Adam mondar-mandir di dalam kamar hotel yang telah ditempatinya hampir selama dua bulan. Pertemuannya dengan Intan—yang baru saja kembali ke Australia setelah menghabiskan libur dari perkuliahannya—membuat Adam benar-benar kehilangan fokusnya. Biasanya ia menambah jam kerja untuknya sendiri sembari menunggu Yara sampai di rumah, supaya semua pekerjaan di Australia segera selesai. Tapi malam itu, ia tidak bisa membuat otaknya untuk memikirkan pekerjaan, bahkan sekalipun ia memaksakan diri.
“Udah sampe rumah, Ra?” Pada akhirnya Adam tidak tahan lagi untuk menghubungi Yara. Dia sudah memperkirakan waktunya, kalau Yara pulang tepat jam empat sore, harusnya saat ini gadis itu sudah sampai rumah. Dari tadi bahkan, dan entah kenapa Yara belum juga menghubunginya.
“Belum, Dam. Wait ya, jalanan udah agak kosong kok. Tapi karena aku harus cari puteran balik … mungkin setengah jam lagi baru sampe. Kamu udah ngantuk? Kalo udah ngantuk, kita ngo
“Dek, kamu kok belum turun?”Yara tergagap saat mendengar suara mamanya dari pesawat telepon yang ada di atas nakas. Kadang, untuk menghindar dari saling teriak, orang-orang di rumah itu memanfaatkan pesawat telepon yang terpasang di setiap ruangan. Walau tidak selalu digunakan juga, tapi di saat-saat tertentu, memang terbukti lebih efektif dan efisien.“Nggak kerja, Dek?”Yara bukannya baru bangun, ia sudah bangun sejak subuh tapi tidur lagi, karena toh matanya sulit diajak membuka saking bengkaknya. Salahnya juga kenapa sampai menangis semalaman, dan sekarang matanya seperti baru saja disengat lebah.“Aku … nanti mau site visit, jadi berangkat agak siangan langsung dari sini, Ma. Lokasinya deket sini soalnya.”“Oooh. Ya udah turun, sarapan dulu. Papa sama Mama udah mau berangkat. Kakak kamu juga udah berangkat.”“Iya, Ma.” Yara menghela napas lega setelah menutup telepon da
“Ra, nanti malem, temenin makan malam dong.”“Tumben!”“Hmm … pengen aja. Udah lama kan kita nggak makan malam bareng.”Yara menimbang sesaat ajakan Rian itu. Harusnya sore itu, dia menemani Nana bertemu dengan klien. Tapi Nana berhasil meyakinkannya kalau klien yang mereka temui akan takut melihat mata sembabnya yang seperti bola bekel. Karena itu, Nana memaksanya untuk diam di rumah demi menjaga harga dirinya.“Gue lagi nggak mood pergi-pergi, Yan.”Rian terdiam, ia sebenarnya juga bingung mencari alasan untuk mengajak Yara bertemu memastikan keadaannya. Dan mana berani Rian mengatakan kalau Adam yang memintanya untuk menemani Yara yang mungkin sedang banyak pikiran. Prinsip yang selama ini dipegangnya, Yara pasti akan cerita semuanya, cepat atau lambat. Kalau yara belum bercerita, artinya Yara memang masih butuh waktu untuk sendiri.“Eh tapi, kalo … nginep di apartemen, k
Empat hari ...Genap sudah empat hari Yara menunggu chat atau telepon dari Adam, dan tidak sekalipun lelaki itu menghubunginya.'Apa benar-benar sudah berakhir?'Yara menarik napas panjang. Ia sudah resmi berniat menghentikan tangisnya sejak hari ketiga. Relatif berhasil sebenarnya. Ia hanya perlu memutar film atau series, lantas sok serius menyaksikannya walau pikirannya kosong, sama sekali tidak memperhatikan jalan ceritanya.Setidaknya, dia tidak menangis dan orang lain melihatnya baik-baik saja walau hatinya masih nyeri, pilu, teriris, atau apa pun istilahnya yang ia sendiri tidak bisa utarakan.Namun, satu hal yang kini mengganggu pikirannya, yaitu ajakan sepupu-sepupu Adam untuk merayakan surprise ulang tahun ibunya Adam.Ide itu telah mereka bahas beberapa waktu melalui chat group di mana Yara juga berada di dalamnya, tapi ia tidak merespon sama sekali. Justru karena ia tidak merespon, Nafa menghubunginya. Yara hanya bisa berkilah kal
“Selamat ulang tahun ya, Tante.” Yara yang terakhir datang dibanding sepupu Adam yang lain. Sengaja dia berangkat lebih akhir dan nanti akan pulang lebih cepat supaya tidak perlu berlama-lama berada di tengah keluarga yang bukan keluarganya.“Ya ampun, Yara. Nggak usah repot-repot. Makasih ya, Ra.” Resti menerima pemberian Yara dengan tatapan bersalahnya. “Kalian ini harusnya nggak usah repot-repot. Udah tua loh Tante ini, udah nggak pengen macem-macem lagi kecuali punya cucu,” tambahnya sambil mengedarkan pandangan ke keponakannya yang berkumpul untuk merayakan ulang tahunnya.Yara terdiam kaku. Dia harus jawab apa?“Kode keras!” ledek Niko yang diikuti gelak tawa semua orang yang ada di halaman samping rumah, yang telah disulap menjadi area pesta keluarga. “Ngodein kalo ada orangnya dong, Tan.”“Eh, si Adam kan ada gila-gilanya, Mas. Jangan ditantangin gitu, bisa-bisa pulang dari Australi
"Adam!"Adam menoleh ke arah suara, khawatir kalau ternyata Cassandra yang datang menyusul ke acara makan malam timnya.Bagaimana pun juga, ia pernah berjanji kepada Yara untuk menjauhi wanita itu, yang Yara curigai punya feeling padanya.Talking about Yara, he's missing her so bad. Terakhir dia menghubungi Yara lima hari yang lalu, saat ia bertengkar hebat dengan Yara, sampai-sampai Yara menyebut kata break, atau putus, entahlah. Otaknya sangat kacau begitu mendengar kata itu terucap dari mulut Yara."Dam. Ngelamun aja. Boleh gabung?"Adam membuyarkan lamunannya, lantas meminta persetujuan kepada ketiga stafnya yang sebenarnya tidak perlu. Keputusan setuju atau tidak, sepenuhnya ada di tangannya."Aku suntuk banget, tugas kampusku lagi banyak banget. Astaga!" keluh Intan begitu mendapat anggukan dari Adam dan langsung mengambil posisi di samping lelaki itu. "Maaf ya, ganggu quality time tim kalian.""Kupikir kamu iseng doang nanya aku di mana." Ad
“Mas Vigo?”Vigo melangkah ringan, mendekat ke arah Yara sambil menenteng papar bag salah satu gerai donat terkenal.“Udah sarapan?”Yara masih mengerjap bingung dengan keberadaan Vigo di lobby kantornya sepagi itu.“Mas Vigo kok di sini?”“Nih, bawain titipan buat kamu. Katanya, meskipun kamu udah makan, selalu ada ruang di perut kamu untuk coklat panas sama donat almond kesukaan kamu.”“Hah? Tante Desi tau kesukaanku?” Coklat panas dan donat almond dari gerai yang sudah memiliki ratusan cabang itu memang salah satu comford food-nya kalau ia sedang banyak pikiran. Tapi ... tidak banyak yang tahu akan hal itu. Hanya keluarganya, sahabatnya, dan ... Adam. Tapi tidak masuk akan kalau itu titipan dari Adam. Pastilah mamanya yang keceplosan menceritakannya kepada Tante Desi. Itu lebih masuk akal.Vigo hanya tersenyum kecil. “Sekalian aku pamit ya, mau balik ke Jogja.”
“Mbak Yara yakin kita mau lanjut ke supplier keempat?”Yara terkesiap, kemudian menatap kasihan pada Radit, salah satu staf yang ditunjuk untuk menemaninya ke mana-mana selama di Bandung.Salahnya yang memforsir pekerjaan karena kejadian dua hari sebelumnya, saat sang mama mengajaknya sarapan bersama di Amigos yang terletak di bawah kantor mamanya—tepat sebelum ia berangkat ke Bandung. Mamanya itu hanya ingin sarapan bersama karena untuk seminggu ke depan, mereka tidak bisa menghabiskan waktu bersama.Sialnya, Zayan sedang mengantar mamanya ke kantor dan tentu saja pada akhirnya mereka malah sarapan bersama.Bukan sarapan bersama itu yang membuat Yara memforsir diri dengan bekerja, melainkan ucapan Zayan saat itu, ketika Yara dengan isengnya bertanya apakah Zayan mengenal Intan.‘Iya, dulu kenalan di Lombok. Belakangan ini kita keep contact lagi karena dia sering minta saran buat ngedeketin seseorang. Beruntungnya, laki-laki
Yara mendengar suara pintu tertutup di belakangnya. Saat itu, kakinya sudah jauh melangkah menuju kamar tidur. Karena ia menginap di suite room, ada ruang tamu yang cukup besar yang menjadi ruang paling depan dengan sebuah toilet di dekat pintu masuk, baru setelah melewatinya, ada sebuah kamar tidur, kamar mandi, serta balkon. Mendesah lega, tubuh Yara langsung merosot ke lantai. Kakinya sudah selemas itu, hingga ia hanya bisa pasrah terduduk di dekat foot bench, bukan di atas lapisan empuknya foot bench. Yara memeluk lutut, menyembunyikan wajahnya, hingga air matanya berebut keluar tanpa ia inginkan. Ya Tuhan, untung ia berhasil menahan air matanya selama berbicara dengan Adam. Sepertinya tidak sampai dua menit ia bicara dengan laki-laki itu. Dua menit yang penuh siksaan baginya. ‘Makanya jangan sok kuat!’ Yara mencoba menghentikan air matanya yang masih saja mengalir dengan tidak tahu dirinya, tetapi ia gagal. Berkali-kali pun mengusap air matanya,
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa