"Nak Raja, apa-apaan?" wajah Maria mendadak pucat pasi. "Saya punya buktinya, Sir!" Raja terus merangsek ke arah kedua polisi yang mencekal lengan Hendra, tanpa mempedulikan teriakan Maria. "Jangan bercanda dengan kami, young man! Kalau memang anda yakin anda bersalah, anda juga harus ikut kami ke markas sekarang juga," ujar salah satu polisi dengan nada tinggi. "Saya bersedia," sahut Raja tegas seraya menatap sendu ke arah Daisy. Gadis itu membeku. Tatapan Raja seakan menusuk jantungnya. Rasa sakit, pedih dan cemas bercampur menjadi satu, membuat dada gadis itu terasa sesak. Kepalanya mulai berdenyut. Bayangan-bayangan kelam masa lalu mulai datang menembus pikiran. Kepingan-kepingan teka-teki bermunculan dan menyatu, membentuk sebuah gambaran mengerikan tentang dirinya. Daisy limbung. Tulang kakinya seakan tak mampu menyangga tubuh. Dia kesulitan bernapas. Satu-satunya cara untuk meraup oksigen dari udara, hanyalah dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya berair, jemarinya e
Dengan tergesa, Liam memasuki penthouse Brandon. Bertahun-tahun Liam mengenalnya, di saat kalut seperti ini, biasanya Brandon sedikit kehilangan akal sehatnya. Benar saja, Liam melihat penampakan tiga botol Brandy, dua di antaranya sudah tandas, sementara satu botol hanya tersisa separuh. Brandon sudah hendak menenggaknya lagi saat tangan Liam menarik botol itu dari tangannya. "Stop it, Mate! Jangan diteruskan,"sergah Liam. "Have you found her?" (Sudahkah kau menemukannya?) "Not yet," jawab Liam setengah putus asa. "Sudah tiga hari, Liam," desah Brandon lemah. Dia mengusap mukanya kasar. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya memerah akibat alkohol. Sejak Zivanna menghilang pagi itu, Brandon terlihat gusar. Kemanapun ia mencari, Zivanna tidak dapat ia temukan. Bahkan rumah Hendra pun sudah ia datangi. Akan tetapi, Maria mengaku tak tahu menahu. "Apa mungkin Zivanna menemui Raja?" terka Liam. Brandon tersenyum sinis mendengar pemikiran sahabatnya itu. "Jika Zivanna muncul di ruang tahan
Zivanna berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Edward. Tujuh jam perjalanan yang menyenangkan, hingga tak terasa dia sudah tiba di Edinburgh. "Simpan nomorku, ya! Jangan dihapus! Kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau," ujar Edward ramah. "I will, Sir! Terima kasih banyak," sahut Zivanna ceria sembari melambaikan tangannya yang menggenggam ponsel. Satu-satunya barang berharga yang dia bawa hanyalah ponselnya. Pria itu balas melambaikan tangannya sebelum melajukan mobilnya pergi meninggalkan Zivanna yang berdiri di tepi jalan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zivanna benar-benar sendirian. Selama ini, seberat apapun dia menjalani hari-harinya, masih ada satu dua orang yang begitu peduli padanya. Di antaranya adalah Hendra dan juga Raja, meskipun laki-laki itu baru beberapa tahun ini memasuki kehidupannya. Dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalanan kota. Suhu musim panas di Skotlandia hampir sama dengan musim hujan di dataran tinggi Indonesia. Suhu paling tinggi yang ter
Ragu-ragu, Zivanna turun dari kendaraan Ashley. Sementara, Ashley sudah berdiri di teras depan sebuah rumah khas pedesaan Skotlandia. Dindingnya tersusun dari batu sungai, sedangkan pintu dan jendelanya terbuat dari kayu Oak yang dicat putih. Bunga-bunga hias tampak tumbuh merambat di pot bunga memanjang yang terletak tepat di bawah jendela. "Kemarilah, Zi.. Don't be afraid. Uncle Theo adalah orang yang paling baik dan paling ramah," ajak Ashley lembut. Dengan langkah pelan, Zivanna mendekati Ashley dan berdiri di belakangnya. Ashley mulai mengetuk pintu itu. Beberapa detik kemudian, terdengar seseorang berjalan dan membuka pintunya lebar-lebar. Seorang wanita berambut ikal kecoklatan menyambut Ashley dengan hangat, "Hey, beautiful.. Apa kau hendak memesan kue tart lagi?" "No, Aunt Olive.. Aku kesini hanya untuk mengantarnya," Ashley mengarahkan tangannya pada Zivanna, membuat Zivanna salah tingkah. "H-hai," sapanya sedikit gugup. "Hai, do I know you?" wanita itu menautkan alisnya.
"Sekarang kami mendapat karmanya.. Akibat Theodore membuangmu, sampai sekarang kami tidak bisa memiliki anak," tutur wanita itu dengan raut murung. Sedangkan Ashley yang sedari tadi menyandarkan dirinya ke tembok, hanya mendengarkan dengan seksama."Aku.. ehm.. aku.." ucap Zivanna ragu. "Bolehkah aku tinggal disini?" Tanyanya.Olive belum sempat menjawab ketika pintu depan terbuka. Menampakkan sosok pria paruh baya yang tinggi, tegap dan terlihat begitu tampan dan berkharisma."Oh, kita kedatangan tamu, Ol?" Pria itu berkata dengan suara baritonnya yang terdengar begitu maskulin.Zivanna pun memberanikan diri menoleh dan tersenyum.Pria itu membeku melihat wajah Zivanna. Dia terlihat shock, apalagi saat gadis itu berkali-kali memamerkan senyumnya."She's your daughter," ujar Olive memecah keheningan.Pria itu menjatuhkan kotak perkakas yang sedari tadi dibawanya lalu berjalan menghampiri Zivanna. "You.. You're still alive?" Tanyanya tak percaya. Dipegangnya pipi halus gadis itu. Diusa
"Tell me everything about you," pinta Theo. "Aku sudah kehilangan momen tumbuh kembangmu sejak... berapa tahun lamanya?" "I'm twenty one now, Papa.." ucap Zivanna sambil tersenyum simpul. "Aku kehilangan waktu bersamamu selama dua puluh satu tahun lamanya," sesal Theo. "Apa ibumu memperlakukanmu dengan baik?" Zivanna menggeleng pelan. Rautnya terlihat sayu. "Mama membenciku. Dia menyalahkanku atas semua yang terjadi dalam hidupnya," kekehnya pelan. Theo meletakkan sendok makannya. Tiba-tiba saja makanan yang tersaji di atas meja makan tak lagi menggugah seleranya. Sementara, Olivia Jenson, istrinya, selalu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengusap lembut punggung tangan Theo dan menenangkannya. "Jangan salahkan dirimu, Theo. Selain percuma, semua juga sudah berlalu. Fokuslah pada putrimu," hibur Olive. "Apa dia menyakitimu secara fisik?" cecar Theo. "Fisik dan verbal," desah Zivanna pilu. Theo yang duduk di samping Zivanna segera merengkuh tangan gadis itu dan menggenggamnya
"Who is he?" Tanya Theo, Olive dan Ashley serempak. "A guy. Kind and handsome," jawab Zivanna seraya tersipu. "And?" "What's his name?" "He is not a bad boy, isn't he?" Ashley, Olive dan Theo berturut-turut mengajukan pertanyaan secara bersamaan. Zivanna kebingungan dibuatnya. "Slow down, everybody," Zivanna terkikik geli sambil memposisikan kedua tangannya di depan dada dengan telapak mengarah kepada mereka bertiga. "His name is Brandon Gallagher. He is 27 years old and live in London," terang Zivanna. "Brandon Gallagher? Aku seperti pernah mendengar namanya," gumam Ashley sembari mengusap dagunya. "Dari namanya sudah terlihat kalau dia pria yang sangat tampan. Bagaimana menurutmu, Theo?" "Ingatlah, usiamu sudah tidak muda lagi, Olive," tegur Theo, membuat Olive terbahak mendengarnya. "Sudah tua masih juga cemburuan. Apa kau tidak ingat bagaimana masa mudamu dulu? Berkali-kali kau mematahkan hatiku," sungut Olive. "Ketemu!" Pekik Ashley dengan mata membulat tertuju pada
Zivanna melangkahkan kakinya ringan, mengikuti Olivia dari belakang. Seumur hidupnya, baru kali ini dia bisa tidur nyenyak dan nyaman hingga pagi menjelang. Apalagi kata-kata Olive yang memintanya supaya memanggil Olive dengan sebutan 'Ibu', begitu menggetarkan hati Zivanna. "Apakah tokonya jauh dari sini, Mum?" Tanyanya beberapa saat kemudian. "Oh, tidak. Hanya 500 meter di depan," jawab Olive ramah. "Kau suka dengan suasana di sini?" Wanita itu balik bertanya pada Zivanna. Zivanna mengangguk cepat. "Aku baru kali ini merasa sangat disayangi," jawabnya. Suasana di sekitarnya mendadak hening. Olive terenyuh mendengar pengakuan gadis belia itu. Dulu di usianya yang ke-21 tahun, Olivia mendapatkan segalanya dari kedua orang tua dan kakak-kakaknya, cinta, kasih sayang dan kehangatan dari sebuah keluarga. Sangat berbeda jauh dengan yang dialami oleh Zivanna. Olivia menghentikan langkahnya dan memeluk Zivanna tiba-tiba. "Ada aku dan Theo di sini. Selalu ada kami untukmu," bisiknya pilu.
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw
"Astaga, bisa tidak kalian berhenti bercanda," Raja terkekeh. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa sedih yang mendalam. "Tolong, berhentilah, Raja. Sudah cukup kamu mati-matian berkorban untuk Zivanna. Sekarang, saatnya fokus pada keluargamu. Berapa lama keluarga ini ditinggalkan saat kamu didakwa sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Rosanna? Pernah tidak, sekali saja, kamu berpikir tentang perasaan mama yang hancur melihat putranya duduk di kursi pesakitan?" ujar Hana panjang lebar. "Pernah tidak, kamu memikirkan kondisi mama yang benar-benar sedih dan terluka? Apakah sepenting itu Zivanna buatmu, Nak? Sampai-sampai kamu menepiskan keberadaan kami?" tampak jelas raut kecewa dari wajah Hana. Sementara Raja hanya bisa terdiam. Dia terpekur memikirkan ungkapan hati sang ibu. Selama ini memang dia terlalu fokus pada Zivanna, hingga melupakan keberadaan keluarganya. "Ah, sudahlah. Aku istirahat dulu. Kepalaku pusing sekali," tanpa menunggu tanggapan Raja, Hana segera berlalu dari
"Apa maksudnya dengan melepaskan mama?" sentak Raja. Tangannya terkepal kuat sembari melangkah mendekat. Diliriknya sang ayah yang lebih banyak menunduk dan tak banyak bicara. "Lelucon macam apa lagi ini, Pa?" geram Raja. "Mama harap kamu bisa mengerti, Raja. Perusahaan kita dalam bahaya. Tak hanya itu, nyawa mama juga terancam. Kamu lihat sendiri, tak ada siapapun di rumah kita selain pengawal Ibu Gumilar dan Pak Wiyasa. Sebesar itulah pengaruh mereka dalam keluarga ini," tutur Hana dengan raut pilu. "Tidak! Ini semua sama sekali tidak masuk akal," Raja menggeleng kuat-kuat. "Sejak kecil sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar nama Atmariani dan Wiyasa. Mama dan papa tidak pernah menyebut nama itu satu kalipun," tolaknya. "Itu karena kedua orang tua kita menyembunyikan semuanya dari kita," sahut Dewa. "Suka atau tidak, inilah kenyataannya, Raja. Tuan dan Nyonya Gumilar hendak membawa ibu kita." "Ananda pasti sudah pernah mengenal Rosanna dan Maria, dua putri kami. Nak Raja bi
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k