Adakalanya kita perlu mengambil keputusan yang berani.***[Siapa kau?]Ansel membalas pesan yang diterimanya dengan rasa penasaran tingkat dewa. Dia benar-benar ingin tahu siapa orang yang baru saja berinteraksi dengannya itu. Namun, pesannya tak kunjung mendapat balasan. Tak kehilangan akal, Ansel pun menekan tombol dial.“Aaargh!”Kembali Ansel menjerit geram. Panggilannya hanya disambut suara operator jaringan seluler. Pengirim pesan itu telah menonaktifkan nomor teleponnya. Bisa jadi juga dia hanya memakai nomor sekali pakai.Ansel menyambar jaketnya, berniat ingin keluar untuk mencari angin segar. Namun, rasa nyeri pada punggungnya menahan ayunan langkahnya. Dia berdiri kaku di belakang pintu. Sambil meringis, dia kembali ke ranjang dan merebahkan diri dengan gerakan perlahan.“Tahan, Ansel! Kau harus bersabar sampai kondisimu benar-benar pulih.”Ansel menyemangati dirinya sendiri. Kalau saja bukan karena keteledoran seorang ibu yang membiarkan anak lelakinya berlari bebas di sek
Hati Chin Hwa bersorak girang. Dia seakan sedang mendapat durian runtuh dengan hadirnya Qeiza di apartemennya, apalagi dengan bermalam. Sungguh hal yang tidak pernah terbayang sebelumnya.“Keberatan kalau kita mampir dulu di supermarket?” tanya Chin Hwa. “Aku belum sempat belanja belakangan ini.”“Tak masalah.”Entah berapa lama Chin Hwa dan Qeiza menghabiskan waktu mengitari setiap rak yang mereka sambangi di supermarket. Memilih bahan-bahan terbaik yang mereka butuhkan untuk makan malam dan juga untuk persediaan Chin Hwa selama beberapa hari ke depan.Keduanya tampak seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbahagia di hari pertama mereka berbelanja bersama. Senyuman riang tak pernah lepas dari bibir mereka setiap kali saling beradu pandang saat tanpa sengaja mengambil barang yang sama.Waktu begitu cepat berlalu. Qeiza telah sampai di apartemen Chin Hwa. Sejenak ia berdiri ragu di depan pintu. Hatinya dirundung gelisah. Benarkah keputusan yang dia ambil saat ini?Tak mendengar
Menciptakan sebuah kebohongan sama saja dengan menggali kuburan sendiri.***“Kenapa lama sekali buka pintu? Kau menyembunyikan sesuatu atau seseorang?”Pertanyaan bernada curiga dan mimik muka penuh selidik langsung menyerang Chin Hwa begitu dia membuka pintu.Seorang wanita berkulit putih dengan rambut berpotongan bob panjang menerobos masuk tanpa ragu. Tatapan tajamnya terpaku pada netra resah Chin Hwa.“Tidak. A–aku baru saja pulang kerja.”Chin Hwa sedikit gugup. Ini pertama kali baginya mengarang sebuah kebohongan dengan sengaja.Wanita yang baru tiba itu berdiri di hadapan Chin Hwa dengan elegan. Sebuah tas tangan mewah menggantung indah di pergelangan lengan kirinya. Sebelah tangan lainnya dibiarkan jatuh menjuntai, mempertontonkan kuku-kuku cantik yang terawat apik.Tubuh langsingnya terbalut celana marun dengan atasan blouse putih dilapisi coat senada warna celana. Melihat penampilannya, tak akan ada yang percaya bahwa usianya sudah setengah abad. Dia masih tampak seperti wan
Sepeninggal Chin Hwa, Nyonya Song bergegas mengeluarkan ponselnya. Dalam waktu singkat, dia pun sudah terlibat obrolan serius dengan suaminya. Melaporkan perkembangan Chin Hwa dengan wajah berseri-seri, seakan-akan dia baru saja memenangkan undian bernilai jutaan dolar.Suara dehaman spontan mengakhiri percakapan Nyonya Song dengan suaminya. Buru-buru dia memutus sambungan telepon. Mata almond-nya melebar ketika melihat seorang wanita cantik berjalan dengan sedikit gugup di sisi Chin Hwa.Nyonya Song menilik penampilan Qeiza. Tubuh langsing terbalut long dress berwarna hitam dan berlapis blazer panjang warna abu-abu itu tampak anggun dalam pandangan Nyonya Song. Sorot mata lembut yang memancar dari netra hazel Qeiza terasa menenangkan menurut Nyonya Song. Membuatnya betah berlama-lama memandanginya.Perlahan Nyonya Song bangkit dari sofa, lalu tiba-tiba tidak sabar untuk segera menyerbu ke arah Qeiza. Diseretnya tangan Qeiza untuk duduk di sofa.Qeiza memutar kepala ke belakang, meneng
Pikiran seperti magnet. Dia akan menarik peristiwa sesuai dengan apa yang kita pikirkan.***Chin Hwa merasa seakan gelegar halilintar baru saja meledak tepat menghantam gendang telinganya. Pertanyaan tak terduga Nyonya Song sesaat membius kesadarannya. Membuat matanya melotot bulat seperti sedang melihat hantu yang sangat menyeramkan.Pun tak berbeda dengan Qeiza. Gadis itu merasa jiwanya seakan lepas dari raga untuk sepersekian detik. Dia cuma bisa melongo dalam keterpanaan, menatap hampa pada Nyonya Song yang menanti jawaban Chin Hwa dengan raut muka menuntut.Menyadari pertanyaan spontannya bak lemparan bola api yang menerobos sebuah benteng pertahanan secara mendadak, Nyonya Song terkekeh.“Maaf. Aku tidak bermaksud mendesak kalian,” celotehnya kemudian. “Aku hanya sangat senang membayangkan akan segera punya cucu. A—”“Eomma!”Chin Hwa terpekik kaget, memotong pepesan kosong sang mama. Dia dapat merasakan daun telinganya memanas karena malu. Dia sungguh tak menyangka kalau mamany
Qeiza tidak enak hati membiarkan Nyonya Song memasak. Mungkin tak masalah bila Nyonya Song ingin menyajikan menu favorit anaknya. Akan tetapi, Nyonya Song juga harus memasak untuk dirinya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Di mana letak sopan santunnya sebagai seorang gadis muda?Nyonya Song balik badan dan kembali menggenggam hangat tangan Qeiza yang sudah berhasil menyusulnya.“Tidak apa-apa,” tukasnya. “Aku sedang bersemangat dan aku senang melakukan ini. Kau harus mencoba masakanku.”Chin Hwa juga sudah berdiri di samping Qeiza. “Sudahlah. Biarkan saja eomma melakukan apa yang diinginkannya. Eomma tidak pernah bisa dihentikan.”“Kalau begitu, biarkan aku membantu!”Qeiza tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan harga dirinya. Bagi Qeiza, merupakan hal yang sangat memalukan bila seorang gadis memilih duduk santai dan bermalas-malasan sementara orang tua bermandi peluh menyiapkan segala kebutuhannya. Bukankah agama mengajarkan anak muda untuk menghormati dan melayani orang yang
Tak ada yang abadi. Semua bisa berubah seiring berjalannya waktu.***Setelah pertemuan Qeiza dengan kedua orang tua Chin Hwa, dia semakin jauh tersedot ke dalam labirin kebohongan dan semakin sulit untuk menemukan jalan keluar. Dia pikir melarikan diri ke apartemen bosnya itu akan menghentikan kekacauan pikirannya akibat ulah Ansel.Faktanya, melarikan diri tidak pernah benar-benar bisa menyelesaikan masalah. Sebaliknya, hal itu hanya seperti menumpuk debu di bawah karpet. Semakin lama kian menebal dan dapat menimbulkan penyakit. Begitulah yang dialami Qeiza kini.Berulang kali Qeiza menarik napas dalam dan membuangnya dengan kasar. Tubuhnya bersandar lesu pada punggung kursi. Pensil yang biasanya menari lincah di atas permukaan datar kertas desainnya, sedari tadi hanya sibuk mengentak tepi meja tanpa gairah.Qeiza menyesali kecerobohannya dalam mengambil keputusan. Kalau saja dia tidak melarikan diri ke apartemen Chin Hwa, dia tidak akan bertemu dengan Nyonya Song dan terjebak dalam
Qeiza mengamati ekspresi serius roman muka Chin Hwa. Lelaki itu sepertinya memang tidak main-main dengan niat hatinya. Kali ini tatapan Chin Hwa terlihat berbeda dari biasanya. Apa Chin Hwa benar-benar menyukainya? Hati Qeiza bertanya-tanya. Namun, dia tidak berani menarik kesimpulan. Salah-salah dia dianggap terlalu percaya diri dan memandang tinggi dirinya sendiri.“Akan kupikirkan.”Akhirnya Qeiza meminta waktu untuk mempertimbangan keinginan Chin Hwa. Mungkin tidak ada salahnya dia mencoba. Chin Hwa bukan lelaki dengan catatan hitam tentang hubungan dengan lawan jenis. Belum pernah dia mendengar Chin Hwa punya kekasih ketika kuliah dulu. Entah setelah mereka tak lagi bertemu.Setelah mengingat-ingat benda yang dipajang Chin Hwa di atas meja kerjanya, setahu Qeiza juga tidak satu pun terdapat foto Chin Hwa bersama seorang wanita.“Oke. Aku tunggu keputusanmu besok siang.”Chin Hwa merasa masih memiliki harapan untuk mewujudkan impiannya. Dia sungguh-sungguh telah jatuh hati pada Qei
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal