Akhirnya daun pintu terbuka dengan suara keras. Beberapa pria dengan wajah tertutup masker masuk dengan posisi waspada. Salah seorang maju dan berkata, "Nyonya."
Dia membungkuk hormat. "Maafkan kami datang terlambat. Sekarang Anda sudah aman. Silakan, kami akan mengawal Anda bertemu tuan muda!" ujarnya.
"Tuan muda!"
"Iya, Nyonya. Tuan Muda Aldric."
"Hubby."
Dia mengangguk. Fafa membuang napas lega dan tersenyum. Fafa segera keluar kamar. Di ruang tengah dia melihat banyak darah tercecer, Fafa seketika berhenti.
"A-apa mereka semua mati! Apa Ahmed mati! Pria yang menjemputku juga mati?" tanya beruntun Fafa dengan tubuh bergetar dan menahan tangis.
"Silakan masuk ke dalam mobil. Kami akan mengantar Anda istirahat di hotel." Hamid berusaha mengabaikan pertanyaan Fafa. Dia sadar saat ini, Nyonya Aldric sedang shock. Hamid melihat reaksi Fafa
"Dav," panggil Ian. Mike dan David langsung memandang ke arah Ian. "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mike!" lanjut Ian. David perlahan keluar dari ruang perawatan. Di depan kamar sudah ada Hamid, kedua langsung meninggalkan tempat itu. Hamid mengantar David untuk beristirahat di kamar tamu. Sedangankan Mike dan Ian masih ada di dalam kamar perawatan. Hening, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan untuk beberapa saat. Mike sudah tidak tahan, dia tahu Ian enggan untuk bicara dengannya. "Dik!" panggil Mike. Ian menoleh, lama mereka saling memandang. "Thanks." Satu kata yang membuat Mike terkejut, bahkan tidak bisa menutupi keterkejutannya. Bagaimana bisa, seorang Aldric Andrian bicara tentang terima kasih. Kata terima kasih dan maaf adalah kata tabu bagi seorang Aldric Andrian! Gadis itu. Mike semakin pensaran dengan istri Andrian. "Iya. Thanks dukungannya,"
"Merindukanku?" "Sangat, By." Fafa merona mendengar pertanyaan Ian. "Mandikan aku!" "Ha ...." "Ck, aku dua hari belum mandi. Cepat!" perintah Ian dengan nada kesal. "Apa sudah boleh mandi? Gimana kalo Fa usap aja pake handuk?" tawar Fafa. Dia ngeri jika berhubungan dengan luka operasi. Apalagi Fafa belum berbicara dengan Dokter Thomas. "Hhmm, baiklah," putus Ian. Dengan sigap Fafa segera membantu Ian naik ke atas ranjang, melucuti pakaian Ian, kemudian mengusap seluruh tubuh Ian dengan handuk basah. Fafa tersenyum, aktifitas yang hampir satu minggu dia rindukan. "Apa begitu menyenangkan melihat tubuh polos suamimu, hhmm?" tanya Ian dengan pura-pura heran. "Eg-enggak, By. Fa hanya merindukan melakukan ini," elak Fafa. Setelah mengeringkan badan Ian dengan handuk kering, Fafa segera mengganti popok, mengenakan t-shirt lengan pendek dan celana pendek longgar. Dia membantu Ian duduk bersand
"Kita harus bersiap untuk program itu. Masih ingat?" tanya Ian sembari mengelus bekas cengkramannya di dagu Fafa. "Iya," jawab Fafa dengan wajah merona malu. "Good girl," ucap Ian puas sembari mengecup lagi puncak kepala Fafa. "Jangan pernah berpikir menjauh dariku, apalagi meninggalkanku!" lanjut Ian. Fafa seketika membeku, untuk sesaat badannya menegang dan itu dirasakan oleh Ian. 'Apakah dugaanku benar?' tanya Ian dalam hati. "Sana, bikinkan kopi." Fafa langsung melepaskan diri dari pelukan Ian dan beranjak ke arah pantry. Ian langsung meraih tab yang ada di atas nakas. Dia kembali berkutat dengan chat dan e-mail. Ian membaca chat dari Mike yang mengajaknya bertemu di restoran bawah saat sarapan. Apakah ini saat yang tepat bagi mereka bertiga bertemu dan membicarakan semua. Ian ingin melibatkan Fafa dalam pembicaraan ini, dia tidak ingin istrinya menjadi obyek kesepakatan di masa lalu. Ada rasa ragu bergelayut dihati Ian, bagaimana jika setelah men
'Bagaimana bisa pria paruh baya ini mempermainkan pernikahan,' batin Fafa. Victor tersenyum melihat raut wajah Fafa yang penuh dengan ketidakpercayaan atas apa yang dia dengar. 'Ini belum berakhir, lihatlah Andrinof. Menantumu menyedihkan,' ejek Victor dalam hati.Victor terus memperhatikan perubahan wajah Fafa, begitu pula Andrian dan Mike. Seolah-olah Fafa adalah terdakwa yang duduk di kursi pesakitan. Fafa berusaha keras menetralkan ekspresi wajahnya, walaupun tindakan itu terlambat."Bisa paman lanjut?" tanya Victor, setelah melihat ekspresi Fafa sudah mulai normal. Fafa mengangguk."Istri dari anak Andrinof memiliki dua pilihan. Pertama, dia harus berpisah dan tidak menjadi bagian dari keluarga Milosevic. Kedua, dia tetap bisa menjadi menantu keluarga Milosevic dengan menikahi anakku," tandas Victor. Fafa kembali terkejut. 'Bagaimana bisa menikahi dua saudara setelah menceraikan salah satunya?' batin Fafa."Bagaimana menurutmu?" tanya Victor de
"Oh ya, Paman ingatkan. Keluarga Milosevic adalah mafia. Jadi pertimbangkan betul pilihanmu!" ujar Victor memperingatkan Fafa. Fafa merasakan genggaman Ian semakin erat pada telapak tangannya. Dia bisa merasakan betapa keputusannya akan berdampak besar pada Ian. Jika merujuk pada yang dikatakan Victor, tentu saja potensinya bersama Ian hanya bertahan dua tahun. Padahal Fafa sudah mulai nyaman dengan semua perlakuan Ian. Sikap semena-mena, perintah sana-sini, merajuk, dan keusilannya. Fafa menatap lekat Ian, manik hitam penuh pengharapan. Apabila dia memilih bercerai sekarang, otomatis dia akan menikah dengan Mike. Fafa mengalihkan pandangannya. Dia menatap Mike sejenak, lalu memalingkan wajah dan menatap Victor yang memejamkan mata. 'Ya Allah, ujian macam apa ini! Bagaimana bisa, Fa menikahi kedua pria dewasa ini bergiliran,' keluh Fafa dalan hati. Kegelisahan semakin tampak di wajah Ian. Bagaimanapun keputusan Fafa sekarang adalah puncak ketidakberdayaannya sebagai
"Yang masih menjadi mafia, Paman Victor dan Kak Mike, memangnya By juga mafia?" Skak MatAndrian terdiam untuk sesaat. 'Benar, aku juga mafia,' jawab Ian dalam hati. "Emm, tidak semua mafia selalu melenyapkan dan dilenyapkan, apalagi melenyapkan nyawa sembarangan. Pantang bagi keturunan Milosevic bersikap seperti itu. Kami hanya melenyapkan, jika memang dia pantas lenyap, terutama seorang pengkhianat! Kami tidak turun tangan langsung, Sayang. Ada bagian sendiri yang mengurusnya," jelas Ian. "Ha ..., Apa jika Fa berkhianat, By juga akan melenyapkan?" "Kenapa berfikir begitu, hhmm?" tanya Ian sembari mengeratkan pelukannya. Fafa menggeleng. "Ternyata menjadi ketua mafia sekeren itu! Pantas saja Paman Victor dan Kak Mike ...." Ian mendengar hal itu menjadi gusar, dia langsung melepaskan pelukannya dan menyentak tubuh Fafa. Ian menatap tajam Fafa. 'Ada apa dengan istriku, dia terus menyebut nama mereka! Apa dia mulai s
"Persembahan?" ulang Rahman dengan mengernyitkan dahi. Rahman merasa, dia harus hati-hati terhadap David. Bagaimana bisa, dia menceritakan rahasia sahabatnya. Apalagi ini soal proyek. Sepertinya, David bicara pada orang yang salah. Rahman adalah bodyguard Ian. Keluarga besar Rahman telah mendedikasikan seluruh keturunan mereka untuk melindungi keluarga Andrinof. Apa ini! Sahabatnya sendiri mencoba membuka aib boss? Rahman memutuskan akan lebih intens mengawasi David. Rahman tidak ingin kecolongan lagi. Dia cukup tenang karena penculikan istri Andrian beebrapa hari lalu, dilakukan oleh kerabatnya sendiri. Jadi, sesuatu yang buruk sangat minim terjadi, karena sudah ada Save Eagle yang mengawasi mereka. Akan tetapi, bagaimana jika dilakukan oleh orang di luar lingkaran Milosevic? Rahman sungguh tidak bisa membayangkan. Apalagi Andrian adalah orang yang begitu dicari celahnya untuk dihancurkan. Dia sendiri kurang paham dengan jalan pikiran orang-orang. Bagaimana b
Dengan sigap Anto membantu Ian turun di lobby rumah sakit. Ian dan Fafa langsung menuju ke ruang meeting yang ada di gedung utama Rumah Sakit Medika, yang tidak terlalu jauh dari lobby. Di depan pintu ruang meeting, team dokter Ian menyambutnya."Kak!" sapa Julian."Hhmm."Ian langsung masuk ke ruang meeting. Dokter Thomas memaparkan tentang semua prosedur yang harus dilalui oleh mereka berdua dan jadwal sudah ditentukan. Pertama kali adalah General Check Up yang akan dilakukan besok pagi. Setelah hampir dua jam meeting selesai, Ian membiarkan Julian dan Fafa ngobrol, sementara dirinya masih membicarakan tentang permasalahan rumah sakit bersama dokter yang lain. Ian melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganya. 'Jam 8:45,' batin Ian."Baiklah, Sudah cukup Jul ngobrol sama kakakmu! Ayo Sayang," ajak Ian. Fafa langsung bangkit kemudian menganggukan kepala dan tersenyum kecil, dia berjalan c