"Ada apa Ian?" tanya David heran kala mendengar Ian mengumpat.
"Ini." Andrian tidak meneruskan kata-katanya.
"JE BAK AN," ujar David dengan mengeja. Ian langsung menghubungi Hamid-agen The Hunter, melalui Private Line.
"Yes, Sir." Terdengar suara berat di ujung sana.
"Lakukan sekarang!"
"Yes, Sir."
Ian segera mematikan sambungan telpon. Dia mengerutkan dahi. 'Ada apa ini?' batinnya. Ian mencoba merangkai potongan puzzle dan mulai menganalisa. Kejadian bermula kala dia selesai menjalani pembedahan tulang ekor. Kedua, Victor muncul dan disusul Mike. Ketiga, Sander ikut dalam permainan ini, walaupun belum terkonfirmasi kebenarannya. 'Apa kepentingan Sander dalam hal ini?' batin Ian.
Sekian lama keadaan hening. David masih terus mengamati layar tab untuk memantau pergerakan Fafa. Sedangkan Ian masih setia dalam diam. Setitik
Brak! Fafa belum sempat menyadari kejadian yang baru saja menimpanya. Dia hanya melotot ke arah Victor. Perlahan kesadaran Fafa menghilang dan matanya tertutup. Entahlah, sudah berapa lama Fafa tidak sadarkan diri. Saat membuka mata, dia sudah berada di dalam mobil yang sedang melaju di tengah hamparan gurun pasir. Fafa duduk di bangku bagian tengah mobil, sedangkan di depan ada dua pria. Fafa tetap bungkam, dia mencoba memutar kembali ingatan saat membuka daun pintu kamar hotel. Secara mengejutkan, seseorang di balik dinding langsung muncul dan membekapnya menggunakan sapu tangan. Setelah itu, dia tidak tahu apa yang terjadi. "Sudah bangun, Young Lady?" ucap pria di sebelah pengemudi. Fafa bisa melihat dari cermin yang ada di atas dashboard, pria yang menjadi pengemudi tersenyum tipis. Fafa tidak menjawab pertanyaan pria itu, dia hanya mengangguk. Fafa memilih mengalihkan pandangannya, melihat kanan kiri d
Akhirnya daun pintu terbuka dengan suara keras. Beberapa pria dengan wajah tertutup masker masuk dengan posisi waspada. Salah seorang maju dan berkata, "Nyonya."Dia membungkuk hormat. "Maafkan kami datang terlambat. Sekarang Anda sudah aman. Silakan, kami akan mengawal Anda bertemu tuan muda!" ujarnya."Tuan muda!""Iya, Nyonya. Tuan Muda Aldric.""Hubby."Dia mengangguk. Fafa membuang napas lega dan tersenyum. Fafa segera keluar kamar. Di ruang tengah dia melihat banyak darah tercecer, Fafa seketika berhenti."A-apa mereka semua mati! Apa Ahmed mati! Pria yang menjemputku juga mati?" tanya beruntun Fafa dengan tubuh bergetar dan menahan tangis."Silakan masuk ke dalam mobil. Kami akan mengantar Anda istirahat di hotel." Hamid berusaha mengabaikan pertanyaan Fafa. Dia sadar saat ini, Nyonya Aldric sedang shock. Hamid melihat reaksi Fafa
"Dav," panggil Ian. Mike dan David langsung memandang ke arah Ian. "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mike!" lanjut Ian. David perlahan keluar dari ruang perawatan. Di depan kamar sudah ada Hamid, kedua langsung meninggalkan tempat itu. Hamid mengantar David untuk beristirahat di kamar tamu. Sedangankan Mike dan Ian masih ada di dalam kamar perawatan. Hening, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan untuk beberapa saat. Mike sudah tidak tahan, dia tahu Ian enggan untuk bicara dengannya. "Dik!" panggil Mike. Ian menoleh, lama mereka saling memandang. "Thanks." Satu kata yang membuat Mike terkejut, bahkan tidak bisa menutupi keterkejutannya. Bagaimana bisa, seorang Aldric Andrian bicara tentang terima kasih. Kata terima kasih dan maaf adalah kata tabu bagi seorang Aldric Andrian! Gadis itu. Mike semakin pensaran dengan istri Andrian. "Iya. Thanks dukungannya,"
"Merindukanku?" "Sangat, By." Fafa merona mendengar pertanyaan Ian. "Mandikan aku!" "Ha ...." "Ck, aku dua hari belum mandi. Cepat!" perintah Ian dengan nada kesal. "Apa sudah boleh mandi? Gimana kalo Fa usap aja pake handuk?" tawar Fafa. Dia ngeri jika berhubungan dengan luka operasi. Apalagi Fafa belum berbicara dengan Dokter Thomas. "Hhmm, baiklah," putus Ian. Dengan sigap Fafa segera membantu Ian naik ke atas ranjang, melucuti pakaian Ian, kemudian mengusap seluruh tubuh Ian dengan handuk basah. Fafa tersenyum, aktifitas yang hampir satu minggu dia rindukan. "Apa begitu menyenangkan melihat tubuh polos suamimu, hhmm?" tanya Ian dengan pura-pura heran. "Eg-enggak, By. Fa hanya merindukan melakukan ini," elak Fafa. Setelah mengeringkan badan Ian dengan handuk kering, Fafa segera mengganti popok, mengenakan t-shirt lengan pendek dan celana pendek longgar. Dia membantu Ian duduk bersand
"Kita harus bersiap untuk program itu. Masih ingat?" tanya Ian sembari mengelus bekas cengkramannya di dagu Fafa. "Iya," jawab Fafa dengan wajah merona malu. "Good girl," ucap Ian puas sembari mengecup lagi puncak kepala Fafa. "Jangan pernah berpikir menjauh dariku, apalagi meninggalkanku!" lanjut Ian. Fafa seketika membeku, untuk sesaat badannya menegang dan itu dirasakan oleh Ian. 'Apakah dugaanku benar?' tanya Ian dalam hati. "Sana, bikinkan kopi." Fafa langsung melepaskan diri dari pelukan Ian dan beranjak ke arah pantry. Ian langsung meraih tab yang ada di atas nakas. Dia kembali berkutat dengan chat dan e-mail. Ian membaca chat dari Mike yang mengajaknya bertemu di restoran bawah saat sarapan. Apakah ini saat yang tepat bagi mereka bertiga bertemu dan membicarakan semua. Ian ingin melibatkan Fafa dalam pembicaraan ini, dia tidak ingin istrinya menjadi obyek kesepakatan di masa lalu. Ada rasa ragu bergelayut dihati Ian, bagaimana jika setelah men
'Bagaimana bisa pria paruh baya ini mempermainkan pernikahan,' batin Fafa. Victor tersenyum melihat raut wajah Fafa yang penuh dengan ketidakpercayaan atas apa yang dia dengar. 'Ini belum berakhir, lihatlah Andrinof. Menantumu menyedihkan,' ejek Victor dalam hati.Victor terus memperhatikan perubahan wajah Fafa, begitu pula Andrian dan Mike. Seolah-olah Fafa adalah terdakwa yang duduk di kursi pesakitan. Fafa berusaha keras menetralkan ekspresi wajahnya, walaupun tindakan itu terlambat."Bisa paman lanjut?" tanya Victor, setelah melihat ekspresi Fafa sudah mulai normal. Fafa mengangguk."Istri dari anak Andrinof memiliki dua pilihan. Pertama, dia harus berpisah dan tidak menjadi bagian dari keluarga Milosevic. Kedua, dia tetap bisa menjadi menantu keluarga Milosevic dengan menikahi anakku," tandas Victor. Fafa kembali terkejut. 'Bagaimana bisa menikahi dua saudara setelah menceraikan salah satunya?' batin Fafa."Bagaimana menurutmu?" tanya Victor de
"Oh ya, Paman ingatkan. Keluarga Milosevic adalah mafia. Jadi pertimbangkan betul pilihanmu!" ujar Victor memperingatkan Fafa. Fafa merasakan genggaman Ian semakin erat pada telapak tangannya. Dia bisa merasakan betapa keputusannya akan berdampak besar pada Ian. Jika merujuk pada yang dikatakan Victor, tentu saja potensinya bersama Ian hanya bertahan dua tahun. Padahal Fafa sudah mulai nyaman dengan semua perlakuan Ian. Sikap semena-mena, perintah sana-sini, merajuk, dan keusilannya. Fafa menatap lekat Ian, manik hitam penuh pengharapan. Apabila dia memilih bercerai sekarang, otomatis dia akan menikah dengan Mike. Fafa mengalihkan pandangannya. Dia menatap Mike sejenak, lalu memalingkan wajah dan menatap Victor yang memejamkan mata. 'Ya Allah, ujian macam apa ini! Bagaimana bisa, Fa menikahi kedua pria dewasa ini bergiliran,' keluh Fafa dalan hati. Kegelisahan semakin tampak di wajah Ian. Bagaimanapun keputusan Fafa sekarang adalah puncak ketidakberdayaannya sebagai
"Yang masih menjadi mafia, Paman Victor dan Kak Mike, memangnya By juga mafia?" Skak MatAndrian terdiam untuk sesaat. 'Benar, aku juga mafia,' jawab Ian dalam hati. "Emm, tidak semua mafia selalu melenyapkan dan dilenyapkan, apalagi melenyapkan nyawa sembarangan. Pantang bagi keturunan Milosevic bersikap seperti itu. Kami hanya melenyapkan, jika memang dia pantas lenyap, terutama seorang pengkhianat! Kami tidak turun tangan langsung, Sayang. Ada bagian sendiri yang mengurusnya," jelas Ian. "Ha ..., Apa jika Fa berkhianat, By juga akan melenyapkan?" "Kenapa berfikir begitu, hhmm?" tanya Ian sembari mengeratkan pelukannya. Fafa menggeleng. "Ternyata menjadi ketua mafia sekeren itu! Pantas saja Paman Victor dan Kak Mike ...." Ian mendengar hal itu menjadi gusar, dia langsung melepaskan pelukannya dan menyentak tubuh Fafa. Ian menatap tajam Fafa. 'Ada apa dengan istriku, dia terus menyebut nama mereka! Apa dia mulai s
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny