"Maafin aku yah," celetuk Rizhan menatap dalam wajah Herra.
Herra juga ikut menatap mata coklat gelap itu untuk mencari kebohongan. Nihil, mata itu memancarkan ketulusan.
"Kamu yakin? Aku akan menerima permintaan maafmu jika kamu bersungguh-sungguh enggak akan melakukan hal itu lagi," ucap Herra
"Iya deh, aku akan janji untukmu. Tapi, bisakah kamu menerima permintaanku?" tanya Rizhan
"Apa?" tanya Herra balik.
"Kamu harus hati-hati dengan orang asing yang mendekatimu. Aku hanya enggak mau terjadi apa pun padamu," pintar Rizhan seraya mengelus dengan pelan pipi Herra.
"Iya, aku akan hati-hati kok. Kamu tenang aja," balas Herra dengan senyuman.
"Jadi, aku dimaafin nih?" tanya Rizhan
Seorang wanita tengah mengoleskan sedikit make up ke wajahnya. Wajahnya tampak berbinar. Apalagi saat melihat jepit rambut berwarna merah muda yang ada di rambutnya. Ia masih tidak menyangka kalau Rizhan akan membuatkan sesuatu untuknya. Ternyata ada sisi baiknya juga ia bisa menyentuh sesuatu.Setelah dirasa cukup dengan riasannya, ia memperhatikan lagi pakaian yang ia kenakan. Pas. Lalu, ia mengambil tasnya dan segera keluar kamar.Wangi masakan langsung masuk ke dalam indra penciumannya begitu keluar dari kamarnya. Ia langsung melebarkan senyumannya dan segera melangkah menuju dapur. Sosok tegap itu lagi yang sedang memasakkan sarapan untuknya.Ia sungguh senang karena sudah berbaikan dengan Rizhan. Ia bisa merasakan kembali kehangatan rumah berkat Rizhan.Semoga aja ini enggak cepat berakhir, Tuhan ~ bat
Herra kembali ke perusahaan setelah melakukan pertemuan dengan klien. Hatinya masih agak tidak tenang saat ini karena memikirkan kejadian di kafe itu. Herra berusaha mengendalikan dirinya untuk bersikap normal.Namun, Herra dilanda kebingungan saat masuk dalam perusahaan. Ia merasakan perasaan deja vu. Para karyawan di perusahaan Volker Group seperti membicarakannya kembali. Herra sedikit merasa risih karena tatapan mereka yang begitu sinis. Tapi Herra berusaha menampiknya. Karena tujuannya datang ke perusahaan adalah untuk bekerja bukan untuk mengurusi pembicaraan para karyawan yang akan membuatnya naik pitam.Herra masuk dalam ruangannya dan menaruh tasnya di atas meja. Herra menghela napa kasar dan memijat keningnya yang berdenyut. Semakin lama orang-orang di perusahaan semakin memusuhinya. Padahal Herra tidak melakukan kejahatan apa pun.T
Herra pulang ke rumahnya dalam keadaan lesu. Kejadian itu terlalu bertubi-tubi. Setelah ia mengetahui berita kematian Tuan Rayan, ia harus dilimpahin kembali dengan berita kematian dua karyawan di perusahaannya.Yang menjadi pertanyaan untuknya adalah mengapa orang yang meninggal itu adalah orang yang sudah mengusiknya. Pertama, Tuan Rayan yang ingin melecehkannya. Kedua, dua wanita itu yang baru saja memfitnahnya. Bohong jika ia bilang tidak menyangkut pautkan masalah itu dengan Rizhan. Sejak tadi ia sangat khawatir kalau Rizhan adalah pelaku dari dua kejadian pembunuhan itu.Herra membuka pintu apartemennya. Ia sepertinya merasa kalau Rizhan tidak ada di dalam apartemen. Herra menghela napas kasar. Ia berjalan menuju arah dapur untuk menyegarkan tenggorokannya. Herra juga sedari tadi tidak ada meminum air putih. Mungkin itu yang menyebabkannya sedikit pusing sekarang ini.&
'sret'Rizhan mengambil paksa ponsel Herra dari tangannya. Rizhan memandang penuh amarah pada Herra."Bagaimana bisa kamu melakukan ini Herra?! Apa aku ini sudah enggak berarti apa-apa untukmu?!" geram RizhanHerra sangat terkejut karena Rizhan tiba-tiba merampas ponselnya dan menyembunyikannya."Rizhan! Kembalikan ponselku! Aku udah capek dengan sikapmu. Ku mohon, aku ingin mengakhiri ini semua," protes Herra seraya berusaha mengambil kembali ponsel yang ada di tangan Rizhan.Rizhan dengan cepat menaikkan ponsel itu ke atas hingga Herra tak dapat meraihnya. Rizhan mendorong tubuh Herra hingga terjatuh di kursi meja makan."Aku enggak mau Herra! Aku enggak akan membiarkanmu menekan tombol pemberhentian kontrak ini! Aku enggak mau pisah darimu," tolak Rizh
Seorang wanita tengah sibuk memasak di dapur. Suara siulan di bibirnya menemaninya mengaduk masakan berupa nasi goreng. Senyum terpatri di bibirnya.'grep'Wanita itu langsung terkejut begitu sebuah tangan tiba-tiba memeluknya. Segera ia menoleh pada sosok yang dengan tidak etisnya memeluk dirinya hingga terkejut."Ri-Rizhan?!" pekiknya"Hai sayang," celetuk Rizhan yang semakin mengeratkan pelukannya."Rizhan, kamu terlalu erat memelukku. Ayo lepaskan! Aku lagi masak ini," protes Herra berusaha melepaskan pelukannya.Bukannya melepaskan pelukannya, Rizhan malah menelusupkan kepalanya di leher Herra. Herra langsung tersentak begitu bibir Rizhan menyentuh permukaan lehernya."Rizhan!
Herra berjalan dengan lesu menuju ke kamar mandi. Walaupun tubuhnya saat ini sangat letih. Mau tidak mau dia harus berangkat kerja. Entah kenapa saat ini ia tak memiliki gairah untuk hidup sejak kejadian itu.Hidupnya perlahan semakin berubah. Rizhan yang mulai mengaturnya sangat membuatnya terbatas untuk pergi ke manapun. Rizhan benar-benar mengekangnya. Entahlah, setiap bangun pagi tubuhnya senantiasa kelelahan seperti remuk.Tak butuh waktu lama untuknya membersihkan tubuhnya. Setelah mandi ia segera memakai pakaian kantornya dan berdandan sedikit.Baru membuka pintu kamarnya, ia dibuat terkejut dengan kehadiran Rizhan di depan pintu kamarnya. Refleks Herra memundurkan langkahnya."A-Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Herra seraya menundukkan pandangannya.Sejak kej
Herra meregangkan ototnya yang kaku karena terus mengerjakan pekerjaannya di depan komputer. Ia juga melepas kacamatnya untuk sejenak lalu meneteskan obat mata karena matanya terasa kering.'tok-tok'"Permisi Nona""Iyah, silahkan masuk Tella," ucap Herra pada salah satu karyawan.Wanita yang bernama Tella itu segera masuk."Ada seorang wanita di depan yang mengatakan ingin bertemu dengan Nona," ucap Tella"Tella, udah berapa kali aku bilang. Jangan panggil aku 'Nona', panggil aja aku Herra. Lagipula kita sama-sama karyawan di sini," timpal Herra"Iya Nona. Eh? Herra," balas Tella seraya tersenyum."Kau ini. Ya udah orangnya ada di mana?" tan
22. Rizhan and Nightmare"Hahh hah""Hahh hah"Seorang wanita terbangun dalam sebuah rumah yang tampak gelap. Ia merasakan bahwa dia berada di atas ranjang. Namun, kasur ranjang itu tampak sedikit keras.Ia mencoba menuruni ranjang itu secara perlahan. Wanita itu mencoba meraba dinding di kamar itu untuk mencari saklar. Nihil, tak ada satu pun saklar di kamar itu."Ahh!"Wanita itu terjatuh karena telah menabrak sesuatu. Ia merasakan nyeri di kakinya. Namun, ia berusaha untuk bangkit kembali untuk mencari penerangan. Sungguh kegelapan itu sangat menakutkan baginya.Alih-alih mendapat salkar, ia lebih mendapatkan sebuah pintu kamar itu. Ia mencoba meraih kenop pintu itu. Akhirnya ia menemukannya dan membuka pintu itu.'cklek'Wanita itu bernapas lega saat mendengar bunyi pintu itu terbuka. Ia pun segera membuka pin
"Makasih yah Tuan. Ini kalung yang bagus," ucap Herra dengan senyum lebar.Rizhan hanya mengangguk pelan. "Iyah. Tapi jangan langsung lupa diri yah. Aku memberikanmu itu hanya untuk memberikan apresiasi pada kerja kerasmu. Jangan memikirkan banyak hal," tukas Rizhan seraya berbalik menuju mobil kembali.Baru saja Herra ingin memuji kebaikan presdirnya itu. Namun, ia harus kembali lada kenyataan jika presdirnya itu bukan orang yang pantas mendapatkan predikat baik darinya.Sudahlah, yang penting ia senang bisa menerima kalung yang cantik ini."Hei! Kenapa masih diam di sana?! Apa kau mau aku tinggalin?!" teriak Rizhan dari arah mobil.Herra lansgu berbalik arah dan berlari menyusul ke mobilnya."Iya Tuan! Tunggu sebentar!" teriak Herra pula.Benar-benar orang yang tak sabaran presdirnya ini.***Se
"Enghh!"Herra mengerjapkan matanya pelan. Namun, sontak mata itu melebar kala melihat sebuah dada bidang ada di depannya. Aroma ini sangat dikenal Herra. Ia mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat.Benar saja, sang presdir ada di depannya sedang menutup matanya dengan damai. Dengkuran halus ia dengar dari presdirnya itu. Herra melihat betapa tampan wajah itu ketika sedang tidur dengan damai seperti ini. Namun, ia menggeram kesal ketika mengingat jika presdirnya ini bangun akan berubah seperti seekor macan.Herra mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah presdirnya itu. Perlahan hampir mendekat. Hingga ia berhasil menyentuh wajah itu.Herra menahan agar jantungnya tak berdetak terlalu kencang. Rasanya ia ingin menangis saja saat ini. Bagaimana tidak, tekstur wajah presdirnya dengan Rizhan, teman khayalannya itu sangat mirip.Rasa Rindu itu kembali menyelimuti dirinya. Ingin ras
Perjalanan yang begitu melelahkan akhirnya sampai juga. Pesawat berjenis Garuda Indonesia yang mereka naiki sudah sampai di bandara Yogyakarta.Rasa lelah tentu saja ada dalam dirinya Herra. Bahkan beberapa kali ia melakukan peregangan pada tubuhnya yang lelah itu. Rizhan terkekeh pelan melihat sikap lucu Herra. Ia jadi merasa seperti membawa anak kecil pergi bertamasya saja."Hei, ayo jalan! Kita harus mengambil koper kita dulu," sentak Rizhan dengan nada ketus. Rizhan berjalan duluan meninggalkan Herra yang terkejut dengan nada sentakan itu. Ia langsung memicingkan dengan tajam matanya pada presdir galaknya itu. Melayangkan pukulan dengan angin seakan ingin menghabisi presdirnya itu. Di saat Rizhan membalikkan tubuhnya, buru-buru Herra bersikap diam saja sambil mengalihkan pandangannya dari Rizhan.Rizhan memandang aneh pada wanita itu. "Kenapa masih diam aja di sana?! Kau mau aku tinggal yah?!" tukas R
'kring-kring''kring-kring'Herra meraih ponsel yang terletak di nakas samping ranjangnya. Menyipitkan matanya untuk melihat nama dari penelpon. Detik berikutnya ia melebarkan matanya kala melihat nama dari penelpon. Nama 'Presdir Galak' terpampang nyata di sana.Sontak Herra bangkit dari tidurnya dan duduk di ranjangnya itu. Dengan segera menggeser ikon hijau di ponselnya itu."Ha-Halo Tuan. Ada apa ya?" tanya Herra dengan suara khas orang bangun tidur.["Apa kau baru bangun tidur, hah?! Jangan bilang kau lupa kalau hari ini kita ada perjalanan bisnis ke Jogja," ucap Rizhan dengan nada protes.]Sontak Herra menepuk dahinya kala melupakan hal yang sangat penting."Ma-Maaf Tuan. Saya sungguh melupakan hal itu. Tu-Tuan tenang saja. Saya akan bersiap dengan cepat," ucap Herra seraya berdiri untuk segera bersiap.
41. Perhatian Yang Menghangatkan"Mau kubantu bawakan enggak?" tawar Daniar saat melihat berkas yang begitu banyak itu. Herra menggeleng pelan."Enggak perlu Daniar. Aku bisa bawa kok. Lagian enggak terlalu berat kok ini," tolak Herra seraya mengangkat kardus kecil yang berisi berkas yang sudah ia fotokopi itu. "Hmm, ya udah. Tapi, kau hati-hati yah. Jangan sampai nasibmu bakal kayak karyawan lainnya," timpal Daniar sedikit berbisik. Herra sedikit terkekeh melihat ekspresi lucu Daniar yang memberikan nasihat padanya. "Iya, kau tenang aja. Aku bakal hati-hati dengan presdir kita itu. Aku duluan ya," balas Herra dengan senyum tipis. "Iya, bye," ujar DaniarHerra segera keluar dari ruang fotokopi. Menaiki lift untuk ke ruangan presdirnya itu. "Huh, berat banget sih. Enggak enak tadi minta tolong sama Daniar. Disaat dia
Herra tengah bersiap dengan tergesa-gesa pagi ini. Pasalnya ia bangun sedikit telat karena banyak cerita dengan Salsa tadi malam. Dengan cepat ia memakai setelan kantornya dan mengoleskan sedikit make up saja ke wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia segera mengambil tas jinjingnya dan segera keluar dari kamar. Saat keluar kamar ia melihat Salsa yang tengah mengoleskan selai pada roti. "Sal, aku berangkat dulu yah," pamit Herra dengan buru-buru. "Eh, tunggu dulu. Makan ini sebentar," tahan Salsa seraya memberikan roti yang sudah ia oleskan. "Makasih yah Sal. Aku berangkat dulu yah," timpal Herra seraya berlari ke arah pintu apartemennya. Salsa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Herra. Di lain tempat, Herra tengah berlari menuju halte bus. Untung saja bus itu mau berhenti saat ia meneriakinya. Dengan cepat Herra masuk ke dalam bus itu dengan napas yang tersenggal.
Di sinilah mereka saat ini. Di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari mall. Saat ini Herra memandangi wajah Salsa dengan mata yang sembab karena sedari tadi menangis. Di sana juga ada Bulan yang menemani."Apa kau akan cerita sekarang?" tanya HerraSalsa mengangkat sedikit wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Herra di atas meja."Aku bener-bener hancur Her! Aku udah enggak bisa hidup lagi. Aku udah banyak salah padamu. Aku mohon kau maafkan aku sebelum aku pergi jauh darimu. Itu saja. Aku udah terlalu hina untuk meminta maaf darimu. Harusnya aku tau kalau kau enggak pernah berbuat seperti itu. Tapi, aku malah mempercayainya. Liat sekarang. Aku terkena karna dari apa yang aku perbuat," papar Salsa dengan air mata yang terus mengalir.Herra menghela napas kasar. Sebenci bencinya Herra pada mantan sahabatnya ini, ia juga seorang wanita yang tak 'kan tega melihat Salsa menangis terus seperti ini. Perasaan seo
"Udah siap"Herra segera mengambil tasnya dan keluar dari apartemennya itu. Hari ini ia ada janji untuk ketemuan dengan Bulan. Itu memang sudah sering terjadi jika hari Minggu tiba. Mereka akan janjian untuk jalan-jalan bersama untuk melepas penat.Apalagi Herra yang harus melepas segela tekanan hidup ketika sang presdir sudah kembali ke perusahaan. Sungguh, selama sang presdir kembali, berbagai perintah dilakukan oleh presdirnya itu. Bukan sekali ia menyuruh Herra menbuatkannya kopi. Melainkan dalam sehari ada lima sampai tujuh kali ia disuruh untuk membuat kopi.Herra berpikir, apa sekarang pekerjaannya sebagai sekretaris juga merangkap sebagai Office Girl juga. Karena bukan hanya membuat kopi, ia juga disuruh untuk menyapu bekas kertas yang berserakan di sekitar mejanya.Saat ia tanya kenapa tidak suruh OB saja, ia kembali diajari apa itu asisten. Sungguh ia sangat kesal dengan kelakuan presdirnya itu.
Herra mengatur napasnya yang naik turun. Ia menetralkan degup jantungnya yang menggila. Hatinya masih terasa amat sakit karena kejadian tadi.Sepertinya dugaannya itu memang salah. Enggak seharusnya ia mengira presdirnya itu adalah Rizhan. Memang sih nama mereka sama. Tapi, sifat mereka sangat bertolak belakang. Presdirnya itu selalu menampilkan wajah yang datar. Sedangkan Rizhan itu murah senyum.Apalagi presdirnya itu mempunyai tunangan. Mending dia mengambil langkah untuk menjaga jarak. Daripada akan menimbulkan gosip yang tak enak nanti.'kring-kring'Perhatian Herra langsung teralihkan begitu suara dering telpon di meja kerjanya. Segera ia mengangkat telpon itu."Halo. Dengan sekretaris Herra di sini. Ini siapa ya?" tanya Herra dengan sopan.["Ini aku bosmu. Segera ke rua