Herra membuka pintu kamar kosnya dan mencari keberadaan Rizhan. Ia mencari ke sekeliling kamarnya itu. Ia langsung baru ingat kalau Rizhan akan muncul kalau ia memanggilnya.
"Rizhan! Kamu di mana?" Herra sedikit teriak memanggil Rizhan.
"Aku di sini. Kenapa?"
Rizhan muncul di belakang Herra hingga membuatnya sedikit terkejut. Herra mengelus dadanya yang betgemuruh karena terkejut. Ia langsung menatap serius pada wajah Rizhan.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Rizhan dengan wajah bingungnya.
"Rizhan, aku mau kamu jujur sama aku. Apa kamu ada di tempat kerjaku hari ini?" selidik Herra dengan pandangan serius.
"Bagaimana bisa aku ada di tempat kerjamu jika kamu tidak ada memanggilku?" tanya Rizhan
Herra pun membenarkan apa yang dikatakan Rizhan. Apa mungkin dia yang sudah terlalu berpikir jauh? Itu benar kalau Rizhan tidak akan muncul jika ia tidak memanggilnya. Tak dapat dipungkiri ia sedikit trauma dengan kejadian yang menimpa Darra.
"Ya udah, enggak apa-apa. Emm, kamu ngapain aja hari ini?" tanya Herra
"Aku nungguin kamu pulang," jawab Rizhan
Herra terkejut dengan jawaban Rizhan.
"Nungguin aku?! Emang kamu enggak lakukan hal lain gitu?" tanya Herra
"Aku kan teman khayalanmu. Tugasku hanya menemani dan melindungimu. Apa yang bisa aku lakukan selain itu? Kamu enggak mau melakukan hubungan yang lebih intim denganku," papar Rizhan
"Harus banget yah melakukan hal itu supaya kamu bisa hidup kayak manusia?" tanya Herra
"Tentu saja. Kamu kan yang panggil aku," jawab Rizhan
"Kalau aku cuma pegang gini. Bisa?" tanya Herra seraya memegang tangan Rizhan.
"Bisa kok. Tapi aku mau lebih," ucap Rizhan
"Maksudnya. Ah!" pekik Herra karena Rizhan yang tiba-tiba memeluk tubuhnya.
"Kayak gini baru enak," timpal Rizhan memeluk erat tubuh Herra.
Entah kenapa Herra tidak memprotes Rizhan yang memeluknya. Herra malahan membalas pelukan itu. Sungguh pelukan Rizhan membuatnya agak lega dari penatnya pekerjaan hari ini.
***
"Auhh"
"Auchh"
"Sakittt banget!"
"Sakittt! Ah!"
"Ri-Rizhan!"
"Herra kamu kenapa?! Apa yang terjadi padamu?!" teriak Rizhan yang sangat terkejut melihat Herra keadaan Herra.
Herra terus memegangi perutnya yang sakit. Hingga keringat membasahi keningnya. Bahkan wajahnya tampak sangat pucat.
"Pe-perutku sangat sakit Rizhan. Aku enggak tahan," keluh Herra seraya menggenggam erat tangan Rizhan.
"Kamu sakit perut kenapa? Apa yang kamu makan?!" tanya Rizhan dengan wajah panik.
Herra menggeleng lemah.
"Terus karena apa? Apa kamu lagi kedatangan tamu?" tanya Rizhan kembali.
Herra langsung mengangguk kuat. Rizhan langsung menghela napas. Rizhan memegangi dagunya seraya berpikir. Setelah mendapat cara, ia pun memajukan wajahnya pada Herra.
'cup'
Tiba-tiba saja Rizhan mencium bibirnya Herra. Herra terkejut dengan tindakan Rizhan itu. Tapi ia tidak bisa berbuat lebih karena rasa sakit di perutnya. Herra pun membiarkan Rizhan yang menciumnya.
Ciuman itu berlangsung sekitar tiga menit hingga Rizhan melepas ciuman itu karena Herra nampak kehabisan napas. Rizhan menatap dalam pada wajah Herra, lalu ia segera berlalu pergi dari kamar Herra. Herra memandang bingung pada Rizhan.
Rizhan berjalan ke arah dapur. Ia melihat panci yang tergantung. Ia mencoba perlahan untuk mengambil panci itu. Dan gotcha!
Rizhan bisa menyentuh panci itu. Ia tersenyum senang karena bisa memegangnya. Dengan segera ia membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan untuk membuat minuman pereda nyeri untuk Herra. Jangan bingung. Rizhan sangat tahu karena Herra-lah yang meminta sosok pintar pada dirinya.
Rizhan dengan serius menyeduh beberapa bahan herbal. Setelah dirasa cukup ia pun mengambil saringan dan menyaringnya. Tak lupa ia juga membawa handuk yang hangat. Rizhan segera membawa semuanya ke dalam kamar Herra.
Herra masih terlihat memegang perutnya. Rizhan pun segera duduk di dekat Herra.
"Herra, ayo bangun. Kamu minum ini," ucap Rizhan seraya mengangkat kepala Herra.
"Ini apa? Siapa yang buat?" tanya Herra dengan nada yang lirih.
"Nanti aja aku kasih tau. Yang penting sekarang kamu minum dulu yah. Tenang aja, ini aman kok. Aku jamin," timpal Rizhan
Mendengar nada serta tatapan Rizhan yang terlihat meyakinkan membuat Herra menurut untuk meminum minuman itu. Herra sedikit berhenti sejenak untuk minum karena rasanya yang sedikit pahit. Tapi ia kembali dipaksa oleh Rizhan. Akhirnya minuman itu selesai diminum. Herra pun kembali berbaring.
"Sini"
Rizhan menaruh kepala Herra di dadanya. Saat Rizhan ingin mengangkat piyamanya, Herra langsung menghentikannya.
"Tenang aja Herra. Aku hanya mau buat perutmu terasa hangat. Aku enggak mau ngapa-ngapain kok," jelas Rizhan
Herra pun mengizinkannya. Rizhan kembali mengangkat piyama itu dan menaruh handuk hangat di perutnya Herra. Seketika Herra langsung merasa perutnya agak baikan. Ia merasakan perutnya sedikit nyaman.
"Bagaimana? Masih sakitkah?" tanya Rizhan
"Udah enggak terlalu sakit lagi. Makasih yah Rizhan," jawab Herra
"Iyah, aku kan udah janji untuk melindungimu. Kamu istirahat lagi yah," balas Rizhan
Herra pun menuruti perkataan Rizhan. Ia tertidur di dalam pelukan Rizhan yang begitu hangat. Bahkan ia melupakan bagaimana cara Rizhan melakukan itu semua.
To be continued....
"Kamu mau ke mana?""Eh? Rizhan. Aku mau berangkat kerjalah," jawab Herra dengan senyuman."Bukannya perutmu masih sakit? Enggak usah berangkat kerja aja hari ini. Mending istirahat di rumah," timpal Rizhan seraya mendekati Herra."Aku enggak bisa lah Rizhan. Belum seminggu juga aku bekerja. Masa udah minta izin," tolak Herra seraya menyampitkan tas di tangannya."Kamu yakin? Aku khawatir kamu sakit lagi," balas Rizhan dengan raut wajah khawatir."Enggak kok. Kamu tenang aja. Lagipula udah enggak terlalu sakit lagi kayak kemarin. Kan udah disembuhin sama kamu," timpal Herra memberikan senyuman meyakinkan pada Rizhan.Rizhan menghela napas pasrah."Baiklah. Kamu hati-hati yah. Ingat, panggil
"Ahh, aku kenyang banget karena nasi goreng itu. Sumpah, Rizhan pintar banget yah masaknya. Aku aja enggak sehebat itu masaknya. Walaupun bayarannya dia harus menciumku secara tiba-tiba. Aneh, dulu aku enggak terlalu suka dia kayak gitu. Tapi sekarang, aku suka juga dengan ciuman itu," gumam Herra sambil senyam-senyum sendiri.'tok-tok'Perhatian Herra seketika teralih dengan suara ketukan pintu. Herra melihat seorang wanita berdiri di depan pintu ruangannya."Iya, Nona. Masuk saja," celetuk HerraWanita itu langsung masuk dan berdiri di depan meja Herra. Herra sedikit terheran. Ia yakin wanita itu bukan karyawan dari perusahaan ini. Karena itu terlihat jelas pada pakaian yang ia kenakan."Permisi Nona. Boleh saya berbicara sebentar dengan anda?" tanyanya.
11. PindahSesuai perkataannya, hari ini Herra akan pindah ke apartemennya. Bukan apartemen miliknya sih, melainkan milik perusahaan yang diberikan padanya sebagai seorang asisten pribadi. Sebenarnya kunci apartemen itu sudah diberikan padanya saat hari pertama masuk kerja. Hanya saja baru hari ini Herra memiliki kesempatan untuk pindah.Herra sudah menyewa jasa pemindahan barang untuk mengangkat barang-barang di kamar kosnya. Tidak mungkin kan dia minta bantuan Rizhan untuk hal ini. Bisa-bisa ada orang yang pingsan nanti melihat barang-barang itu melayang di udara.Setelah dirasa semua barang di kamarnya sudah dibereskan, ia segera masuk ke dalam mobil pengangkut barang itu. Jarak antara kos-kosannya dengan apartemen memakan waktu sekitar dua puluh menit. Ternyata jarak antara perusahaannya dengan apartemen itu lebih dekat. Ternyata ini alasan perusahaan memberikan Herra fas
Seorang wanita tampak sibuk memakai polesan make up di wajahnya. Ia mengambil sebuah lipstik berwarna sweet pink dan mengoleskan di bibir tipisnya. Sempurna. Wanita itu segera mengambil tasnya dan menyampirkan di lengannya. Setelahnya ia keluar dari dalam kamarnya.Wanita itu mendekati dapur dan terlihat tubuh tetap seorang pria yang tengah sibuk memasak. "Rajin banget sih Rizhan. Sini aku bantu," ucapnya seraya mengambil alih sutil di tangan si pria. "Herra, kok kamu berangkat kerja sih," protes Rizhan seraya mengambil alih kembali sutil di tangan Herra. "Emang kenapa? Hari ini kan aku harus kerja," jawab Herra"Tapi kan kamu baru aja selesai pindah. Masa mereka enggak mau kasih kamu cuti sehari aja gitu," komentar Rizhan "Rizhan, aku enggak apa kok. Lagipula kemarin aku enggak terlalu capek karena kamu udah bantu. Tenang aja," balas Herra"Tapi aku t
Hari mulai berlalu sejak kejadian pertengkaran antara Herra dan Rizhan. Sungguh pertengkaran itu sangat merusak mood. Dia hanya kesal dengan sikap Rizhan yang terlalu mengekang dirinya. Dia tidak suka jika Rizhan bersikap mengatur dirinya. Terhitung sudah tiga hari sejak pertengkaran itu terjadi.Tak ada niatan dalam diri Herra untuk memanggil Rizhan. Ia masih dalam mode marah saat ini. Mungkin dalam beberapa hari amarahnya akan mereda dan dia akan mengajak bicara Rizhan pelan-pelan.Selama tiga hari itu, Herra menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Bangun pagi langsung berangkat kerja. Bedanya selama tiga hari ini, Herra tidak sarapan. Biasanya setiap pagi ada saja aroma lezat dari masakan Rizhan. Sekarang tidak ada lagi. Palingan ia hanya sarapan roti dibalut dengan isian selain. Karena Herra adalah seorang wanita yang minim akan pengetahuan memasak. Ia pernah sekali memasak
"Maafin aku yah," celetuk Rizhan menatap dalam wajah Herra.Herra juga ikut menatap mata coklat gelap itu untuk mencari kebohongan. Nihil, mata itu memancarkan ketulusan."Kamu yakin? Aku akan menerima permintaan maafmu jika kamu bersungguh-sungguh enggak akan melakukan hal itu lagi," ucap Herra"Iya deh, aku akan janji untukmu. Tapi, bisakah kamu menerima permintaanku?" tanya Rizhan"Apa?" tanya Herra balik."Kamu harus hati-hati dengan orang asing yang mendekatimu. Aku hanya enggak mau terjadi apa pun padamu," pintar Rizhan seraya mengelus dengan pelan pipi Herra."Iya, aku akan hati-hati kok. Kamu tenang aja," balas Herra dengan senyuman."Jadi, aku dimaafin nih?" tanya Rizhan
Seorang wanita tengah mengoleskan sedikit make up ke wajahnya. Wajahnya tampak berbinar. Apalagi saat melihat jepit rambut berwarna merah muda yang ada di rambutnya. Ia masih tidak menyangka kalau Rizhan akan membuatkan sesuatu untuknya. Ternyata ada sisi baiknya juga ia bisa menyentuh sesuatu.Setelah dirasa cukup dengan riasannya, ia memperhatikan lagi pakaian yang ia kenakan. Pas. Lalu, ia mengambil tasnya dan segera keluar kamar.Wangi masakan langsung masuk ke dalam indra penciumannya begitu keluar dari kamarnya. Ia langsung melebarkan senyumannya dan segera melangkah menuju dapur. Sosok tegap itu lagi yang sedang memasakkan sarapan untuknya.Ia sungguh senang karena sudah berbaikan dengan Rizhan. Ia bisa merasakan kembali kehangatan rumah berkat Rizhan.Semoga aja ini enggak cepat berakhir, Tuhan ~ bat
Herra kembali ke perusahaan setelah melakukan pertemuan dengan klien. Hatinya masih agak tidak tenang saat ini karena memikirkan kejadian di kafe itu. Herra berusaha mengendalikan dirinya untuk bersikap normal.Namun, Herra dilanda kebingungan saat masuk dalam perusahaan. Ia merasakan perasaan deja vu. Para karyawan di perusahaan Volker Group seperti membicarakannya kembali. Herra sedikit merasa risih karena tatapan mereka yang begitu sinis. Tapi Herra berusaha menampiknya. Karena tujuannya datang ke perusahaan adalah untuk bekerja bukan untuk mengurusi pembicaraan para karyawan yang akan membuatnya naik pitam.Herra masuk dalam ruangannya dan menaruh tasnya di atas meja. Herra menghela napa kasar dan memijat keningnya yang berdenyut. Semakin lama orang-orang di perusahaan semakin memusuhinya. Padahal Herra tidak melakukan kejahatan apa pun.T
"Makasih yah Tuan. Ini kalung yang bagus," ucap Herra dengan senyum lebar.Rizhan hanya mengangguk pelan. "Iyah. Tapi jangan langsung lupa diri yah. Aku memberikanmu itu hanya untuk memberikan apresiasi pada kerja kerasmu. Jangan memikirkan banyak hal," tukas Rizhan seraya berbalik menuju mobil kembali.Baru saja Herra ingin memuji kebaikan presdirnya itu. Namun, ia harus kembali lada kenyataan jika presdirnya itu bukan orang yang pantas mendapatkan predikat baik darinya.Sudahlah, yang penting ia senang bisa menerima kalung yang cantik ini."Hei! Kenapa masih diam di sana?! Apa kau mau aku tinggalin?!" teriak Rizhan dari arah mobil.Herra lansgu berbalik arah dan berlari menyusul ke mobilnya."Iya Tuan! Tunggu sebentar!" teriak Herra pula.Benar-benar orang yang tak sabaran presdirnya ini.***Se
"Enghh!"Herra mengerjapkan matanya pelan. Namun, sontak mata itu melebar kala melihat sebuah dada bidang ada di depannya. Aroma ini sangat dikenal Herra. Ia mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat.Benar saja, sang presdir ada di depannya sedang menutup matanya dengan damai. Dengkuran halus ia dengar dari presdirnya itu. Herra melihat betapa tampan wajah itu ketika sedang tidur dengan damai seperti ini. Namun, ia menggeram kesal ketika mengingat jika presdirnya ini bangun akan berubah seperti seekor macan.Herra mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah presdirnya itu. Perlahan hampir mendekat. Hingga ia berhasil menyentuh wajah itu.Herra menahan agar jantungnya tak berdetak terlalu kencang. Rasanya ia ingin menangis saja saat ini. Bagaimana tidak, tekstur wajah presdirnya dengan Rizhan, teman khayalannya itu sangat mirip.Rasa Rindu itu kembali menyelimuti dirinya. Ingin ras
Perjalanan yang begitu melelahkan akhirnya sampai juga. Pesawat berjenis Garuda Indonesia yang mereka naiki sudah sampai di bandara Yogyakarta.Rasa lelah tentu saja ada dalam dirinya Herra. Bahkan beberapa kali ia melakukan peregangan pada tubuhnya yang lelah itu. Rizhan terkekeh pelan melihat sikap lucu Herra. Ia jadi merasa seperti membawa anak kecil pergi bertamasya saja."Hei, ayo jalan! Kita harus mengambil koper kita dulu," sentak Rizhan dengan nada ketus. Rizhan berjalan duluan meninggalkan Herra yang terkejut dengan nada sentakan itu. Ia langsung memicingkan dengan tajam matanya pada presdir galaknya itu. Melayangkan pukulan dengan angin seakan ingin menghabisi presdirnya itu. Di saat Rizhan membalikkan tubuhnya, buru-buru Herra bersikap diam saja sambil mengalihkan pandangannya dari Rizhan.Rizhan memandang aneh pada wanita itu. "Kenapa masih diam aja di sana?! Kau mau aku tinggal yah?!" tukas R
'kring-kring''kring-kring'Herra meraih ponsel yang terletak di nakas samping ranjangnya. Menyipitkan matanya untuk melihat nama dari penelpon. Detik berikutnya ia melebarkan matanya kala melihat nama dari penelpon. Nama 'Presdir Galak' terpampang nyata di sana.Sontak Herra bangkit dari tidurnya dan duduk di ranjangnya itu. Dengan segera menggeser ikon hijau di ponselnya itu."Ha-Halo Tuan. Ada apa ya?" tanya Herra dengan suara khas orang bangun tidur.["Apa kau baru bangun tidur, hah?! Jangan bilang kau lupa kalau hari ini kita ada perjalanan bisnis ke Jogja," ucap Rizhan dengan nada protes.]Sontak Herra menepuk dahinya kala melupakan hal yang sangat penting."Ma-Maaf Tuan. Saya sungguh melupakan hal itu. Tu-Tuan tenang saja. Saya akan bersiap dengan cepat," ucap Herra seraya berdiri untuk segera bersiap.
41. Perhatian Yang Menghangatkan"Mau kubantu bawakan enggak?" tawar Daniar saat melihat berkas yang begitu banyak itu. Herra menggeleng pelan."Enggak perlu Daniar. Aku bisa bawa kok. Lagian enggak terlalu berat kok ini," tolak Herra seraya mengangkat kardus kecil yang berisi berkas yang sudah ia fotokopi itu. "Hmm, ya udah. Tapi, kau hati-hati yah. Jangan sampai nasibmu bakal kayak karyawan lainnya," timpal Daniar sedikit berbisik. Herra sedikit terkekeh melihat ekspresi lucu Daniar yang memberikan nasihat padanya. "Iya, kau tenang aja. Aku bakal hati-hati dengan presdir kita itu. Aku duluan ya," balas Herra dengan senyum tipis. "Iya, bye," ujar DaniarHerra segera keluar dari ruang fotokopi. Menaiki lift untuk ke ruangan presdirnya itu. "Huh, berat banget sih. Enggak enak tadi minta tolong sama Daniar. Disaat dia
Herra tengah bersiap dengan tergesa-gesa pagi ini. Pasalnya ia bangun sedikit telat karena banyak cerita dengan Salsa tadi malam. Dengan cepat ia memakai setelan kantornya dan mengoleskan sedikit make up saja ke wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia segera mengambil tas jinjingnya dan segera keluar dari kamar. Saat keluar kamar ia melihat Salsa yang tengah mengoleskan selai pada roti. "Sal, aku berangkat dulu yah," pamit Herra dengan buru-buru. "Eh, tunggu dulu. Makan ini sebentar," tahan Salsa seraya memberikan roti yang sudah ia oleskan. "Makasih yah Sal. Aku berangkat dulu yah," timpal Herra seraya berlari ke arah pintu apartemennya. Salsa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Herra. Di lain tempat, Herra tengah berlari menuju halte bus. Untung saja bus itu mau berhenti saat ia meneriakinya. Dengan cepat Herra masuk ke dalam bus itu dengan napas yang tersenggal.
Di sinilah mereka saat ini. Di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari mall. Saat ini Herra memandangi wajah Salsa dengan mata yang sembab karena sedari tadi menangis. Di sana juga ada Bulan yang menemani."Apa kau akan cerita sekarang?" tanya HerraSalsa mengangkat sedikit wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Herra di atas meja."Aku bener-bener hancur Her! Aku udah enggak bisa hidup lagi. Aku udah banyak salah padamu. Aku mohon kau maafkan aku sebelum aku pergi jauh darimu. Itu saja. Aku udah terlalu hina untuk meminta maaf darimu. Harusnya aku tau kalau kau enggak pernah berbuat seperti itu. Tapi, aku malah mempercayainya. Liat sekarang. Aku terkena karna dari apa yang aku perbuat," papar Salsa dengan air mata yang terus mengalir.Herra menghela napas kasar. Sebenci bencinya Herra pada mantan sahabatnya ini, ia juga seorang wanita yang tak 'kan tega melihat Salsa menangis terus seperti ini. Perasaan seo
"Udah siap"Herra segera mengambil tasnya dan keluar dari apartemennya itu. Hari ini ia ada janji untuk ketemuan dengan Bulan. Itu memang sudah sering terjadi jika hari Minggu tiba. Mereka akan janjian untuk jalan-jalan bersama untuk melepas penat.Apalagi Herra yang harus melepas segela tekanan hidup ketika sang presdir sudah kembali ke perusahaan. Sungguh, selama sang presdir kembali, berbagai perintah dilakukan oleh presdirnya itu. Bukan sekali ia menyuruh Herra menbuatkannya kopi. Melainkan dalam sehari ada lima sampai tujuh kali ia disuruh untuk membuat kopi.Herra berpikir, apa sekarang pekerjaannya sebagai sekretaris juga merangkap sebagai Office Girl juga. Karena bukan hanya membuat kopi, ia juga disuruh untuk menyapu bekas kertas yang berserakan di sekitar mejanya.Saat ia tanya kenapa tidak suruh OB saja, ia kembali diajari apa itu asisten. Sungguh ia sangat kesal dengan kelakuan presdirnya itu.
Herra mengatur napasnya yang naik turun. Ia menetralkan degup jantungnya yang menggila. Hatinya masih terasa amat sakit karena kejadian tadi.Sepertinya dugaannya itu memang salah. Enggak seharusnya ia mengira presdirnya itu adalah Rizhan. Memang sih nama mereka sama. Tapi, sifat mereka sangat bertolak belakang. Presdirnya itu selalu menampilkan wajah yang datar. Sedangkan Rizhan itu murah senyum.Apalagi presdirnya itu mempunyai tunangan. Mending dia mengambil langkah untuk menjaga jarak. Daripada akan menimbulkan gosip yang tak enak nanti.'kring-kring'Perhatian Herra langsung teralihkan begitu suara dering telpon di meja kerjanya. Segera ia mengangkat telpon itu."Halo. Dengan sekretaris Herra di sini. Ini siapa ya?" tanya Herra dengan sopan.["Ini aku bosmu. Segera ke rua