“Dam.”
“Ya, Kak?” Adam mendongak ke arah kakak laki-laki satu-satunya Yara yang baru masuk ke ruang keluarga di mana Yara sedang rebahan sambil menyandarkan kepalanya di pangkuan Adam. Ia tidak enak sebenarnya, tapi Yara mengaku masih agak pusing. Karena tidak mungkin mengajak Adam ke kamar, maka ruang keluarga menjadi pilihan teraman.
“Denger-denger rumah depan lagi dikontrakin loh. Orangnya jadi diplomat di mana gitu.”
Adam mengenyit bingung. “Trus? Emangnya kenapa, Kak?”
“Sewa gih! Nggak capek apa, sejak pulang dari Bandung, pagi, siang, sore, malem nurutin maunya Yara supaya kamu tetep di sini?”
Yara yang sedang menonton series di salah satu channel berbayar, langsung melemparkan tatapan tajam ke arah kakaknya.
Adam hanya tersenyum tipis. Setelah hubungannya dengan Yara hampir berakhir karena kesalahannya sendiri, diminta stay di rumah itu dari pagi sampai malam, diminta ini dan itu oleh Yara, dia rela. “Kalo lagi sakit kan emang b
Ini sebelum Ervin nikah ya, waktu Ervin masih jungkir balik ngajak Arla jadian dan ditolak terus-terusan. Jadi yang baca PLAYER juga jangan bingung =D
Pukul sebelas malam dan Yara masih memeluk gulingnya sambil tersenyum malu. Oh God, sejak kapan dia senorak ini?Tapi ini Adam loh. Adam yang selalu menyampaikan sesuatu dengan tersirat seakan semua orang bisa membaca apa maksud perkataannya. Adam yang … Adam yang … belum pernah bilang cinta kepadanya.Wait!Yara jadi sadar kalau selama ini memang Adam tidak pernah secara gamblang mengatakan ‘I love you’ atau kalimat semacamnya.Biasanya Adam menggunakan kalimat seperti, 'Aku maunya kamu', Nanti kamu mau ya tinggal di sini,'. Ya ... kalimat semacam itu yang menimbulkan multi tafsir kalau kata kakaknya yang mengerti hukum.“Ya nggak apa-apa deh, bilangnya ‘I love her’ di depan cewek itu. Itu juga udah kemajuan pesat buat batu kayak dia.” Yara kembali mendekap erat gulingnya, kadang menyerukkan wajahnya ke permukaan guling karena hatinya terlalu berbunga-bunga.Wanita dan sifatnya yang mudah me
"Kok kamu di sini? Kok nggak istirahat di rumah?" Adam memang baru selesai meeting dan turun ke lobby untuk berpindah lokasi ke salah satu hotel yang dikelolanya untuk menjamu rekanan dan investor. Siapa sangka saat ia keluar dari lift yang berada di sudut lobby, matanya langsung menemukan sosok Yara di depan meja resepsionis. Awalnya Adam pikir hanya salah lihat, tapi setelah beberapa detik memperhatikan, ia yakin kalau gadis dengan jumpsuit berwarna hijau army dan belt kecil berwarna cream itu adalah kekasihnya. "Nggak ada temen makan siang." Yara tersenyum salah tingkah karena Adam menemukan keberadaannya lebih dulu. Padahal ia berencana memberi kejutan di ruangan Adam begitu lelaki itu selesai meeting. Adam hanya menghela napas. "Kamu izin dulu nggak ke papa sama mama kamu?" "Udah izin pas sarapan tadi. Cuma tadi belum tau mau ke mana tujuanku." "Aku masih harus menjamu rekanan sama investor, Ra. Kamu mau ikut atau nunggu d
“Ngambek?”Yara menatap papanya dengan sengit, kesal setengah mati karena papanya terkesan tidak membela Adam di depan orang-orang yang berniat menjodohkan dirinya dengan anak mereka.Adam sama sekali tidak terpengaruh—atau lebih tepatnya mencoba tidak peduli—dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Pastilah papa Yara masih kesal dengannya hingga sengaja membiarkan tawaran perjodohan dari klien bisnisnya.“Permisi, pesanan bubur dari Pak Adam.”“Oh, iya.” Adam menerima semangkuk bubur yang diantar seorang pramusaji dan mendekatkannya kepada Yara.“Ini juga ada sup egg drop buat tambahan, Pak. Ada puding di counter dessert, juga untuk makanan lembut lainnya.”“Makasih ya.” Adam kembali menata makanan di hadapan Yara setelah menyampaikan terima kasihnya pada si pramusaji.“Itu kamu khusus pesen buat Yara?” Dari tadi Naren memperhatikan gerak-gerik Adam
Adam menatap Zayan tanpa sedikit pun rasa takut, meskipun tadi Yara sudah memperingatinya sebesar apa kekuatan Zayan. “Bisa nggak jangan ganggu hubungan gue lagi sama Yara?”Zayan menepis ucapan Adam dengan senyum angkuh. “Kalau cuma karena ada gue, terus hubungan kalian terganggu, itu artinya kalian emang nggak cocok.”“Kalau cuma karena nggak cocok, terus bubar begitu aja tanpa ada usahanya, itu namanya bukan cinta. Itu lebih kayak kerjaan kantoran, nggak cocok terus resign cari yang baru. Tapi hubungan gue sama Yara nggak begitu,” balas Adam.“Kalo gue tetep berusaha buat dapetin Yara?”“Gue akan cerita ke orang tua Yara, apa yang udah lo lakuin ke dia di kamarnya.” Adam hanya mengancam. Ia belum berniat memberi tahu orang tua Yara karena Yara dan Ervin memiliki pertimbangan mereka sendiri. Adam mengerti dan menghormati keputusan Yara dan kakaknya. Tapi ancamannya itu adalah satu-satunya jalan
Adam menempelkan key card di pintu apartemennya. Begitu pintu membuka, dia melihat Yara sedang tiduran di sofa ruang tamu dengan layar televisi yang dalam kondisi menyala.Yara langsung duduk begitu mendengar suara sensor kunci pintu dan pintu yang terbuka.“Kok kamu nggak langsung pulang sih, Ra? Kamu kan mesti istirahat.”“Kan aku istirahat di sini,” balas Yara tidak mau kalah. “Gimana?”Adam menghela napas berat setelah duduk di samping Yara. Tangannya mengacak rambutnya dengan frustasi. “Ngomong apa sih aku tadi, Ra?”“Lah, nggak tau, aku baru mau nanya.”Satu tangan Adam melingkari punggung Yara, sebelum Adam menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Yara untuk mencari ketenangan sekaligus berusaha menutupi lebam yang mungkin saat itu belum berubah menjadi kebiruan hingga Yara belum menyadarinya.Adam merasa dirinya tolol setelah mencoba mereka ulang apa yang diucapkannya.
“Kamu beneran mau ikut, Dek? Tumben.”Yara duduk di hadapan papanya yang sedang duduk di ruang keluarga. “Tapi aku nggak bareng Papa ya.”“Sama Adam?”“Yaiyalah, Pa. Sama siapa lagi kalo bukan sama Adam?”Naren berdecak kesal. “Dulu aja, diajak Papa sama Mama nggak pernah mau.”“Beda dong.”Semakin kesal saja Naren mendapati anaknya yang sikapnya bertolak belakang antara dulu dan sekarang. “Kamu beneran mau pake gaun itu buat dateng ke acara?”Yara menunduk, memperhatikan sekali lagi evening gown berwarna silver dengan brukat yang menutupi bagian atas tubuhnya. “Nggak cocok ya, Pa?”Naren mengernyitkan kening. Bukannya tidak cocok, hanya saja rasanya tidak rela membiarkan laki-laki lain melihat kecantikan anaknya.“Bagus kok, Ra. Udah nggak usah dianggep papamu. Mulai overprotective-nya. Ini bagus tau, Mas. Kelihatan ele
“Ini siapa, Ra?” Lelaki paruh baya itu melemparkan pertanyaan yang sama dengan yang baru saja dikeluarkan Adam.“Pacarku.” Yara memilih menjawab lebih dulu pertanyaan omnya—Endrasuta Candra, adik sepupu dari papanya. “Kok Om nggak bilang kalo balik ke sini? Kapan nyampe? Kok nggak ke rumah?” cecar Yara dengan segala pertanyaannya yang lebih mirip seperti rengekan.Adam mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir Yara. ‘Om? Jadi laki-laki paruh baya ini adalah om Yara? Bukannya om Yara cuma Om Ranu?’ Sepanjang pengetahuan Adam, mama Yara hanya memiliki satu adik dan papa Yara adalah anak tunggal.“Bisa nggak, Om dikenalin dulu sama pacarmu secara proper. Kan kamu janji dulu kalau pacar kamu wajib dapet restu juga dari Om, bukan cuma dari orang tuamu.”Yara tersenyum menatap omnya yang hanya banyak bicara dan terlihat keras di luar, padahal omnya itu selalu mendukung apa pun pilihan hidu
Yara semakin panik begitu pintu lift membuka di lantai 25, di mana lantai itu hanya berisi deretan kamar. "Dam, kita mau ngapain di sini? Pulang aja yuk." Adam tidak menjawab pertanyaan Yara. Ia hanya meneruskan langkahnya menuju pintu yang berada di ujung lorong. Pintu kamar membuka setelah Adam menempelkan key card ke kotak sensor di handle pintu. "Ayo." Adam masih menggenggam tangan Yara dan sedikit menariknya karena Yara bergeming di depan pintu. 'Cool, Ra! Adam nggak bakal berani ngapa-ngapain.' Yara memerintahkan hati dan otaknya untuk tenang. Setelah membiarkan pintu menutup dengan sendirinya, Adam melepas sepatu dan berganti menggunakan alas kaki yang tersedia di setiap kamar. Yara pun melakukan hal yang sama. Adam melepas jasnya sebelum berjalan menuju dinding kaca dan membuka virtrase yang semula menutupinya. "Ra, sini deh." "Ngapain sih sebenernya kita di sini, Dam?" "Lihat blue moon." "Hah?" Dengan r
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa