“Udah kangen belum?” pancing Adam.
Wajah Yara mungkin sekarang sudah memerah karena pertanyaan Adam itu. Hari keempat Adam berada di Australia, dan setiap hari mereka selalu melakukan video call sebelum tidur—sebelum Yara tidur lebih tepatnya, karena Adam harus rela bergadang setiap malam, menunggu sampai Yara tertidur.
Yara tidur jam sembilan malam pun, itu sudah jam satu malam di Australia. Tapi anehnya Adam tidak keberatan. Yara juga sering meminta Adam tidur lebih cepat daripada menunggunya selesai makan malam. Tapi … tidak mungkin Adam dijuluki si batu kalau hanya sikapnya yang seperti batu, kepalanya sama, kepala batu.
“Emang kalo aku bilang kangen, besok begitu melek, kamu udah ada di sini? Kan nggak juga.”
Adam hanya tersenyum mendengar kalimat Yara yang berputar-putar, tidak pernah menjawabnya secara gamblang. Tapi mungkin memang begitu cara Yara menyampaikan perasaannya.
“Udah berapa hari sih? Be
“Aku tau kamu kangen aku, tapi sekarang semua keluargamu lagi ngelihat ke sini. Papamu sama Kak Ervin udah kayak pengen banget nembak kepalaku. Jadi bisa nggak mesra-mesraannya nanti pas sepi?”Detik berikutnya, Yara langsung melepaskan pelukannya dan mundur satu langkah. Karena tidak berani menghadap ke arah papanya, Yara kembali menemui barista yang ada di coffee corner untuk meminta dibutkan beberapa gelas, untuknya, kakaknya, dan Adam yang baru datang.“Kamu temuin Papa dulu sana, Dam.”Adam mengulum senyumnya, tahu kalau Yara sedang malu plus takut dengan Papa dan kakaknya yang sering overprotective. “Ya udah, aku ke sana dulu.”Yara mengangguk, tanpa menoleh ke arah Adam, apalagi ke arah keluarganya yang duduk di area kanan ruangan. Kenapa juga ia bisa sampai kelepasan memeluk Adam di depan umum. Sekangen itu ternyata. Hal yang tidak pernah diakui Yara selama seminggu Adam berada di Australia.***Me
“Yara! Di sini toh?”Yara dan Adam—keduanya menoleh bersamaan ke sumber suara.“Bang Zayan?”Zayan terdiam saat menyadari Yara sedang bersama Adam—laki-laki yang tadi begitu datang langsung dipeluk Yara.“Dam, kenalin. Ini Bang Zayan, anaknya Om Brian—sahabatnya Papa, sama Tante Leny—sahabatnya Mama. Ribet ya, tapi ya … begitulah.” Yara kemudian beralih kepada Zayan. “Bang, ini Adam, cowokku.”Adam dan Zayan saling berjabat tangan sembari mengukur lawan masing-masing.Yara yang melihat ketegangan di antara keduanya berusaha mencairkan keadaan dengan bertanya kepada Zayan. “Bang Zayan ngapain nyariin aku?”“Kamu dicariin Aileen. Buruan balik ke ballroom.”“Kak Aileen nyari aku? Ngapain?”“Bentar lagi prosesi lempar bunga. Aileen mau kamu sama Ervin ready buat ikut rebutan.”Yara memutar ked
“Waktu kencan sama dia … kamu beneran suka sama dia?”“Iyalah. Aku kalau kencan atau jadian sama seseorang, artinya aku ada rasa sama orang itu. Sebenernya ya … aku nggak pernah main-main, tapi ya ada aja yang nggak cocoknya.”“Menyatukan dua hati dan dua pikiran jelas ada nggak cocoknya, Ra. Kita pun mungkin akan ada nggak cocoknya.”“Aku tau. Aku juga yang salah, dari akunya juga nggak ada dorongan untuk mempertahankan hubungan. Jadi begitu ada masalah, begitu ada sesuatu yang bikin aku ilfeel, ya udah putus. Atau kalau dari laki-lakinya yang minta putus, ya aku iya-in aja. Ngapain dibikin repot, orang dianya udah nggak mau sama aku kok.”“Mulai sekarang jangan gitu lagi ya.” Adam menciumi puncak kepala Yara. “Kalau ada sesuatu yang kamu nggak suka dari aku, kamu ngomong. Selagi bisa kita kompromikan, sebenernya ketidakcocokan itu bukan masalah.”Adam tidak lagi
“Kamu jadi renang?” tanya Adam melalui sambungan telepon.“Hah?” Yara bahkan belum benar-benar membuka matanya. Ia ingin tidur lebih lama lagi dan turun ke restoran untuk sarapan sekitar jam sepuluh, saat keadaan restoran biasanya sudah sedikit sepi. “Renang apa?”“Kan semalam ada yang ngajakin kamu renang.”Yara menyingkap selimut, terpaksa bangun setelah mendengar kecemburuan Adam di pagi itu. “Bang Zayan? Nggak kok, aku nggak bawa baju renang. Aku juga capek nyiapin nikahan Kak Aileen kemaren.”“Ooh, kirain.”“Kamu pikir aku bakal renang sama Bang Zayan? Berdua doang, gitu?”Mendapati Adam yang hanya terdiam, Yara yakin itu yang ada di imajinasi Adam. “Mau video call biar kamu tau kalo aku ada di kamar hotel? Bahkan aku belum mandi, belum niat ngapa-ngapain.”Terdengar helaan napas dari Adam di seberang sambungan telepon. “Kamu cap
“Dua tahun, apa nggak berlebihan ya, Dam?” Yara tampak merenung setelah hakim membacakan putusan.Karena tindak pidana penganiayaan, Lintang dijatuhi hukuman penjara dua tahun dikurangi masa tahanan. Sejujurnya Yara sama sekali tidak menyangka kalau hukumannya seberat itu, tapi membayar dua preman memang menjadi pertimbangan utama hakim.“Udah diputus, berarti itu hukuman yang setimpal buat dia.”“Tapi masa depan dia—”“Yara, bahkan dia nggak mikirin kamu waktu dia nyuruh dua preman itu untuk nyelakain kamu. Aku aja sampe nggak bisa mikir cara nyelakain kayak apa yang bakal dipake preman-preman itu.”Yara mendesah pasrah, semuanya sudah terlanjur. Meskipun sekarang ia merasa iba saat melihat orang tua Lintang, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.“Kamu mau ngomong dulu sama dia atau orang tuanya? Aku bisa nunggu di luar.”Adam menggeleng. “Nggak ada yang perlu aku
"Masih ngambek?" tanya Adam yang kebingungan dengan sikap Yara.Adam sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah orang tua Yara, tapi belum ingin membuka central lock dan membuat Yara turun dari mobilnya.Yara mengedikkan bahu, malas menanggapi Adam. Kekesalannya sudah memuncak, ia bahkan tidak mau lagi diajak dinner romantis."Dinner romantis untuk perpisahan?" sahutnya tadi begitu Adam berniat mengarahkan mobilnya ke sebuah restoran bertema fine dinning yang telah direservasinya."Aku mesti gimana biar kamu nggak ngambek?"“Pergi aja, kemaren-kemaren nggak mikirin aku, kenapa sekarang jadi sok mikirin aku?”“Bukan gitu, kepastiannya baru tadi pagi. Aku nggak mungkin gembar-gembor bakal ke sana agak lama sebelum aku dapet kepastian.”Yara menepis tangan Adam yang hendak mengusap rambutnya. “Nggak usah pegang-pegang! Nggak mempan!” Setelah mengucapkan kekesalan yang menggunung di hatinya, Yara keluar
Yara menggeram kesal saat melihat Adam yang justru sejak tadi berusahan menahan senyumannya. Akhirnya setelah makan malam, kedua orang tua Yara memberi waktu kepada mereka untuk bicara berdua. Dan Yara memilih gazebo di halaman samping rumahnya sebagai tempat mereka menuturkan perasaan masing-masing. "Kenapa senyam-senyum? Seneng banget kayaknya mau ketemu bule-bule!" ucap Yara kesal. "No, aku seneng karena ternyata kamu nggak mau aku tinggal ke Aussie." Yara mencubit lengan Adam saat mendengar jawaban Adam. "Sayang—" "Nggak usah manggil gitu, nggak mempan, aku masih kesel!" Seperti menantang, Adam kembali mengulang ucapannya. "Yara, Sayang, aku punya alasan." Yara mencoba mempertahankan wajah cemberutnya walaupun sulit. As usual, ia selalu luluh dengan kelembutan Adam yang jarang ditunjukkan di depan orang lain. "Beberapa bulan lalu, setelah aku yakin sama perasaanku ke kamu, aku nemuin papa kamu di kantornya.
“Aku berangkat ke kantormu ya, Ra.”“Dam!”“Hm?” Adam menghentikan niatnya untuk menyalakan musik. Seruan Yara terdengar sangat serius di telinganya. “Apa?”“Hmmm …. Duh, gimana ya aku ngomongnya?”“Apa, Yara?”“Jadi … hari ini aku tuh site visit—”“Baju kamu nggak proper buat makan di restoran?” sela Adam. “Trus kamu mau ganti tujuan?”Terdengar suara kekehan dari seberang sambungan telepon yang membuat Adam menghela napas pasrah. “Jadi cancel lagi nih?”“Kita bisa makan malam berdua, nggak perlu di restoran.”“Makan apa? Di mana?” Adam kehilangan separuh semangatnya. Padahal ia ingin memberikan kenangan untuk Yara sebelum dirinya berangkat ke Australia.“Mc—”“Nggak junk food, Sayang.”“Masak sendiri a
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa