"Tara pulang ya, Eyang." Lalu dua manusia berjenis kelamin wanita itu berpelukan sebentar, cium pipi kanan dan kiri seperti adegan dalam televisi.
Tiffany mengangguk, matanya beralih pada Pak Suryo yang menunggu mereka di samping mobil. "Hati-hati ya, Pak." Berpesan wanita itu kepada Sang supir.
Lelaki paruh baya berkumis hitam lebat itu mengangguk mantap lalu mengacungkan kedua jempolnya menyanggupi permintaan Tiffany. "Siap delapan enam!"
Hari beranjak menuju petang saat Satara mulai menaiki limusin mewah berwarna hitam, tak lama pun menunggu, mereka telah merayap di jalanan ibukota yang hiruk.
Pemandangan di luar jendela terasa menghibur. Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat, atau para pedagang jalanan yang menjajakan segalanya di perempatan jalan, pada pohon-pohon beringin besar yang ditanam di pinggir membuat udara setidaknya sedikit lebih sejuk di sore hari. Namun pa
Dulu, waktu Tirta masih kecil, sewaktu rumah Keluarga Taharja juga tidak sebesar ini— ada satu pohon yang dia tanam di samping tapak kepyar besar di depan sana, sebuah pohon yang bahkan tidak Tirta ketahui namanya.Namanya juga anak-anak, jadi dengan pemikiran picik itu, Tirta menyiramnya sehari dua kali, sore hari menuju esok pagi. Berbicara panjang lebar dengan pohon kecil itu setiap pulang dari taman kanak-kanak, lalu berharap ia tumbuh dewasa bersama-sama dengan dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang keren.Mama mendukungnya, bahkan pohon itu, Mama-lah yang turut membantunya menanam di sisi pohon tapak kepyar. Mama bilang, kalau Tirta menanamnya dengan kasih sayang, pohon itu pasti hidup dan tumbuh dengan baik. Tirta sangat percaya perkataan Mama.Memangnya ada anak balita yang tidak percaya omongan orang tuanya? Tirta rasa tidak ada. Maka dia berkata, dia tak salah untuk percaya. Diwarnai na
Dulu, waktu Tirta masih kecil, sewaktu rumah Keluarga Taharja juga tidak sebesar ini— ada satu pohon yang dia tanam di samping tapak kepyar besar di depan sana, sebuah pohon yang bahkan tidak Tirta ketahui namanya.Namanya juga anak-anak, jadi dengan pemikiran picik itu, Tirta menyiramnya sehari dua kali, sore hari menuju esok pagi. Berbicara panjang lebar dengan pohon kecil itu setiap pulang dari taman kanak-kanak, lalu berharap ia tumbuh dewasa bersama-sama dengan dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang keren.Mama mendukungnya, bahkan pohon itu, Mama-lah yang turut membantunya menanam di sisi pohon tapak kepyar. Mama bilang, kalau Tirta menanamnya dengan kasih sayang, pohon itu pasti hidup dan tumbuh dengan baik. Tirta sangat percaya perkataan Mama.Memangnya ada anak balita yang tidak percaya omongan orang tuanya? Tirta rasa tidak ada. Maka dia berkata, dia tak salah untuk percaya. Diwarnai na
Tirta menuntun adiknya pulang ke rumah, duduk di sofa ruang tengah saat hari merambat menuju siang. Mereka berdua didera canggung, khususnya Tara. Gadis itu merasa malu untuk hanya sekedar menatap mata Tirta. Tentu saja itu karena dia tak pernah menangis di depan Kakaknya.Tara sontak menatap Tirta tatkala jari kelingking yang panjang mengacung di depan wajahnya. "Apa nih?" Gadis itu bertanya bingung."Janji kalau kita nggak bakalan bilang siapa-siapa, kalau kita nangis hari ini. Kita 'kan impas, aku nangis, kamu juga nangis. Tanpa sadar, kita membangun setengah hari yang sendu bersama-sama. Cuma kita berdua." Tirta tersenyum menenangkan."Kalau dipikir-pikir kamu hampir nggak pernah nangis di depan Kakak."Tara berpikir sebentar, kemudian merengkuh kelingking Tirta dengan kelingkingnya. "Aku juga nggak pernah lihat Kak Tirta nangis.""Janji?"
Karen pikir, ini adalah hari tersialnya tahun ini. Soalnya, pagi tadi baru ia mendapat kabar kalau kafe yang dia bangun susah payah kemalingan dan sekarang ia juga harus dirampok oleh kekejaman Tara yang memesan lebih dari 10 jenis makanan dan menghabiskan lebih dari 500.000 untuk makanan yang kini terhidang rapi di meja makan. Semua orang tersenyum dengan mata yang berliur, sedangkan Karen tersenyum kecut sambil meratapi nasib."Nasib, nasib ...." Pria itu berjalan dengan langkah lunglai ke meja makan, menyusul Tirta dan Tara yang sudah tersenyum- makan dengan lahap- yang lebih nampak bagai sepasang iblis di mata Karen."Udah deh, Om. Sukurin aja." Tara berucap dengan mulut penuh daging sapi impor yang diolah sedemikian rupa.Tirta mengangguk dengan wajah sok jumawa, satu tangannya menyedot minuman susu kotak lalu satunya lagi membawa paha ayam goreng, membuatnya tampak bagai bocah rakus yang biasa ada
Tara menatap ke bawah, meratap pada pupus pohon tapak kepyar di sana. Dari lantai tiga, gadis itu bisa melihat jalan raya di mana hiruk-pikuk jalan Ibukota tersaji. Ia mengembuskan napas panjang, segalanya terasa sangat pelik saat ini.Papa tahu kalau ia menggunakan obat-obatan untuk menunjang hidupnya yang tentu saja terkadang terasa sangat pekat dan sakit, tersekat masa lalu yang mencekat.Lalu masih, dia harus menerima kenyataan bahwa dia dan Juna memang tak seharusnya bersama. Ada banyak hal dan bukti kuat yang membuat Tara menyimpulkan; pertama, Nabastawala adalah marga mendiang mamanya, Nabastawala adalah marga Juna.Kedua, Tara menemukan foto mama di rumah Keluarga Nabastawala kemudian Tara melihat wajah yang sama dalam foto ber-pigura di gudang belakang.Tiga, semuanya semakin jelas saat Tara mengingat cerita bahwa papa dan mama menikah tanpa restu dari pihak keluarga
Sudah dua hari, Teressa tidak pulang. Taharja tentu harus khawatir, sebagai seorang suami dia tak mau ada apa-apa dengan istrinya. Bertanya pada teman-teman si wanita pun sudah dilakoninya, namun tak hendak laki-laki mendapat pencerahan tentang keberadaan Sang hawa.Taharja menatap khawatir pada telepon rumahnya. Barusan ia selesai bertelepon dengan seorang kawannya yang juga kawan Teressa, namun tak tahu juga jawaban yang diberikan kawan itu."Papa," seorang gadis kecil berada di belakangnya, menarik ujung kaos laki-laki itu dengan kuat. Taharja menoleh dan mendapatkan Tara sedang menatapnya dengan mata bulat polos itu, mau tak mau, ia tersenyum. Karena sungguh, Tara sangat menggemaskan."Kenapa?""Kakak ambil boneka aku terus masukin ke watafel." Gadis itu mengadu dengan wajah sendu yang membuat ia tampak lebih menggemaskan lagi. "Marahin Kakak!" ucapnya sambil menunjuk Tirt
Tara menatap lembaran penuh tulisan kecil yang mungkin saja tak akan dapat dibaca oleh penderita rabun dekat. Di halte bus, di samping pohon oak yang mulai mengugurkan daun-daun hingga pada semilir angin yang membuat nyeri di hatinya merambat kesana-kemari, berjalan-jalan di antara danau dirinya yang membeku dan dingin.Lembaran itu membawa sakit yang terasa semakin nyata saat ia terseret ke beberapa waktu yang lalu, di sebuah ruangan yang ia ketahui namanya dengan baik yang ia kunjungi setiap merasa segalanya terasa pelik dan sakit."Tinggalkan dia secepatnya, Tara."Mulutnya kontan ternganga selebar lima sentimeter, lalu dengan tatapan skeptis gadis itu bertanya, "memangnya kenapa? Ada apa?"Dokter paruh baya yang masih saja memancarkan gurat cantik di wajahnya itu menghela sebelum akhirnya mendorong secarik kertas dengan ujung-ujung jemari lentik berhiaskan kutek bening.&nb
Benar perkataan Jaymie, tak lama setelah bus melenggang pergi berserta umpatan tertahan di dalam hati Si Supir, Jeno datang dengan motor Vespa kesayangannya. Aduh, siapa ya namanya? Tara benar-benar lupa."Hati-hati di jalan." Jay memperingati saat Jeno dan Tara mulai mengenakan helm di kepala masing-masing.Jeno bukannya terharu, malah memandang sahabat karibnya itu penuh kengerian. "Dih, udah belok lo? Ngapain lo bilang ati-ati sama gue? Amit-amit dah, kalau mau belok boleh-boleh aja, asalkan jangan suka sama gue.""Ndiasmu!" Jaymie melayangkan pukulan cukup kuat di kepala ber-helm Jeno, yang mampu membuat Sang Empu sedikit terhuyung."Gue bilang ati-ati karena lo sedang membawa bidadari cantik ini, nanti kalau dia kenapa-kenapa populasi cewek cantik di kota ini kan berkurang." Pandangan Jay beralih pada Tara, lalu mengedipkan matanya nakal yang sontak dibalas sebuah pukulan
Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany
Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny
"Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap