Empat orang yang saat ini berada di dalam ruangan Ranu menghela napas lega setelah konferensi pers yang mereka lalui.
Naren masih mengecek ponselnya, memeriksa laporan dari tim IT, tim legal, dan humas kantornya terkait berita yang sedang beredar. Kecepatan wartawan itu tidak main-main, saat artikel tentang klarifikasi Yara sedang hangat-hangatnya, mereka juga langsung memburu Bisma, si penyebar berita bohong.
“Udah lega kan satu masalah selesai?” Naren mencubit pipi Yara yang duduk di sampingnya dengan gemas.
“Papa ih, ini kantor. Malu lah.”
“Kan di ruangan om kamu. Nggak ada yang ngelihat, cuma Alsen doang. Malu sama Alsen?”
“Ya … malu lah,” jawab Yara sambil menunduk.
Alsen tersenyum melihat interaksi itu. Padahal dulu ia sering main ke rumah Ervin, kenapa ia jarang melihat Yara? Ah, ia baru ingat kalau Ervin seposesif itu pada keluarganya, hingga biasanya ia memerintahkan Yara menjauh setiap mereka berkumpul di rumah Ervin.
“Kamu nggak perlu lembur-lembur gitu, Dam? Kok bisa jemput aku setiap hari?” “Janji adalah janji, Yara.” Yara merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Janji apa? Kan hanya Adam dan papanya yang tahu, sementara kedua orang lelaki itu dengan kompaknya menyembunyikan ‘janji entah apa’ itu kepada dirinya. “Mau langsung pulang?” tanya Adam begitu mulai melajukan mobilnya. “Aku sebenernya ada janji ketemu sama Rian sama temenku satu lagi. Gimana? Kamu mau nge-drop aku di depan mall apa ikut makan bareng?” Adam tampak berpikir sesaat sebelum kemudian mengatakan, “Emang nggak ganggu kalo aku ikut? Atau nanti aku pisah meja biar kalian bisa ngomong bebas.” “Santai kali, Dam. Cuma makan malem doang sambil ngobrol. Tapi ya kamu tau lah kalo cewek ngumpul kayak apa. Aku takut kamu nggak betah aja.” “Nggak apa-apa. Aku makan aja.” Yara menoleh ke arah kiri, agar Adam tidak bisa melihat kuluman senyumnya. Saat bersamaan, ponsel Y
"Mbak Yara, Mas Adam udah jemput di luar," lapor seorang ART. Yara menghela napas lelah. "Pa, aku bawa mobil sendiri aja lah, atau pake supir. Ya, Pa?" "Boleh, tapi kelarin dulu urusanmu sama mantannya Adam." Merasa frustasi, Yara melahap potongan french toast terakhirnya dengan asal. "Atau biar Kak Ervin aja yang nganter—" "Lah kenapa jadi Kakak yang nganter kamu?" Ervin tidak terima namanya ikut terseret. Apa Yara lupa kalau kantor mereka berbeda arah, mesti berangkat jam berapa dia kalau harus mengantar Yara lebih dulu? Belum lagi menghadapi kemacetan ibukota, lebih baik Ervin mencarikan adiknya pacar untuk mengantar jemput. "Ya udah nebeng Papa aja—" "Nggak ah, Papa kan nganter mamamu dulu ke coffee shop, beda-beda lagi setiap hari yang didatengin mamamu," tolak papanya. "Ya ampun, kenapa pada jahat—" "Udah, Yara. Berangkat sana, kasihan Adam nungguin. Itu di atas meja dapur ada kotak makan, kasih buat Adam sarapan.
Adam: Jemput jam berapa? Adam: Nggak lembur kan? Yara hampir membanting ponselnya saat menerima pesan singkat dari Adam. Apa tidak bisa menjawab pesannya saat pagi dengan mengatakan ia memaafkannya dan balik minta maaf karena membentaknya? Seharian Yara menunggu pesan balasan dari Adam—atas permintaan maafnya—yang tak kunjung datang, dan sore harinya Adam hanya bertanya masalah menjemput. Dia supir atau apa? Yara: Nggak usah Yara: Aku nggak di kantor Adam: Ketemu klien? Adam: Aku jemput di tempat kamu meeting “Ehem!” Dehaman dari lelaki paruh baya yang seusia dengan papanya itu membuat Yara berusaha mengembalikan fokusnya. “Sorry, Om. Aku telepon bentar boleh ya, Om? Bentar aja.” Kalau saja bukan anak sahabatnya, Rama mungkin akan marah seperti ia biasa memarahi bawahannya yang sering melihat ponsel saat ia sedang menjelaskan sesuatu. Tapi ini anak sahabatnya, yang sedari kecil sering ia gendong, mana mu
Orang tua Adam sudah menunggu di teras rumah saat mobil Adam masuk ke dalam garasi. “Tante pikir kamu nggak bisa ikut, soalnya Adam nggak telepon lagi kamu jadi bisa ke sini atau nggak,” ucap Resti dengan lembutnya sambil memeluk Yara. Yara pun membalas pelukan ibu Adam kemudian mencium punggung tangannya seperti yang biasa ia lakukan. Sementara Adam yang memang tadi jalan belakangan karena haru mengambil dessert di mobilnya hanya bisa menatap pemandangan itu dengan hati yang menghangat. Dan lagi, ia tidak tahu alasannya. “Adam baru bilang tadi pas di mobil, Tante.” “Itu sama aja Adam nyulik kamu dong.” Kini Rahardian angkat bicara setelah Yara juga ikut mencium punggung tangannya. “Ya … kira-kira gitu, Om.” Adam yang mendengar obrolan orang tuanya dan Yara langsung berkilah, “Aku udah izin ke orang tua Yara kok. Jadi nggak bisa dikategorikan nyulik kan.” “Harusnya tanya tuh ke orang yang mau diajak dulu, bukan ke orang tuanya,
Adam menatap cermin sambil memasang kancing kemejanya satu per satu. Tiba-tiba ingatan tentang kejadian malam sebelumnya—saat ia dengan tidak sengaja mencium pipi Yara—membuatnya seperti anak ABG yang baru merasakan ciuman pertama. “Come on, Dam. Cuma nyentuh itu semalam, bukan nyium. Dan nggak ada asmara untuk waktu dekat!” Adam bergumam sendiri, memperingati dirinya untuk tidak bersinggungan lagi dengan sebuah perasaan bernama cinta. “Tapi aromanya …. Aaarggh!” Adam mengacak rambutnya dengan frustasi. Setelah semalam ia hampir menerobos traffic light karena terbayang dengan sentuhan bibirnya di pipi Yara, sekarang ia harus apa, kalau bahkan hingga pagi hari ingatan itu tidak juga pergi. “Pasti cuma beper karena dia mantanku. Titik.” Adam merapikan rambutnya, pergi dari apartemen lebih pagi untuk menjemput Yara. *** “Aku nggak ke kantorku kayak biasa, Dam. Sorry, aku lupa ngasih tau kamu.” Yara mengucapkannya sambil berdiri di samping
“So, tell me, kamu mau ‘main-main’ sama dia sejauh apa?” Yara mengalihkan pandangannya dari Alsen yang menatapnya dengan intens. Keduanya sedang duduk di sofa yang terdapat di lobby sambil menunggu Yuniar menghampiri mereka. “Kalo nyuruh dia lembur terus-terusan, atau ngasih target dia yang nggak mungkin dia capai, atau nyuruh dia bikinin aku teh anget, gimana, Kak? Aman?” Alsen menghela napas lega. Ia sempat khawatir saat tahu Yara akan bermain-main dengan seseorang bernama Lintang sebelum melaporkan apa yang dilakukan Lintang kepada pihak berwajib. “Ok. Aman kalo itu.” “Tapi kalo boleh jujur ya, Kak. Aku lebih excited karena nyoba hal baru dibanding ‘main-main’ sama dia.” “Jadi kalo cocok sama bidang ini, kamu bakal lepasin profesimu sebagai desainer interior?” Yara terlihat berpikir. Sebenarnya baik desain interior maupun fashion, keduanya sama-sama merupakan industri kreatif yang membutuhkan kreativitas tingkat tinggi, dan tentu sa
“Bisa saya minta tolong Tim Marketing 2 untuk menjelaskan ke saya, kenapa pencapaian tiga bulan belakangan ini tipis sekali dari target yang ada. Hampir saja tidak tercapai kalau di akhir bulan tidak mendapatkan pesanan dari salah satu artis yang memesan pakaian untuk keluarganya. Saya cuma ingin tau kenapa pencapaian Tim 2 sangat berbeda dengan Tim 1 dan Tim 3.” Lintang menatap Yara dengan tatapan yang seolah-olah ingin menjambak Yara lagi. “Bisa kan?” tanya Yara sambil tersenyum seolah-olah tidak memiliki tendensi khusus kepada Lintang. Yuniar mengangguk, memberikan kode kepada Lintang untuk menjelaskan kendala apa yang ia alami hingga pencapaiannya yang hampir saja tidak menembus target. Lintang gelagapan, mencoba menyusun kata-kata untuk menjelaskan kinerja timnya, ditambah dengan tatapan tajam dari Yuniar yang seolah memerintahnya agar segera menjawab pertanyaan bos besar. 'Sialan! Kenapa keponakannya Pak Rama harus dia sih? Eh tapi bukan
"Kenapa, Fa?” Yara melemparkan tanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Yara memang melanjutkan tidurnya setelah sarapan pagi dan saat dering ponsel yang diletakkan di atas nakas mengganggunya, Yara hanya mengintip sebentar ke layar ponsel yang menunjukkan nama sepupu dari Adam itu. “Ada acara nggak, Ra, hari ini?” “Hmm ….” “Bangun tidur ya?” “Kebangun karena teleponmu lebih tepatnya.” Terdengar gelak tawa di seberang sambungan telepon. “Sorry, sorry. Beneran, ada acara nggak, Ra? Kan weekend ini.” “Kenapa emangnya?” “Kalo nggak ada acara, ikut aku ya.” “Ke mana?” “Ngumpul. Nanti aku jemput jam sepuluhan deh, biar kamu bisa lanjut tidur lagi beberapa jam.” “Ok.” Satu kata yang nanti akan disesali Yara karena ia tidak benar-benar mendengar apa yang dibicarakan Nafasha. Diajak bicara saat ia belum mengumpulkan nyawa bukanlah hobby-nya. Dia hanya mendengar samar-samar kalau Nafasha ak
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa