seseorang yang lembur di tempat kerja. "Lihatlah, Sayang. Pria itu bekerja terlalu keras demi memenuhi kebutuhan kita." Luna berucap sembari mengelus perutnya yang terlihat semakin membuncit. Kesenduan menghiasi wajah ayu wanita itu. Wanita berambut pirang madu itu berjalan mendekati jendela, menyaksikan buliran air yang turun lebat mengguyur bumi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Tubuh feminimnya berbalut gaun tidur berbahan satin warna merah muda kesukaan Matteo. Malam itu Luna mempersiapkan diri menyambut kepulangan Matteo dengan berdandan secantik mungkin. "Di luar pasti dingin. Aku pasti memeluknya andai dia ada di sini," ucap Luna penuh sesal, mengingat segala sikap cemburunya yang berulang kali menyinggung dan menuduh Matteo tanpa bukti. Luna mem
Seorang wanita berambut blonde baru saja turun dari mobilnya. Kehadirannya seolah menghentikan dunia saat itu juga. Entitasnya menyita perhatian setiap orang yang berlalu-lalang di sepanjang pelataran Magnolia spring Resort. Seakan sudah terbiasa dihujani dengan tatapan kagum, supermodel tersebut berjalan membusungkan dada dan mengabaikan tatapan terpana setiap orang yang melihatnya. Merasa pernah dan pasti bisa meluluhkan hati sang CEO hotel berbintang lima tersebut, dengan penuh percaya diri Laura Martinez mendatangi ruangan sekretaris pribadi Matteo. Dia bahkan masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika Stefano yang kini menjadi asisten sekaligus sekretaris Matteo mengernyit mendapati kehadiran wanita itu. "Aku datang untuk bertemu dengan Matteo," ucap wanita tersebut sembari melepaskan kacamata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya. Stefano mengamati Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan seksama. Tubuh berbentuk jam pasir itu terbalut deng
Matteo memegangi bahu Luna yang terguncang karena menangis. Gadis itu terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang sudah mengganggu pikiranmu? Apakah seseorang sudah membuatmu bersedih saat aku sedang bekerja?" tanya Matteo sembari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk punggung Luna dan mengecupi kepala gadis itu. Setelah tangis Luna mereda, barulah Matteo menanyakan sebab Luna menangis. "Apa yang terjadi saat aku sedang tidak ada di dekatmu?" tanya Matteo dengan kedua tangan menangkup wajah Luna. Luna ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya kecewa hari itu, tetapi tatapan Matteo yang menghangat membuatnya yakin untuk meneritakan kekecewaannya hari itu. "Aku berharap hari ini Ayah akan menghubungiku dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku hari ini. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan aku. Ini adalah hari ulang tahun tergetir dalam hidupku. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting bagiku." Kembali air mata men
Luna terbangun dari tidur dan langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia sangat berharap ayahnya tidak melupakan hari spesialnya. Gadis itu segera menyalakan ponselnya untuk melihat barangkali ada pesan masuk. Tetapi dia harus menelan kecewa hari itu, tidak ada pesan masuk sama sekali. "Mungkinkah Ayah benar-benar sudah tidak peduli padaku?" gumamnya sembari mengelus dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Air mata menganak sungai dan ia mulai menangis tergugu. "Bahkan aku tidak yakin Matteo tahu kalau ini adalah hari ulang tahunku." Ini adalah hari ulang tahun tergetir seumur hidup Luna. Gadis itu menangis tergugu mendapati kenyataan bahwa hari ini sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Luna berharap, setidaknya dia akan menerima ucapan selamat ulang tahun hari ini, tetapi kenyataan seakan mentertawakannya. "Matteo selalu sibuk akhir-akhir ini. Apakah pekerjaan bisa membuatnya dengan cepat melupakan aku?" Luna mengungkapkan kekesalannya saat satu-satunya orang
"Cinta sejati bukan hanya tentang hadir saat bahagia, tapi juga saat terluka. Dia yang selalu ada, bukan hanya saat dicari, tapi juga saat kau membutuhkannya." Dari balkon apartemen Nico menarik napas dalam saat mobil rolls-royce berwarna merah muda tampak memasuki parkiran. Mendengar nada bicara Emily saat meneleponnya, dia tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja, dan Nico merasa khawatir karenanya. "Apa yang membawamu ke sini? Apakah pria itu mengabaikanmu, sehingga kau memilih datang padaku bukan atas dasar paksaan dariku?" gumam Nico berusaha menerka maksud kedatangan Emily ke apartementnya. Tangan Emily yang hendak menekan bel terhenti di udara saat seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pria itu mengulas senyum tulus. Dan tanpa dipersilahkan Emily sudah masuk terlebih dulu. "Apa yang membawamu datang kepadaku? Apakah dia mengabaikanmu?" tanya Nico sembari menutup pintu. Hening. Emily melepas sepatunya melempar benda tersebut ke segala arah, lalu mendengus da
Emily dan Rosaline berhenti di depan ruang instalasi gawat darurat begitu tenaga medis mendorong brankar Alexander memasuki ruangan tersebut. Pintu ruangan ditutup, menyisahkan Emily dan Rosaline yang saling menatap setelahnya. Berbanding terbalik dengan raut wajah putrinya yang tampak tenang setelah Alex dibawa masuk ke ruang instalasi gawat darurat, Rosline justru terlihat benar-benar gelisah. Emily menepuk lengan ibunya, lalu berkata,"Tidak perlu segelisah itu, Ibu," ucapnya lalu tersenyum licik. "Tapi, Emily, bagaimana kalau dia sampai ...," cicit Rosaline membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Alex. "Meninggal?" tebak Emily sembari mengedikkan bahu."Ya, kau benar. Bisa saja dia menginggal. Ibu rasa penyakit jantungnya cukup serius," ucap Rosaline sembari menggigit ibu jarinya. Wanita paruh baya itu berjalan hilir mudik membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Bukankah itu bagus, Bu?" Emily menyibak rambut brunetnya ke belakang. "Apanya yang