Tidak bisa tidur, Tania merasakan perasaan tidak enak dan membuatnya tidak bisa tidur. Wijaya sudah lelap disampingnya, pandangan matanya tertuju pada ranjang yang masih kosong dan sampai sekarang belum ada kabar tentang Sabi.
“Tidurlah, nanti kalau Sabi lihat kamu bisa senang. Kalau lihat kamu pucat seperti ini nanti dia takut, sayang.” Wijaya membuka suaranya dengan memejamkan matanya.Tania menatap Wijaya yang masih memejamkan matanya, tarikan tangan yang dilakukan Wijaya membuat Tania akhirnya menyerah dengan bergabung bersama untuk memejamkan matanya dan menenangkan pikiran, tepukan pelan yang dilakukan Wijaya membuat perasaan Tania tenang.“Permisi,” ucap seseorang dengan suara lembut.Tania membuka matanya perlahan, menatap sekitar dimana tempatnya berada. Melebarkan matanya saat melihat perawat berada dihadapannya, beranjak dari tempatnya dan memilih duduk langsung dengan menepuk paha Wijaya pelan.“Ada apa?” tanya TaniaSuasana didalam rumah tampak ada perbedaan, terutama pada diri Tania. Sudut jantungnya seakan menghilang ikut dengan Sabi, melihat kesedihan Tania membuat anak-anaknya secara bergantian memberikan hadiah atau memasakkan sesuatu untuk dirinya.“Jangan terlalu bersedih, memang kamu mau Sabi tidak tenang?” Tania menatap tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibir Rifat, tersenyum kecil mendengarnya. Memberikan tatapan lembut pada Tania, tangannya terangkat membelai pipi Tania dan mulai mendekatkan bibir mereka, mengecupnya singkat sebelum akhirnya melepaskan dan sedikit menjauh. Tania membeku ketika merasakan sentuhan yang dilakukan Rifat, sentuhan singkat pada bibirnya membuat dirinya sedikit lebih tenang.“Kembalilah menjadi Tania sebelum ini, aku tidak suka melihatmu sedih.”Tania menatap punggung Rifat yang menjauh, menggelengkan kepalanya dan kembali menatap anak-anak yang sedang bermain. Tidak lama kemudian Tania melangkah me
Berjalan normal seperti sebelumnya, mencoba melupakan Sabi bukan hal yang mudah, walaupun hanya hidup selama tiga tahun tapi sudah memberikan kenangan bagi mereka. Perlahan mulai bangkit dan akhirnya berhasil, menjalani kehidupan normal pada umumnya.“Mami, dimana dasiku?” tanya Lucas yang keluar dari kamar.“Mami, aku nggak bisa nemuin buku matematika.” Leo tiba-tiba keluar dari kamar yang lain.“Mami..aku lapar....” teriakan Jimmy terdengar keras.Tania hanya menggelengkan kepalanya, anak-anak sudah besar semua. Lucas yang ada di akhir sekolah menengah pertama, Leo dan Zee yang berada dibawah Lucas, Jimmy di bangku sekolah dasar kelas empat, dan Rey yang baru masuk sekolah dasar. “SAYANG....dimana? Kaos kaki aku nggak ada...” teriakan Wijaya terdengar keras.Tidak hanya anak-anak tapi juga suami tuanya, menarik dan menghembuskan nafas panjang mendengar suara teriakan mereka secara bersamaan. Mengambil apa yang dii
Suara desahan terdengar jelas didalam kamar, memang tidak senikmat Tania tapi setidaknya bisa membuat Wijaya tidak terlalu memikirkan hal-hal gila. Menggerakkan juniornya didalam dengan kasar, tidak peduli dengan keadaan wanita yang berada dibawahnya yang menahan rasa sakit. Merasakan akan mencapai klimaks mendorong semakin masuk kedalam, beberapa kali semprotan keluar didalam dan setelah tidak ada yang keluar secara perlahan melepaskan penyatuan mereka.Berbaring disamping wanita yang ada disampingnya, menatap ke langit kamar dengan tatapan kosong. Wanita yang ada disampingnya memilih beranjak dari tempatnya, gerakannya terhenti saat pergelangan tangannya dipegang Wijaya.“Kenapa? Ada masalah apalagi?” “Tidak.” Wijaya menjawab singkat.Mona, wanita yang ditemui Wijaya secara tidak sengaja. Saat itu dia baru saja lulus kuliah dan melamar di salah satu perusahaannya, menatap wanita itu membuat jiwa petualangnya hadir. Pada saat mereka bert
Wijaya menatap kedatangan mereka dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, melihat itu perasaan tidak enak menghampirinya dengan mulai mendekatinya dan mencium singkat bibirnya.“Apa ada masalah?” tanya Tania yang tidak dijawab Wijaya.Tania menghembuskan nafas panjang, sikap Wijaya yang begini membuatnya terlihat seperti anak-anak. Sikapnya yang seperti ini sangat menggemaskan, tidak jauh berbeda dengan Lucas yang tidak jauh berbeda dengannya.“Darimana saja tadi?” Wijaya membuka suaranya.“Jemput Jimmy dan Rey, memang kenapa? Ah...aku memang sama Rifat tapi ada anak-anak, apa kamu cemburu?” Wijaya langsung menggelengkan kepalanya, “Cemburu hanya untuk mereka yang tidak mampu.” Tania mencibir kata-kata Wijaya “Selalu saja dengan percaya diri. Aku bisa saja curiga, kamu memberikan ijin aku sama Rifat bukan berarti ada wanita lain kan?”Wijaya menatap tidak percaya mendengar tuduhan Tania yang memang benar ad
“HAMIL?” Tania menatap tidak percaya pada Wijaya.Memutuskan untuk jujur pada Tania bukan hal yang mudah, tidak ingin terjadi lagi seperti sebelumnya atau lebih tepatnya tidak ingin kehilangan Tania. Menceritakan tentang pertemuannya dengan Mona dan sampai akhirnya berakhir seperti sekarang, selama tadi dirinya bercerita Tania hanya diam, tapi setelah mengatakan jika Mona hamil baru memberikan reaksi yang mengejutkannya.“Aku tidak bisa berkata-kata lagi.” Tania menggelengkan kepalanya “Kamu yang membuat rencana gila, tapi kamu....”Tania menatap Wijaya tidak percaya, menggelengkan kepalanya sekali lagi seakan apa yang di dengarnya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Wanita lain hamil anak Wijaya, sangat mengejutkannya, memilih untuk menerima atau menolak, sedangkan Wijaya sendiri menerima Rey dengan baik.“Kamu mau balas dendam begitu?” tanya Tania dengan nada datarnya “Aku tidak meminta kamu untuk Rifat mempunyai anak dengan aku meskipu
Menarik Rifat dengan langsung melumat bibirnya, mendapatkan serangan tiba-tiba membuatnya terkejut, lumatan Tania tidak berhenti semakin dalam membuat Rifat mengikuti semua yang dilakukannya. Membuka pakaian secara cepat seakan diburu waktu, tidak menunggu lama mereka sudah saling tidak menggunakan pakaian.Mendorong Rifat berbaring dengan mendekatkan bibirnya pada bagian bawahnya, mulai memasukkan kedalam mulut dan menggerakkannya didalam. Suara erangan keluar dari bibir Rifat saat merasakan hangatnya mulut Tania, tangannya meremas rambut Tania dengan pelan dan sesekali mulutnya mengeluarkan suara desahan.Tidak mau keluar dalam mulut Tania, menariknya keatas dengan melumat bibirnya kasar, tangannya meremas bukit kembarnya. Membalikkan tubuh Tania, mencium seluruh tubuhnya dengan memberikan jilatan di setiap bagian tubuhnya, mulut Tania mengeluarkan suara desahan. Memasukkan adik kecilnya kedalam rumahnya, suara desahan kembali memenuhi kamar dan mereka kembal
“Mau tahu tentang dia? Mau bertemu? Jangan libatkan orang lain dalam masalah kita.” Wijaya mengatakan langsung pada Tania dengan menahan emosi.Emosi, itu yang dirasakannya saat mendengar Rifat mencari tahu tentang Mona. Perasaan emosinya lebih pada Rifat yang sudah terlalu jauh masuk kedalam rumah tangganya, walaupun Wijaya tahu jika Tania dibalik itu.“Aku selalu cerita sama kamu, sayang. Buat apa kamu mencari informasi, kamu bisa tanya aku langsung.” Wijaya memegang tangan Tania dengan berbicara lembut.“Apa kamu akan terbuka?” tanya Tania hati-hati yang diangguki Wijaya “Siapa yang kamu cintai?”“Kamu.” Wijaya menjawab langsung tanpa berpikir.“Lalu dia? Pelampiasan?” tanya Tania lagi.“Mungkin, aku hanya bertanggung jawab pada anak didalam kandungannya.” Wijaya menjawab langsung.“Kamu tidak...”“Tidak, cintaku hanya sama kamu.” Wijaya memotong kata-kata Tania.“Kamu menginginkan
Wijaya memenuhi janjinya mempertemukan Tania dengan Mona saat merasa kehamilannya sudah tidak ada masalah, tidak tahu apa yang terjadi pada Mona tapi semenjak kehamilannya Wijaya lebih banyak bersamanya dan Tania tidak bisa melakukan sesuatu.“Apa dia baik-baik saja kalau aku datang?” tanya Tania tidak tahu berapa kali.“Aku sudah bicara dengan dia.” Wijaya menenangkan Tania.Tania menatap wanita muda yang ada dihadapannya, melihat Mona mengingatkan dirinya di masa lalu saat pertama kali bertemu dengan Wijaya. Mengendalikan diri agar tidak menampilkan emosinya, Wijaya sedikit bercerita apa yang terjadi pada kehamilannya, Tania memberikan jempol pada wanita yang bernama Mona ini.“Maaf, seharusnya aku tidak...”“Bukan salah kamu juga, Wijaya sendiri yang nggak bisa menahan nafsu.” Tania memotong perkataan Mona “Bagaimana kehamilannya? Kapan perkiraan melahirkannya?”“Sejauh ini baik-baik saja, mungkin ini karma karena