“Kenapa belum tidur, Dam? Besok kan kamu masih nyetir lagi,” tegur Niko.
Hampir semua orang telah terlelap—kecuali mereka berdua. Sore hari, setelah dari Curug Cikanteh, mereka masih melanjutkan perjalanan menuju Curug Cimarinjung. Lalu setelahnya harus naik ke Puncak Darma yang menjadi highlight untuk wisata Ciletuh Geopark.
Sebenarnya ada land rover yang bisa mereka sewa untuk naik ke puncak, tapi karena mereka memesannya dalam waktu yang cukup mepet, semua land rover yang ada, telah tersewa habis. Karena itu, mereka terpaksa naik bukit dengan berjalan kaki. Lumayan menguras tenaga karena butuh waktu hampir satu jam dengan beberapa medan yang terjal untuk sampai ke Puncak Darma.
“Kepikiran sesuatu aja.”
“Lagi liburan harusnya rileks, jangan mikir yang berat-berat.”
“Ya gimana nggak kepikiran kalo Yara baru ngomongnya tadi.”
“Yara ngomong apa emangnya? Minta dinikahin?”
<“Akhirnya pantai, Ga,” seru Anting saat di sisi kirinya sudah terbentang pantai, meskipun Adam masih sibuk mencari tempat parkir.Siang itu, usai wisata singkat mereka ke Curug Awang, mereka memutuskan untuk pergi ke Pantai Ujunggenteng—sesuai rekomendasi dari pemilik homestay. Ada beberapa pantai yang lebih dekat dari Ciletuh sebenarnya, tapi karena ingin suasana baru, jadilah mereka memilih yang sedikit jauh.Setelah Adam menemukan tempat parkir, Agatha dan Anting sudah berlari lebih dulu, dan yang lain terpaksa menyusul mereka meski matahari sedang terik-teriknya.“Yara, temenin cari tempat makan dulu, mau nggak? Nanti aku temenin ke pantai kalau kamu mau ke pantai, agak sorean aja. Panas banget sekarang.”Bagaimana cara Yara bisa menolak, kalau Adam sudah mengulurkan tangannya?“Udah ngabarin Papa Mama?” tanya Adam begitu mereka mulai berjalan menjauh dari lokasi pantai.“Perasaan setiap pi
Suasana tegang mewarnai meeting pagi itu. Adam mempertaruhkan banyak hal dalam proyeknya kali ini. Bukan hanya kecakapannya sebagai seorang GM jaringan hotel Candra Group, melainkan juga hubungannya dengan Yara.Jangankan dirinya, hampir semua orang yang ada di ruang meeting merasakan hal yang serupa. Bagaimana tidak, kalau Direktur Utama Candra Group berniat hadir dalam meeting yang biasanya hanya dihadiri jajaran Direksi dari anak perusahaan Candra Group itu.“Pak Naren terkenal teliti untuk proyek-proyek besar semacam ini. Pak Adam siap?” tanya Doni, Direktur Utama PT Acasa Candra—salah satu anak perusahaan Candra Group.Adam tentu saja mengangguk walau jantungnya sedang berdebar kencang. Ia harus membuat proyek ini berhasil. Itu saja yang ada di benaknya. Tidak ada yang tahu kalau dirinya memiliki hubungan khusus dengan anak petinggi induk perusahaan, jadi kalau suatu hari nanti statusnya terbongkar, setidaknya ia tidak akan dicap memanfaat
Yara menatap Adam lekat. “Berapa lama?”“Seminggu—” Ucapan Adam terhenti karena masih belum siap menyampaikan kemungkinan yang terjadi kalau ia berhasil menandatangani kerja sama nanti.“Ok.” Yara mengangguk mengiakan. Sama sekali tidak terlihat keberatan di raut wajahnya.“Beneran nggak apa-apa?”“Ya … nggak apa-apa. Masa kularang? Kan demi perusahaan Papa juga.”Sebenarnya Adam agak tidak menyangka dengan reaksi Yara yang ternyata lebih tenang daripada bayangannya. “Kamu nggak bakal kangen aku?” tanya Adam penasaran.“Cuma seminggu, Dam. I’m ok. Kita bisa chat, telepon, atau video call kan.”“Kok kamu dingin banget sih? Kirain bakal nangis-nangis.”Yara terbahak mendengar ucapan Adam. “Ber-le-bi-han!”Adam mengusap wajahnya. Bingung mempertimbangkan perlu tidaknya ia menyampaikan kemungkinan se
“Kamu udah kenal sama Dimas?”Jantung Yara berdebar saat mendengar pertanyaan itu dari Adam. Apalagi saat ia mengecek foto si Dimas, asisten Adam.“Kenal, Ra?”“Hmm … salah satu mantanku.”Adam memutar tubuh Yara agar menghadapnya. “Serius, Ra?”Yara hanya tersenyum salah tingkah. “Tapi udah lama kok, kayaknya … awal-awal aku kerja deh.”Mengira pembicaraan mereka akan berlangsung lama, Adam menarik Yara untuk beranjak menuju meja kerjanya yang terletak di sudut ruangan. Karena hanya ada satu kursi di sana, Adam membantu Yara agar duduk di meja, dan dirinya duduk di kursi. Setidaknya itu membuat posisinya lebih mudah untuk menatap langsung ke manik mata Yara.“Jadi beneran?”Cengiran dari Yara membuat Adam menghela napas pasrah. “Aku cabut ucapanku yang tadi. Jangan hubungi dia meskipun aku lagi nggak bisa dihubungi. Aku pasti nyempetin
“Hei, Brooo.” Ervin yang berjalan paling depan di antara dua saudara perempuannya langsung memeluk sosok laki-laki dengan tinggi yang nyaris sama dengannya itu.Hampir dua tahun mereka tidak bertemu karena Zayan yang pergi berkelana dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia.“Gilaaa! Eksotis banget kulitmu, Yan. Jadi iri.” Ervin mengamati penampilan Zayan dari atas sampai bawah. Jeans selutut dan kaos belel rumahan yang dikenakannya sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Rambutnya yang gondrong sebahu membuat Ervin setengah mati iri. Ia mana mungkin bisa memanjangkan rambutnya sampai seperti itu. Panjang sedikit saja, papanya akan menyuruhnya memilih sambil memegang gunting, ‘Ke tukang cukur atau Papa gunting sendiri?’Manik mata Zayan mengabaikan Ervin yang berada di hadapannya. Ia lebih tertarik melihat ke belakang Ervin di mana sosok gadis yang pernah beberapa kali kencan rahasia dengannya tampak berdiri mematung.
“Ini siapa? Mana Yara?”Zayan belum sempat menjawab saat merasakan ponsel itu lepas dari genggamannya.Yara telah merebut ponselnya dengan cepat dan mencebik kesal pada Zayan yang berani mengangkat telepon untuknya.“Iya, Dam?” sapa Yara begitu melihat nama sang penelepon. Ia berjalan menjauh menuju halaman depan rumah dan duduk di kursi ayunan yang ada di taman depan."Siapa yang ngangkat barusan?""Oh, tadi Bang Zayan. Anaknya sahabat Papa sama Mama. Maaf ya, tadi aku diminta mamanya Bang Zayan buat ngelihat interior ruang kerjanya. Hpku kutinggal di ruang tamu. Mungkin Bang Zayan keberisikan jadinya diangkat pas kamu nelepon."Terdengar suara Adam yang mendesis kesal. "Kok dia kurang ajar sih?"Tanpa sadar Yara tersenyum meskipun Adam tidak ada di hadapannya. "Maklumin ya. Agak nyeleneh memang orangnya. Kamu lagi apa?""Bangun tidur, tadi ketiduran abis ngabarin kamu.""Belum makan malam? Udah
“Udah kangen belum?” pancing Adam.Wajah Yara mungkin sekarang sudah memerah karena pertanyaan Adam itu. Hari keempat Adam berada di Australia, dan setiap hari mereka selalu melakukan video call sebelum tidur—sebelum Yara tidur lebih tepatnya, karena Adam harus rela bergadang setiap malam, menunggu sampai Yara tertidur.Yara tidur jam sembilan malam pun, itu sudah jam satu malam di Australia. Tapi anehnya Adam tidak keberatan. Yara juga sering meminta Adam tidur lebih cepat daripada menunggunya selesai makan malam. Tapi … tidak mungkin Adam dijuluki si batu kalau hanya sikapnya yang seperti batu, kepalanya sama, kepala batu.“Emang kalo aku bilang kangen, besok begitu melek, kamu udah ada di sini? Kan nggak juga.”Adam hanya tersenyum mendengar kalimat Yara yang berputar-putar, tidak pernah menjawabnya secara gamblang. Tapi mungkin memang begitu cara Yara menyampaikan perasaannya.“Udah berapa hari sih? Be
“Aku tau kamu kangen aku, tapi sekarang semua keluargamu lagi ngelihat ke sini. Papamu sama Kak Ervin udah kayak pengen banget nembak kepalaku. Jadi bisa nggak mesra-mesraannya nanti pas sepi?”Detik berikutnya, Yara langsung melepaskan pelukannya dan mundur satu langkah. Karena tidak berani menghadap ke arah papanya, Yara kembali menemui barista yang ada di coffee corner untuk meminta dibutkan beberapa gelas, untuknya, kakaknya, dan Adam yang baru datang.“Kamu temuin Papa dulu sana, Dam.”Adam mengulum senyumnya, tahu kalau Yara sedang malu plus takut dengan Papa dan kakaknya yang sering overprotective. “Ya udah, aku ke sana dulu.”Yara mengangguk, tanpa menoleh ke arah Adam, apalagi ke arah keluarganya yang duduk di area kanan ruangan. Kenapa juga ia bisa sampai kelepasan memeluk Adam di depan umum. Sekangen itu ternyata. Hal yang tidak pernah diakui Yara selama seminggu Adam berada di Australia.***Me
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa