Dania dengan malas menyuap makanannya. Malam minggu belum setengah jalan, tetapi dia sudah merasa bosan. Mungkin dia tidak akan sebosan ini seandainya saja yang ada di hadapannya sekarang itu Alex. Dania mendesah pelan. Dia harus rela malam minggunya dihabiskan bersama Alvin karena malam-malam sebelumnya dia menolak bertemu.
"Kamu nggak suka makanannya?" tanya Alvin melihat gerakan Dania yang kurang bersemangat.
"Sebenarnya aku lagi diet, jadi jarang makan malam." Dania mencari alasan. Harapannya semoga setelah malam ini Alvin tidak akan mengajaknya dinner lagi.
"Kamu nggak bilang kalau sedang diet. Tapi aku rasa nggak masalah kalau hanya makan sepotong steak." Alvin mengiris daging di piringnya lantas menusuknya dengan garpu. "Kamu mau coba punyaku?" Dia menyodorkan garpunya kepada Dania.
Dania melirik garpu itu sesaat. Dia tahu Alvin sedang berusaha untuk romantis. Namun, anehnya itu tidak membuatnya berdebar sama sekali. Semanis
Setelah tour rumah, ralat tour mansion, Alvin membawanya ke sebuah ruangan di lantai dua. Dania tidak tahu ruangan apa di balik pintu besar itu.Perlahan tapi pasti, Alvin membuka pintu berpelitur itu. Mata Dania langsung membentur sebuah tirai berwarna putih kombinasi biru di sisi paling ujung ruangan. Dania pikir ini adalah ruangan biasa seperti living room karena ada set sofa klasik berwarna putih. Namun, ketika mata Dania mengedar lebih awas ternyata ini sebuah kamar. Ya Tuhan, untuk kamar saja didesain seperti president suit hotel bintang lima."Ayo, masuk. Akan aku tunjukan kamar kita nanti."Dania masih berdiri mematung di depan pintu. Dia tampak ragu."Hanya melihat, aku tidak akan melakukan apa pun, percayalah."Dania melirik Alvin. Apa lelaki itu bisa dipercaya?"Ayo, kamu bisa mengikutiku." Alvin berjalan lebih dulu memastikan kenyamanan Dania yang masih saja ragu.Dania menginjak l
Halo teman-teman, jangan lupa tambahkan cerita ini ke library kalian ya. Dan, dukung terus My Hottest Man, aku tinggu review bintang limanya.Terima kasih dan Happy Reading ^^_____________________Niken menyambut senang kedatangan anaknya ke rumah. Sudah beberapa hari ini Dania sulit dihubungi, padahal ada banyak hal yang perlu didiskusikan dengan anak semata wayangnya itu. Niken langsung membawa Dania ke ruang tengah. Di sana sudah ada Arya dan Alvin, juga dua orang lagi, entah siapa.Dania mendesah. Tidak menyangka ada pria itu di sini. Dia sudah menduga paling mereka akan membahas soal pernikahan."Ada apa, Ma?" tanya Dania begitu dia duduk. Sejenak dia melirik Alvin. Lelaki itu tampak biasa saja dengan kedatangan Dania."Kami akan melakukan pengukuran buat gaun pengantin kamu," ujar Niken memberitahu."Pengukuran? Memangnya sempat kalau bikin? Pake yang udah ada aja, kan banyak tuh ya
"Berapa hari?" tanya Alex memeluk Dania dari belakang.Dania baru saja mengabari pria itu bahwa besok dirinya akan terbang ke Perancis sebelum menuju Venesia. Hanya untuk pre-wedding. Ya, pre-wedding yang bagi Dania hanya akal-akalan Alvin untuk bisa dekat dengannya."Mungkin tiga atau empat harian.""Kenapa sih harus di luar negeri? Apa dalam negeri tidak ada tempat yang menurut kalian bagus?" Alex tidak bisa membayangkan harus berpisah selama beberapa hari dengan Dania. Dia mulai terbiasa dengan kehadiran wanita itu di apartemennya. Entah tepatnya kapan dia merasa semakin susah melepas Dania. Padahal perempuan itu sebentar lagi akan menikah."Aku juga udah minta untuk melakukannya di sini saja. Tapi, si keras kepala itu menolak dan tetap ingin melakukannya di Paris. Males banget."Alex menyeringai. Pikiran nakalnya berkelebat. "Bagaimana kalau sebelum kamu prewed dengan pria itu, kamu prewed dulu denganku."
Dania menoleh ketika telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat. Tidak jauh dari posisinya Alvin tampak berdiri dengan mata menatap lurus padanya. Dania tidak suka cara Alvin menatapnya."Duduklah dengan benar, sebentar lagi pesawat akan take off," ucap Alvin. Pria itu lantas duduk di sebuah kursi single, dan mengenakan sabuk pengamannya.Tanpa banyak bicara, Dania mengikuti apa yang Alvin lakukan. Dia duduk di kursi single seater yang berada tepat di sebelah kiri kursi Alvin. Setelah sabuk pengaman terpasang, Dania memutuskan untuk diam dan memejamkan mata. Dia tidak berminat memulai pembicaraan dengan pria arogan itu terlebih dulu. Selama proses take off, Dania benar-benar mengabaikan Alvin. Pria itu juga tampak diam.Setelah pesawat berhasil mengudara, Dania melepaskan sabuk pengaman, dan beringsut kembali menuju sofa panjang yang berada di dekat jendela pesawat. Dania pikir Alvin akan mengabaikannya, ternyata lelaki itu pun ikut
Dania cukup terkejut ketika dia keluar dari kamar mandi. Sudah ada Alvin yang sedang duduk di tepian tempat tidur. Matanya otomatis melihat ke arah pintu. Tertutup rapat.Sial. Dia mengumpat dalam hati. Alvin menjebaknya."Kamu sedang apa di situ?" tanya Dania yang belum bergeser sedikit pun dari depan pintu kamar mandi.Alvin yang duduk dengan posisi memunggungi Dania, menoleh. "Oh, kamu sudah selesai?" Dia segera berdiri. "Aku mengambil bluetooth." Alvin menunjukkan sebuah aksesoris gadget.Dania di tempatnya menatap pria itu awas. Dia sedikit mengangguk."Oke, kalau sudah siap kamu boleh keluar. Atau kalau masih mau tetap di sini silakan." Alvin keluar lebih dulu dan membiarkan Dania tetap tinggal di master suit.Dania mengembuskan napas lega. Dia lantas mengurai rambutnya yang dia gelung ke atas ketika mandi tadi. Untung saja, wanita pemilik rambut bergelombang itu berinisiatif memakai pakaian langsung di dala
Pengambilan gambar pre-wedding dibuat senatural mungkin. Alvin benar-benar mempersiapkan hal ini dengan matang. Fotografer yang dia bawa sangat profesional, bahkan untuk make up artist dia sediakan juga. Custom dan wardrop tidak ketinggalan. Intinya apa yang Alvin kerjakan itu totalitas. Meskipun tentu saja yang sibuk adalah asistennya.Setelah mengambil gambar di bawah Jembatan Pont de Bir Hakiem, di atas permukaan Sungai Seine saat matahari terbit, mereka kembali mengambil gambar di alun-alun Trocadero. Trocadero tepat berada di antara Menara Eiffel dan Sungai Seine. Dan, terakhir mereka melakukan pemotretan di Piramida de Louvre sebelum Alvin terbang ke Spanyol."Yakin kamu nggak mau ikut aku?" tanya Alvin sekali lagi. Dia akan terbang ke Spanyol bersama Rocky untuk sebuah pekerjaan.Dania menggeleng. "Jemput aku kalau urusanmu sudah selesai," ucapnya ketika Alvin berpamitan."Oke, nggak akan lama, sore atau malam aku pastikan sudah s
"Bagaimana bisa kamu ada di sini?" Dania tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Mimpi kemarin seolah menjadi nyata. Kedatangan Alex benar-benar sebuah kejutan yang tak terduga."Aku mengikutimu. Karena aku tahu kamu nggak bisa tidur tanpa aku," ujar Alex tersenyum.Dania tertawa seraya menggeleng tak percaya. "Kamu terlalu percaya diri, Tuan.""Jadi, aku salah?""Nggak sepenuhnya sih." Dania mengedik, lantas menyantap makanannya. Saat ini mereka sedang makan siang di salah satu kafe yang terletak di dekat Museum Louvre."Kalau begitu aku benar." Alex meraih sendoknya."Kamu berani sekali datang ke sini. Apa kamu nggak takut ketahuan Alvin?" tanya Dania. Dia tidak bisa membayangkan itu terjadi."Harusnya pertanyaan itu kamu ajukan untuk diri kamu sendiri, Sayang. Bagaimana kalau calon suamimu tahu kita sedang berdua?"Dania mengerutkan bibir. "Ya, semoga saja dia sadar dan
Dania mendesah begitu menutup panggilannya. Menatap Alex, dan menggeleng. Sebagai tanda bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa."Alvin sebentar lagi akan pulang. Aku malas bertemu dengannya. Bisa kamu bawa aku pergi aja?" suaranya terdengar putus asa.Mendengar permintaan Dania, Alex tersenyum. Alex memang ingin memiliki Dania, namun caranya bukan dengan membawa wanita itu kabur. Tangannya terulur membelai rambut Dania yang berkibar diterpa semilir angin sore."Waktu itu akan tiba. Waktu di mana aku akan membawamu pergi, Sayang. Tapi bukan sekarang," katanya lembut. "Kamu mau kan bertahan sebentar saja?""Kalau bisa secepatnya, Martin. Apa pun resikonya, selama kamu ada di sisiku untuk mendukung, aku akan berani menghadapi semuanya."Alvin terkekeh, lalu menarik Dania ke dalam pelukannya yang hangat.Semburat warna jingga mulai menyala di langit-langit. Kilauan sinar matahari yang berubah kemerahan terlihat tampak indah
Liam langsung menyambut kedatangan Dania dan Alvin. Dia berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Dania. Menjelang siang, Dania baru pulang dari hotel. Ya, apa lagi kalau bukan karena menuruti kemauan Alvin yang minta nambah lagi dan lagi."Anggap saja ini bulan madu kedua."Itu jawaban yang lelaki itu berikan ketika Dania protes lantaran Alvin yang sepertinya belum juga bosan menggempurnya. Padahal kaki Dania sudah tidak sanggup berdiri."Maafin, Mama. Pulang telat. Liam udah makan?" tanya Dania mencium pipi chubby anaknya."Mamam dah.""Pinter anak Mama.""Anak Papa juga dong," sambar Alvin mengusap rambut tebal Liam."Oh iya anak Papa juga."Mereka beriringan menuju ruang tengah. Dengan masih memangku Liam, Dania duduk di sofa ruang tengah."Honey, kamu lapar enggak?" tanya Alvin beranjak menuju dapur."Setelah kamu kuras habis tenagaku masih perlu
"Congrats buat Dania dan Alvin. Moga kalian langgeng dan bahagia," seru Clara mengacungkan gelas minumannya, disusul gelas-gelas lainnya."Akhirnya kita bisa nyeret Dania ke kelab lagi, yuhuuuuu!" teriak Viona, di sisinya ada Bernard, pria yang disewanya untuk menemani minum.Clara lebih memilih duduk sendiri dan mengabaikan godaan para pria yang sesekali menghampirinya."Pantas saja. Laki lo tuh," ujar Viona mengarahkan pandangannya ke pintu masuk.Clara mengikuti arah pandang Dania dan menemukan pria bermata biru tampak melambai padanya. Arnold. Sontak senyum Clara mengembang."Selamat malam, Cinta," sapa Arnold mencium pipi Clara. "Wow, formasi kalian lengkap lagi ternyata," ucapnya melihat keberadaan Dania dan juga Viona."Kita sedang merayakan kebahagiaan Dania. Kamu mau minum?" sahut Clara menawarkan gelasnya."Tentu, Sayang." Arnold meraih gelas yang Clara angsurkan. Mata pria itu tak l
Alvin bergerak dengan mata yang masih terpejam. Beberapa detik kemudian tangannya terangkat mengucek mata. Sedikit mengerjap untuk menormalkan penglihatannya. Baru kemudian dia menoleh ke sisi kiri, dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Dania."Honey, kamu bangun?"Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Alvin membuat Dania tercekat. Alvin menyebutnya apa tadi? Honey?"Liam juga bangun?" Lelaki itu menoleh ke ranjang tidur anaknya.Dania belum menjawab atau pun meluncurkan kata-kata. Hatinya terlalu bahagia.Lelaki itu menatap kembali kepada Dania yang tampak masih terbengong."Honey, are you okay? Kamu nggak senang aku datang?" tanya Alvin lembut.Dania kontan memejamkan mata. Merasakan kata-kata Alvin yang masuk ke telinganya dan menyebar memenuhi sanubarinya yang mendadak hangat."A-Alvin ... maafkan aku ...." Air matanya yang menggenang akhirnya terjatuh."Sst
Dania bergegas ke kamar Liam. Anak itu sedang ditimang-timang pengasuhnya. Dia cepat-cepat mengambil alih Liam dari gendongan wanita itu."Panasnya belum turun, Mbak?" tanya Dania."Belum, Bu."Dania terpaksa meminta izin pulang lebih cepat karena Liam dari kemarin demam. Tadi pagi demam anak itu sudah turun. Oleh karena itu Dania memutuskan masuk kerja. Namun, siang tadi pengasuh Liam menelepon kalau demam anak itu meninggi lagi."Tolong siapkan perlengkapan Liam, ya, Mbak. Kita ke poliklinik.""Baik, Bu." Wanita muda yang memakai seragam baby sitter itu segera berbenah.Dania paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Kalau disuruh memilih mending dia saja yang sakit. Mereka langsung masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Poli anak tidak terlalu ramai ketika Dania sampai. Hanya beberapa pasien yang menunggu. Jadi, dia tidak terlalu lama menunggu.Dania bersyukur karena tidak ada penyakit yang
"Ini kok lama-lama perusahaan udah kayak bola aja ya, lempar sana sini. Heran gue. Belum juga genap tiga tahun udah pindah tangan aja," ujar Clara.Dia dan kedua sahabatnya, sedang berjalan bersama menuju aula untuk sosialisasi owner baru perusahaan.Viona tertawa. "Alex menjual sahamnya karena hatinya udah dipatah-patahin dengan kejam sama temen lo."Dania di sebelahnya berdecak, tahu siapa yang Viona maksud."Hm, kasian juga si Alex sih. Kenapa sih lo nggak mau terima dia lagi? Dia itu pria tertampan sejagad. Apa lagi lo mantannya. Nggak akan sulit gue rasa." Clara mencolek lengan Dania yang masih dengan tenang mendengar ocehan kedua sahabatnya."Iya, lagi pula Liam kan butuh bapak. Kasihan dong kalau ketemunya cuma kita-kita aja," imbuh Viona.Ketiganya memasuki lift begitu pintu silver itu terbuka. Clara menekan tombol lantai tujuan mereka."Kalian pada gila apa gimana sih? Gue itu masih istriny
Dania menggeram ketika melihat Alex datang ke rumahnya membawa sebuah bingkisan. Apa lagi isinya kalau bukan mainan untuk Liam, putranya. Padahal baru kemarin kurir mengantar paket berisi kebutuhan Liam dan mainan untuk anak itu."Jangan beli mainan terus. Kamu tau, semua akan jadi sampah kalau dia sudah besar," ujar Dania protes."Hanya sesekali, Sayang." Alex tersenyum kepada bayi berusia satu tahun di hadapannya.Dania terlalu capek untuk meminta Alex menjauhinya. Pria itu tidak pernah kapok bertandang ke rumahnya."Tapi, kamu baru kemarin mengirimi Liam hadiah, Tin. Dia baru setahun, belum butuh itu," omel Dania seraya membereskan mainan anaknya yabg berantakan."Kemarin kapan? Aku baru kali ini kasih Liam mainan, Dania," ujarnya tak peduli sambil terus mengajak Liam bermain.Dania menoleh sesaat. Kebiasaan sekali suka menyangkal. Sering tidak mengakui perbuatannya kalau Dania sudah mengomel.Dania be
Dania baru saja mengisi aplikasi pengajuan cuti ketika perutnya merasakan nyeri. Sebenarnya tadi pagi dia sempat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena tidak ada reaksi apa pun pada perutnya. Hanya sesekali merasa kencang di perut bagian bawahnya. Dania meraba perutnya. Apakah sekarang sudah waktunya? Menurut dokter, hari perkiraan lahirnya masih dua minggu lagi. Dania menggeleng. Mungkin ini hanya kontraksi palsu.Dania bergegas membereskan meja kerjanya. Dia harus cepat sampai rumah agar bisa segera istirahat. Clara sedang bertemu klien di luar, sementara Viona menemani Pak Robbi meeting. Jadi, Dania terpaksa pulang sendiri.Nyeri pada perutnya makin sering terjadi. Hanya jeda beberapa menit lantas rasa sakit itu muncul lagi. Dania makin yakin kalau ini bukanlah kontraksi palsu.Dia memeluk perutnya erat-erat ketika sedang menunggu lift terbuka. Matanya memicing menikmati gelombang cinta yang tim
Dania menghela napas panjang beberapa kali ketika lagi-lagi Alex datang menjenguknya di rumah sakit. Kali ini pria itu membawa sekotak kue balok cokelat lumer. Ini sudah hari kelima Dania berada di rumah sakit. Setiap malam Clara dan Viona bergantian menjaganya. Dan, Alex biasanya akan datang menjelang makan siang tiba."Lihat, Sayang, apa yang aku bawa." Alex membuka kotak itu. Menunjukkan kue cokelat berbentuk balok kecil-kecil dengan lelehan cokelat yang melumer di tengahnya. Terlihat menggiurkan. "Baby pasti suka. Kamu coba, ya." Alex masih saja bersikap baik dan manis kendati Dania tidak pernah bersikap sebaliknya. Dia mengambil satu potong kue dan menyodorkannya pada Dania.Dania menatap kue itu sesaat sebelum menatap pria di hadapannya yang kini tengah tersenyum manis. Senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Ketampanan Alex memang luar biasa, apa lagi saat tersenyum seperti itu. Dulu Dania selalu bergetar ketika Alex bersikap manis seperti ini. Nam
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"