“Ra.”
“Hmm?” Yara mendongak kaget karena panggilan Adam.
“Mau nunggu baksonya dingin?” Adam memang memperhatikan Yara sejak tadi. Gadis itu terus saja mengaduk mangkok berisi bakso dan kuahnya, mengabaikan mangkok terpisah yang berisi kuah dan tulang sumsum.
“Eh? Nggak.”
“Kamu jadi diem sejak aku ngomong tentang—”
Tatapan membunuh dari Yara berhasil membuat Adam membungkam mulutnya. “Makan.” Entah itu perintah atau hanya penyataan, yang jelas Yara hanya mengeluarkan satu kata itu sebelum kemudian mulai menyuapkan kuah bakso ke dalam mulutnya.
“Nggak usah terlalu dipikirin, Ra. Kamu diem aja, biar aku yang maju.”
“Gimana maksudnya?”
Adam menggeleng. "Nggak, nggak. Udah, dimakan dulu."
Kalau sedang banyak pikiran, Yara memang susah diajak bicara. Mungkin apa yang disampaikan Adam di mobil tadi benar-benar berhasil membuat
"Lagi apa, Ra?"Yara menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar ponselnya, memastikan sekali lagi kalau benar si penelepon adalah orang yang diperkirakannya.Tindakan tidak perlu sebenarnya karena ia sudah hapal dengan suara itu dan suara itu juga yang mengganggu—iya, ia belum bisa berkata menghiasi, jadi sepertinya kata mengganggu lebih tepat—setiap malamnya."Baru kelar ngecek daftar furniture yang dikirim untuk kementerian besok.""Kenapa baru jam segini ngeceknya?" Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Terlalu cepat untuk orang seumuran mereka terlelap, tapi juga rasanya sudah cukup malam untuk memeriksa pekerjaan."Ya karena supplier-nya baru aja ngirim daftarnya."“Kalo udah kelar buruan istirahat.”“Ya kan kamu nelepon.”“Jadi kamu nunggu aku kelar nelepon dulu?”“Apa sih, Dam?” Tidak ada sahutan dari Adam, tapi Yara tahu kalau Ada
“Lintang sama keluarganya ngajuin praperadilan.”Naren berdecak kesal mendengar kabar yang dibawa Alsen malam itu. “Kalo tau dia semerepotkan ini, mending kita beresin aja keluarganya dari awal.”“Pa!” tegur Rhea sambil mengusap pelan lengan suaminya yang sedang emosi.Yara yang tidak terlalu paham istilah hukum hanya bisa melirik ke sana kemari, berharap mendapat penjelasan dari siapa pun di ruangan itu, Alsen, papanya, ataupun kakak sulungnya yang lebih mengerti hukum.Namun ia juga tidak bodoh untuk menilai bahwa ‘praperadilan’ bukanlah hal yang diharapkan mereka—kalau dilihat dari reaksi papanya.“Mereka minta pemeriksaan tentang sah atau nggaknya penangkapan dia, simple-nya gitu, Dek.” Aileen berusaha menjelaskannya kepada Yara karena tidak satu pun di ruangan itu yang menangkap sorot kebingungan dari Yara.“Oooh.” Yara mengangguk-angguk. Belum mengerti sepenu
"Saya mau izin ngajak Yara, Om."Naren menatap Adam lekat. Meskipun lelaki di depanya itu seperti tidak punya takut terhadapnya, dan harus diakuinya kalau hal itu memberinya nilai plus di antara nilai minus yang sudah disandangnya sejak dulu.Bagaimana pun juga, Naren tidak akan lupa kalau Adam lah yang membuat patah hati anak bungsunya pertama kali.Naren memang sudah memberikan jabatan strategis untuk anak muda itu di jaringan hotelnya, tapi hal itu tidak serta merta membuat Adam bisa melenggang bebas mendekati anaknya.Meskipun dalam hatinya harus mengakui kalau ia lah yang membutuhkan tenaga dan pikiran Adam untuk mengembangkan jaringan hotelnya. Adam bisa saja menolak. Naren yakin karirnya akan cemerlang di tempat kerjanya yang lama, tapi pada akhirnya Adam menyanggupi salah satu syarat yang diajukannya, yaitu mengurus jaringan hotelnya.Masih ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi Adam. Syarat yang cukup berat kalau melihat karakter Yara. T
“Kamu janjian sama Alsen? Sekarang Alsen yang nyariin kamu ke rumah. Duh, laris banget sih anak Mama hari ini.”Yara masih ingat bagaimana mamanya menghubunginya saat ia sudah dalam perjalanan menuju Cibubur bersama Adam.Ia yakin pada awalnya tidak memiliki janji dengan siapa pun, baik Adam maupun Alsen. Kalau akhirnya ia ikut Adam ke Cibubur, itu … semata-mata karena ia ingin tahu bagaimana reaksi keluarga Adam tentang desainnya.Iya, karena itu. Sepertinya ….Mendadak Yara jadi merasa bingung dengan keberadaannya di tengah-tengah keluarga Adam. Asing tapi terasa familiar.“Mikir apa sih?”Nah, ini dia yang tadi mendengkus kesal begitu tahu Alsen mencarinya kemudian tersenyum lebar sambil berkata, “Untung aku duluan. Kita balik malem aja, biar nggak ada lagi yang nyari kamu.”Yara meraih satu cup cappuccino yang diulurkan Adam. “Mikirin Kak Alsen, kasihan udah ke rumah tapi aku
“Yara, dipanggil bos.”Yara mendongak, menatap Nana yang terlihat serius. Padahal ia berharap Nana hanya bercanda karena ia sedang sibuk membuat 3 dimensi rendering dari suite room salah satu hotel milik papanya.Setelah kemampuannya teruji dengan berbagai proyek resort dan co-working space dari salah satu kantor kementerian, papanya mulai mendesaknya mengerjakan renovasi interior suite room di beberapa hotel yang masih berada dalam jaringan hotel Candra Group.Direktur Utama Candra Group setuju, General Manager jaringan hotel Candra Group—Adam—juga setuju, ditambah omnya yang juga atasannya setuju, lalu ia bisa apa?“Itu namanya nepotisme, Pa.” Waktu itu Yara sempat menyampaikan penolakannya kepada papanya.“Bukan! Korupsi, kolusi, nepotisme itu hubungannya sama penyelenggara negara. Papa bukan penyelenggara negara. Hotel punya Papa ya terserah Papa mau ngapain, termasuk nyuruh kamu bikin desain interior u
“Udah? Mau mampir ke tempat lain lagi nggak?”Yara menggeleng cepat. “Nanti kemaleman pulangnya.”“Kan kuanter pulangnya.”“Tapi nanti dikira Papa sama Mama kita baru pulang dari jalan-jalan. Kan ini kita keluar karena urusan kerjaan.”Adam mengangguk, mencoba secepat mungkin menghabiskan kopi tarik yang dipesannya, padahal ia sudah menghubungi papa Yara dan meminta izin mengantar Yara pulang malam.Yara masih mengunyah potongan singkong sambal roa terakhir saat ponselnya berbunyi.“Nggak usah diangkat, Ra.” Adam menahan gemuruh di dadanya saat melirik ke arah ponsel Yara yang menampilkan nama Alsen.Yara memperhatikan Adam yang secara impulsif memintanya tidak mengangkat telepon. Ekspresi itu, ekspresi yang sama ketika Adam cemburu dengan teman lesnya dulu. Yara tersenyum dengan hanya mengangkat satu sudut bibirnya.“Halo, Kak,” sapanya dengan satu tangan
"Udah malem, Dek. Tumben kamu ngelukis lagi. Mama udah lama nggak ngelihat kamu ngelukis di kanvas."Yara mendongak dan mendapati sang Mama sedang menatapnya dari ambang pintu.Ruangan itu dibuat khusus untuk Yara yang sejak kecil suka melukis. Di sanalah dulu ia belajar melukis dari salah seorang seniman. Di sana juga Om Endra--sepupu papanya--melatihnya melukis setiap pulang ke Indonesia."Iya, Ma. Tiba-tiba kangen ngelukis. Bosen gambar desain melulu," sahut Yara sambil melanjutkan lukisannya."Loh." Rhea mendekat karena penasaran dengan gambar anaknya. "Kayaknya Mama kenal .... Ini kan gambar ruang tamu apartemen Adam."Yara mengerjap pelan. Menatap sekali lagi lukisannya. Sejak kapan ia menggambar ruang tamu apartemen Adam? Otaknya benar-benar ...."Bukan, Ma. Mirip aja.""Iya ya?" Rhea masih menatap lukisan itu dengan penasaran. Ia memang baru sekali ke apartemen Adam saat menemani Desi--sahabatnya yang juga tantenya Adam--di sana, tapi ia ya
“Ruang tamu, terserah aku juga?”Yara berdecak pelan setelah lagi-lagi mendapat anggukan dari Adam.Siang itu, Yara mengunjungi salah satu dari hotel yang berada di bawah anak perusahaan Candra Group. Yara harus melihat suite room yang sudah selesai diisi furniture-nya. Baru satu hotel, masih ada empat hotel lagi yang menunggu proses pengerjaannya.Dan siapa sangka, Adam yang notabene harusnya berada di hotel yang lain, siang itu datang ke hotel yang sedang Yara kunjungi. Jadilah usai memastikan tidak ada masalah dengan furniture yang baru kemarin dipasang di suite room itu, keduanya beralih ke restoran untuk makan siang sekaligus membicarakan desain rumah Adam.“Iya.”“Ck! Ini kan rumahmu, Dam. Kenapa semuanya terserah aku?”“Aku percaya sama seleramu.”“Dulu aja sama Lintang semangat banget ngerjainnya, sekarang begini, mending dijual aja rumahnya.”“Cemburu?&r
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa