Beranda / Romansa / My Imaginary Husband / CHAPTER 4 Sudah Punya Pacar Belum?

Share

CHAPTER 4 Sudah Punya Pacar Belum?

Penulis: Jili Nai
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-16 17:30:52

    Pokoknya kamu harus ada di tempat yang sudah aku sediakan. Di tempat itu, aku bakal bisa lihat kamu dengan jelas dari atas panggung.

    Konser sudah berlangsung hampir satu jam. The Stargazers sudah menyanyikan beberapa lagu dari album baru mereka. Jeritan dan pekikan para penggemar memekakkan telinga. Di konser ini, kami para penggemar seolah menyatu meski tak saling mengenal. Kami semua berteriak, berjingkrak-jingkrak, serta menyanyi bersama.

    Kali ini, giliran Orion yang tampil menyanyikan lagu solonya. Ia memakai jas berwarna putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak begitu tenang. Jemarinya menari dengan lincah di atas tuts piano. Dia tampak begitu menjiwai lagu tersebut dan penampilannya berhasil menghipnotis seluruh penonton yang datang. Begitu penampilannya selesai, tepuk tangan serta teriakan penonton bergemuruh.

    Orion berjalan maju. Dia tampak sedang mencari sesuatu di antara lautan penggemar. Sepertinya aku tahu apa yang dia cari. Ketika mata kami bertemu, bibirnya melengkung ke atas yang memancing teriakan para penonton. “Aku tahu kamu akan datang,” ujarnya dari atas panggung, “dan aku senang karena kamu berada di sini untuk menyaksikan penampilanku.”

*

Aku berjalan memasuki rumah sambil bersenandung. Tubuhku lengket karena keringat—juga lelah, tetapi aku sangat bahagia.

“Kamu dari mana, Sayang?”

Aku memutar tubuh. Tampak Papa duduk di sofa ruang tamu. Senyumnya tersungging. Aku berlari menghampiri Papa, lalu memeluknya. “Papa kapan pulang?” tanyaku. Terlihat jelas kelelahan di matanya. Dia juga agak pucat dan sepertinya agak sedikit kurus. Kerutan di wajahnya agak sedikit lebih dalam.

Papa balas memelukku. “Tadi sore, tapi ternyata kamu nggak ada di rumah. Dari mana, hm?”

Aku nyengir. “Abis nonton konser,” jawabku.

The Stargazer, eh?” tebaknya.

Aku mengangguk. Kuamati wajah Papa. Di usianya yang belum genap enam puluh tahun, Papa terlihat sangat kepayahan. Mungkin karena beban pekerjaannya, membuatnya jarang mendapat waktu istirahat yang cukup? Entahlah. Namun, melihat Papa sekarang, aku merasa khawatir dengan keadaannya.

“Pa … Papa sakit, ya?” tanyaku.

Dalam sepersekian detik, aku melihat sesuatu yang mirip seperti keterkejutan di matanya. “Kata siapa? Papa sehat, kok. Papa bahkan masih kuat naik sambil gendong kamu. Mau bukti?” ujar Papa sembari tertawa.

“Papa agak pucat,” kataku terus terang.

“Papa cuman kecapekan, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir.”

Tapi aku memang khawatir. Tiba-tiba, aku merasa takut kehilangan Papa. “Papa jangan sakit,” bisikku seraya mengeratkan pelukanku. Air mataku mulai menggenang.

Tiba-tiba Papa mengatakan sesuatu yang meruntuhkan momen mengharukan ini. “Astaga! Bau apa ini? Apa ini berasal darimu, Sayang?” Kalimat itu terasa semakin menyebalkan ketika dibarengi dengan Papa yang mengibas-ngibaskan tangannya di udara seolah sedang menghalau serangga.

Air mataku yang sudah hampir menetes seketika naik lagi. Aku langsung menarik diri, kemudian menatap kesal ke arahnya. “Papa, ih! Ngerusak momen banget!”

Papa tertawa renyah. “Beneran, Sayang,” ujarnya. “Mandi sana! Kita makan malam di luar. Papa mau mempertemukanmu dengan seseorang.”

“Siapa?” tanyaku.

“Rahasia.”

“Haruskah aku merasa curiga?”

“Boleh-boleh saja,” ujar Papa. “Apa kamu sudah punya pacar, Sayang?” Papa mengatakannya dengan nada riang.

Aku mengendikkan bahu. “Belum ada yang mau. Lagi pula, susah nyari yang model kayak Orion.”

Papa terkekeh. “Dasar kamu! Ya sudah, cepat pergi mandi. Papa nggak mau kita terlambat.” Namun, bukannya bangkit dan pergi bersiap-siap, aku justru menggelendot padanya. Setelah beberapa kali menyuruh dan aku tak kunjung beranjak, tiba-tiba Papa mengangkat tubuhku di bahunya. Aku langsung memekik.

“Kamu sudah besar, tapi susah sekali kalau disuruh mandi. Apa perlu Papa lempar kamu ke kolam renang, eh?” ancamnya.

“Jangan!” Kakiku menendang-nendang dengan panik.

“Astaga! Jangan bergerak-gerak terus. Nggak sadar, ya, kalau kamu bertambah berat?” ejek Papa.

Aku menyalak tak terima yang disambut derai tawa Papa.

“Turunin aku, Pa! Iya! Iya! Aku mandi sekarang!” kataku sambil tertawa-tawa.

“Janji?”

Aku tertawa. “Ya.”

Papa menurunkanku. Baru kusadari kalau Mama tengah memperhatikan kami. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada—menggeleng-geleng, mungkin tidak habis pikir melihat tingkah suami serta anaknya. Aku nyengir. Kucium pipi Papa, lalu menghampiri Mama dan menciumnya juga. Setelah itu naik ke kamarku. Aku baru mencapai separuh anak tangga ketika Papa memanggilku.

“Nara,” panggilnya.

Aku memutar tubuh menghadap Papa. “Ya? Ada apa, Pa?”

Ayahku tampak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia seperti hendak bicara, tetapi kemudian menggeleng sambil menyunggingkan senyum terpaksa. “Bukan apa-apa, Sayang. Cepatlah mandi. Dandan yang cantik.”

Aku pergi ke kamar dengan berbagai pertanyaan di benakku.

*

Baru kali ini Papa dan Mama membawaku ke sebuah jamuan makan resmi seperti ini. Biasanya hanya makan malam keluarga. Tapi makan malam dengan teman bisnis Papa—hampir tidak pernah.

Aku memakai gaun pendek berlengan panjang berwarna biru malam. Bahannya tebal dan menempel pas di tubuhku dengan aksen kancing dari bagian dada hingga roknya. Mama datang dan membantuku menata rambutku. Dia hanya mengikat rambutku menjadi bentuk ekor kuda.

“Pakai ini, Sayang.” Mama memberikan kotak perhiasan berwarna putih. Di dalamnya terdapat satu set perhiasan dengan desain yang sederhana, persis seperti kesukaanku.

“Cantik. Seperti kerlip bintang di langit malam.”

Aku menoleh ke sumber suara. Papa sedang tersenyum di ambang pintu kamarku. Dia memakai setelan jas tiga potong berwarna abu-abu, senada dengan gaun Mama. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Ia berjalan menghampiri kami, lalu mengulurkan tangannya.

*

“Teman Papa lupa kali kalau ada janji,” kataku. Aku bertopang dagu sambil menatap ke luar jendela. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi orang yang kami tunggu tak kunjung muncul batang hidungnya.

Kami berada di ruangan privat yang Papa pesan. Ruangan ini bernuansa keemasan, dengan jendela kaca lebar yang memungkinkan pengunjung untuk melihat pemandangan di luar. Lantainya berlapis permadani yang saking tebalnya akan membuat anak kecil terbenam di dalamnya. Meja panjang yang dilengkapi enam buah kursi berada di tengah-tengah ruangan. Pada langit-langitnya tergantung sebuah lampu kristal yang sepertinya hanya digunakan sebagai dekorasi semata. Melihat ukurannya, aku pasti akan mati dalam waktu hampir seketika jika lampu itu jatuh menimpaku.

“Sebentar lagi, Sayang. Mereka sudah dalam perjalanan,” ujar Mama tenang.

Aku hanya mendengus.

Pengusaha macam apa yang suka terlambat seperti ini? Sama sekali tidak bisa menghargai waktu!

Kemudian, pintu ruangan terbuka.

“Maaf, kami membuat kalian menunggu.”

Aku menoleh ke arah suara yang sudah lama tidak kudengar, tetapi sama sekali tak asing di telingaku, dan mataku seketika melebar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
IyoniAe
hm... siapa itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • My Imaginary Husband   CHAPTER 5 Kata Papa, Ini Demi Kebaikanku

    Tanpa menunggu Papa dan Mama, aku langsung berlari masuk ke rumah begitu mobil berhenti. Aku mengabaikan panggilan mereka. Mataku terasa panas. Dadaku sesak seakan ada yang menimpakan beban berat di atasnya. Jantungku berdentam-dentam menggedor rongga dadaku seolah akan meledak. Darah menderu di telingaku. Marah, sedih, kecewa, sakit, entah perasaan mana yang lebih kuat untuk saat ini. Mereka berbohong! Mereka sudah memperdayaku! Mereka mengkhianatiku! Aku masuk ke kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Setelah itu, tangisku pecah. Aku menjerit, berteriak, dan meraung. Mengapa mereka tega melakukan ini padaku? Aku dan Xabi bersitatap cukup lama. Sudah empat tahun kami tidak bertemu semenjak kejadian itu

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 6 Pelarian

    Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi. Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-18
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 7 Perasaan yang Sama

    “Ra, kamu sakit?” tanya Orion. Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum. “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?” “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa j

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-18
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 8 Rencana Selanjutnya

    Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 9 Jangan Membuatku Menangis

    Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 10 Ketakutan Terbesar

    Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 11 Yang Sebenarnya

    Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • My Imaginary Husband   CHAPTER 12 Ego

    Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22

Bab terbaru

  • My Imaginary Husband   Chapter 32 Bayang-bayang

    Ketika Xabian mendorongku ke dinding dengan kasar, kemudian mencengkeram pergelangan tanganku dengan begitu kencang dan mulai menciumku, seketika bayangan tentang tangan-tangan yang memegangiku serta membekapku supaya tidak berteriak langsung muncul begitu saja ke permukaan benakku.Aku tak bisa berhenti gemetar, bahkan ketika Gamma, serta Mama dan Papa sudah datang sekalipun. Air mataku seolah tak ada habisnya. Mereka memanggil seorang dokter, kemudian dokter itu menyuntikkan entah apa ke dalam tubuhku sehingga aku tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.Setelah enam tahun berlalu, kupikir aku sudah benar-benar melupakan kejadian itu, tetapi ternyata belum. Kini, bayangan-bayangan itu bahkan terus mengejarku ketika aku tidur. Sering kali aku terbangun ketika tengah malam, dengan tangan mencekik leherku sendiri, napas tersengal-sengal, serta bersimbah peluh. B

  • My Imaginary Husband   Chapter 31 Semakin Rumit

    Empat hari sudah berlalu semenjak pagi yang penuh bencana itu. Jika ada seseorang yang memiliki kemampuan membuat sesuatu yang sepele menjadi begitu rumit, dan berakhir dengan pertengkaran tak berujung, maka Xabian sangat yakin Naraya-lah orangnya.Saat itu, Xabian baru saja selesai membuat sarapan untuk Naraya dan berniat untuk pergi karena hari itu dia ada jadwal pekerjaan. Kemudian, tiba-tiba Naraya datang ke dapur. Xabian bisa melihat senyum gadis itu yang seketika sirna saat melihatnya. Gadis itu menanyakan perihal keberadaannya di apartemen itu dengan suara melengking yang menyebabkan telinganya berdenging.“Gamma yang minta gue nginep di sini.” Mata Naraya melebar tak percaya mendengar jawabannya. Xabian mendengus, seraya menambahkan, “Kalau bukan karena gue yang ngerasa nggak enak buat nolak permintaan abang lo, gue juga lebih milih ti

  • My Imaginary Husband   Chapter 30 Fatamorgana

    Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke kamar melalui celah tirai serasa menusuk-nusuk mataku. Aku mengernyit, merasakan denyutan samar di kepalaku. Tubuhku terasa lemah. Aku membuka mata, kemudian menatap ke sekeliling.Aku tidak mengenali ruangan yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu tempatku berada sekarang. Kamarku tidak semuram ini, dan tentu saja, kamarkku dipenuhi buku dan pernak-pernik mengenai The Stargazer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menyadari betapa polosnya tempat ini. Hanya ada sebuah lemari besar berwarna hitam mengkilap, cermin setinggi badan di sisi lain ruangan, sebuah meja yang sepertinya difungsikan sebagai meja belajar sekaligus meja rias (genit sekali dia!), serta sebuah rak buku kecil. Di sebelah tempat tidur, terdapat sebuah nakas. Sepertinya pemilik tempat ini begitu suka memandangi dirinya sendiri, dan seketika teringat kalau semalam Xabia

  • My Imaginary Husband   Chapter 29 Tempat Antah-berantah

    “Lo di mana?” tanya Xabian. Rasa ngantuk dan peningnya lenyap begitu saja begitu mendengar suara Naraya. Dia sudah bangkit untuk menyambar jaket, kunci mobil, serta dompetnya ketika pesan dari Naraya berisi lokasi tempat gadis itu berada sekarang masuk. Xabian bahkan tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta wajah sembapnya. Pemuda itu melesat bak anak panah.Dia teringat ketika terakhir kali Naraya berbicara dengan suara seperti itu. Bukan sesuatu yang baik. Bayangan Naraya yang gemetaran dan bersimbah air mata memasuki benaknya tanpa bisa ia cegah. Xabian menggeleng-geleng, seolah berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang menyerbunya. Tidak, tidak, tidak! Naraya baik-baik saja.Lalu lintas yang macet menghambat perjalanannya. Pemuda itu mengumpat dan menyumpah, memuntahkan kata-kata kasar

  • My Imaginary Husband   Chapter 28 Sebatas Idola dan Penggemar

    Aku dan Orion hanya saling menatap untuk beberapa saat yang terasa seperti seabad lamanya. Aku terlalu terguncang untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan tidak bisa memercayai diriku sendiri untuk berbicara, takut kalau-kalau mengatakan sesuatu yang bodoh. Jantungku berdentam-dentam menghantam tulang rusuk sampai rasanya sakit, seolah dia ingin meloncat keluar dari tubuhku.“Hey! Bernapaslah!” kata Orion diwarnai kegelian. Suaranya masih selembut saat terakhir kali aku mendengarnya, yang bisa dibilang hampir setiap hari. Dia mengirim banyak pesan suara yang tak kubalas, tetapi sering kudengarkan.Aku bahkan baru menyadari kalau sedari tadi sudah menahan napas. Aku menarik napas dalam-dalam dan bisa melihat Orion sedang menahan senyum. Kenakalan menari-nari di matanya. Dia masih setampan dan semenawan terakhir kali kami bertemu, lebih malah. Lekuk kecil

  • My Imaginary Husband   Chapter 27 Skandal

    Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La

  • My Imaginary Husband   Chapter 26 Tak Ada Lagi Kita

    “Halo. Selamat siang, Kak Naraya. Perkenalkan, saya Lintang Ayu dari OneMedia.com. Bisa kita bicara sebentar mengenai—““Salah sambung.”Aku mematikan sambungan telepon, kemudian melempar ponselku ke tempat tidur seraya menyumpah-nyumpah. Itu merupakan panggilan ke tujuh yang masuk ke nomorku dalam dua jam terakhir, entah dari mana mereka bisa mendapatkan nomor ponselku. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu memekik kesal.Tadi pagi, aku bangun dengan kepala berdentam-dentam, seolah ada seseorang yang memukuli tengkorakku dari dalam. Kemudian diikuti muntah-muntah hebat selama hampir setengah jam. Perutku seperti bersikeras mengaduk-aduk dirinya sendiri meski sudah tidak ada apa-apa lagi untuk dimuntahkan. Dan ketika membuka aplikasi chat, kotak masuknya dipenuhi pesan dari tema

  • My Imaginary Husband   Chapter 25 Kegemparan

    Xabian mengerang ketika ponselnya terus menerus berdering. Kepalanya berdenyut-denyut akibat semalam terlalu banyak minum. Dia meraih benda berbentuk persegi panjang pipih itu hanya untuk mematikan panggilan, kemudian melanjutkan tidurnya. Pemuda itu bahkan masih mengenakan pakaian yang ia kenakan pada pesta semalam. Dasi serta sepatunya bertebaran di lantai.Dia baru saja hampir terlelap lagi ketika ponselnya berdering untuk yang kesekian kalinya pagi itu. Xabian menyumpah, kemudian duduk dan mengambil ponsel itu. Butuh beberapa saat bagi Xabian untuk membaca identitas si penelpon yang ternyata Jodi—manajernya. Xabian melirik jam yang terdapat di ponselnya. Dia menekan ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan.“Astaga. Sekarang baru jam sepuluh. Seingatku, aku bahkan tidak ada jadwal apa-apa hari ini,” keluh pemuda itu ketika pang

  • My Imaginary Husband   Chapter 24 Di sini Bersamamu

    “Gue minta maaf,” gumam Xabian. Aku berpaling padanya dan menemukannya sedang termenung memandang langit malam.Kami kini berdiri di sebuah patio, menjauh sejenak dari keriuhan pesta di dalam dan menikmati udara malam ibukota serta ketenangan. Sudah hampir setengah jam kami berada di sini, diselubungi keheningan dan gelapan, dan itu merupakan kalimat pertama yang dikatakan Xabian. Sebisa mungkin kujauhkan tanganku dari bibir dan berusaha keras untuk tidak menyentuhnya.Aku masih bisa merasakan manis dan lembutnya bibir Xabian. Rasa ketika dia mendesakkan tubuhnya padaku. Aku yakin aroma parfumnya menempel pada tubuhnya, begitu juga aroma parfumku. Napasku terengah-engah dan wajahku merah padam ketika kami akhirnya berhasil melepaskan diri. Saat aku kembali, ternyata Xabian masih menungguku di lorong. Dia mengajakku ke sini, dan setelah yang terjadi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status