Butuh waktu beberapa saat sampai aku mampu untuk menghentikan tangisku dan tubuhku berhenti gemetaran. Ketika berusaha bangkit, kakiku agak goyah. Kutatap pintu kamarku yang tertutup. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tidak bisa menerima perjodohan konyol ini. Aku akan pergi.
Kumasukkan beberapa potong pakaian ke koper. Juga dompet berisi kartu ATM, kartu kredit, kartu identitas, paspor, serta beberapa lembar uang tunai. Kumasukkan dompet itu ke tas selempang kecil yang kemudian kusampirkan di pundakku. Kulepaskan cincin pertunanganku dengan Xabi, serta perhiasan yang tadi kupakai. Aku juga mengganti sepatuku karena sangat tidak praktis jika harus melarikan diri memakai sepatu setinggi sepuluh sentimeter. Aku melongok ke luar kamar—mengamati keadaan. Gelap. Setelah sudah memastikan kalau situasi benar-benar aman, kuraih koper, lalu mengendap-endap keluar.
Aku melangkah dengan amat perlahan—berusaha untuk menimbulkan suara sesedikit mungkin dan berhasil sampai di lantai bawah tanpa gangguan. Pintu depan sudah terlihat di depanku. Hanya beberapa langkah lagi menuju kebebasanku. Aku melangkah ke pintu dengan terlalu bersemangat. Tanganku terulur ke gagang pintu, kemudian kutarik dengan perlahan.
Pintu terbuka tanpa menimbulkan suara. Kemudian, kuayunkan kakiku keluar.
“Nara, kamu mau ke mana malam-malam begini?”
Langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah sumber suara. Mama berdiri dengan sebuah botol berisi air putih di tangan kanan dan sebuah gelas kosong di tangan kirinya. Ia memandangku. Dia mengenakan jubah tidur sutra berwarna hitam. Matanya beralih ke koper yang kubawa, kemudian kembali menatapku.
“Sayang?” panggilnya. Suaranya agak bergetar. Dia maju selangkah—aku mundur dua langkah.
Aku menggeleng. “Jangan halangi aku, Ma,” kataku. Tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Tanganku menggenggam erat gagang troli koperku.
Mama melangkah maju lagi. “Sayang, Mama mohon jangan lakukan ini,” pintanya. Kulihat kepanikan di matanya.
Aku mundur ke arah pintu. “Maaf,” bisikku. Lalu segera berlari keluar dari rumah sambil menjinjing koperku yang berukuran tak terlalu besar.
Kudengar Mama berteriak memanggil Papa. Aku sempat menoleh sekilas ke belakang dan tampak Papa baru saja keluar, tetapi jarak kami sudah cukup jauh. Aku sudah hampir mencapai pintu gerbang dan langsung mengumpat ketika salah seorang penjaga sudah sangat dekat denganku. Kupercepat lariku, tetapi penjaga itu berhasil menangkapku.
“Lepasin gue!” teriakku sambil terus menggeliat dan meronta untuk melepaskan diri, tetapi penjaga itu memegangi sikuku dengan sangat erat. Mataku terbelalak ketika Papa dan beberapa penjaga lain sudah semakin dekat.
Nggak! Bukan kayak gini akhirnya!
Aku menatap penjaga yang menangkapku. Mata kami bersirobok. Aku menyeringai sambil mengatakan Sori tanpa suara, lalu menghantamkan lututku ke selangkangannya dengan sekuat tenaga. Begitu cengkeramannya terlepas, aku langsung berlari meninggalkannya. Aku tak sempat memerhatikan bagaimana rupa penjaga itu, tetapi aku berdo’a dengan sepenuh hati supaya dia pulih dan masih bisa memiliki keturunan. Sungguh.
Aku berlari cukup jauh untuk keluar dari kompleks perumahan tempat tinggalku. Sebenarnya, bisa saja aku kabur menggunakan mobil, tetapi itu hanya akan menyusahkanku dan membuatku mudah ditemukan. Beberapa kali aku harus bersembunyi ketika melihat mobil yang kucurigai merupakan milik Papa. Langkahku melambat. Kakiku sudah sangat pegal. Paru-paru seperti terbakar. Aku juga haus. Tubuhku bersimbah keringat. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk berjalan, tetapi aku tidak bisa berhenti. Papa mungkin akan menemukanku jika aku berhenti.
Aku mendesah lega ketika sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Pintu depannya terbuka. Aku lebih dulu mengulurkan koperku, kemudian baru masuk setelahnya. Pengemudinya mengenakan jaket hoodie berwarna putih serta topi berwarna senada. Dia mengambil sebotol air mineral dan mengulurkannya padaku. Aku meraih botol itu dengan agak ragu sembari menatap curiga pemuda itu. Namun, sepertinya dia tidak menyadari kecurigaanku. Ketika mencoba membukanya, ternyata tutupnya masih tersegel. Setelah itu, aku meminumnya tanpa ragu dan menghabiskan lebih dari separuh isinya.
“Trims,” kataku terengah-engah sembari menyeka sisa air yang menetes di daguku.
“Aku butuh penjelasan. Aku nggak mau dituduh nyulik anak orang,” gerutu Orion.
Sebelum kabur, kuberanikan diri untuk menghubungi pemuda itu untuk meminta bantuan. Aku bisa saja meminta bantuan kepada temanku, tetapi Papa pasti akan dengan cepat menduganya. Jadi, kusingkirkan perasaan maluku dan menelpon Orion. Namun, dia tak kunjung menjawab panggilanku. Aku baru akan memutuskan sambungan ketika akhirnya dia mengangkatnya. Aku sempat khawatir dia akan menolak untuk membantuku, mengingat aku menelponnya ketika waktu sudah lewat tengah malam. Tapi ternyata dia langsung mengiakan permintaanku.
Kusandarkan punggungku. Mataku terpejam. Jantungku masih berdebar sangat kencang. “Nanti,” engahku. “Carikan aku hotel dulu untuk menginap.”
“Astaga! Aku ini penyanyi, bukannya sopir,” keluhnya.
Aku memaksakan bibirku untuk tersenyum. Tanpa kusadari, setetes air mata jatuh di pipiku yang segera kuusap sebelum Orion sempat melihatnya. Kalaupun dia melihatnya, Orion tidak menunjukkannya. Dia bersenandung dengan mata terfokus pada lalu lintas di hadapannya. Aku bersyukur karenanya. Dalam hati, kuyakinkan pada diriku bahwa segalanya akan baik-baik saja. Aku benar-benar pergi. Aku sudah bebas.
*
“Beristirahatlah. Besok setelah pekerjaanku selesai, aku akan datang ke sini. Aku menuntut penjelasan tentang semua ini,” ujar Orion diikuti seringai jail di wajahnya.
Aku mengangguk. Aku bahkan sudah tidak sanggup untuk sekadar membalas senyumannya. “Terima kasih,” kataku bersungguh-sungguh.
Orion tersenyum. “Bukan masalah. Aku pergi dulu,” ujarnya.
Setelah Orion pergi, kututup pintu kamarku dan menguncinya. Tiba-tiba, aku merasa sangat lelah. Tenagaku seperti terkuras habis. Kuseret langkahku, kemudian mengempaskan tubuhku ke tempat tidur. Tak ada lagi keinginan untuk membersihkan tubuhku yang lengket karena keringat. Mataku menatap nyalang langit-langit kamar tempatku menginap. Meskipun kamar ini cukup luas, tetapi aku merasa sesak. Dinding serta langit-langit kamar seperti bergerak menghimpitku. Aku meringkuk di ranjangku, lalu mulai menangis tersedu-sedu. Entah apa yang kutangisi. Aku takut. Aku kesepian. Dan aku merindukan kedua orang tuaku. Aku menangis sampai akhirnya kegelapan datang merengkuhku.
“Ra, kamu sakit?” tanya Orion. Aku menggeleng. “Nggak, kok,” kataku sembari memaksakan senyum. “Tapi kamu pucat banget, lho,” satu tangannya terulur menyentuh keningku, sedangkan tangan lainnya memegang kemudi. Bibirnya mengerut. “Kamu demam, Ra. Kita ke dokter, ya?” “Nggak perlu. Sebelum pergi aku sudah minum obat,” kataku. Aku tidak berbohong. Aku bangun tidur dengan kepala berdentam-dentam. Pipiku agak bengkak, dan mataku tak kalah bengkaknya. Aku meminta kepada layanan kamar untuk mencarikanku obat pereda nyeri. Pihak hotel menawarkan untuk memanggilkanku ke dokter, tetapi kutolak. Setelah minum obat, kemudian tidur lagi selama beberapa j
Pemuda itu selalu bertanya-tanya, kalau karma memang ada, mungkinkah situasi yang dialaminya saat ini merupakkan salah satu karmanya? Dengan segala yang sudah ia perbuat, bukan tidak mungkin jika Tuhan sedang memintanya untuk mulai membayar dosa-dosanya. Namun, dia bahkan sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang ada, ke mana Dia ketika ia membutuhkannya? Ke mana Dia ketika hidupnya perlahan-lahan hancur? Ke mana Dia ketika ia berdoa dan menangis memohon pertolongan-Nya? Pemuda itu membenci-Nya. Dulu, pemuda itu merupakan seorang hamba yang begitu taat. Namun, apa gunanya jika Tuhan yang ia sembah justru berpaling darinya pada saat-saat terendah dalam hidupnya? Tuhan sama sekali tidak peduli kepadanya.
Perempuan pegawai toko yang kumasuki membantuku untuk melarikan diri dari pemuda itu. Dia menyarankan supaya aku berganti pakaian, sehingga aku meminta tolong kepadanya untuk membelikan pakaian untukku. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali membawa satu set crop hoodie dan celana pendek berwarna ungu, serta sebuah topi. Rambutku yang tadinya dicepol di atas kepala sekarang dibiarkan tergerai begitu saja untuk menutupi sisi wajahku. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada para pegawai toko itu karena sudah mau repot membantuku dan mereka berkata bahwa akan membantu siapa pun yang berada dalam situasi berbahaya sepertiku. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sedang dalam bahaya—tidak sepenuhnya benar. Aku bukan kabur dari penjahat, melainka
Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.) Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me
Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini
“Bukannya tadi lo bilang kalau lo sibuk?” tanyaku tanpa menatap pada Xabi. “Tadi,” ujarnya seolah satu kata itu bisa menjelaskan segalanya. Aku menggerutu atas jawabannya yang tidak menjelaskan apa pun, kemudian mulai melamun lagi. Sekitar satu jam lalu, dia datang ke rumah sakit dengan alasan ingin menjenguk Papa. Kemudian, dengan ekspresi tak acuh mengajakku pulang bersama. “Sekalian kita mampir ke hotel,” ujarnya, kemudian menambahkan dengan berbisik, “gue tahu lo sudah nggak sabar.” Ingin sekali aku menempeleng pemuda tidak tahu malu ini untuk menghapus
Aku tersaruk-saruk ketika berusaha menyejajari langkah Xabi sembari menyeret koperku yang sepertinya bertambah berat kalau dibandingkan dengan saat aku datang ke hotel ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus repot-repot mengejar Xabi dan berlarian di lobi hotel seakan-akan aku cinta setengah mati kepada pemuda itu. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, apa yang kukatakan memang benar adanya. Jadi, aku sama sekali tidak tahu alasan mengapa bayi besar ini merajuk padaku. Setelah membuatku merasa bersalah dikarenakan caranya menatapku di kamar tadi, sekarang dia mendramatisir aksinya dengan mogok bicara padaku. Apalagi raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang. Orang lain yang melihat kami mungkin akan mengira kami sepasang kekasih. Oke. Aku dan Xabi memang bertunangan, tapi bukan berarti kami bisa digo
Ketika Xabian mendorongku ke dinding dengan kasar, kemudian mencengkeram pergelangan tanganku dengan begitu kencang dan mulai menciumku, seketika bayangan tentang tangan-tangan yang memegangiku serta membekapku supaya tidak berteriak langsung muncul begitu saja ke permukaan benakku.Aku tak bisa berhenti gemetar, bahkan ketika Gamma, serta Mama dan Papa sudah datang sekalipun. Air mataku seolah tak ada habisnya. Mereka memanggil seorang dokter, kemudian dokter itu menyuntikkan entah apa ke dalam tubuhku sehingga aku tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.Setelah enam tahun berlalu, kupikir aku sudah benar-benar melupakan kejadian itu, tetapi ternyata belum. Kini, bayangan-bayangan itu bahkan terus mengejarku ketika aku tidur. Sering kali aku terbangun ketika tengah malam, dengan tangan mencekik leherku sendiri, napas tersengal-sengal, serta bersimbah peluh. B
Empat hari sudah berlalu semenjak pagi yang penuh bencana itu. Jika ada seseorang yang memiliki kemampuan membuat sesuatu yang sepele menjadi begitu rumit, dan berakhir dengan pertengkaran tak berujung, maka Xabian sangat yakin Naraya-lah orangnya.Saat itu, Xabian baru saja selesai membuat sarapan untuk Naraya dan berniat untuk pergi karena hari itu dia ada jadwal pekerjaan. Kemudian, tiba-tiba Naraya datang ke dapur. Xabian bisa melihat senyum gadis itu yang seketika sirna saat melihatnya. Gadis itu menanyakan perihal keberadaannya di apartemen itu dengan suara melengking yang menyebabkan telinganya berdenging.“Gamma yang minta gue nginep di sini.” Mata Naraya melebar tak percaya mendengar jawabannya. Xabian mendengus, seraya menambahkan, “Kalau bukan karena gue yang ngerasa nggak enak buat nolak permintaan abang lo, gue juga lebih milih ti
Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke kamar melalui celah tirai serasa menusuk-nusuk mataku. Aku mengernyit, merasakan denyutan samar di kepalaku. Tubuhku terasa lemah. Aku membuka mata, kemudian menatap ke sekeliling.Aku tidak mengenali ruangan yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu tempatku berada sekarang. Kamarku tidak semuram ini, dan tentu saja, kamarkku dipenuhi buku dan pernak-pernik mengenai The Stargazer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menyadari betapa polosnya tempat ini. Hanya ada sebuah lemari besar berwarna hitam mengkilap, cermin setinggi badan di sisi lain ruangan, sebuah meja yang sepertinya difungsikan sebagai meja belajar sekaligus meja rias (genit sekali dia!), serta sebuah rak buku kecil. Di sebelah tempat tidur, terdapat sebuah nakas. Sepertinya pemilik tempat ini begitu suka memandangi dirinya sendiri, dan seketika teringat kalau semalam Xabia
“Lo di mana?” tanya Xabian. Rasa ngantuk dan peningnya lenyap begitu saja begitu mendengar suara Naraya. Dia sudah bangkit untuk menyambar jaket, kunci mobil, serta dompetnya ketika pesan dari Naraya berisi lokasi tempat gadis itu berada sekarang masuk. Xabian bahkan tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta wajah sembapnya. Pemuda itu melesat bak anak panah.Dia teringat ketika terakhir kali Naraya berbicara dengan suara seperti itu. Bukan sesuatu yang baik. Bayangan Naraya yang gemetaran dan bersimbah air mata memasuki benaknya tanpa bisa ia cegah. Xabian menggeleng-geleng, seolah berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang menyerbunya. Tidak, tidak, tidak! Naraya baik-baik saja.Lalu lintas yang macet menghambat perjalanannya. Pemuda itu mengumpat dan menyumpah, memuntahkan kata-kata kasar
Aku dan Orion hanya saling menatap untuk beberapa saat yang terasa seperti seabad lamanya. Aku terlalu terguncang untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan tidak bisa memercayai diriku sendiri untuk berbicara, takut kalau-kalau mengatakan sesuatu yang bodoh. Jantungku berdentam-dentam menghantam tulang rusuk sampai rasanya sakit, seolah dia ingin meloncat keluar dari tubuhku.“Hey! Bernapaslah!” kata Orion diwarnai kegelian. Suaranya masih selembut saat terakhir kali aku mendengarnya, yang bisa dibilang hampir setiap hari. Dia mengirim banyak pesan suara yang tak kubalas, tetapi sering kudengarkan.Aku bahkan baru menyadari kalau sedari tadi sudah menahan napas. Aku menarik napas dalam-dalam dan bisa melihat Orion sedang menahan senyum. Kenakalan menari-nari di matanya. Dia masih setampan dan semenawan terakhir kali kami bertemu, lebih malah. Lekuk kecil
Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La
“Halo. Selamat siang, Kak Naraya. Perkenalkan, saya Lintang Ayu dari OneMedia.com. Bisa kita bicara sebentar mengenai—““Salah sambung.”Aku mematikan sambungan telepon, kemudian melempar ponselku ke tempat tidur seraya menyumpah-nyumpah. Itu merupakan panggilan ke tujuh yang masuk ke nomorku dalam dua jam terakhir, entah dari mana mereka bisa mendapatkan nomor ponselku. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu memekik kesal.Tadi pagi, aku bangun dengan kepala berdentam-dentam, seolah ada seseorang yang memukuli tengkorakku dari dalam. Kemudian diikuti muntah-muntah hebat selama hampir setengah jam. Perutku seperti bersikeras mengaduk-aduk dirinya sendiri meski sudah tidak ada apa-apa lagi untuk dimuntahkan. Dan ketika membuka aplikasi chat, kotak masuknya dipenuhi pesan dari tema
Xabian mengerang ketika ponselnya terus menerus berdering. Kepalanya berdenyut-denyut akibat semalam terlalu banyak minum. Dia meraih benda berbentuk persegi panjang pipih itu hanya untuk mematikan panggilan, kemudian melanjutkan tidurnya. Pemuda itu bahkan masih mengenakan pakaian yang ia kenakan pada pesta semalam. Dasi serta sepatunya bertebaran di lantai.Dia baru saja hampir terlelap lagi ketika ponselnya berdering untuk yang kesekian kalinya pagi itu. Xabian menyumpah, kemudian duduk dan mengambil ponsel itu. Butuh beberapa saat bagi Xabian untuk membaca identitas si penelpon yang ternyata Jodi—manajernya. Xabian melirik jam yang terdapat di ponselnya. Dia menekan ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan.“Astaga. Sekarang baru jam sepuluh. Seingatku, aku bahkan tidak ada jadwal apa-apa hari ini,” keluh pemuda itu ketika pang
“Gue minta maaf,” gumam Xabian. Aku berpaling padanya dan menemukannya sedang termenung memandang langit malam.Kami kini berdiri di sebuah patio, menjauh sejenak dari keriuhan pesta di dalam dan menikmati udara malam ibukota serta ketenangan. Sudah hampir setengah jam kami berada di sini, diselubungi keheningan dan gelapan, dan itu merupakan kalimat pertama yang dikatakan Xabian. Sebisa mungkin kujauhkan tanganku dari bibir dan berusaha keras untuk tidak menyentuhnya.Aku masih bisa merasakan manis dan lembutnya bibir Xabian. Rasa ketika dia mendesakkan tubuhnya padaku. Aku yakin aroma parfumnya menempel pada tubuhnya, begitu juga aroma parfumku. Napasku terengah-engah dan wajahku merah padam ketika kami akhirnya berhasil melepaskan diri. Saat aku kembali, ternyata Xabian masih menungguku di lorong. Dia mengajakku ke sini, dan setelah yang terjadi