Bab 152
XXX
“Ra, kakakmu masih rutin latihan beladiri?”
Yara meringis sambil mengangguk. Andai Adam tahu apa yang telah dilakukan kakaknya begitu ia mengadu kalau Zayan memaksa menciumnya.
Tok tok!
Sekali lagi Ervin mengetuk kaca jendela yang berada di samping Adam. “Turun!”
Yara yang bergegas turun lebih dulu. Ia tahu temperamen kakaknya dan di mana Adam akan berakhir kalau ia tidak berhasil merayu kakaknya. “Kamu di belakangku, Dam.” Itu peringatan terakhir dari Yara sebelum turun dan malah membuat Adam terkekeh geli.
“Barusan ngapain?” Ervin menyentil kening Yara seperti yang biasa ia lakukan kalau sedang kesal dengan Yara. “Kalo Kakak nggak dateng, lanjut ngapain kalian?”
Yara mengusap keningnya lalu beranjak berdiri di samping kakaknya sambil melingkarkan tangannya ke lengan sang kakak. “Nggak akan lebih kok, Kak. Kan kangen, namanya juga sebul
“Baru bangun, Ra?”Yara yang masih mengusap matanya seketika menghentikan gerakan saat mendengar suara laki-laki yang berasal dari ruang makan rumahnya. Bukan suara papanya, kakaknya, apalagi sopir atau tukang kebun di rumahnya.“Ya ampun, Dek. Adam udah nyampe sini dari tadi, dan kamu baru nongol, belum mandi.”“Kan masih pagi,” kilah Yara yang akhirnya memilih meneruskan langkah menuju meja makan.Beralih kepada Adam, Yara menatap bingung. “Kok pagi banget ke sininya?”“Aku mau laporan dulu ke papamu.”"Papa mana?" Yara berusaha cuek dengan menuangkan nasi ke piringnya.Memang memalukan dilihat saat bangun tidur seperti itu, tapi sesekali tidak apa-apa kan. Kalau Adam ilfeel karena penampilannya saat bangun tidur ya ... berarti silakan cari yang lain.Selevel Victoria Beckham dan Selena Gomez pun tidak akan terlihat shining shimmering splendid begitu bangun tid
Yara terdiam mendengaar suara manja dari seberang sambungan telepon Adam. “Halo, Intan? Ini Yara.”Adam mengambil remote televisi, tidak terlalu peduli dengan apa yang akan dibicarakan Yara dengan Intan.“Eh, Yara? Sorry, Ra. Aku kira Adam.”“Adamnya lagi … di toilet,” terang Yara sambil melirik kepada Adam.“Maaf ya, Ra. Aku cuma mau ngajak Adam jalan ke mall baru yang nggak jauh dari rumah. Atau … kita jalan-jalan bareng aja?”“Jalan bareng?”Baru setelah mendengar apa yang diucapkan Yara, Adam mengulurkan tangan, meminta ponselnya kembali.Yara mengerucutkan bibir sambil mengembalikan ponsel Adam. Persetan kalau mereka mau jalan berdua. Ia bisa pulang atau mangkal di rumah Rian.Adam menyalakan mode loud speaker agar Yara bisa mendengar obrolannya dengan Intan. “Tan, sorry ya tadi belum bales, tapi aku nggak bisa. Aku pulang ke sini demi Yara, ja
“Ngapain kita ke wedding fair, Dam?”Meskipun Adam masih belum memberi tahu ke mana tujuan mereka, tapi begitu mobil Adam memasuki area parkir JIEXPO Kemayoran, lalu Yara melihat berbagai spanduk dan banner yang terpasang di sekitarnya, tidak perlu IQ 130 untuk mengetahui kalau di tempat itu sedang diselenggarakan pameran pernikahan a.k.a wedding fair.“Ya lihat-lihat aja, Ra. Abis nggak tau mau ke mana kan.”“Ya nggak ke wedding fair juga kali, Dam. Kalo nanti ditawarin gimana?”“Ya didengerin.”“Kalo kamu tergoda diskon, nih misalnya ya, ada yang nawarin, ‘Silakan, Mas, untuk paket pernikahan tahun depan, cateringnya dapet diskon 40%,’ gimana coba?” tanya Yara sambil menirukan nada suara seorang SPG.“Jangan ambil yang itu, Ra. Nggak ada catering bisa diskon 40% kecuali sebelumnya mereka udah mark up harga lebih dulu. Bisa bangkrut mereka.”“Ii
“Maaf ya, Ra.”Yara hanya menghela napas dalam-dalam. “Ke mana memangnya seharian?”“Hp ketinggalan di rumah.”“Dari mana?” Yara tetap mempertanyakan satu hal itu yang membuat dirinya moody seharian.“Budhenya Intan tadi jatuh di kamar mandi. Intan bingung minta tolong ke siapa, jadi minta tolong ke keluargaku. Aku yang akhirnya nganterin ke rumah sakit, nunggu di sana sampe kelar.”Yara terdiam, tidak mungkin kan dia marah-marah karena Adam membantu orang lain. “Ya udah, kamu istirahat deh.”“Maaf ya, kamu nungguin lama ya tadi? Besok aku mesti ke kantor pagi buat beresin beberapa kerjaan. Siangnya kita makan bareng deh ya. Aku jemput ke kantormu.”“Ok.”“Nggak marah kan, Ra?”“Nggak.”Seharian memang Yara menunggu kabar dari Adam yang tidak bisa dihubungi. Ia mau marah tapi rasanya seperti memb
Dan rutinitas Yara kembali terulang. Hampir satu bulan setelah Adam berangkat (lagi) ke Australia. Tidak ada lagi Adam yang tiba-tiba ada di ruang makan rumahnya di pagi hari, atau Adam yang mengajaknya makan siang, apalagi Adam yang menjemputnya pulang kantor untuk menemaninya ke manapun ia mau. Malam hari akan dihabiskannya untuk menerima telepon dari Adam yang semakin lama, durasinya juga semakin berkurang. Mungkin Adam terlalu sibuk di sana untuk segera menyelesaikan semua pekerjaannya. Mungkin Yara yang terlalu menyibukkan diri demi menghalau rasa kangennya. Ada pasangan yang kuat dengan Long Distance Relationship (LDR), tapi Yara tahu pasti, LDR bukan untuknya. She’s done with LDR things. Bahkan Yara pernah hampir meminta izin kepada orang tuanya untuk liburan ke Australia, sebelum ia sadar kalau orang tuanya pasti tidak akan mengizinkan. “Yara.” Yara mendongak karena merasa familiar dengan suara yang memanggilnya—sangat familiar bahkan—
Adam mondar-mandir di dalam kamar hotel yang telah ditempatinya hampir selama dua bulan. Pertemuannya dengan Intan—yang baru saja kembali ke Australia setelah menghabiskan libur dari perkuliahannya—membuat Adam benar-benar kehilangan fokusnya. Biasanya ia menambah jam kerja untuknya sendiri sembari menunggu Yara sampai di rumah, supaya semua pekerjaan di Australia segera selesai. Tapi malam itu, ia tidak bisa membuat otaknya untuk memikirkan pekerjaan, bahkan sekalipun ia memaksakan diri.“Udah sampe rumah, Ra?” Pada akhirnya Adam tidak tahan lagi untuk menghubungi Yara. Dia sudah memperkirakan waktunya, kalau Yara pulang tepat jam empat sore, harusnya saat ini gadis itu sudah sampai rumah. Dari tadi bahkan, dan entah kenapa Yara belum juga menghubunginya.“Belum, Dam. Wait ya, jalanan udah agak kosong kok. Tapi karena aku harus cari puteran balik … mungkin setengah jam lagi baru sampe. Kamu udah ngantuk? Kalo udah ngantuk, kita ngo
“Dek, kamu kok belum turun?”Yara tergagap saat mendengar suara mamanya dari pesawat telepon yang ada di atas nakas. Kadang, untuk menghindar dari saling teriak, orang-orang di rumah itu memanfaatkan pesawat telepon yang terpasang di setiap ruangan. Walau tidak selalu digunakan juga, tapi di saat-saat tertentu, memang terbukti lebih efektif dan efisien.“Nggak kerja, Dek?”Yara bukannya baru bangun, ia sudah bangun sejak subuh tapi tidur lagi, karena toh matanya sulit diajak membuka saking bengkaknya. Salahnya juga kenapa sampai menangis semalaman, dan sekarang matanya seperti baru saja disengat lebah.“Aku … nanti mau site visit, jadi berangkat agak siangan langsung dari sini, Ma. Lokasinya deket sini soalnya.”“Oooh. Ya udah turun, sarapan dulu. Papa sama Mama udah mau berangkat. Kakak kamu juga udah berangkat.”“Iya, Ma.” Yara menghela napas lega setelah menutup telepon da
“Ra, nanti malem, temenin makan malam dong.”“Tumben!”“Hmm … pengen aja. Udah lama kan kita nggak makan malam bareng.”Yara menimbang sesaat ajakan Rian itu. Harusnya sore itu, dia menemani Nana bertemu dengan klien. Tapi Nana berhasil meyakinkannya kalau klien yang mereka temui akan takut melihat mata sembabnya yang seperti bola bekel. Karena itu, Nana memaksanya untuk diam di rumah demi menjaga harga dirinya.“Gue lagi nggak mood pergi-pergi, Yan.”Rian terdiam, ia sebenarnya juga bingung mencari alasan untuk mengajak Yara bertemu memastikan keadaannya. Dan mana berani Rian mengatakan kalau Adam yang memintanya untuk menemani Yara yang mungkin sedang banyak pikiran. Prinsip yang selama ini dipegangnya, Yara pasti akan cerita semuanya, cepat atau lambat. Kalau yara belum bercerita, artinya Yara memang masih butuh waktu untuk sendiri.“Eh tapi, kalo … nginep di apartemen, k
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa