Share

Dua

Penulis: Meimei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

  "Apa kau marah padaku? Benar juga, aku seharusnya tidak bertanya begitu. Kau sudah pasti marah dan kecewa sekali padaku," ucap Karin.  

  "Karin, mana mungkin aku marah padamu? Kau adalah orang terdekat dan orang yang paling berarti untukku," ucap Edwin.

  "Tapi kau pasti kecewa padaku."

  "Tidak," ucap Edwin sambil membelai kepala Karin.

"Aku yakin yang terjadi adalah bukan salahmu."

  Karin menghela napas perlahan.

"Tapi aku tetap merasa bersalah. Aku sudah menghancurkan proyek penting ini."

  "Karin, kau tahu apa yang paling aku khawatirkan? Kau terluka seperti sekarang ini. Aku tidak mau mrlihatmu terluka."

  Karin tersenyum. 

"Ini hanya luka ringan. Aku baik-baik saja."

  "Kau ini harus menjaga dirimu. Jangan membuat aku khawatir lagi!"

  Karin bangun dari tidurnya dan menghormat.

  "Siap, Bos!" serunya. Edwin tersenyum dan mengacak rambut Karin. Tanpa mereka ketahui, seorang gadis memperhatikan itu dengan raut marah.

***

  "Dia itu memang genit. Dia hanya bisa merayu Edwin. Lihat, proyek ratusan juta amblas karena dia dan Edwin juga tidak marah," tukas seorang gadis berambut ikal pada beberapa gadis lain yang berada di dekatnya.

  "Kurasa tidak seperti itu. Dia begitu sedih karena proyek itu gagal. Edwin bersikap begitu mungkin karena melihat dia begitu sedih. Kau saja yang terlalu cemburu," sahut gadis di sebelahnya.

  "Benar, benar, kita semua juga tahu, sejak awal kerja di sini, kau sudah suka dengan Pak Edwin," sahut orang yang lain.

  Wajah gadis yang awal bergosip berubah cemberut. Tidak disangka,ia yang bermaksud menyebar rumor, tetapi malah dia yang dijatuhkan.

  "Jika kau ingin mengatakan sesuatu, maka beritahu langsung di depanku, jangan di belakang!" tukas Karin yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. Ia tadi hanya berniat melintas dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan gadis itu dengan rekan-rekan yang lain.

  "Baik, aku akan beritahu langsung padamu," ucap gadis itu sambil bangkit berdiri. 

  "Kau hanya perayu. Kau sengaja merayu Edwin agar dia tidak marah padamu. Kau juga merayu agar dia memberikan proyek padamu. Dasar tidak tahu malu!" tukasnya sambil mendorong-dorong Karin.

  "Apa yang kaulakukan? Apa kau tidur dengannya untuk bisa mendapatkan semua ini? Aku juga bisa melakukannya, tapi aku tidak mau melakukan cara murahan semacam itu," lanjut gadis tersebut.

  "Anna, hentikan!" gertak Edwin yang berdiri di ambang pintu.

"Kau sudah salah menuduh. Jika ada yang menyukai, maka itu adalah aku. Jika ada yang merayu, itu juga adalah aku."

   Edwin kemudian berjalan masuk dan meraih tangan Karin.

"Itu semua karena aku menyukainya. Aku menyukai Karin."

***

  "Terima kasih telah menolongku," ucap Karin yang kini berada di ruangan Edwin.

"Tapi kau tidak berbohong sampai seperti itu."

  "Siapa yang bilang aku berbohong? Aku memang menyukaimu, Karin. Sejak awal kau bekerja di sini, aku telah jatuh hati padamu," ucap Edwin sambil memegang kedua bahu Karin.

  "Maaf, aku tidak menyadari perasaanmu padaku," ucap Karin pelan.

  "Tidak masalah, sekarang kau telah mengetahuinya. Jadi apakah kau menerima perasaanku?"

***

  Karin duduk termenung di sofa ruang tamu rumahnya. Ia masih memikirkan ungkapan cinta yang dikatakan Edwin padanya. Ia tahu perasaan lelaki itu tulus. Hanya saja, ia belum menemukan jawaban untuk ketulusan perasaan itu.

  "Akh!" teriak Silvi yang sedari tadi sibuk melihat ponsel.

"Aku tidak percaya ini."

  "Ada apa?" tanya Karin dengan suara cemas. Mungkin ada kabar buruk yang menimpa kerabat sahabatnya itu.

  Silvi bergegas menghampiri dan duduk di dekat Karin. 

 "Lihat, lihat ini!" tukasnya sambil menunjukkan ponselnya.

"My honey, Vian, semua acara dia dibatalkan. Peran dia di drama dan reality show akan digantikan oleh si playboy, Matthew."

  Karin tidak mendengar penuturan panjang lebar Silvi. Ia justru terpaku melihat pada layar ponsel. 

  'Ya ampun, kenapa aku bisa lupa? Padahal Silvi membahas dia tiap hari. Ternyata pria yang aku tabrak itu adalah Vian. Pantas saja wajahnya begitu familiar,' gumam Karin dalam hati.

  "Oppa kesayanganku, malang nian nasibmu," ucap Silvi sambil memeluk ponselnya seolah itu adalah Vian.

  "Tenanglah," ucap Karin pelan sambil menepuk bahu sahabatnya itu.

  "Ini semua gara-gara gadis. Aku yakin gadis itu memang merayu dia. Siapa yang tidak akan terpikat dengan Vian-ku yang begitu tampan?"

  "Gadis?"

  "Iya ini," tukas Silvi sambil menunjukkan kembali kabar tersebut pada Karin. Karin terkesiap. Meski foto itu tidak terlalu jelas, tetapi itu adalah dirinya.

  Silvi menoleh pada Karin yang hanya diam kemudian kembali menatap layar.

"Tapi  mengapa gadis ini seperti dirimu? Pakaian yang dia kenakan juga, bukankah kau juga punya pakaian semacam ini?"

  Karin tertawa gugup sambil mengibaskan tangan.

"Ti-dak mungkin, tidak ada hal semacam itu. Lagipula untuk apa aku menemui Vian? Aku saja bosan mendengar kau terus membahas dia setiap hari."

  Silvi mengangguk-angguk.

"Benar juga," gumamnya pelan. Di sampingnya, Karin menghela napas lega.

***

  Vian meneguk vodka di tangan. Tatapan matanya tampak penuh dengan amarah. Sejenak ia tertawa terbahak. Tidak lama ia bangkit dan keluar dari bathtub mewah dan mengenakan piama mandinya. Semua karena gadis itu. 

  'Mungkin ia sekarang sedang bersenang-senang dengan beberapa teman. Menertawakan kebodohanku atau merayakan kesuksesan karena berhasil melakukan sesuatu bersamaku,' gumam Vian dalam hati. Mata dia tidak lepas menatap cermin di depannya.

  'Lihat saja. Aku pasti akan membalas jika bertemu lagi denganmu.'

  Vian yang telah selesai berganti pakaian bergegas keluar dari kamar mandi tersebut. Terdengar bunyi bel di pintu apartemen. Vian segera melihat pada layar untuk mengetahui siapa yang sedang berkunjung. 

  'Lagi-lagi dia. Apa dia tidak bisa menghilang saja?' gerutu Vian dalam hati.

***

  Gadis di luar bernama Cindy Wu. Dia blasteran China-Korea yang juga menjadi artis seperti halnya Vian. Semenjak awal bertemu saat menjadi bintang tamu di acara Vian, gadis berparas cantik itu telah jatuh cinta. Ia terang-terangan mengejar Vian, bahkan telah mengungkapkan rasa sukanya. Namun, Vian tidak menanggapi. Meski begitu, Cindy tetap mengejar. Ia merasa yakin bahwa Vian juga akan menyukai dia.

  "Cinta butuh waktu. Tidak apa, aku akan sabar menunggu hingga kau menyukaiku," ucap Cindy kala itu. Akan tetapi, Cindy tidak bersabar. Ia bertingkah seperti kekasih Vian dan merasa cemburu pada gadis mana pun yang dekat dengan Vian.

  "Vian, buka pintunya, Vian, biarkan aku bersama menemanimu saat ini!" seru Cindy dari luar saat pintu di depannya tidak kunjung membuka.

  "Vian, jangan bersedih, jangan mengurung diri. Aku akan selalu bersamamu," tukas gadis itu lagi dari luar saat tidak ada sahutan dari tempat Vian.

  Vian tetap saja diam. Ia tidak butuh Cindy yang malah membuat ia semakin suntuk. Yang ia butuhkan hanya rencana untuk menemukan gadis yang telah membuat ia kehilangan karirnya dan merencanakan balas dendam pada gadis tersebut.

  

  

Bab terkait

  • My Husband is an Idol   Tiga

    "Dia adalah seorang perancang bangunan. Jangan khawatir, saya akan mengatasi dia," ucap Jason, asisten Vian. Vian menatap ke layar di mana foto Karin terpampang jelas."Tidak perlu, aku akan melakukannya sendiri." "Tapi ...." "Ini adalah balas dendamku. Aku yang akan menangani sendiri."*** Karin sedang sibuk merancang maket di kantornya saat Edwin berjalan masuk. "Pekerjaan yang bagus. Kau melakukannya dengan baik," puji pria itu. "Sebaiknya kita tidak bertemu berdua saja seperti sekarang. Aku tidak mau Anna marah lagi padaku," sahut Karin yang terus melihat pada maket di depannya. Ia tidak menoleh sedikitpun pada Edwin. "Karin, aku sungguh menyukaimu," ucap Edwin sambil meraih tangan Karin. "Edwin, aku sudah bilang aku hanya menganggapmu teman. Teman yang sangat baik. Aku tidak mau merusak persahabatan kita dengan perasaan lebih dari itu."&

  • My Husband is an Idol   Empat

    Karin datang ke restoran untuk bertemu dengan Vian. Ia melihat pria itu tengah duduk dengan topi dan kacamata hitam. Awalnya ia tidak mengenali jika Vian tidak melambaikan tangan lebih dulu. Di depan pria itu, hanya tersaji sebotol air mineral. Tampaknya meski karir mengalami kemunduran, menjaga penampilan tetap menjadi hal utama bagi pria itu. Karin segera duduk di hadapan Vian. Ia merasa lega. Pertemuan di tempat umum seperti sekarang lebih nyaman daripada di tempat tertutup seperti kantor Edwin kemarin. Yang mengatakan Vian pria yang sopan, maka menurut Karin itu adalah bohong belaka. Pria itu bahkan berani bersikap kurang ajar padanya di kantor itu. "Apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya Vian sambil tersenyum ramah. Karin menggeleng. Ia kemudian segera membuka tas hitam yang dia bawa. Tangannya terulur untuk mengambil sketsa. Akan tetapi, Vian yang telah berdiri di depan gadis itu, membungkuk dan memegang tangan Karin.

  • My Husband is an Idol   Lima

    "Kau ini sedang apa?" tegur Karin sambil berusaha melepaskan rangkulan Vian di pinggangnya."Jangan macam-macam atau aku keluar dari proyek ini!" Vian melihat gadis itu sesaat kemudian mengangkat bahu dan melangkah pergi.'Ada apa sih dengannya?' gerutu Karin dalam hati.'Seenaknya saja main rangkul pinggang orang.' Vian yang melangkah menjauh juga merasa kesal. Entah apa yang terjadi padanya, saat Karin berbicara dengan pria lain, ia merasa tidak senang. Karena itu, tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri dan meraih pinggang gadis itu. 'Pikiranku pasti sudah kacau. Setelah proyek ini selesai, mungkin sebaiknya aku tidak bertemu atau bicara dengan Karin.'*** Karin datang ke kantor keesokan hari untuk melaporkan kemajuan proyek dia dengan Vian. Akan tetapi, Edwin malah menyuruh dia untuk berhenti dari proyek itu. "Kenapa? Proyek ini telah hampir berhasil. Cafetaria itu sebentar la

  • My Husband is an Idol   Enam

    Keesokan hari, di kantor, Karin sibuk untuk merancang ulang cafetaria Vian. Gadis itu menggambar beberapa sketsa dan kembali menggambar model bangunan dengan komputer."Ada apa ini?" tegur Edwin yang berjalan memasuki ruangan. Ia tahu proyek cafetaria milik Vian telah hampir usai, tetapi ia tidak mengerti mengapa Karin masih terlihat sibuk, padahal tidak ada proyek baru untuk gadis itu setelah menolak berpindah dari proyek Vian."Vian tidak setuju dan ingin mengubah konsep yang kemarin, jadi aku merancang ulang lagi," jawab Karin tanpa menoleh. Gadis itu tampak begitu fokus dengan pekerjaan di depannya. Edwin menarik tangan Karin hingga mereka saling berhadapan."Sudah cukup!" tukasnya."Jangan kerjakan proyek ini lagi!" "Aku sudah mengatakan padamu, ini adalah proyekku. Aku yang memulai dan akan menangani sampai akhir." "Karin, dia hanya mempermainkanmu. Dia sengaja melakukan ini untuk terus mengikatmu

  • My Husband is an Idol   Tujuh

    Di perhentian selanjutnya, Silvi membawa Ksrin untuk keluar dari bus. Silvi kemudian menyeret Karin menuju ke taksi yang dia hentikan. Akan tetapi, Karin menolak dan malah mendorong sahabatnya itu ke dalam taksi terbuka. Karin kemudian kembali berjalan sambil tertawa-tawa. Silvi tentu tidak tinggal diam. Dia langsung mengejar Karin. Vian tengah duduk melamun di dalam mobil yang dikemudikan sopir pribadinya. Ia merasa bersalah pada Karin. Seandainya tahu semua akan menjadi seperti sekarang, ia tidak akan muncul dalam kehidupan gadis itu. Niat dia hanya untuk membalas perbuatan gadis itu, bukan untuk membuatnya dipecat. Mobil berwarna hitam tersebut berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Vian yang melihat keluar jendela tertegun saat melihat saat sosok Karin berjalan tidak jauh dari mobilnya. Wajah Karin tengah tertawa-tawa dan jalan dia tampak tidak beraturan. Melihat saja, Vian tahu Karin tengah mabuk berat.*

  • My Husband is an Idol   Delapan

    "Apa kalian tadi akan berciuman?" tanya Silvi sambil tersenyum kecil. Karin menoleh cepat mendengar itu, tetapi kemudian dia segera menggeleng. "Hubungan kalian sungguh tidak biasa, tapi aku bisa merasakan ada ikatsn yang terjalin di antara kalian," ucap Silvi lagi. 'Jangan asal bicara. Tidak ada ikatan apa pun di antara kami. Kami tidak saling menyukai karena ada masalah di antara kami,' tulis Karin panjang lebar.*** Karin tengah duduk seorang diri di ruang tengah rumah Vian. Ia menghela napas panjang. Tidak lama, ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Di luar, hari telah menjadi gelap. "Kenapa? Apa kau merindukan rumahmu?" tegur Vian yang baru saja masuk di ruangan tersebut. Karin mengangguk. "Aku sudah membaik. Tentu aku ingin segera pulang," sahut Karin yang telah bisa berbicara normal. "Duduklah!" perintah Vian sambil meraih dan membimbing Karin kembali duduk di tempat duduknya semula. K

  • My Husband is an Idol   Sembilan

    "Kau mau ke mana?" tanya Anna sambil menatap Edwin. "Itu bukan urusanmu!" sahut Edwin. Edwin hendak keluar, tetapi Anna segera meraih tangannya. "Apa kau hendak pergi menemui Karin?" Edwin diam tidak menjawab. Anna berjalan masuk ke ruangan pria itu dan duduk di kursi. "Kau mungkin lupa dengan yang terjadi. Karin pergi dari tempat ini bukan karena kau mengeluarkan dia. Seandainya dia ingin tetap di sini, dia bisa memohon untuk itu. Dia pergi karena ingin bersama aktor itu. Ia telah memilih aktor itu daripada dirimu," tutur Anna. Edwin terdiam sejenak kemudian menggeleng."Aku yang mengeluarkan dia dari pekerjaan. Karin adalah orang yang keras. Ia tidak akan memohon padaku untuk pekerjaannya." "Aku akan menemui dia sekarang dan meminta dia kembali," lanjut Edwin lagi sambil bergegas. "Edwin!" panggil Anna."Apa kau tidak sadar Karin tidak mencintaimu? Dia

  • My Husband is an Idol   Sepuluh

    "Dendam itu ...." "Kau bilang dendam itu berlaku seumur hidup. Kau bilang dendam itu akan terus mengikat aku denganmu. Aku tidak mau itu terjadi. Aku mau setelah proyek cafetaria berakhir, dendammu juga berakhir. Bagaimana? Jika kau tidak mau mengakhiri, maka aku juga tidak mau untuk melakukan proyek cafetaria itu," tukas Karin, memotong perkataan Vian. Vian diam beberapa saat. Tangannya menggenggam kemudi dengan erat. Sebenarnya ia telah tidak marah pada gadis itu, hanya saja setelahnya, ia tidak tahu alasan apa yang bisa digunakan untuk bertemu Karin. "Kau mengancam aku. Bagaimana kalau aku tidak menurut? Kalau kuabaikan proyek cafetaria, maka aku akan tetap bisa membalas dendam. Tidakkah kau berpikir seperti itu?" tanya Vian sesaat kemudian. Kali ini ganti Karin yang diam untuk beberapa saat. "Baiklah, terserah padamu saja. Aku tetap saja tidak bisa mengalahkanmu, bukan?" tukasnya.&nb

Bab terbaru

  • My Husband is an Idol   Empat puluh

    Empat puluh Karin yang terbangun di pagi hari terkejut melihat sosok Vian berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat mendapati mereka tanpa busana, hanya tertutupi selembar selimut, sedang pakaian yang semula dikenakan berserakan di lantai samping tempat tidur. Karin bergegas beranjak dari tempat tidur. Ia kemudian segera mengenakan pakaian. Vian juga bangun. Karin segera berbalik dan menatap tajam padanya. "Kenakan pakaianmu, kita harus bicara," ucap Karin. "Semua terjadi begitu saja, aku memang salah melakukannya, tapi itu semua terjadi karena kau menggodaku lebih dulu," tukas Vian sambil mengejar Karin yang telah keluar dari kamar. "Jadi kau menganggap ini adalah salahku? Vian, kau tahu yang terjadi. Minuman itu apa kau yang merencanakannya?" tanya Karin. "Tidak, bukan seperti itu." "Tapi kau tetap melakukannya, kau tidak berusaha menyadarkan aku, tapi malah mengambil kesemp

  • My Husband is an Idol   Tiga sembilan

    Tiga sembilan Pagi hari, Vian terbangun saat ia merasa ada sesuatu menindih tubuhnya, belum lagi seperti ada sesuatu yang melingkari tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat Karin tengah memeluk dia. Tubuh gadis itu bahkan berada persis di sampingnya. Kaki Karin juga melintang di atas tubuhnya. Vian tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Karin. Gadis itu tampaknya benar-benar lelap. Karin kemudian malah meraih dan memeluk tangan Vian dengan erat. "Kau ini ...," ucap Vian sambil tersenyum. "Ayah, jangan tinggalkan aku," gumam Karin dengan mata terpejam rapat. 'Apa-apaan ini?' gerutu Vian dalam hati.'Kenapa dia malah berpikir kalau aku adalah ayahnya?'*** Setelah bangun dari tidur, Karin membersihkan diri dan menemani Vian untuk sarapan yang dibuat nenek untuk mer

  • My Husband is an Idol   Tiga delapan

    Tiga delapan "Aku?" tanya Karin dengan nada tidak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Vian, kau memintaku untuk mendorong mobil?" Vian mengangguk. "Apa kau bercanda?" tukas Karin kemudian."Aku ini seorang gadis. Kau memintaku keluar di hutan belantara untuk mendorong mobil. Vian, kau bilang kau sudah tidak dendam padaku, tapi apa yang kaulakukan ini?" "Aku memang sudah tidak dendam padamu." "Lalu?" "Hanya saja tidak ada yang mendorong mobil selain dirimu." "Vian, bukankah masih ada dirimu? Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya? Vian, kau yang mendorong mobil dan aku yang akan menyetir untukmu. Bagaimana?" "Kau menyuruh aku?" tanya Vian seperti tidak percaya mendengar ucapan Karin. "Lalu? Bukankah kau bilang tidak ada orang lain selain kita di sini? Jadi kalau bukan aku, tentu kau yang harus mendorong m

  • My Husband is an Idol   Tiga tujuh

    Tiga tujuh "Kau tenang dulu," ucap ayah Vian lagi setelah beberapa saat."Jika kau bicara dengan keras seperti tadi, ibumu mungkin mendengarnya, dia akan tahu kalau pernikahanmu dan Karin tidak terjadi sungguhan. Hal itu mungkin akan kembali mempengaruhi kesehatannya." "Tapi, Ayah ...," ucap Vian yang hendak membantah, tetapi lelaki paruh baya di depannya itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kata-katanya. "Ayah belum selesai bicara. Kau dengarkan ayah dulu," ucap lelaki itu lagi."Vian, kau mungkin tidak peduli dengan yang terjadi pada ibumu, tapi ayah sangat peduli. Ayah tidak mau dia sakit lagi." "Aku juga peduli, Ayah, aku juga tidak mau ibu sakit lagi," ujar Vian. "Baiklah, Ayah percaya padamu, tapi dengan kata-katamu yang keras tadi, jika dia mendengarnya maka ...." Ayah Vian berhenti bicara. Wajahnya menunduk dengan rona muram. "Ayah, aku minta m

  • My Husband is an Idol   Tiga enam

    Tiga enam Sebenarnya, Karin tidak sungguh tidur. Ia berpura-pura terlelap agar tidak lagi terus melihat Vian. Saat Vian mendekat dan meletakkan selimut pada tubuhnya, ia telah terkejut meski begitu, ia tetap berpura tertidur. Akan tetapi, sewaktu pria itu menyibakkan rambutnya, Karin langsung terperanjat dan membuka mata. Vian tertegun dengan pertanyaan Karin. Apa yang dia lakukan, dia sendiri sungguh tidak mengerti. Tangan dia seolah bergerak sendiri untuk menyibakkan rambut gadis itu. "Karin, aku benar-benar tidak bermaksud. Aku hanya ingin kau tidur dengan baik. Rambutmu itu tampak mengganggu bagiku, jadi aku menyingkirkannya," ucap Vian. Pria itu kemudian bergegas untuk kembali tanpa menunggu perkataan Karin.*** Keesokan hari saat bangun, Vian telah tidak melihat Karin. Ia tertegun dan sejenak mencari, tetapi tidak menemukan gadis itu di kamar. 'Ah, untuk apa aku mencari dia? Mungkin dia telah pergi,

  • My Husband is an Idol   Tiga lima

    Tiga lima "Maafkan ibuku, Karin, dia memang keras kepala. Kadang ia memakai cara licik hanya agar orang memenuhi keinginannya," ucap Vian yang mengantar Karin keluar kamar. Karin hanya mengangguk. Vian yang melihat langkah gadis itu yang sedikit terpincang menjadi merasa tidak enak. "Kakimu apakah tidak apa?" tanyanya. "Tidak apa, sudah membaik, kok, kau tidak perlu cemas." "Soal permintaan ibuku, aku aksn memikirkan cara untuk menolaknya. Kau tidak perlu cemas dengan hubunganmu dengan Matthew," ucap Vian. Karin kembali mengangguk. Ia sampai pada taksi yang telah dipanggil. Ia segera pamit dan pulang dari sana.*** "Kau tidak mengantar Karin? Kau membiarkan calon istrimu pulang sendiri?" tanya Nyonya Choi. Vian menggeleng."Berapa kali harus kubilang? Karin bukan calon istriku. Pernikahan kami tidak akan berhasil." "Ibumu masih sak

  • My Husband is an Idol   Tiga empat

    Tiga empat "Apa kau mengenal Karin?" tanya nyonya Choi pada Vian. Putranya itu hanya diam dan menggeleng. Acara pembukaan telah lama berakhir. Para tamu undangan termasuk Karin dan Silvi telah lama pulang. Tadinya Vian disuruh Nyonya Choi mengantar, tetapi Karin bersikeras menolak. Akhirnya dibiarkan Karin dan Silvi untuk pulang sendiri. Sedang Vian mengantar Cindy pulang. "Mereka saling mengenal. Lebih dari itu, mereka juga saling menyukai," ucap Nyonya Choi pada suaminya. Lelaki itu mengangguk. "Aku juga tahu itu saat melihat mereka, tapi sepertinya ada masalah antara mereka." Nyonya Choi kemudian menelepon Vian yang baru selesai mengantar Cindy pulang untuk datang ke rumah. "Apa kau menyukai Karin?" tanya Nyonya Choi saat Vian datang. "Mana mungkin? Aku baru bertemu dengannya. Ibu saja yang menganggap berlebihan," sahut Vian. "Aku berlebihan? Tidak, aku ti

  • My Husband is an Idol   Tiga tiga

    Tiga tiga Waktu berlalu, tanpa terasa restoran telah selesai dibuat. Karin diundang nyonya Choi untuk hadir pada acara peresmian. Karin mengajak Silvi untuk datang bersama. Ia tidak enak untuk menolak nyonya Choi dan ia juga tidak nyaman untuk datang sendirian. Ia tahu yang hadir di pembukaan tersebut pasti banyakan dari kalangan berada. Ia pasti akan merasa sendirian di pesta itu. Karenanya ia memaksa Silvi untuk datang bersamanya. "Kalian sudah datang," sambut nyonya Choi dan sang suami. Karin hanya tersenyum tipis. "Vian!" panggil nyonya Choi."Ini perancang yang ingin kukenalkan padamu, cantik dan berbakat." Tubuh Karin membeku seketika.'Vian di sini?' kemudian sosok Vian sungguh muncul di hadapannya. Silvi bahkan terbengong dengan mulut membuka lebar sambil menatap Vian. "Ini Vian, putraku, biasanya dia selalu sibuk, tapi kali ini dia menyempatkan untuk datang untuk acara

  • My Husband is an Idol   Tiga dua

    Tiga dua Beberapa hari berikutnya, Karin tetap saja sibuk dengan pekerjaannya. Gadis itu bahkan sering lupa waktu untuk makan. "Karin," tegur nyonya Choi."Kau sudah makan?" Karin menggeleng. "Kau ini bagaimana? Anak gadis sepertimu harus banyak makan bergizi. Pantas saja kau kurus begini," omel wanita itu. Karin hanya tersenyum saja. Wanita itu kemudian mengajak Karin untuk makan dengannya. "Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Karin saat mobil melaju malah kembali menuju kota. "Tanah itu tidak akan lari meski kautinggalkan, jadi kau tidak usah cemas seperti itu," ujar Nyonya Choi. Karin hanya mengangguk. Ia bukan gugup karena pekerjaannya, tetapi lebih pada Nyonya Choi. Wanita itu adalah atasannya, bosnya, ia merasa tidak enak untuk semobil dengan wanita itu. "Satu hal lagi, kau terus memanggilku Nyonya, Nyonya, aku tidak suka kau memanggilku seperti itu.

DMCA.com Protection Status