Share

Empat

Penulis: Meimei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

   Karin datang ke restoran untuk bertemu dengan Vian. Ia melihat pria itu tengah duduk dengan topi dan kacamata hitam. Awalnya ia tidak mengenali jika Vian tidak melambaikan tangan lebih dulu. Di depan pria itu, hanya tersaji sebotol air mineral. Tampaknya meski karir mengalami kemunduran, menjaga penampilan tetap menjadi hal utama bagi pria itu.

  Karin segera duduk di hadapan Vian. Ia merasa lega. Pertemuan di tempat umum seperti sekarang lebih nyaman daripada di tempat tertutup seperti kantor Edwin kemarin. Yang mengatakan Vian pria yang sopan, maka menurut Karin itu adalah bohong belaka. Pria itu bahkan berani bersikap kurang ajar padanya di kantor itu.

  "Apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya Vian sambil tersenyum ramah.

  Karin menggeleng. Ia kemudian segera membuka tas hitam yang dia bawa. Tangannya terulur untuk mengambil sketsa. Akan tetapi, Vian yang telah berdiri di depan gadis itu, membungkuk dan memegang tangan Karin. 

  "Kita bicarakan masalah tempat itu nanti saja. Sekarang kita mengapa tidak mengobrol dulu? Aku telah memesankan makanan dan dessert untukmu," ucapnya.

  Karin segera menarik tangannya sambil menatap tajam Vian. Pria itu kemudian membelai lembut pipi Karin.

  "Kau pasti tidak akan menolak, bukan?" 

  Karin menghela napas keras dan menepis tangan Vian. 

"Jika kau bersikap seperti ini padaku, maka kita batalkan saja proyek ini."

  Vian tersenyum kemudian mengangguk. Ia lalu kembali duduk di depan Karin. Tidak lama berbagai jenis makanan datang. Mata Karin membeliak lebar melihat itu semua.

  "Maaf, aku tidak tahu kau mau memakan apa? Jadi aku memesan semua makanan yang ada."

***

  Karin berjalan keluar dari restoran. Makanan yang begitu banyak tersebut akhirnya menyuruh pelayan untuk membungkus. Karin kemudian melangkah menuju sepeda. Akan tetapi, Vian meraih dan menarik tangan gadis itu menuju mobil. 

  "Apa yang ...?"

  "Kita belum bicara. Kau mau pergi ke mana?"

  "Tapi, tadi kau bilang di restoran, saat ini bukan saat yang tepat."

  Vian berbalik dan menatap Karin.

"Memang bukan saat yang tepat karena kita sedang berada di restoran. Tapi, kita sudah keluar dari sana, jadi sekarang kita bisa mencari tempat untuk menyelesaikan masalah kita."

  "Apa maksudmu?"

  "Kenapa? Apa kau takut padaku?"

  Karin menggeleng. Vian segera kembali menarik gadis itu menuju mobil. 

  Karin berhenti melangkah dan terpaku melihat mobil itu. Hanya beberapa hari yang lalu, mobil itu telah membawa masalah padanya.

  "Kau masih ingat mobil ini rupanya. Bagaimana? Apa itu ingatan yang menyenangkan?" tegur Vian yang berdiri di sampingnya. Merasa ada yang salah, Karin berbalik dan hendak pergi. Akan tetapi, Vian kembali menarik dan mendorong gadis itu ke dalam mobil serta menutup pintu.

  Karin segera mencoba membuka pintu mobil, tetapi pintu itu telah terkunci otomatis. Karin menoleh saat Vian masuk dan duduk di sampingnya.

  "Buka pintunya sekarang!" perintah Karin sambil menatap tajam Vian. Namun, pria itu justru memajukan tubuh dan memasang sabuk pengaman pada gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut Karin.

  "Diamlah, kalau tidak ...."

  Karin menoleh pada pria itu.

  "Kalau tidak, aku akan menciummu di sini," bisik Vian dengan nada mengancam sambil menyentuh bibir Karin.

***

  Vian mengemudikan mobilnya dan berhenti di tanah lapang yang cukup luas. Tanah itu adalah tempat yang ia beli untuk membangun cafetaria miliknya. Sebenarnya, Vian tidak tertarik pada usaha tersebut. Ia hanya ingin mencari cara untuk bisa mendekati dan membalas Karin.

  Karin membuka lembar-lembar kertas yang ia bawa. Gadis itu kemudian mulai menjelaskan tentang bentuk desain dari bangunan cafetaria tersebut. Di sampingnya, Vian hanya mengangguk-angguk saja. 

  Karin kemudian melangkah ke sana kemari untuk menggambarkan rencananya dengan lebih detil. Mata Vian tidak lepas menatap gadis itu. Entah mengapa, ia merasa kagum. Karin ternyata begitu serius menanggapi pekerjaan tersebut. 

  'Tidak, tidak boleh, aku tidak boleh kagum padanya. Dia adalah gadis yang menyebabkan karirku berantakan seperti sekarang,' ucap Vian dalam hati sambil menggeleng.

***

  Di malam hari, Vian sedang duduk seorang diri. Ia kemudian menuang wine ke dalam gelas dan meminum hingga tandas. Pria itu kemudian bersandar di sofa sambil memejamkan mata. 

  Bayangan sosok Karin kemudian muncul dalam benaknya. Saat gadis itu tengah serius menjelaskan proyek, juga saat gadis tersebut menatap tajam padanya. Kemudian saat Karin berjalan ke sana kemari untuk menjelaskan tentang rancangan proyek dia. 

  Vian sontak membuka mata dan menggeleng.

'Apa ini? Aku memang berniat menggoda untuk membalas dia, tapi kenapa malah seperti aku yang tergoda hingga tidak bisa melupakan dia?'

  Vian meletakkan gelas wine dan bangkit berdiri untuk pergi ke lobi. Ia harus fokus untuk tetap pada rencana membalas gadis yang telah menghancurkan karirnya, bukan malah memiliki perasaan lain pada gadis tersebut.

***

  Silvi tengah duduk di ruang depan sambil melihat poster Vian yang terpajang di dinding.

  " My Vian, My Little Sweety, My Bunny,kapan kau kembali? Tahukah kau, aku begitu merindukanmu? Aku tidak tahan melihat Matthew yang selalu tertawa tak jelas itu," ucapnya. Ia kemudian maju dan mengelus-ngelus poster tersebut.

  Melihat itu, Karin mau tidak mau tertawa. Ia kemudian menggeleng dan menuang air putih dalam gelas.

  "Vian, apa kau pergi dengan kekasihmu itu? Gadis yang ada di foto bersamamu, aku rela meski aku tidak bahagia, tapi kau bahagia," lanjut Silvi sambil menempelkan wajahnya pada poster idolanya tersebut.

  Karin yang terkejut sempat terbatuk sejenak mendengar ucapan Silvi. Setelahnya ia menghampiri gadis itu.

  "Tenanglah, dia bahagia, kok," ucap Karin tidak lama kemudian.

  "Tahu dari mana dikau? Melihat dia saja, kau tidak pernah."

  Mata Silvi kemudian membeliak lebar. Ia bergegas menghampiri Karin.

  "Kau, jangan-jangan kau bertemu dengannya atau mungkin memang benar kau gadis yang di foto itu? Apa jangan-jangan kau memang kekasihnya?"

  "Apa?" sahut Karin sambil mendengkus keras dan terbahak.

"Itu hal yang sangat tidak mungkin. Kau juga tahu aku tidak pernah suka dengan idol-idol halumu itu."

  Silvi diam sejenak kemudian tersenyum sambil mengangguk. Karin menghela napas lega. Mulai sekarang dirinya harus lebih berhati-hati. Sahabat baiknya itu sepertinya memiliki radar istimewa jika menyangkut Vian.

***

  Di hari selanjutnya, Karin dan Vian kembali pergi ke tanah yang telah diberi pria itu untuk memgawasi proses pembangunan cafetaria yang telah dimulai. Ksrin tampak sibuk. Ia tengah memberi pengarahan pada para pekerja agar bangunan tersebut nantinya sesuai dengan yang dia rancang.

  Vian berjalan mendekat dan berdehem sejenak. Tanpa berkata apa-apa, Vian merangkul pinggang Karin dan menarik gadis itu agar dekat dengannya. Para pekerja yang tadi menyimak kata-kata Karin, merasa tidak enak dan segera pamit untuk kembali pada pekerjaan mereka.

  

  

Bab terkait

  • My Husband is an Idol   Lima

    "Kau ini sedang apa?" tegur Karin sambil berusaha melepaskan rangkulan Vian di pinggangnya."Jangan macam-macam atau aku keluar dari proyek ini!" Vian melihat gadis itu sesaat kemudian mengangkat bahu dan melangkah pergi.'Ada apa sih dengannya?' gerutu Karin dalam hati.'Seenaknya saja main rangkul pinggang orang.' Vian yang melangkah menjauh juga merasa kesal. Entah apa yang terjadi padanya, saat Karin berbicara dengan pria lain, ia merasa tidak senang. Karena itu, tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri dan meraih pinggang gadis itu. 'Pikiranku pasti sudah kacau. Setelah proyek ini selesai, mungkin sebaiknya aku tidak bertemu atau bicara dengan Karin.'*** Karin datang ke kantor keesokan hari untuk melaporkan kemajuan proyek dia dengan Vian. Akan tetapi, Edwin malah menyuruh dia untuk berhenti dari proyek itu. "Kenapa? Proyek ini telah hampir berhasil. Cafetaria itu sebentar la

  • My Husband is an Idol   Enam

    Keesokan hari, di kantor, Karin sibuk untuk merancang ulang cafetaria Vian. Gadis itu menggambar beberapa sketsa dan kembali menggambar model bangunan dengan komputer."Ada apa ini?" tegur Edwin yang berjalan memasuki ruangan. Ia tahu proyek cafetaria milik Vian telah hampir usai, tetapi ia tidak mengerti mengapa Karin masih terlihat sibuk, padahal tidak ada proyek baru untuk gadis itu setelah menolak berpindah dari proyek Vian."Vian tidak setuju dan ingin mengubah konsep yang kemarin, jadi aku merancang ulang lagi," jawab Karin tanpa menoleh. Gadis itu tampak begitu fokus dengan pekerjaan di depannya. Edwin menarik tangan Karin hingga mereka saling berhadapan."Sudah cukup!" tukasnya."Jangan kerjakan proyek ini lagi!" "Aku sudah mengatakan padamu, ini adalah proyekku. Aku yang memulai dan akan menangani sampai akhir." "Karin, dia hanya mempermainkanmu. Dia sengaja melakukan ini untuk terus mengikatmu

  • My Husband is an Idol   Tujuh

    Di perhentian selanjutnya, Silvi membawa Ksrin untuk keluar dari bus. Silvi kemudian menyeret Karin menuju ke taksi yang dia hentikan. Akan tetapi, Karin menolak dan malah mendorong sahabatnya itu ke dalam taksi terbuka. Karin kemudian kembali berjalan sambil tertawa-tawa. Silvi tentu tidak tinggal diam. Dia langsung mengejar Karin. Vian tengah duduk melamun di dalam mobil yang dikemudikan sopir pribadinya. Ia merasa bersalah pada Karin. Seandainya tahu semua akan menjadi seperti sekarang, ia tidak akan muncul dalam kehidupan gadis itu. Niat dia hanya untuk membalas perbuatan gadis itu, bukan untuk membuatnya dipecat. Mobil berwarna hitam tersebut berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Vian yang melihat keluar jendela tertegun saat melihat saat sosok Karin berjalan tidak jauh dari mobilnya. Wajah Karin tengah tertawa-tawa dan jalan dia tampak tidak beraturan. Melihat saja, Vian tahu Karin tengah mabuk berat.*

  • My Husband is an Idol   Delapan

    "Apa kalian tadi akan berciuman?" tanya Silvi sambil tersenyum kecil. Karin menoleh cepat mendengar itu, tetapi kemudian dia segera menggeleng. "Hubungan kalian sungguh tidak biasa, tapi aku bisa merasakan ada ikatsn yang terjalin di antara kalian," ucap Silvi lagi. 'Jangan asal bicara. Tidak ada ikatan apa pun di antara kami. Kami tidak saling menyukai karena ada masalah di antara kami,' tulis Karin panjang lebar.*** Karin tengah duduk seorang diri di ruang tengah rumah Vian. Ia menghela napas panjang. Tidak lama, ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Di luar, hari telah menjadi gelap. "Kenapa? Apa kau merindukan rumahmu?" tegur Vian yang baru saja masuk di ruangan tersebut. Karin mengangguk. "Aku sudah membaik. Tentu aku ingin segera pulang," sahut Karin yang telah bisa berbicara normal. "Duduklah!" perintah Vian sambil meraih dan membimbing Karin kembali duduk di tempat duduknya semula. K

  • My Husband is an Idol   Sembilan

    "Kau mau ke mana?" tanya Anna sambil menatap Edwin. "Itu bukan urusanmu!" sahut Edwin. Edwin hendak keluar, tetapi Anna segera meraih tangannya. "Apa kau hendak pergi menemui Karin?" Edwin diam tidak menjawab. Anna berjalan masuk ke ruangan pria itu dan duduk di kursi. "Kau mungkin lupa dengan yang terjadi. Karin pergi dari tempat ini bukan karena kau mengeluarkan dia. Seandainya dia ingin tetap di sini, dia bisa memohon untuk itu. Dia pergi karena ingin bersama aktor itu. Ia telah memilih aktor itu daripada dirimu," tutur Anna. Edwin terdiam sejenak kemudian menggeleng."Aku yang mengeluarkan dia dari pekerjaan. Karin adalah orang yang keras. Ia tidak akan memohon padaku untuk pekerjaannya." "Aku akan menemui dia sekarang dan meminta dia kembali," lanjut Edwin lagi sambil bergegas. "Edwin!" panggil Anna."Apa kau tidak sadar Karin tidak mencintaimu? Dia

  • My Husband is an Idol   Sepuluh

    "Dendam itu ...." "Kau bilang dendam itu berlaku seumur hidup. Kau bilang dendam itu akan terus mengikat aku denganmu. Aku tidak mau itu terjadi. Aku mau setelah proyek cafetaria berakhir, dendammu juga berakhir. Bagaimana? Jika kau tidak mau mengakhiri, maka aku juga tidak mau untuk melakukan proyek cafetaria itu," tukas Karin, memotong perkataan Vian. Vian diam beberapa saat. Tangannya menggenggam kemudi dengan erat. Sebenarnya ia telah tidak marah pada gadis itu, hanya saja setelahnya, ia tidak tahu alasan apa yang bisa digunakan untuk bertemu Karin. "Kau mengancam aku. Bagaimana kalau aku tidak menurut? Kalau kuabaikan proyek cafetaria, maka aku akan tetap bisa membalas dendam. Tidakkah kau berpikir seperti itu?" tanya Vian sesaat kemudian. Kali ini ganti Karin yang diam untuk beberapa saat. "Baiklah, terserah padamu saja. Aku tetap saja tidak bisa mengalahkanmu, bukan?" tukasnya.&nb

  • My Husband is an Idol   Sebelas

    Sebelas Merasa tidak tenang, Silvi menghubungi Vian dan bertanya tentang berita itu. "Awas saja jika kau mempermainkan Karin, aku tidak akan setuju meski kau adalah idolaku," ancam Silvi. Vian terbahak sambil tetap memegang ponsel di telinganya."Aku tidak mempermainkan Karin atau siapa pun. Aku dengan Karin juga tidak ada hubungan apa-apa. Begitu pula dengan Cindy dan gadis-gadis lain." "Tidak mungkin," tukas Silvi."Aku melihat sendiri kau dan Karin begitu dekat. Tatapan mata kalian juga seperti memiliki perasaan satu sama lain." "Aku dan Karin hanya perjanjian kerja sama proyek. Kami dekat karena itu. Setelah selesai, kami mungkin tidak akan bertemu lagi." "Apa benar hanya karena itu?" "Kau mencecarku lebih dari wartawan," tukas Vian. "Ini semua karena menyangkut sahabatku. Aku tidak mau dia sedih." "Baiklah, aku mengerti. Kau pasti sangat menyayangi Karin.

  • My Husband is an Idol   Dua belas

    Dua belas Cindy terbangun di hari itu dengan perasaan tidak tenang. Ia tahu teman wartawannya yang memberi kabar tentang Vian kemarin seperti tidak berbohong. Saat berada di sana, Cindy kemudian melihat Fian dan Karin sedang berpelukan. Ia merasa marah dan segera keluar dari mobil menghampiri mereka. Ia kemudian mendorong Karin untuk menjauh dari Vian Kata-kata Vian yang ia dengar setelahnya terasa begitu menyakitkan. Ternyata selama ini, perhatian yang ia berikan, tidak pernah dianggap oleh pria itu. Ia merasa semua yang terjadi padanya itu karena Karin. Karin yang telah merebut hati Vian darinya. Ia kemudian menyusul Karin yang telah pergi dari sana. Karin memang memutuskan untuk pergi karena dia tidak ingin membuat keributan. Ia tertegun saat melihat Cindy datang padanya. "Beritahu aku apa hubunganmu dengan Vian? Kenapa kau selalu berada di dekat Vian?" tanya C

Bab terbaru

  • My Husband is an Idol   Empat puluh

    Empat puluh Karin yang terbangun di pagi hari terkejut melihat sosok Vian berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat mendapati mereka tanpa busana, hanya tertutupi selembar selimut, sedang pakaian yang semula dikenakan berserakan di lantai samping tempat tidur. Karin bergegas beranjak dari tempat tidur. Ia kemudian segera mengenakan pakaian. Vian juga bangun. Karin segera berbalik dan menatap tajam padanya. "Kenakan pakaianmu, kita harus bicara," ucap Karin. "Semua terjadi begitu saja, aku memang salah melakukannya, tapi itu semua terjadi karena kau menggodaku lebih dulu," tukas Vian sambil mengejar Karin yang telah keluar dari kamar. "Jadi kau menganggap ini adalah salahku? Vian, kau tahu yang terjadi. Minuman itu apa kau yang merencanakannya?" tanya Karin. "Tidak, bukan seperti itu." "Tapi kau tetap melakukannya, kau tidak berusaha menyadarkan aku, tapi malah mengambil kesemp

  • My Husband is an Idol   Tiga sembilan

    Tiga sembilan Pagi hari, Vian terbangun saat ia merasa ada sesuatu menindih tubuhnya, belum lagi seperti ada sesuatu yang melingkari tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat Karin tengah memeluk dia. Tubuh gadis itu bahkan berada persis di sampingnya. Kaki Karin juga melintang di atas tubuhnya. Vian tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Karin. Gadis itu tampaknya benar-benar lelap. Karin kemudian malah meraih dan memeluk tangan Vian dengan erat. "Kau ini ...," ucap Vian sambil tersenyum. "Ayah, jangan tinggalkan aku," gumam Karin dengan mata terpejam rapat. 'Apa-apaan ini?' gerutu Vian dalam hati.'Kenapa dia malah berpikir kalau aku adalah ayahnya?'*** Setelah bangun dari tidur, Karin membersihkan diri dan menemani Vian untuk sarapan yang dibuat nenek untuk mer

  • My Husband is an Idol   Tiga delapan

    Tiga delapan "Aku?" tanya Karin dengan nada tidak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Vian, kau memintaku untuk mendorong mobil?" Vian mengangguk. "Apa kau bercanda?" tukas Karin kemudian."Aku ini seorang gadis. Kau memintaku keluar di hutan belantara untuk mendorong mobil. Vian, kau bilang kau sudah tidak dendam padaku, tapi apa yang kaulakukan ini?" "Aku memang sudah tidak dendam padamu." "Lalu?" "Hanya saja tidak ada yang mendorong mobil selain dirimu." "Vian, bukankah masih ada dirimu? Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya? Vian, kau yang mendorong mobil dan aku yang akan menyetir untukmu. Bagaimana?" "Kau menyuruh aku?" tanya Vian seperti tidak percaya mendengar ucapan Karin. "Lalu? Bukankah kau bilang tidak ada orang lain selain kita di sini? Jadi kalau bukan aku, tentu kau yang harus mendorong m

  • My Husband is an Idol   Tiga tujuh

    Tiga tujuh "Kau tenang dulu," ucap ayah Vian lagi setelah beberapa saat."Jika kau bicara dengan keras seperti tadi, ibumu mungkin mendengarnya, dia akan tahu kalau pernikahanmu dan Karin tidak terjadi sungguhan. Hal itu mungkin akan kembali mempengaruhi kesehatannya." "Tapi, Ayah ...," ucap Vian yang hendak membantah, tetapi lelaki paruh baya di depannya itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kata-katanya. "Ayah belum selesai bicara. Kau dengarkan ayah dulu," ucap lelaki itu lagi."Vian, kau mungkin tidak peduli dengan yang terjadi pada ibumu, tapi ayah sangat peduli. Ayah tidak mau dia sakit lagi." "Aku juga peduli, Ayah, aku juga tidak mau ibu sakit lagi," ujar Vian. "Baiklah, Ayah percaya padamu, tapi dengan kata-katamu yang keras tadi, jika dia mendengarnya maka ...." Ayah Vian berhenti bicara. Wajahnya menunduk dengan rona muram. "Ayah, aku minta m

  • My Husband is an Idol   Tiga enam

    Tiga enam Sebenarnya, Karin tidak sungguh tidur. Ia berpura-pura terlelap agar tidak lagi terus melihat Vian. Saat Vian mendekat dan meletakkan selimut pada tubuhnya, ia telah terkejut meski begitu, ia tetap berpura tertidur. Akan tetapi, sewaktu pria itu menyibakkan rambutnya, Karin langsung terperanjat dan membuka mata. Vian tertegun dengan pertanyaan Karin. Apa yang dia lakukan, dia sendiri sungguh tidak mengerti. Tangan dia seolah bergerak sendiri untuk menyibakkan rambut gadis itu. "Karin, aku benar-benar tidak bermaksud. Aku hanya ingin kau tidur dengan baik. Rambutmu itu tampak mengganggu bagiku, jadi aku menyingkirkannya," ucap Vian. Pria itu kemudian bergegas untuk kembali tanpa menunggu perkataan Karin.*** Keesokan hari saat bangun, Vian telah tidak melihat Karin. Ia tertegun dan sejenak mencari, tetapi tidak menemukan gadis itu di kamar. 'Ah, untuk apa aku mencari dia? Mungkin dia telah pergi,

  • My Husband is an Idol   Tiga lima

    Tiga lima "Maafkan ibuku, Karin, dia memang keras kepala. Kadang ia memakai cara licik hanya agar orang memenuhi keinginannya," ucap Vian yang mengantar Karin keluar kamar. Karin hanya mengangguk. Vian yang melihat langkah gadis itu yang sedikit terpincang menjadi merasa tidak enak. "Kakimu apakah tidak apa?" tanyanya. "Tidak apa, sudah membaik, kok, kau tidak perlu cemas." "Soal permintaan ibuku, aku aksn memikirkan cara untuk menolaknya. Kau tidak perlu cemas dengan hubunganmu dengan Matthew," ucap Vian. Karin kembali mengangguk. Ia sampai pada taksi yang telah dipanggil. Ia segera pamit dan pulang dari sana.*** "Kau tidak mengantar Karin? Kau membiarkan calon istrimu pulang sendiri?" tanya Nyonya Choi. Vian menggeleng."Berapa kali harus kubilang? Karin bukan calon istriku. Pernikahan kami tidak akan berhasil." "Ibumu masih sak

  • My Husband is an Idol   Tiga empat

    Tiga empat "Apa kau mengenal Karin?" tanya nyonya Choi pada Vian. Putranya itu hanya diam dan menggeleng. Acara pembukaan telah lama berakhir. Para tamu undangan termasuk Karin dan Silvi telah lama pulang. Tadinya Vian disuruh Nyonya Choi mengantar, tetapi Karin bersikeras menolak. Akhirnya dibiarkan Karin dan Silvi untuk pulang sendiri. Sedang Vian mengantar Cindy pulang. "Mereka saling mengenal. Lebih dari itu, mereka juga saling menyukai," ucap Nyonya Choi pada suaminya. Lelaki itu mengangguk. "Aku juga tahu itu saat melihat mereka, tapi sepertinya ada masalah antara mereka." Nyonya Choi kemudian menelepon Vian yang baru selesai mengantar Cindy pulang untuk datang ke rumah. "Apa kau menyukai Karin?" tanya Nyonya Choi saat Vian datang. "Mana mungkin? Aku baru bertemu dengannya. Ibu saja yang menganggap berlebihan," sahut Vian. "Aku berlebihan? Tidak, aku ti

  • My Husband is an Idol   Tiga tiga

    Tiga tiga Waktu berlalu, tanpa terasa restoran telah selesai dibuat. Karin diundang nyonya Choi untuk hadir pada acara peresmian. Karin mengajak Silvi untuk datang bersama. Ia tidak enak untuk menolak nyonya Choi dan ia juga tidak nyaman untuk datang sendirian. Ia tahu yang hadir di pembukaan tersebut pasti banyakan dari kalangan berada. Ia pasti akan merasa sendirian di pesta itu. Karenanya ia memaksa Silvi untuk datang bersamanya. "Kalian sudah datang," sambut nyonya Choi dan sang suami. Karin hanya tersenyum tipis. "Vian!" panggil nyonya Choi."Ini perancang yang ingin kukenalkan padamu, cantik dan berbakat." Tubuh Karin membeku seketika.'Vian di sini?' kemudian sosok Vian sungguh muncul di hadapannya. Silvi bahkan terbengong dengan mulut membuka lebar sambil menatap Vian. "Ini Vian, putraku, biasanya dia selalu sibuk, tapi kali ini dia menyempatkan untuk datang untuk acara

  • My Husband is an Idol   Tiga dua

    Tiga dua Beberapa hari berikutnya, Karin tetap saja sibuk dengan pekerjaannya. Gadis itu bahkan sering lupa waktu untuk makan. "Karin," tegur nyonya Choi."Kau sudah makan?" Karin menggeleng. "Kau ini bagaimana? Anak gadis sepertimu harus banyak makan bergizi. Pantas saja kau kurus begini," omel wanita itu. Karin hanya tersenyum saja. Wanita itu kemudian mengajak Karin untuk makan dengannya. "Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Karin saat mobil melaju malah kembali menuju kota. "Tanah itu tidak akan lari meski kautinggalkan, jadi kau tidak usah cemas seperti itu," ujar Nyonya Choi. Karin hanya mengangguk. Ia bukan gugup karena pekerjaannya, tetapi lebih pada Nyonya Choi. Wanita itu adalah atasannya, bosnya, ia merasa tidak enak untuk semobil dengan wanita itu. "Satu hal lagi, kau terus memanggilku Nyonya, Nyonya, aku tidak suka kau memanggilku seperti itu.

DMCA.com Protection Status