“Yara. Udah sampe,” ucap Adam sambil membuka kaitan seat belt yang membelit Yara dan merapikan anak rambutnya yang berantakan setelah tertidur selama dalam perjalanan.
“Eh, aku ketidurannya lama ya?”
“Nggak apa-apa, daripada kamu keringat dingin lagi begitu mau sampe sini. Oh, astaga! Kita harus ngomongin ini, Ra. Kamu masih punya perasaan nggak enak nggak sih pas mau dateng ke sini?”
Yara melirik bangunan rumah Adam yang berada di sisi kanannya, lalu menggeleng. “Kayaknya sih nggak.”
Adam menghela napas lega. Kalau sampai Yara masih merasa tidak tenang untuk masuk rumah itu, artinya ia harus mencari cara lain, entah dengan menjual rumah itu, atau membuat Yara perlahan melupakan kegelisahannya setiap akan menginjakkan kaki di rumahnya. “Bilang ya kalo masih ngerasa nggak nyaman.”
“Iya. Kamu sendiri gimana?”
“Udah nggak kok. Mungkin karena layout rumah yang berubah total, mungkin juga karena aku udah bisa nerima dan nggak menyalahkan di
“Dek, Kakak nggak bisa nemenin. Bandara ditutup dari kemarin gara-gara abu Gunung Merapi.” Aileen benar-benar terdengar resah di ujung sambungan teleponnya.“Nggak apa-apa, Kak. Nanti Adam nemenin kok. Kakak gimana di sana?”“Kakak sih nggak apa-apa. Jauh dari lokasi, nanti bakal balik naik kereta. Duh, Kakak nggak tenang.”“Kak Aileen tenang aja. Aku udah gede, Kak.”“Iya kan tapi tetep aja. Papa aja deh ya yang nemenin kamu. Nanti Kakak telepon Papa dulu.”Yara belum sempat menolak keinginan kakaknya saat kakaknya itu telah mengakhiri sambungan telepon.Hari itu adalah hari di mana persidangan Lintang dan dua preman yang disewanya digelar. Sedianya, Aileen lah yang menemani Yara dalam persidangan itu, seperti sebelumnya saat menghadiri persidangan Bisma. Tapi dua hari sebelumnya, Aileen harus berangkat ke Jogja, mengunjungi salah satu sentra produksi batik yang mendapatkan dana da
"Udah waktunya masuk ruang sidang, Om, Tante. Ayo, Ra." Alsen melangkah lebih dulu, menunjukkan di mana ruang sidang berada. Bukan cuma itu alasannya. Ia tidak mau melihat pemandangan yang baru saja disaksikannya. Definisi sakit tapi tak berdarah!"Ayo, Dek." Naren menarik Yara agar berjalan di sampingnya, dengan begitu, tidak ada tempat bagi Adam dan tautan tangan mereka bisa terlepas.Adam terpaksa melepaskan tautan tangannya. Tapi ia sama sekali tidak marah. Justru ia terkekeh geli menyaksikan betapa posesifnya papa Yara.Alsen mencarikan mereka tempat duduk di barisan depan begitu memasuki ruang sidang. Naren dan Rhea duduk terlebih dulu, disusul Yara yang duduk di samping papanya, menyisakan satu tempat paling ujung untuk Adam. Alsen juga memberikan briefing singkat kepada Yara untuk persiapannya saat nanti dipanggil menjadi saksi.Setelah itu, Alsen pergi untuk berkumpul dengan rekan satu timnya. Dan saat Alsen pergi dari hadapannya itulah, Adam mel
Adam dan orang tua Lintang, masing-masing sudah memesan minuman, hanya minuman, tanpa camilan apalagi makanan berat, seakan tahu kalau tidak ada di antara mereka yang ingin berlama-lama."Om, Tante, sehat?"Wanita itu mengernyit lagi begitu mendengar sapaan Adam, walau tadi ia juga sudah mendengarnya beberapa kali saat Adam memanggil mereka dengan Om dan Tante, bukan Ayah dan Mama seperti dulu."Nggak usah basa-basi. Kamu mau ngomong apa? Bahkan berlutut di depan kami pun nggak akan membuat kamu jadi lebih baik di mata kami."Adam menghela napas. Tidak ada keinginannya untuk berlutut di depan mereka. Tapi demi mencegah keributan, Adam memilih langsung ke inti pembicaraan. Meladeni emosi seseorang tidak harus dengan emosi juga, itu saja yang harus diingat-ingatnya."Saya minta maaf karena nggak datang ke rumah Om sama Tante untuk mengabarkan hubungan saya sama Lintang yang sudah nggak bisa lagi dilanjutkan. Banyak yang harus saya bereskan di sini ak
“Jadi mereka nggak minta maaf setelah nuduh kita selingkuh dan udah lihat rekaman CCTV apartemenmu?” tanya Yara geram.Adam menggeleng. “Biarin aja, kita kan nggak akan berurusan sama mereka lagi.”“Iya sih.” Yara masih memberengut kesal, ucapan perempuan itu masih terngiang di benaknya, entah kapan bisa hilang. Lama-lama ia butuh konsultasi ke psikolog kalau otaknya terus saja memikirkan hal itu.“Ngelamun lagi!” tegur Adam. “Kita mending di sini sampe nanti aku nganter kamu pulang atau mau jalan-jalan?”“Jalan-jalan ajalah. Serem di sini.”“Hah? Emang—” Ucapan Adam terputus karena ia sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan setiap sudut rumahnya yang sekiranya mencurigakan. “Kamu pas sendirian tadi … diganggu sesuatu?”Yara mendongak, mengabaikan se’i sapi yang ada di hadapannya. “Hah?”“Perlu
“Siapa aja?”“Saya, Niko, Krisna, Nafasha, Agatha, Anting.” Adam sampai harus mengabsen siapa saja yang rencananya akan ikut jalan-jalan.“Kamar cewek cowok terpisah kan?”“Iya, Om. Pasti. Agatha masih SMP jadi kita nggak mungkin ngasih contoh yang nggak bener, Om.”Naren menghela napas, kemudian melirik Yara yang duduk tenang di sampingnya sambil memainkan ponsel. “Kamu mau ikut acara keluarga Adam?”“Ya kalo Papa ngizinin.”Kini Naren menoleh ke arah istrinya. “Mama ngizinin nggak?”Rhea ingin terkekeh geli mendengar pertanyaan suaminya tapi sebisa mungkin ditahannya karena tidak ingin menurunkan wibawa suaminya. “Mereka cuma main, Pa, Mumpung ada tanggal merah yang mepet sama weekend. Adam bukannya mau minta Yara sekarang juga.”“Ok. Jaga kepercayaan Om sama Tante ya, Dam. Kamu juga, Dek. Kalo Adam ngerayu kamu, jangan mau.&
"Baru juga nyampe, Dam," tegur Niko."Hmm?""Itu, Yara lagi ngambek kan?""Oooh." Adam tergelak mengingat apa yang membuat Yara kesal padanya. "Abis ini kuajak baikan." Tatapannya terpaku pada Yara yang sedang berada di kamar bersama Nafa, Agatha, dan Anting. Pintu kamar itu terbuka hingga Adam bisa melihat apa yang mereka lakukan di dalam.Tak berselang lama, Krisna masuk diiringi pemilik homestay yang membawa satu nampan berisi beberapa piring lauk dan sayur. “Sarapan dulu yuk.”Agatha dan Anting yang memang masih berusia belasan tahun dan dalam masa pertumbuhan bergegas keluar kamar dan berkumpul di ruang tengah.Adam bangkit, menghampiri Yara dan Nafasha yang masih bertahan di dalam kamar. “Makan dulu.”Nafasha mendengkus karena acara curhatnya terganggu, tapi ia tetap berdiri dan keluar kamar. Sementara Yara yang tadinya mau mengekori langkah Nafasha, terpaksa berhenti karena Adam menghadangnya.&ld
“Kenapa belum tidur, Dam? Besok kan kamu masih nyetir lagi,” tegur Niko.Hampir semua orang telah terlelap—kecuali mereka berdua. Sore hari, setelah dari Curug Cikanteh, mereka masih melanjutkan perjalanan menuju Curug Cimarinjung. Lalu setelahnya harus naik ke Puncak Darma yang menjadi highlight untuk wisata Ciletuh Geopark.Sebenarnya ada land rover yang bisa mereka sewa untuk naik ke puncak, tapi karena mereka memesannya dalam waktu yang cukup mepet, semua land rover yang ada, telah tersewa habis. Karena itu, mereka terpaksa naik bukit dengan berjalan kaki. Lumayan menguras tenaga karena butuh waktu hampir satu jam dengan beberapa medan yang terjal untuk sampai ke Puncak Darma.“Kepikiran sesuatu aja.”“Lagi liburan harusnya rileks, jangan mikir yang berat-berat.”“Ya gimana nggak kepikiran kalo Yara baru ngomongnya tadi.”“Yara ngomong apa emangnya? Minta dinikahin?”
“Akhirnya pantai, Ga,” seru Anting saat di sisi kirinya sudah terbentang pantai, meskipun Adam masih sibuk mencari tempat parkir.Siang itu, usai wisata singkat mereka ke Curug Awang, mereka memutuskan untuk pergi ke Pantai Ujunggenteng—sesuai rekomendasi dari pemilik homestay. Ada beberapa pantai yang lebih dekat dari Ciletuh sebenarnya, tapi karena ingin suasana baru, jadilah mereka memilih yang sedikit jauh.Setelah Adam menemukan tempat parkir, Agatha dan Anting sudah berlari lebih dulu, dan yang lain terpaksa menyusul mereka meski matahari sedang terik-teriknya.“Yara, temenin cari tempat makan dulu, mau nggak? Nanti aku temenin ke pantai kalau kamu mau ke pantai, agak sorean aja. Panas banget sekarang.”Bagaimana cara Yara bisa menolak, kalau Adam sudah mengulurkan tangannya?“Udah ngabarin Papa Mama?” tanya Adam begitu mereka mulai berjalan menjauh dari lokasi pantai.“Perasaan setiap pi
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa