Adam menatap layar ponselnya dengan gamang. Sejak ia mengajak Yara makan malam dan mendapat penolakan halus dari Yara, entah mengapa ia merasa Yara menghindarinya.
“Sebegitu bencinya?” gumam Adam yang membuat kebingungan dua orang staf yang sedang melaporkan kenaikan occupancy kamar di branch hotel yang baru dibuka di daerah Serpong.
“Siapa yang benci, Pak?”
“Hah?”
“Tadi, Pak Adam bilang benci, siapa yang benci, Pak?”
“Oh, nggak, nggak. Kalian salah denger. Saya bilang ‘sebegitu cepetnya’.”
Kedua staf itu akhirnya mengangguk saja walaupun masih ragu dengan yang diucapkan atasannya.
“Ada lagi?” tanya Adam yang ingin segera mengakhiri meeting singkat itu.
“Nggak ada, Pak. Setelah ini kami berangkat ke branch hotel yang di Rasuna Said ya, Pak.”
“Rasuna Said, Kuningan?” Adam berpikir sesaat. “Biar saya aja yang ke sana.”
“Eh? Cuma ngelihat persiapan event yang mau diadakan di hotel, Pak.”
“Iya, biar
-Sehari setelah Adam sakit- Adam terbangun lebih siang dari biasanya, mungkin karena efek obat yang diminumnya, mungkin juga karena malamnya ia tidak bisa tidur setiap teringat ucapan Yara padanya, “I hate you, Dam.” Hanya satu kalimat, dan seingatnya, saat hubungan mereka berakhir, Yara juga mengucapkan kalimat yang sama. Tapi kenapa efeknya terasa berbeda saat ini? Adam menyeret langkahnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya lengket karena keringat yang terus saja keluar sepanjang malam, walaupun ia sudah menurunkan suhu AC di kamarnya. Usai mandi dan berganti pakaian, ia berjalan menuju kulkas, berniat mencari makanan apa pun yang tersisa di dalamnya, yang dapat dijadikannya sebagai sarapan. Ia bisa saja memesan delivery food, tapi tetap saja ia harus turun ke lobby untuk mengambilnya, dan itu adalah sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat itu. Matanya membelalak sempurna ketika melihat kulkas yang terisi banyak makanan
Yara menatap Adam dengan tatapan kesal. Dulu dia menceritakan hal yang sama dengan yang diceritakan Gigih, tapi Adam sama sekali tidak mau mendengarnya. Sekarang apa? Gigih yang cerita, dan Adam menerimanya begitu saja. Apa bagi Adam, ia memang tidak bisa dipercaya? “Aku mesti gimana buat minta maaf ke kamu, Ra?” Yara merotasikan kedua bola matanya. Ia lalu melipat jari tangannya satu per satu, seperti sedang menghitung. “Hampir sebelas tahun, Dam. Kamu waras?” “Ya karena itu aku nanya, aku mesti minta maaf dengan cara apa?” “Udahlah, nggak tau. Males ngomongin yang dulu. Makan buruan, aku mesti cepet balik ke kantor.” Adam menghela napas pasrah. Nanti lagi ia akan meminta maaf pada Yara kalau Yara sudah sedikit jinak. “Kalau nanti malem aku anter pulang—” “Ngapain? Orang aku bawa mobil sendiri,” sela Yara sebelum Adam menyelesaikan ucapannya. “Kalo besok pagi—” Yara menyumpal Adam dengan potongan daging
“Woi! Lepasin!” Dua orang yang berbadan tegap, walau tidak mengenakan jas serba hitam seperti di film-film, datang menyerbu dan dalam sekejap berhasil mengamankan Yara. Mereka mungkin kalah jumlah, tapi kemampuan beladiri yang mereka punya, levelnya tentu jauh bila dibanding dengan preman pasar yang tidak mengerti teknik beladiri dan hanya menyerang dengan membabi buta. Yara menggosok lehernya yang sedikit terasa sakit. Sementara, selagi pecah keributan antara dua pengawal Yara dan tiga preman itu, Lintang berhasil mengendap-endap menjauh. Sampai detik itu, Lintang belum tahu kalau dua lelaki yang menyelamatkan Yara adalah pengawalnya. Ia pikir hanya orang yang kebetulan lewat. Tak berselang lama, dua security datang karena mendengar keributan. Mereka tidak perlu banyak membantu, toh tiga preman itu sudah tumbang. “Kamu anter Mbak Yara pulang. Biar ini aku yang ngurus,” perintah salah seorang di antara pengawalnya. Kemudian lelaki itu berbalik dan mem
"Kamu ngapain di sini, Dam?" tanya Yara bingung. "Udah, makan dulu, Dek. Kamu demam loh, abis ini langsung Mama teleponin dokter." Yara langsung menunduk saat perhatian orang-orang di satu meja makan itu teralihkan semua padanya. Naren yang duduk di ujung meja dan dekat dengan posisi Yara langsung meletakkan punggung tangannya di kening anaknya. "Iya, agak demam" "Nggak apa-apa, Pa. Kecapekan aja. Di kantor lagi banyak kerjaan, Papa boleh tanya Om Ranu kalo nggak percaya." Adam hanya bisa menatap Yara, kalau tidak ada orang lain terutama keluarga Yara, mungkin dia akan melakukan hal yang sama--mengecek suhu tubuh Yara dengan tangannya. "Papa yang nyuruh kakakmu hubungin Adam. Ada yang perlu Papa omongin sama Adam. Udah kan, nggak usah ngelirik Adam terus," sindir Naren. "Pa, kalau masalah semalem--" Naren menyela ucapan Yara dan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. "Iya, masalah semalam. Setelah Papa pikir lagi, Pa
“Bibiiii! Lihat blazerku yang warna navy nggak?” teriak Yara dari ujung anak tangga teratas. “Perasaan minggu lalu aku ngelihat di lemari sebelah kanan, kok nggak ada ya, Bi? Ada yang mindahin nggak Bi waktu nata—” Rhea menghembuskan napas sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Yara yang masih saja bingung mencari keberadaan barangnya sendiri. Sementara, lelaki muda di hadapannya tampak terkekeh sambil mendengarkan gerutuan Yara di pagi hari. “Kamu beneran mau nganter jemput Yara?” tanya Rhea penasaran. Suaminya pergi lebih pagi hari itu karena memiliki janji dengan Rama—salah satu sahabatnya, untuk membicarakan sebuah rencana yang masih ada hubungannya dengan pembalasan Naren akan Lintang yang berani menyakiti anak bungsunya. “Iya, Tante. Itu kesepakatan saya sama Om kemaren, sampe saya sama Om bisa yakin kalo mantan saya nggak akan ganggu Yara lagi.” “Kamu kan tau kalo Yara ada yang jagain.” Tentu saja Adam tahu, tapi rasanya le
"Udah bener-bener sehat, Ra? Padahal nggak apa-apa kalo kamu masih belum sehat. Om bisa nge-handle kalo cuma brain storming doang." Ranu meletakkan punggung tangannya ke kening Yara. Yara yang baru memasuki ruangan omnya itu seperti mendapat durian runtuh karena perhatian omnya di kantor. Tidak biasanya omnya sejinak itu padanya. "Udah nggak apa-apa kok, Om. Biasa, Mama, Papa, Kak Ervin, Adam, semuanya berlebihan." "Wait! Om bisa ngerti kalo keluargamu berlebihan, tapi kenapa ada nama Adam barusan kamu sebut?" Yara mengalihkan tatapan dari omnya sambil berusaha menemukan jawaban yang tidak membuat omnya semakin terdorong untuk menginterogasinya. "Ya gitulah, Om. Dia bikin perjanjian sama papa gitu. Karena masalah ini bersumber dari dia, dia bakal tanggung jawab antar jemput aku sampe semua orang yakin keadaan udah aman." "Ya tapi Om setuju sih kalo gitu. Ngelihat cewek itu berani dateng ke kantor cari masalah ke kamu, ditambah lagi berani nyewa preman
"Siapa yang barusan, Ra?" tanya Ranu saat mulai melajukan mobilnya. “Kak Alsen, temennya Kak Ervin.” “Kerja di kementerian tadi?” “Terakhir yang aku tau, Kak Alsen ikut pertukaran mahasiswa atau kuliah di luar negeri gitu, pokoknya semacam itu. Kerjanya sekarang ... kayaknya Kak Ervin belum pernah cerita, jadi aku nggak tau,” jawab Yara sambal mengingat-ingat profesi teman kakaknya itu. "Buaya juga dong?” “Hah?” Yara tidak mengerti ke mana arah pembicaraan omnya itu. “Temennya Ervin kan?” “Nggak semuanya temen Kak Ervin buaya juga, Om. Ponakan Om doang itu yang buaya.” Yara memutar kedua bola matanya dengan malas. Untung, meskipun buaya, kakaknya itu sangat sayang keluarga, paling tidak ada sisi positif yang dimiliki Ervin. Ranu terbahak sebelum akhirnya tersadar, ada yang lebih penting untuk mereka bicarakan daripada si buaya Ervin. “Siapa yang nyebarin berita aneh gitu ya, Ra?” “Nggak tau deh, Om. Kese
Melihat banyaknya orang yang hadir di dalam ruangannya, tentu saja sofa ruang kerjanya tidak cukup untuk menampung mereka semua. Karena itu Ranu mengarahkan mereka untuk pindah ke ruang meeting. Alsen semula berniat pamit karena melihat kasus itu sudah ditangani oleh papa Ervin, tapi niatnya itu ia urungkan ketika sosok lelaki paruh baya yang berpostur paling tinggi di ruangan itu menatapnya cukup lama dan hampir berhasil membuatnya terintimidasi. "Kamu ... temennya Ervin kan? Siapa namamu? Kayaknya udah lama nggak ke rumah." Alsen tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Saya Alsen, Om. Waktu SMA memang sering main ke rumah Om. Tapi waktu kuliah, karena udah nggak satu jurusan sama Ervin, jadi hampir nggak pernah main ke sana." Naren mengangguk-angguk paham. "Kok di sini?" "Tadi Kak Alsen ada di kantor kementerian waktu wartawan nyerbu, Pa. Kak Alsen yang bilang ke wartawan kalo nanti akan ada keterangan pers, biar aku sama Om Ranu nggak salah j
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa