"Udah bener-bener sehat, Ra? Padahal nggak apa-apa kalo kamu masih belum sehat. Om bisa nge-handle kalo cuma brain storming doang." Ranu meletakkan punggung tangannya ke kening Yara.
Yara yang baru memasuki ruangan omnya itu seperti mendapat durian runtuh karena perhatian omnya di kantor. Tidak biasanya omnya sejinak itu padanya. "Udah nggak apa-apa kok, Om. Biasa, Mama, Papa, Kak Ervin, Adam, semuanya berlebihan."
"Wait! Om bisa ngerti kalo keluargamu berlebihan, tapi kenapa ada nama Adam barusan kamu sebut?"
Yara mengalihkan tatapan dari omnya sambil berusaha menemukan jawaban yang tidak membuat omnya semakin terdorong untuk menginterogasinya. "Ya gitulah, Om. Dia bikin perjanjian sama papa gitu. Karena masalah ini bersumber dari dia, dia bakal tanggung jawab antar jemput aku sampe semua orang yakin keadaan udah aman."
"Ya tapi Om setuju sih kalo gitu. Ngelihat cewek itu berani dateng ke kantor cari masalah ke kamu, ditambah lagi berani nyewa preman
"Siapa yang barusan, Ra?" tanya Ranu saat mulai melajukan mobilnya. “Kak Alsen, temennya Kak Ervin.” “Kerja di kementerian tadi?” “Terakhir yang aku tau, Kak Alsen ikut pertukaran mahasiswa atau kuliah di luar negeri gitu, pokoknya semacam itu. Kerjanya sekarang ... kayaknya Kak Ervin belum pernah cerita, jadi aku nggak tau,” jawab Yara sambal mengingat-ingat profesi teman kakaknya itu. "Buaya juga dong?” “Hah?” Yara tidak mengerti ke mana arah pembicaraan omnya itu. “Temennya Ervin kan?” “Nggak semuanya temen Kak Ervin buaya juga, Om. Ponakan Om doang itu yang buaya.” Yara memutar kedua bola matanya dengan malas. Untung, meskipun buaya, kakaknya itu sangat sayang keluarga, paling tidak ada sisi positif yang dimiliki Ervin. Ranu terbahak sebelum akhirnya tersadar, ada yang lebih penting untuk mereka bicarakan daripada si buaya Ervin. “Siapa yang nyebarin berita aneh gitu ya, Ra?” “Nggak tau deh, Om. Kese
Melihat banyaknya orang yang hadir di dalam ruangannya, tentu saja sofa ruang kerjanya tidak cukup untuk menampung mereka semua. Karena itu Ranu mengarahkan mereka untuk pindah ke ruang meeting. Alsen semula berniat pamit karena melihat kasus itu sudah ditangani oleh papa Ervin, tapi niatnya itu ia urungkan ketika sosok lelaki paruh baya yang berpostur paling tinggi di ruangan itu menatapnya cukup lama dan hampir berhasil membuatnya terintimidasi. "Kamu ... temennya Ervin kan? Siapa namamu? Kayaknya udah lama nggak ke rumah." Alsen tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Saya Alsen, Om. Waktu SMA memang sering main ke rumah Om. Tapi waktu kuliah, karena udah nggak satu jurusan sama Ervin, jadi hampir nggak pernah main ke sana." Naren mengangguk-angguk paham. "Kok di sini?" "Tadi Kak Alsen ada di kantor kementerian waktu wartawan nyerbu, Pa. Kak Alsen yang bilang ke wartawan kalo nanti akan ada keterangan pers, biar aku sama Om Ranu nggak salah j
Ponsel Yara berbunyi nyaring, memainkan lagu tahun delapan puluhan berjudul 'Forever and Ever, Amen'—yang telah di-cover oleh sebuah chanel You**be yang dimiliki oleh dua priamantan personil The Moffats. Yara mengintip layar ponselnya kemudian membaliknya seakan bukan ponselnya yang berbunyi. Baginya, semua masih terasa aneh. Apalagi Adam yang tiba-tiba mengantarjemputnya dan dengan persetujuan papanya pula. Jelas itu bukan hal yang biasa. “Et dah, angkat napa?” omel Nana di sebelah meja Yara. Yara melirik ke arah Nana sambil mengerucutkan bibir. “Dari mana lo tau hp gue yang bunyi?” tanya Yara karena jelas-jelas ponselnya dalam keadaan terbalik. “Cuma lo, Yara, yang masang lagu tahun delapan puluhan jadi ringtone. Di saat anak-anak di ruangan ini masang ringtone BTS sama Blackpink, lo malah masang ringtone pake lagu angkatan orang tua kita.” Yara mencebik kesal. “Ini tu udah di-cover, Na. Jadi jauh lebih easy listening.”
Yara melirik Adam berulang kali. Apa benar laki-laki di sampingnya itu ingin melajang seumur hidupnya. Apa orang tuanya tahu? Adam adalah anak tunggal di keluarganya, mana mungkin orang tuanya membiarkan Adam terperangkap dalam kesendirian karena trauma patah hati. “Apa?” tanya Adam tiba-tiba saat memergoki Yara melirik kepadanya. “Hah?” “Kamu mau ngomong sesuatu?” Otak Yara berputar cepat untuk mencari alasan. “Aku … cuma mau bilang kalo aku mau ke toilet,” kilah Yara. Keduanya memang sudah berada di dala gedung bioskop. Adam baru selesai mencetak tiket bioskop setelah tadi memesan tiket melalui aplikasi online. Hanya tinggal menunggu waktu sampai studio tempat mereka menonton dibuka. “Ya udah, sana.” Yara bisa bernapas lega karena Adam sepertinya tidak curiga ia sejak tadi diam-diam meliriknya. Nonsense! Dari semua orang yang dikenalnya dan mengatakan ingin menjalani kesendirian, pada akhirnya akan selalu bera
“Semalem jalan sama Adam, Dek?” Pertanyaan papanya itu sukses membuat Yara tersedak susu coklat yang baru ditenggaknya. “Cuma jalan kan? Nggak perlu sekaget itu, Ra. Kakak jadi curiga—" ledek Ervin yang puas melihat wajah kesal adiknya di pagi hari. “Nanti Adam jemput kan?” tanya papanya lagi. “Iya.” Hari itu Yara tidak sebimbang biasanya, ia memutuskan untuk mencoba berada di sisi Adam, bukan sebagai mantan pacarnya yang jatuh cinta lagi padanya, melainkan sebagai teman lama yang berusaha meluruskan pikiran Adam yang sedang carut marut. “Bakal balikan, Ra?” tanya Ervin sambil menaikturunkan alisnya. “Nggak Ya, Kak! Pegang omonganku, aku nggak bakal balikan sama dia.” “Nggak boleh sesumbar, Dek.” Kali ini mamanya yang menasehati dan membuat Yara mengatupkan mulutnya. “Nanti Alsen ke kantormu sebelum konferensi pers,” ucap Naren yang berupaya mengalihkan pembicaraan dari seputar Adam dan Yara yang memiliki chance
Empat orang yang saat ini berada di dalam ruangan Ranu menghela napas lega setelah konferensi pers yang mereka lalui. Naren masih mengecek ponselnya, memeriksa laporan dari tim IT, tim legal, dan humas kantornya terkait berita yang sedang beredar. Kecepatan wartawan itu tidak main-main, saat artikel tentang klarifikasi Yara sedang hangat-hangatnya, mereka juga langsung memburu Bisma, si penyebar berita bohong. “Udah lega kan satu masalah selesai?” Naren mencubit pipi Yara yang duduk di sampingnya dengan gemas. “Papa ih, ini kantor. Malu lah.” “Kan di ruangan om kamu. Nggak ada yang ngelihat, cuma Alsen doang. Malu sama Alsen?” “Ya … malu lah,” jawab Yara sambil menunduk. Alsen tersenyum melihat interaksi itu. Padahal dulu ia sering main ke rumah Ervin, kenapa ia jarang melihat Yara? Ah, ia baru ingat kalau Ervin seposesif itu pada keluarganya, hingga biasanya ia memerintahkan Yara menjauh setiap mereka berkumpul di rumah Ervin.
“Kamu nggak perlu lembur-lembur gitu, Dam? Kok bisa jemput aku setiap hari?” “Janji adalah janji, Yara.” Yara merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Janji apa? Kan hanya Adam dan papanya yang tahu, sementara kedua orang lelaki itu dengan kompaknya menyembunyikan ‘janji entah apa’ itu kepada dirinya. “Mau langsung pulang?” tanya Adam begitu mulai melajukan mobilnya. “Aku sebenernya ada janji ketemu sama Rian sama temenku satu lagi. Gimana? Kamu mau nge-drop aku di depan mall apa ikut makan bareng?” Adam tampak berpikir sesaat sebelum kemudian mengatakan, “Emang nggak ganggu kalo aku ikut? Atau nanti aku pisah meja biar kalian bisa ngomong bebas.” “Santai kali, Dam. Cuma makan malem doang sambil ngobrol. Tapi ya kamu tau lah kalo cewek ngumpul kayak apa. Aku takut kamu nggak betah aja.” “Nggak apa-apa. Aku makan aja.” Yara menoleh ke arah kiri, agar Adam tidak bisa melihat kuluman senyumnya. Saat bersamaan, ponsel Y
"Mbak Yara, Mas Adam udah jemput di luar," lapor seorang ART. Yara menghela napas lelah. "Pa, aku bawa mobil sendiri aja lah, atau pake supir. Ya, Pa?" "Boleh, tapi kelarin dulu urusanmu sama mantannya Adam." Merasa frustasi, Yara melahap potongan french toast terakhirnya dengan asal. "Atau biar Kak Ervin aja yang nganter—" "Lah kenapa jadi Kakak yang nganter kamu?" Ervin tidak terima namanya ikut terseret. Apa Yara lupa kalau kantor mereka berbeda arah, mesti berangkat jam berapa dia kalau harus mengantar Yara lebih dulu? Belum lagi menghadapi kemacetan ibukota, lebih baik Ervin mencarikan adiknya pacar untuk mengantar jemput. "Ya udah nebeng Papa aja—" "Nggak ah, Papa kan nganter mamamu dulu ke coffee shop, beda-beda lagi setiap hari yang didatengin mamamu," tolak papanya. "Ya ampun, kenapa pada jahat—" "Udah, Yara. Berangkat sana, kasihan Adam nungguin. Itu di atas meja dapur ada kotak makan, kasih buat Adam sarapan.
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa