“Mbak Yara yakin kita mau lanjut ke supplier keempat?”
Yara terkesiap, kemudian menatap kasihan pada Radit, salah satu staf yang ditunjuk untuk menemaninya ke mana-mana selama di Bandung.
Salahnya yang memforsir pekerjaan karena kejadian dua hari sebelumnya, saat sang mama mengajaknya sarapan bersama di Amigos yang terletak di bawah kantor mamanya—tepat sebelum ia berangkat ke Bandung. Mamanya itu hanya ingin sarapan bersama karena untuk seminggu ke depan, mereka tidak bisa menghabiskan waktu bersama.
Sialnya, Zayan sedang mengantar mamanya ke kantor dan tentu saja pada akhirnya mereka malah sarapan bersama.
Bukan sarapan bersama itu yang membuat Yara memforsir diri dengan bekerja, melainkan ucapan Zayan saat itu, ketika Yara dengan isengnya bertanya apakah Zayan mengenal Intan.
‘Iya, dulu kenalan di Lombok. Belakangan ini kita keep contact lagi karena dia sering minta saran buat ngedeketin seseorang. Beruntungnya, laki-laki
Yara mendengar suara pintu tertutup di belakangnya. Saat itu, kakinya sudah jauh melangkah menuju kamar tidur. Karena ia menginap di suite room, ada ruang tamu yang cukup besar yang menjadi ruang paling depan dengan sebuah toilet di dekat pintu masuk, baru setelah melewatinya, ada sebuah kamar tidur, kamar mandi, serta balkon. Mendesah lega, tubuh Yara langsung merosot ke lantai. Kakinya sudah selemas itu, hingga ia hanya bisa pasrah terduduk di dekat foot bench, bukan di atas lapisan empuknya foot bench. Yara memeluk lutut, menyembunyikan wajahnya, hingga air matanya berebut keluar tanpa ia inginkan. Ya Tuhan, untung ia berhasil menahan air matanya selama berbicara dengan Adam. Sepertinya tidak sampai dua menit ia bicara dengan laki-laki itu. Dua menit yang penuh siksaan baginya. ‘Makanya jangan sok kuat!’ Yara mencoba menghentikan air matanya yang masih saja mengalir dengan tidak tahu dirinya, tetapi ia gagal. Berkali-kali pun mengusap air matanya,
Adam segera mengarahkan Yara untuk duduk di pinggir kasur. “Inhaler kamu taro mana?” tanyanya berusaha tenang.Yara menunjuk tas yang tergeletak di lantai.Tidak menunggu lagi, Adam mengaduk isi tas yang dibawa Yara hingga menemukan botol inhaler kecil yang selalu dibawa wanita itu.Harusnya saat ini Yara merasa salah tingkah karena Adam tengah berlutut di depannya. Yara hanya diam, mencoba mengatur napasnya.Sementara Adam sibuk melepaskan tutup inhaler, mengocoknya, lalu menyambungkan inhaler ke spacer, dan memasangkan mouthpiece pada spacer sebelum menempelkannya ke mulut Yara.Yara menghirupnya perlahan sembari menekan inhaler sekali.“Pelan-pelan.” Adam merapikan anak rambut Yara yang sedikit berantakan dan mengusap keringat dingin di dahi Yara. “Ke dokter ya abis ini.”Yara menatap Adam dengan bingung. ‘Kenapa begini sih? Nggak usah seperhatian ini kalo hubungan ini nggak ada muaranya.&r
Adam mengambil key card cadangan yang tergeletak di atas meja, dekat perlengkapan menyeduh teh dan kopi. Berkali-kali mencoba mengatur napasnya karena mengingat ucapan Yara, namun tidak kunjung membuat emosinya turun.Keluar dari suite room yang ditempati Yara, Adam melangkah cepat menuju resepsionis hotel yang sudah mengenalnya sebagai General Manajer dari pusat.Adam tahu kalau dia salah. Ia sadar kalau ternyata tidak menghubungi Yara beberapa hari malah membuat hubungan mereka semakin runyam. Adam juga tahu kalau banyak sikapnya yang harus diubah. Tapi hatinya tetap terluka saat mendengar Yara mengatakan tidak membutuhkan dirinya.***Beberapa detik setelah menyemburkan kemarahannya, Yara membekap mulutnya, merasa bersalah dengan apa yang baru saja diucapkannya.‘Jahat banget sih mulutmu, Ra! Sekarang Adam pasti nggak akan balik lagi.’ Yara menyibak selimutnya, bergegas memeriksa ruang tamu, tapi sudah tidak ada siapa-siapa di
“Makan, Dam. Butuh tenaga buat ngeluluhin hati Yara.”Adam langsung mendongak ke arah atasan sekaligus orang tua Yara yang baru saja mengucapkan sesuatu yang menunjukkan seakan dia tahu apa yang sedang terjadi.“Om cuma ngopi? Nggak sarapan juga, Om?” tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.“Udah tadi disuapin mamanya Yara di mobil.”Adam menahan dengkusan kesalnya. Pamer? Wah, dia harus bereaksi seperti apa sementara mendapatkan hati Yara saja dia harus jungkir balik.“Kamu beneran nggak ikut after party? Orang sana kecewa loh.” Naren mulai menyesap kopinya, menatap lelaki di hadapannya yang lebih banyak diamnya sejak tadi kalau tidak ia pancing.“Iya, maaf, Om.”“Kata staf yang ikut kamu ke sana, kamu ada urusan pribadi. Sepenting itu sampe ninggalin after party? Kamu tau kan kalo di acara kayak gitu, kamu bisa bangun relasi, sayang sebenernya kamu lewatin begitu a
"Ih, Papa kamu tuh kalo ujan gini pasti tidurnya pules deh."Yara melirik papanya yang memang tidur di sofa dalam kamar rawatnya dengan nyenyak. "Padahal masih jam tujuh ya, Ma.""Makanya. Emang Bandung dari kemaren sering hujan?""Kadang, gerimis, tapi selama aku di sini belum pernah sederes ini sih, Ma.""Mama ambil makanan dulu di Pak Ubay ya. Kamu nggak apa-apa Mama tinggal bentar?" Rhea memang meminta supir yang mengantarnya tadi pagi ke Bandung untuk membelikan makan malam, saat melihat suaminya kelelahan setelah bekerja remote seharian."Kenapa nggak Pak Ubay disuruh ke sini aja, Ma? Mama ntar kedinginan loh.""Mama pake jaket, tenang aja. Pak Ubay bingung jalan ke sininya. Kasihan nanti kalo nyasar."Yara akhirnya mengangguk. Tidak ada pilihan lain, karena papanya terlihat lelap."Bentar ya. Mama tinggal dulu. Kalau mau ke kamar mandi atau butuh apa-apa, bangunin aja Papa.""Iya, Maaa."Rhea keluar dari ka
"Dasar bapak-bapak overprotective!" Rhea mendengkus kesal setelah tahu apa yang terjadi dari mulut suaminya.Yara sudah tertidur karena efek obatnya. Setelah memastikan kalau Yara memang benar-benar sudah tidur, barulah Rhea mencoba mengulik apa yang sebenarnya terjadi.Naren menceritakan semua kepada istrinya, kecuali ... bagian dia membayar dan memerintahkan Cassandra untuk menggoda Adam. Istrinya itu bisa mengamuk karena tindakannya yang mungkin dinilai childish."Ya gimana nggak overprotective. Ini Yara loh, Rhe. Yara yang cengengnya nggak ada yang ngalahin. Yara yang kalau luka dikit aja yang ribut satu rumah. Berani-beraninya Adam nuduh Yara selingkuh."“Mungkin cuma salah paham, Mas. Salah cara mereka berkomunikasi. Apalagi kemaren memang mereka lagi LDR. Wajar dong, Mas.”Naren diam, namun ucapan istrinya sedikit menyentil pemikirannya. Ya mungkin benar hanya salah paham tapi tuduhan Adam pada anak bungsunya masih membuatnya tid
“Dam.” “Ya, Kak?” Adam mendongak ke arah kakak laki-laki satu-satunya Yara yang baru masuk ke ruang keluarga di mana Yara sedang rebahan sambil menyandarkan kepalanya di pangkuan Adam. Ia tidak enak sebenarnya, tapi Yara mengaku masih agak pusing. Karena tidak mungkin mengajak Adam ke kamar, maka ruang keluarga menjadi pilihan teraman. “Denger-denger rumah depan lagi dikontrakin loh. Orangnya jadi diplomat di mana gitu.” Adam mengenyit bingung. “Trus? Emangnya kenapa, Kak?” “Sewa gih! Nggak capek apa, sejak pulang dari Bandung, pagi, siang, sore, malem nurutin maunya Yara supaya kamu tetep di sini?” Yara yang sedang menonton series di salah satu channel berbayar, langsung melemparkan tatapan tajam ke arah kakaknya. Adam hanya tersenyum tipis. Setelah hubungannya dengan Yara hampir berakhir karena kesalahannya sendiri, diminta stay di rumah itu dari pagi sampai malam, diminta ini dan itu oleh Yara, dia rela. “Kalo lagi sakit kan emang b
Pukul sebelas malam dan Yara masih memeluk gulingnya sambil tersenyum malu. Oh God, sejak kapan dia senorak ini?Tapi ini Adam loh. Adam yang selalu menyampaikan sesuatu dengan tersirat seakan semua orang bisa membaca apa maksud perkataannya. Adam yang … Adam yang … belum pernah bilang cinta kepadanya.Wait!Yara jadi sadar kalau selama ini memang Adam tidak pernah secara gamblang mengatakan ‘I love you’ atau kalimat semacamnya.Biasanya Adam menggunakan kalimat seperti, 'Aku maunya kamu', Nanti kamu mau ya tinggal di sini,'. Ya ... kalimat semacam itu yang menimbulkan multi tafsir kalau kata kakaknya yang mengerti hukum.“Ya nggak apa-apa deh, bilangnya ‘I love her’ di depan cewek itu. Itu juga udah kemajuan pesat buat batu kayak dia.” Yara kembali mendekap erat gulingnya, kadang menyerukkan wajahnya ke permukaan guling karena hatinya terlalu berbunga-bunga.Wanita dan sifatnya yang mudah me
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa